Share

Rembulan dalam Dekapan Langit
Rembulan dalam Dekapan Langit
Author: Mustika Shaleha

Malam Menjijikkan

last update Last Updated: 2025-04-25 21:32:01

“Bulan, aku pamit!”

Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.

“Sama Laili.”

“Laili balik tadi siang, Kak.”

“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.

Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.

“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.

“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”

“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”

Bulan mencebik sambil mengangguk.

“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”

“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering bawa pacar ke kos-kosan.

“Yang penting kamu kunci pintu kamar aja. Takutnya ntar cowoknya dia salah masuk.”

“Ish! Kak Sin bisa aja,” kata Bulan.

“Ya udah, aku pergi dulu ya. Sampai ketemu Hari Senin, Moonlight!”

Bulan tersenyum. “Hati-hati, Kak,” ucapnya.

Setelah Sinta pergi, Bulan menatap suasana kos-kosannya yang sepi. Sekitar tujuh kamar dengan tiga melintang ke barat-timur dan dua ke utara-selatan itu, terlihat menutup semuanya.Lampu kamar juga mati. Sepertinya benar kata Sinta, long weekend membuat para mahasiswa penghuni kosan memutuskan untuk pulang kampung. Tidak seperti Bulan yang justru memilih menghindari kata pulang. Ya, karena pulang bagi Bulan, sama dengan menghadapi tekanan dari orang tuanya soal IP-nya semester ini yang harus naik dari semester lalu atau setidaknya konstan 3,6. 

Bulan akhirnya masuk kembali ke kamarnya. Seperti pesan Sinta, dia pun mengunci pintu karena kosan sedang sepi sekali. Apalagi, pintu kamar kos di sini langsung terhubung dengan teras, tidak berada di dalam bangunan.

Suara ketukan pintu terdengar saat Bulan baru saja hendak memainkan ponsel. Sedikit ragu, Bulan pun membuka pintu kamarnya.

“Kak Beni,” gumamnya menyebut satu nama dengan raut terkejut. “Kak Beni, gimana bisa sampai di sini?”

Lelaki dengan jaket jeans balel yang disebut Bulan bernama Beni itu pun tersenyum. “Nggak usah kaget, Lan. Kamu kan tahu, apa aja bakal aku lakuin buat kamu. Termasuk nyusulin kamu ke Bandung.”

“Ta-tapi ... kalau orang tuaku tahu, gimana?” tanya Bulan. Rautnya masih terlihat tidak percaya jika Beni bisa menyusulnya ke kota ini.

“Enggaklah! Orang tua kamu kan di Jakarta, Lan. Justru di sini, kita mungkin bisa bebas,” kata Beni.

“Tapi, Kak. A-aku takut … Papa tu ….”

“Ssstt … Bulan, aku baru dateng loh! Jauh-jauh perjalanan tiga jam nembus macet, masa sambutan kamu begini? Udah ya,  lupain soal Papa kamu. Lagi pula, aku siap menanggung semua risikonya demi kamu, Bulan,” kata Beni. Lelaki itu menatap Bulan lekat.

Bulan menghela napas. Dia tetap terlihat khawatir, tetapi mencoba berdamai dengan situasi karena Beni sudah terlanjur di sini.

“Oke, Kak Beni silakan duduk,” kata Bulan.

Beni pun tersenyum. “Nah, gitu dong, Cantik,” kata Beni sembari tangannya mencolek dagu Bulan tetapi gadis itu dengan cepat memalingkan wajah.

“Kak Beni mau minum apa? Eum … tapi, aku cuma ada air putih sama teh. Maklum anak kos,” kata Bulan.

“Nggak usah, Cantik. Aku tadi udah ngopi di deket sini. Malah aku bawain kamu minuman nih.” Beni merogoh saku jaketnya lalu mengeluarkan minuman dalam kemasan kotak.

“Susu stroberi kesukaan kamu,” katanya.

Bulan tersenyum tipis. Dia agak tersanjung dengan apa yang Beni lakukan. Mungkin, ini terdengar terlalu gampangan, tetapi selama sembilan belas  tahun Bulan hidup, dirinya tidak pernah sempat untuk mengurusi urusan perasaan. Jangankan untuk jatuh cinta, berpikir untuk dekat laki-laki saja Bulan tidak sempat.

