"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
"Sayang, apa yang ini bagus?""Bagus, belilah yang ini!"Lara terhenyak, tatkala mendapati suara berat yang begitu mirip suaminya.Wanita dengan tubuh tambun itu lantas menoleh ke samping. Tepatnya pada sepasang suami istri yang tengah sibuk memilih model cincin."Mas Prasetya?" Sekali lihat saja Lara sudah bisa mengenali suaminya meski pria itu membelakanginya kala itu.Pria yang awalnya membelakangi Lara pun pada akhirnya berbalik badan, saat mendengar suara wanita yang tengah memanggil namanya.Lara diam mematung dengan tatapan tak percaya. Begitu pula sang suami yang langsung menunjukkan wajah tegangnya."La-lara, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Prasetya terbata."Bukankah harusnya aku yang tanya begitu padamu, Mas? Bukankah dua hari yang lalu kamu pamit ke luar kota atas perintah Atasanmu? Dan siapa dia?" Lara menunjuk wanita di belakang suaminya dengan dagu."Berhubung kamu sudah mengetahuinya, maka aku akan sekalian menjelaskan." Prasetya merangkul wanita di sampin
Klek!Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Muncul sesosok lelaki tampan dengan handuk putih yang masih menggantung di bahu kirinya.Rahang kokoh yang tegas dan mata elangnya membuat tatapan matanya terkesan mengintimidasi.'Pak Abian?' batin Lara dalam kepanikannya.Tatapan sang atasan masih terasa sama. Dingin dan menusuk. Membuat siapa saja yang ditatapnya seketika tertunduk."Masih hidup? Aku pikir kamu akan mati setelah meminum racun serangga itu," ucapnya datar tanpa ekspresi."Ra-racun serangga?" Lara yang tak sepenuhnya mengerti, mengedarkan pandangan matanya, hingga terpaku pada sebuah botol hijau kosong yang tergeletak di samping tempat tidur."Pak Abian, saya bukan--" Rasa sakit bagai tertusuk ribuan jarum tak kasat mata membuat tenggorokan Lara terasa nyeri luar biasa."Barusan kamu memanggilku apa?" tanya Abian tak paham. Melihat istrinya kesakitan pun ia tak gegas memberi pertolongan."Sa-saya sebenarnya--" Lara tercekat. Bahkan mengeluarkan suara rintihan kesakitan pun i
Lara tertegun. Lantas menoleh menatap Abian yang masih berfokus menatap jalanan. "Ta--""Aku tidak menerima alasan penolakan apa pun!" pungkas Abian dengan tegas.Lara terdiam dan kembali menundukkan pandangannya. Sebab ia tahu, kalimat yang keluar dari mulut atasannya adalah sebuah perintah yang tak dapat diganggu gugat.Hingga pada keesokan harinya.Duka Lara serasa sirna begitu cepat. Entah telah merelakan, atau hanya tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan.Wanita yang wajahnya terasa lebih muda itu terus memandangi pantulan dirinya di hadapan cermin. Tatapan kagum dengan senyum sumringah masih terasa menghiasi wajah sejak terbangun dari tidurnya."Tubuhku ramping sekali. Berasa jadi seorang model." Lara menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri di hadapan cermin besar.Klek!Lara terkesiap, tatkala hal yang paling ia takutkan benar terjadi. Yakni kehadiran sang Atasan.Entah semalam Abian menghilang ke mana, namun mereka tak tidur satu ruangan.Pria itu membuka pintu lemari da
Prasetya mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku celananya. "Nah! Kalungmu terjatuh di depan pintu saat masuk tadi." Prasetya mengulurkan tangan.Lara bernapas lega. Ternyata pikirannya terlalu berlebihan. "Terima kasih," ucapnya mengambil kembali kalung itu."Hanya ucapan terima kasih? Bagaimana jika lain kali makan bersama? Anggap sebagai ucapan terima kasihmu padaku?" Prasetya tersenyum tipis dengan memasang wajah penuh harap.'Pria ini memang benar-benar tidak tahu malu. Baru kemarin menikah, sekarang ingin mencari mangsa baru' geram Lara dalam batinnya."Ehem!" Abian berdehem keras guna menyudahi obrolan antara Prasetya dengan sekretarisnya.Sontak Prasetya gegas menghampiri Abian untuk melangsungkan sesi wawancara.Tatapan sengit yang terkesan mengintimidasi membuat Prasetya tak berani menatap langsung ke arah mata petinggi perusahaan itu, dan berakhir merundukan wajah selama sesi wawancara berlangsung.Setelah selesai melakukan sesi wawancara, Prasetya segera menyimpan kembal