Se connecter
"Sayang, apa yang ini bagus?"
"Bagus, belilah yang ini!"Lara terhenyak, tatkala mendapati suara berat yang begitu mirip suaminya.Wanita dengan tubuh tambun itu lantas menoleh ke samping. Tepatnya pada sepasang suami istri yang tengah sibuk memilih model cincin."Mas Prasetya?" Sekali lihat saja Lara sudah bisa mengenali suaminya meski pria itu membelakanginya kala itu.Pria yang awalnya membelakangi Lara pun pada akhirnya berbalik badan, saat mendengar suara wanita yang tengah memanggil namanya.Lara diam mematung dengan tatapan tak percaya. Begitu pula sang suami yang langsung menunjukkan wajah tegangnya."La-lara, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Prasetya terbata."Bukankah harusnya aku yang tanya begitu padamu, Mas? Bukankah dua hari yang lalu kamu pamit ke luar kota atas perintah Atasanmu? Dan siapa dia?" Lara menunjuk wanita di belakang suaminya dengan dagu."Berhubung kamu sudah mengetahuinya, maka aku akan sekalian menjelaskan." Prasetya merangkul wanita di sampingnya. "Dia Medina, Atasanku sekaligus calon Istriku. Kamu tahu? Akhirnya aku akan segera memiliki keturunan darinya." Prasetya memamerkan senyum lebar seraya mengusap lembut perut datar Medina beberapa kali."Hay," sapa Medina melambaikan tangan tanpa rasa malu.Lara membeku. Hatinya bagai tertusuk ribuan sembilu. Begitu nyeri.Niat hati ingin membeli cincin untuk menggantikan cincin pernikahan yang sempat ia jual di awal tahun pernikahan, Lara malah mendapati suguhan kebusukan suaminya di toko perhiasan."Jadi, kamu berselingkuh di belakangku selama ini?" Lara mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. Bahkan kelopak matanya yang mulai memanas kini terasa basah."Cih! Lihatlah perbandingannya denganmu! Dia juga wanita pekerja, tapi tidak gembrot dan kucel sepertimu. Dan kabar baiknya, dia tidak mandul," cebik Prasetya. Tatapan matanya menyiratkan rasa jijik."Aku kucel seperti ini karena tak memiliki waktu untuk merawat diri, Mas! Setiap pagi sampai--""Cukup! Intinya sekarang aku menceraikanmu. Urus berkas-berkasnya sendiri di pengadilan!" pungkas Prasetya.Rasa sesak dalam dada membuat Lara hampir tak dapat mengendalikan diri. Ingin rasanya menjabak dan mencakari wajah wanita yang tengah dirangkul mesra suaminya itu. Namun Lara sadar. Perbuatan brutal semacam itu pun tak akan mengubah keadaan."Aku akan menjual rumah besok. Tenang saja, kamu masih akan mendapatkan bagian dua puluh persen dari hasil jual rumah itu," ucap Prasetya memberitahu sebagai formalitasnya saja."Tidak! Itu rumahku. Apa hakmu untuk menjualnya?! Jika kamu ingin menghidupi Istri barumu, setidaknya bekerja keraslah! Jangan terus menumpang hidup pada wanita!" teriak Lara hampir mengumpat. Tak ia pedulikan beberapa pasang mata yang mulai memperhatikan mereka dari jauh."Apa maksudmu dengan menumpang hidup? Selama kita menikah aku juga bekerja. Hanya karena aku memberi sedikit gajiku padamu, lantas kamu menganggapku menumpang hidup?!"Lara tak sempat menimpali, tatkala suara dering ponselnya terdengar dari dalam tas di gendongannya.'Pak Abian' batin Lara membaca nama kontak pada layar ponselnya."Halo?""Lara, sekarang kamu ke kantor! Ada meeting mendadak.""Ba--" Dengungan sambungan telepon yang terputus, membuat Lara tak sempat menuntaskan