Masa remajanya sudah terlalu sibuk dengan jadwal les dan segala tuntutan kesempurnaan dari orang tuanya. Lalu, saat Beni datang belum lama ini, Bulan yang awam soal percintaan jadi sedikit tersentuh dengan sikap lelaki itu. 

“Aku kangen banget sama kamu, Lan. Kamu jarang balas chat aku beberapa hari ini. Sibuk ya?” Beni bertanya setelah dirinya dan Bulan sama-sama duduk di kursi plastik yang memang tersedia di teras kecil yang ada di depan setiap kamar kos.

Bulan yang sedang menyedot susu stroberi pemberian Beni tadi, langsung menghentikan gerakannya.

“Maaf, Kak. A-aku ….”

“Sengaja menghindar?” Potong Beni.

“Maaf, tapi semenjak kejadian minggu lalu di rumah, aku bingung harus bersikap apa. Aku nggak mau menentang orang tuaku, Kak,” kata Bulan.

“Lan, kita berjuang bersama-sama, oke?”

Berjuang? Perjuangan macam apa yang Beni maksud? Berjuang meluluhkan hati orang tua Bulan agar mereka direstui? Ahh, Bulan tidak yakin. Dia tahu persis bagaimana kedua orang tuanya. Mengubah apa yang sudah mereka atur sangat mustahil.

“Kak Beni, kenapa nggak nyerah aja sih? Aku capek terus berdebat sama Papa dan Mama.” Bulan akhirnya buka suara lagi. Wajahnya terlihat sendu dan lelah. Masalah tugas kuliahnya saja sudah membuat Bulan jungkir balik. Sekarang, masalah cinta ikut-ikutan.

“Bulan, kamu pikir aku peduli sama cemoohan orang tua kamu? Terserah mereka mau bilang aku berandalan, aku cowok nggak punya masa depan, preman nggak beradab. Aku masa bodoh, Lan. Yang penting kamu. Kamu yang aku mau, Bulan.”

Beni benar-benar merasa tidak mau menyerah begitu saja. Semenjak pertemuannya dengan Bulan saat reuni SMA lebaran lalu, dia benar-benar jatuh hati. Rembulan Kusumaning Ayu, si cantik nan polos yang membuat Beni benar-benar tergila-gila.

“Jangan diam, Lan,” kata Beni lagi. Dia benar-benar berharap akan mendapatkan sambutan indah dari Bulan tentang perasaannya. Beni tidak peduli apa kata orang, asal Bulan mau dengannya, dia akan terjang apa pun rintangan yang ada. Termasuk, kalau harus membawa Bulan kabur.

Bulan masih belum merespons. Sejak Beni mendekatinya, sebenarnya Bulan merasa spesial. Bulan yang selama ini tidak peduli soal cinta karena sibuk untuk belajar, meraih prestasi, dan mengikuti tuntutan kedua orang tuanya, mulai goyah saat Beni mendekat. Namun, Bulan bimbang. Dia tak yakin kalau perasaannya pada Beni adalah cinta atau mungkin Bulan terlalu takut untuk menyebutnya cinta.

“Katakan kalau kamu mencintai aku juga, Lan! Aku akan berjuang sampai akhir kalau kamu juga mencintaiku.” Beni berucap dengan raut teduh sambil menatap Bulan lekat. Seorang Handarbeni Utomo yang hobi balapan liar dan nongkrong di kelab malam, terlihat seperti kucing manis di hadapan Bulan.

Cinta? Apa aku mencintai Kak Beni? Bulan bertanya dalam hati. Sungguh, Bulan bingung. Umurnya sudah lewat dua puluh tahun, tetapi sekali saja dia belum pernah menentukan jalan hidupnya sendiri termasuk menentukan kepada siapa hatinya jatuh. Lalu, sekarang pun, Bulan sepertinya akan tetap memilih untuk jadi anak penurut, mengikuti apa yang orang tuanya pilihkan.

 “Bulan ...,” panggil Beni yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Raut teduh Beni sudah sedikit berubah menjadi kesal. Tolonglah, Beni bukan sosok lelaki penyabar.

