Share

Bab 4 - Sebuah Pelajaran

Pagi ini Han melakukan rutinitas seperti biasa. Setelah membantu sang ibu menyelesaikan tugas rumah, Han berlatih ilmu pedang yang diajarkan oleh ayahnya. Jika ibu Han memiliki kelebihan dalam kecerdasan, maka ayah Han mempunyai kelebihan di kekuatan.

Bisa dibilang sang ayah adalah orang paling ahli dalam ilmu seni pedang di desanya yang bernama Smohill. Dengan tubuh tegap berdiri dan memiliki otot yang sedang, membuat ia dapat bergerak dengan lincah dan kuat. Bahkan, Kafui beserta kawannya sering mengalahkan monster yang mendekat ke desa dengan ilmu seni pedang.

Di bawah dahan pohon, Han duduk memeluk lutut memerhatikan ayahnya yang sedang menunjukkan beberapa jurus berpedang. Matanya terpaku pada hunusan dari pedang bermata dua milik ayahnya. Setiap hunusan pedang yang dilancarkan, selalu ada angin yang keluar. Seakan-akan dapat menembakkan serangan jarak jauh menggunakan gelombang angin.

“Bagaimana ... kamu sudah paham?” tanya Kafui seraya mengatur napas.

Seketika Han tersadar dari lamunannya. Dalam hati ia berkata, “Eh ... pakai tanya, aku kan belum ahli dalam ilmu dasar. Sekarang ditanya sudah paham atau tidak.”

Han tidak menjawab pertanyaan dari Kafui. Dirinya hanya menggelengkan kepala lalu melihat ke bawah. Sebenarnya dari dalam hati, ia tak ingin latihan pedang. Namun, untuk menghormati sang ayah, ia tak ingin membantah perintah ayahnya untuk melatih kemampuan berpedang.

“Ayah, sebenarnya ... kita mempelajari ilmu berpedang untuk apa?” tanya Han dengan nada sedikit ragu.

Melihat anaknya yang sedang tidak bersemangat, Kafui hanya tersenyum kecil. Ia melangkah ke depan Han dan duduk bersila.

“Alasan pertama, karena Ayah bukan pengguna tombak, pedang besar, tongkat sihir, busur ....”

Han berharap jawaban yang akan didapatkan sesuai ekspetasinya, ternyata bukan.

“Alasan kedua, karena kamu tidak memiliki mana, sehingga kamu tidak bisa menggunakan sihir ....”

Mengingat dirinya yang belum mampu menggunakan sihir dasar, Han menunjukkan wajah murung.

“Alasan ketiga, karena kita pria. Tugas kita untuk melindungi diri kita dan orang lain.”

Han menatap wajah ayahnya. Muncul rasa malu, seakan ada tamparan keras ke hatinya.

“Gunakan apapun yang kita miliki, mau itu pedang usang, pisau tumpul, tongkat yang rapuh, sihir kecil, tangan, kaki, atau kepala kita,” imbuh Kafui, “untuk dapat melindungi orang yang kita sayangi.”

Dalam diam Han tertunduk, merenungkan perkataan ayahnya. ia lalu menatap ayahnya penuh percaya diri. Kali ini ia mulai berlatih ilmu pedang dengan ayahnya.

***

Setelah berlatih pedang dengan ayahnya, Han mencoba melemaskan otot-otot yang kaku dengan berjalan kecil tidak jauh dari rumahnya. Ia melangkah di jalan setapak menuju bukit. Di sisi kanan dan kiri jalan, disuguhkan tanaman gandum yang beberapa hari lagi akan siap dipanen.

Di tengah perjalanan, ia bertemu beberapa anak seumurannya. Dari kejauhan terlihat 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang sedang melakukan perundungan pada anak lain yang wajahnya tidak begitu jelas karena sedang jongkok sembari melindungi kepala.

Pemandangan tersebut mengingatkan Han dengan kehidupan di kehidupan sebelumnya. Terkadang ia bertanya-tanya, kenapa dirinya masih mengingat ingatan kehidupannya dulu. Ingin menceritakan soal ini kepada kedua orang tuanya, tetapi ia mengurungkan niatnya.

Tiba-tiba bola mata Han membesar, ketika salah satu anak yang merundung mencoba melemparkan sebuah batu ke arah anak yang terlihat menangis.

“Woy!” teriak Han seraya berlari ke arah anak-anak berkerumun.

Keempat anak yang sedang merundung tidak mengindahkan suara Han dan tetap melanjutkan perbuatan mereka.

“Yang benar saja.” Han membatin lalu memegang tangan anak laki-laki yang sedikit lebih besar darinya. “Hentikan! Atau ....”

“Atau apa?” Anak yang bertubuh besar memotong perkataan Han dengan wajah menantang.

Situasi mulai menegang di antara Han dan anak berbadan besar. Masing-masing saling menatap dengan mata tajam. Ditambah anak-anak lain memperkeruh suasana. layaknya waduk air yang tinggal menunggu jebol dan mengeluarkan airnya.

Namun, tak jauh dari sana, di dalam kegelapan gua yang terdalam terdapat sesuatu sosok yang mengamati sedari tadi. Tiba-tiba bersinar kedua mata merahnya. Lalu berteriak dengan keras, hingga terdengar oleh Han dan anak-anak yang dekat dengan lokasi tersebut.

Semua orang yang ada di sana terperanjat sampai jantung mereka hampir berhenti. Karena sangat ketakutan anak-anak perundung lari terbirit-birit. Sedangkan Han dan anak yang dirundung terdiam di tempat.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Han kepada si anak yang ketakutan.

Si anak tak mengeluarkan kata, hanya mengangguk menandakan ‘iya’.

“Siapa namamu?” Han mengulurkan tangan.

“Na-namaku ... Shiva,” jawab anak perempuan itu lalu berdiri.

“Oh, rupanya perempuan.” Han membatin.

Han memerhatikan penampilan gadis di depannya. Ciri-ciri fisik yang tidak berbeda jauh dengannya. Wajah gadis itu cukup cantik. Mata merah bak permata ruby, bertubuh sedikit kecil dari Han. Kulitnya putih pucat dan memiliki tanduk kecil berwarna merah. Yang membedakan ialah memiliki bagian tubuh perempuan pada umumnya.

“Aku Han,” sambung Han sembari memberikan senyuman hangat agar Shiva tidak takut.

Shiva tertegun menatap Han. Kemudian lamunannya dibuyarkan oleh ajakan Han.

“Ayo pergi dari sini!”

“I-iya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status