kalimatnya.Lara gegas meletakkan kembali ponselnya di dalam tas. "Ingat baik-baik, Mas! Jika kamu ingin menjual rumahku, maka langkahi dulu mayatku!" pungkas Lara sebelum melengos pergi.Mengurungkan niatnya semula untuk membeli cincin. Baginya yang terpenting saat ini adalah bekerja. Karena pekerjaan bisa membuat Lara melupakan sejenak perkara rumah tangganya.Lara tak peduli akan pendapat orang lain yang menyaksikan pertengkarannya kala itu. Ia gegas menuju ke arah jalan besar. Menunggu ojek online yang telah ia pesan sebelumnya.Sebagai seorang sekretaris perusahaan yang diberikan kepercayaan lebih oleh atasannya, Lara harus memanfaatkan kepercayaan itu baik-baik. Secepat mungkin dia harus sampai di perusahaan sebelum atasannya sampai di sana lebih dulu.Tak butuh waktu lama, seorang pria dengan sepeda motor butut berhenti di depan Lara. "Mbak Lara?""Benar, Pak," ujar Lara membenarkan, lantas segera menaiki sepeda motor dan memakai helm yang diberikan tukang ojek.Motor dipacu dengan kecepatan tinggi. Menembus kemacetan panjang di jalanan ibu kota.Hari ini tak seperti biasanya. Mobil-mobil besar melaju di satu jalur, sebab ada perbaikan jalan di jalur lain."Mbak, saya pelankan sedikit motornya ya? Terlalu berbahaya kalau ngebut di jalanan ramai seperti ini.""Saya sedang buru-buru, Pak. Mungkin satu menit saja saya telat datang ke kantor, saya akan langsung dipecat."Tak memiliki pilihan lain, tukang ojek pada akhirnya memacu motor bututnya dengan kecepatan yang lebih tinggi.Namun di tengah perjalanan, sebuah mobil berwarna kelabu nampak menyusul. Dengan sengaja menyerempet body motor beberapa kali. Hingga pada akhirnya motor oleng ke kanan dan menghantam truk besar yang melintas.Brak!Lara terpental keras hingga beberapa meter dari jalan raya. Nahasnya, helm yang Lara gunakan terlepas akibat benturan keras. Menyebabkan pendarahan hebat pada kepalanya yang berbenturan langsung dengan jalan beraspal."Sakit ...." lirih Lara mengadu kesakitan.Di separuh kesadarannya yang tersisa. Lara melihat dari celah matanya yang tak terbuka sempurna. Prasetya yang turun dari dalam mobil, gegas melangkahi tubuhnya beberapa kali seraya tertawa lepas. "Sekarang aku sudah melangkahi mayatmu, jadi aku bebas menjual seluruh aset yang kamu tinggalkan, Lara. Sungguh malang nasibmu.""Ti ... dak ...." Suara Lara lemah tak berdaya. Bahkan hampir tak terdengar jelas oleh telinga.Ingatan demi ingatan masa lalu atas segala jerih payahnya, membuat Lara tak rela meninggalkan dunia dengan cara keji ini.'Aku tidak terima! Aku tidak mau mati sia-sia seperti ini! Aku akan menghancurkanmu, Prasetya!' batin Lara penuh amarah yang berkobar, sebelum Lara benar-benar kehilangan kesadarannya.Keesokan harinya."Hah ... hah ...!" Lara terbangun dengan napas terengah. Mengusap dahinya yang berkeringat dingin."Mimpi?" gumam Lara sembari mengatur napas.Tak ada hal aneh yang Lara rasakan, sebelum pandangan matanya menelisik setiap sudut dalam ruangan yang begitu asing.Gegas Lara turun dari tempat tidurnya. Namun hal aneh kembali terjadi, tatkala Lara berdiri menatap kakinya sendiri. "Aku jadi lebih tinggi? Atau hanya perasaanku saja?"Dalam kebingungan itu Lara tak sengaja menatap ke arah cermin besar dalam ruangan.Wajahnya tercengang, tatkala mendapati pantulan