Akhirnya Bulan menggeleng. “Papa bilang, aku harus jauhin kamu karena kamu berandalan tidak bermasa depan, Kak Beni. Kakak juga sudah dengar sendiri kan, hari Sabtu lalu waktu Kakak ke rumah, papaku bicara apa? Jadi, maaf, tidak usah berharap lagi soal cinta.”

“Bulan ….”

“Cukup, Kak! Aku capek berdebat sama Papa dan Mama. Jangankan untuk berhubungan dengan Kak Beni, untuk bertemu begini saja kalau ketahuan Papa Mama juga pasti aku dimarahi.”

“Lan, aku akan berusaha. Asal kamu berkata iya, kamu berkata menerima cintaku, aku akan berubah. Aku bakal mencoba jadi lebih baik. Aku akan cari pekerjaan. Aku ….” Beni menghentikan ucapannya saat melihat Bulan bangkit dari kursi. 

“Bulan,” panggil Beni masih dengan penuh harap.

 “Sebaiknya Kak Beni pulang. Sudah malam dan sepertinya akan hujan.”

Beni bergeming. Dia masih duduk sambil menatap Bulan yang berusaha menghindarinya. Ada tatapan kecewa dari mata Beni. Dia sungguh-sungguh mencintai Bulan. Ini cinta pertamanya. Beni bahkan berniat berubah, tetapi apa yang dia dapat? Sepertinya niat tulusnya tidak mendapat balasan baik.

“Aku masuk ya. Terima kasih sudah mencintaiku. Maaf untuk semuanya. Jangan temui aku lagi,” ucap Bulan sebelum akhirnya berbalik, berjalan menuju pintu kamar kosnya. 

Namun, saat Bulan baru saja membuka pintu kamarnya, Beni tiba-tiba mencekal lengan Bulan. Apa yang dilakukan Beni jelas membuat Bulan terkejut.

“Kak Beni, mau apa?” tanya Bulan dengan raut cemas. Dia  takut. Apalagi raut Beni yang biasa menatapnya dengan lembut, kini berubah gelap.

“Kamu sombong, Bulan! Kamu dan orang tuamu sama sombongnya!” ucap Beni dengan penuh penekanan sambil merapatkan tubuhnya pada Bulan. Sejurus kemudian, Beni berhasil mendorong Bulan ke dalam kamar. Sambil tersenyum asimetris yang membuat aura gelapnya semakin jelas, Beni mengunci pintu kamar kos Bulan, lalu menutup tirai jendela.

Bulan jelas merasakan firasat buruk. Dia lalu beringsut mundur, berusaha menjaga jarak dari Beni, tetapi, sial, langkahnya justru menubruk tepian ranjang hingga dia jatuh terduduk di atasnya.

“Kalian para orang yang merasa terhormat dan sombong, harus tahu bagaimana kerasnya hidup jadi orang yang dipandang sebelah mata.”

“Kak Beni ....” Bulan memanggil lirih, masih berharap Beni tidak akan gelap mata. Meskipun Bulan tahu, Beni sedang dikuasai amarah.

“Papa kamu bilang, aku berandalan, kan?” tanya Beni, lalu kembali menyeringai asimetris. “Biar aku tunjukkan seberapa berandalnya aku.”

Air mata Bulan tentu saja langsung mengalir deras karena ketakutan. Apalagi Bulan melihat Beni mulai menanggalkan jaket dan kausnya. Bulan ingin lari, ingin menuju pintu lalu kabur, tetapi tubuhnya seolah terpaku di tempat karena rasa takut.

Tidak ada yang bisa Bulan lakukan selain menangis. Suaranya pun seolah hilang entah ke mana hingga dia bahkan tidak berteriak meminta pertolongan. Mungkin Bulan takut atau malah sudah pasrah karena mustahil untuk berharap bantuan dari tetangga kamarnya yang semua sedang pulang kampung kecuali Antika yang sekarang entah di mana. 

Bagian atas Beni sudah polos. Bulan bahkan bisa melihat dengan jelas tato sayap burung  yang tergambar di sepanjang dada atas hingga leher Beni. Merasa tidak pantas, Bulan berusaha memalingkan wajah agar tidak melihat apa yang ada di hadapannya. 

Sementara itu, Beni justru menatap Bulan lekat dengan tatapan penuh nafsu yang menyeramkan. Beni bahkan juga sudah tidak peduli dengan tangis gadis yang katanya dia cintai itu.

“Jangan menangis, Bulan. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu,” kata Beni sambil mengusap pipi Bulan yang basah karena air mata.

Bulan menggeleng kuat.

“Kamu mau ngomong sesuatu, Bulan sayang?” tanya Beni sambil mencengkeram rahang Bulan dengan jarinya.

“Aku mohon, jangan, Kak!”

Mendengar permohonan Bulan, Beni tersenyum. “Biar orang tuamu tahu bagaimana rasanya direndahkan, Sayang.” Beni mulai membuka perlahan kancing kemeja lengan pendek yang Bulan pakai.

“Please, jangan! Jangan begini, Kak.” Bulan memohon, tetapi Beni sudah tidak mau peduli lagi. “Maafin aku, maafin orang tuaku. Maaf, Kak, maaf.”

“Aku mencintaimu, tapi karena itu aku jadi seperti sampah yang rendah dan tak berharga.”

“Maaf, Kak.”

Beni menggeleng. “Aku terlanjur menginginkanmu untuk aku miliki walaupun harus dengan paksaan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Tentang Niatnya

    “Ibu, kenapa akte kelahiranku beda sama teman-teman, Bu? Di akte teman-temanku, semua tulisannya ada nama ayah sama ibunya, tapi punyaku, cuma ada nama ibu. Memang benar ya kalau aku nggak punya ayah?”“Langit, kamu nggak boleh ngomong gitu. Setiap anak pasti punya ayah. Suatu saat, ayah kamu pasti datang.”“Ibu bohong! Ibu selalu bilang begitu dari dulu tapi apa? Sampai aku sudah mau lulus SD, aku nggak pernah lihat ayah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu, Bu.”“Langit, ayah kamu itu orang hebat, Nak. Dia sibuk. Kamu sabar ya.”“Siapa namanya, Bu?”“Namanya ….”“Langit, penghulu sudah datang.” Ucapan sang ayah menyadarkan Langit dari lamunan tentang masa kecilnya.“Oh ya. Sebentar. Langit pakai peci dulu,” kata Langit. Dia kemudian menatap cermin sembari memakai peci abu-abu senada dengan pakaian yang dia kenakan.“Duh! Anak ayah ganteng sekali. Jadi ingat waktu Ayah muda. Ck, benar kata orang-orang kalau kamu versi 2.0 dari Ayah,” kata Pramono.Mendengar itu, Langit tersenyum getir

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Pesona Pertama

    Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk. “Deg-degan?” Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab. “Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut. “Ayah ngeledek aku?” “Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.” “Aamiin.” “Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais. “Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit. “Kenapa?” “Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?” Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!” “Masyaallah,

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Sebuah Solusi

    Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia te

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Menuai Akibat

    “Hai, kamu lulusan tahun berapa?”Seseorang dengan jaket jeans menyapa. “Aku … baru lulus tahun ini, Kak.” Bulan menjawab dengan nada sedikit ragu. “Oh, baru lulus. Nama kamu?” Orang itu bertanya lagi. “Rembulan” “Wow, nama yang sesuai sama orangnya. Cantik. Kalau istilah sekarang, glowing. Oh iya, kenalin. Aku … Handarbeni Utomo. Panggil aja Beni.” Seandainya Bulan tidak datang pada acara reuni lintas angkatan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Dia tidak akan mengenal Beni. Dia juga tidak perlu mengalami hal seperti ini. Waktu itu, Bulan yang baru lulus terlalu bersemangat untuk datag karena ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi setelah beberapa bulan mereka berpisah dan jadi mahasiswa baru, “Bulan, ini kuesioner kelompok kita. Udah beres tugasku ya. Sekarang bagian kamu input datanya.” Seseorang menyodorkan beberapa lembar kertas yang dijepit jadi satu kepada Bulan. Namun, Bulan malah bergeming. “Bulan.” Orang itu memanggilnya lagi. “Lan?” “Oh iya, m

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Malam Menjijikkan

    “Bulan, aku pamit!”Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.“Sama Laili.”“Laili balik tadi siang, Kak.”“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”Bulan mencebik sambil mengangguk.“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status