orang asing dalam cermin tersebut.Sosok wanita cantik bertubuh tinggi. Rambut sepinggang yang tergerai indah dan tonjolan di bagian dada dan bawah pinggangnya membuat daya tarik bayangan dalam cermin itu semakin indah.Lara beberapa kali memegangi wajahnya. Menelusuri setiap bagian tubuh dengan tangannya. Dan anehnya, pantulan bayangan dari cermin itu mengikuti setiap gerakan tubuhnya."Ada apa denganku?! Siapa dia? Kenapa aku berada di tubuh orang lain?!"Kris merasa ada sesuatu yang baru ia sadari.Ingatan itu muncul tiba-tiba, seperti film yang diputar ulang di benaknya. Tepat sebelum ia mengetuk pintu tadi, ia sempat melihat sesuatu di balik dinding koridor, sepasang sepatu hak tinggi berwarna krem, bergetar kecil seperti kaki seseorang yang berusaha menahan rasa kesemutan. Ia sempat melihat bayangan kain di lantai, lalu gerakan kecil, seperti seseorang yang sedang bersembunyi untuk menguping.Dan saat Lara meneleponnya untuk menyampaikan pesan tamparan itu, ia ingat jelas, Lara sedang memegang ponsel.Semuanya mulai tersambung dalam pikirannya.“Pak,” ucap Kris akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Coba… coba cek riwayat panggilan di ponsel Anda.”Abian yang sejak tadi masih memegangi pipinya menatap Kris ragu. Keningnya berkerut, matanya mencari alasan di balik permintaan itu. Tapi ada keyakinan dalam nada Kris yang tak bisa ia abaikan.Perlahan, Abian menoleh ke meja di samping kursinya. Ponsel miliknya tergeletak di sana, benda
Rapat baru saja berakhir. Ruangan kembali sepi, hanya terdengar detak jarum jam dan sisa dengung pendingin udara. Tapi ketenangan itu pecah begitu Abian membuka pintu dan mendapati sosok yang tak seharusnya ada di sana.“Selina?” suaranya berat, tapi sarat nada curiga. “Kenapa kamu di sini?”Gadis itu menegakkan tubuhnya dengan canggung. Wajahnya menegang sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. Ada sesuatu yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.“Ah, anu…” Selina tergagap. “Aku cuma… mau cari kamu. Tapi kamu nggak ada, jadi aku tunggu di sini.”Abian mengernyit. Pandangannya turun ke meja, lalu kembali ke wajah Selina. Ada kilatan gugup di mata gadis itu.“Oh, eh, aku lupa ada urusan!” ujarnya tiba-tiba, setengah berlari ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, tangannya dengan cepat meletakkan sesuatu di atas meja, ponsel Abian, lalu menutup pintu dengan terburu-buru.Abian menatap benda itu. Sekilas ia tak berpikir apa pun, hanya menghela napas panjang. Ia tidak tahu, di balik pintu y
Di dalam kamar dengan suasana sunyi, Lara mondar-mandir di depan ranjang, langkahnya resah.Ponsel di tangannya sudah panas, layar terus menyala, namun tak juga menampilkan satu nama yang dia tunggu.Abian.Nama itu terus berputar di pikirannya, memantul di dinding, menyesaki dada.Dia menatap layar ponselnya sekali lagi. “Cie... udah kangen aku ya?”Kalimat itu menggema di kepalanya, suara Abian saat terakhir kali dirinya berinisiatif menelponnya terlebih dahulu, kalimat itu terasa seperti ejekan, menelan keinginannya kembali untuk menghubungi pria itu.Lara menatap nama ‘Suamiku’ di daftar kontak. Jari telunjuknya sempat menyentuh ikon hijau itu, namun berhenti di udara.Dadanya berdesir. Ada sesuatu yang menahan. Harga diri yang mengalahkan rasa rindu.“Kenapa aku jadi pengecut begini, sih?” gumamnya lirih.Dia menghela napas panjang, lalu menunduk, menatap bayangan dirinya sendiri di layar ponsel. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya menolak kalah.“Tck! Tumben banget, seharian gak
“Akan aku lakukan!”Prasetya mengucapkannya dengan mata membara, mata yang Lara kenal betul, dulu pernah menjadi tempatnya berlabuh.Lara tercekat. Untuk sesaat, seluruh tubuhnya membeku. Namun sebelum logikanya sempat bekerja, Prasetya telah berdiri tegak, berbalik menghadap dinding kelabu di belakangnya.Duk!Sebuah suara benturan keras menggema di ruangan itu. Kepala Prasetya menghantam tembok tanpa ragu.Tubuh Lara terguncang hebat, refleks tangannya terulur di udara. Tapi gerakan itu menggantung, tak jadi menyentuh.Rasa iba sempat datang, menembus lapisan amarah, tapi dengan cepat ia menepisnya.Ingatan tentang kecelakaan yang merenggut nyawanya, jeritannya sendiri, dan tawa keji Prasetya muncul kembali, menelan semua sisa rasa peduli.Duk!Benturan kedua terdengar lebih keras. Lara memejamkan mata, menahan debar yang meronta di dada.Kenangan-kenangan kecil yang dulu hangat kini berkelebat seperti potongan film yang rusak.Tangan Prasetya yang dulu membantunya menata rambut. Ta
“Tidak mungkin, kamu Lara. Aku yakin tidak akan salah mengenali istriku,” ujar Prasetya penuh keyakinan yang seolah tak dapat digentarkan.Namun setiap nada yang keluar dari bibir pria itu bagai anak panah beracun. Kata “istriku” meluncur ringan, seolah suci, seolah bersih, padahal maknanya telah busuk dan basi. Lara tersenyum miring, senyum yang ia pelajari setelah bertahun-tahun ditikam oleh pengkhianatan.“Istrimu?” suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menusuk udara yang mulai padat. “Bahkan jika yang berdiri di hadapanmu bukanlah aku, melainkan Lara yang gembrot, kucel, dan tidak menarik itu, kau yakin masih akan menyebutnya istrimu?” Lara menekan setiap kata, seolah setiap huruf adalah pisau yang ia ukirkan pada dada Prasetya.Ruangan itu mendadak kedap. Sesak. Suhu dingin menggerogoti tengkuk. Tarikan napas Prasetya tercekat di kerongkongan. Ia menatap wajah di depannya, wajah yang dulu begitu dikenalnya, namun kini bagai asing, penuh bayangan luka dan api dendam.Dul
Prasetya tercekat. Napasnya tertahan di tenggorokan, serupa awan pekat yang menggantung tanpa hujan. Jemarinya gemetar di udara, menahan rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga ke tengkuknya. Ia tak pernah mengira Lara, perempuan yang selama ini ia kenal lembut dan penyabar, bisa melontarkan kata-kata setajam itu. Di matanya, Lara selalu sosok yang menundukkan nada bicara ketika ia marah, yang akan menyelipkan senyum di sela setiap rengekan. Namun kini, di depan matanya, wanita itu seolah menjadi sosok asing.'Mungkinkah dia memang bukan Lara?' batin Prasetya lirih.“Lara, tolong… jangan katakan itu,” suaranya pecah seperti kaca yang jatuh di lantai. “Aku bersalah. Aku tak seharusnya melakukan hal itu padamu. Tolong… ampuni aku. Aku mencintaimu,” bisiknya, tubuhnya merosot berlutut di hadapan wanita itu.Di hadapannya, Lara berdiri tegak. Cahaya lampu redup dari langit-langit hanya mempertegas garis wajahnya yang kini keras, matanya berkilat seperti pecahan kaca. Senyum sinisny







