“Hai, kamu lulusan tahun berapa?”Seseorang dengan jaket jeans menyapa.
“Aku … baru lulus tahun ini, Kak.” Bulan menjawab dengan nada sedikit ragu. “Oh, baru lulus. Nama kamu?” Orang itu bertanya lagi. “Rembulan” “Wow, nama yang sesuai sama orangnya. Cantik. Kalau istilah sekarang, glowing. Oh iya, kenalin. Aku … Handarbeni Utomo. Panggil aja Beni.” Seandainya Bulan tidak datang pada acara reuni lintas angkatan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Dia tidak akan mengenal Beni. Dia juga tidak perlu mengalami hal seperti ini. Waktu itu, Bulan yang baru lulus terlalu bersemangat untuk datag karena ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi setelah beberapa bulan mereka berpisah dan jadi mahasiswa baru, “Bulan, ini kuesioner kelompok kita. Udah beres tugasku ya. Sekarang bagian kamu input datanya.” Seseorang menyodorkan beberapa lembar kertas yang dijepit jadi satu kepada Bulan. Namun, Bulan malah bergeming. “Bulan.” Orang itu memanggilnya lagi. “Lan?” “Oh iya, maaf.” Bulan akhirnya tersadar dari lamunannya tentang reuni SMA yang mempertemukannya dengan Beni. “Makasih ya. Aku kelarin secepatnya biar kita punya lebih banyak waktu belajar sebelum presentasi ke dosen.” “Oke. Tapi, ngomong-ngomong, kamu agak pucet, Lan. Sakit?” Bulan menggeleng. “Enggak kok. Lagi capek aja kayaknya. Kita lagi banyak deadline kan? jadi kurang tidur..” Teman satu kelompok Bulan dalam tugas kuesioner itu tersenyum. “Jaga kesehatan, Lan. Jangan terlalu stres. Kalau kata orang Jawa, ojo sepaneng.” Temannya itu kemudian mengusap bahu Bulan dan melangkah pergi setelah Bulan mengangguk. Bulan menghela napas panjang. Setelah kejadian malam itu, Bulan memang lebih sering melamun. Dia gagal fokus melakukan banyak hal. Padahal, kejadian gila yang merenggut kesuciannya itu sudah berlalu lima bulan lalu. Luka yang ditorehkan Beni benar-benar membekas. Bahkan setiap sentuhan yang Beni lakukan seperti masih terus terasa di kulit Bulan. Tak jarang, Bulan masih suka menggosok bagian tubuhnya dengan gosokan kuat saat mandi. Pandangan Bulan tiba-tiba kabur saat dia bangkit dari kursi yang diduduki. Dia nyaris ambruk kehilangan kesadaran kalau saja tidak segera kembali duduk. Kepalanya pusing luar biasa. Isi perutnya seperti ingin tumpah keluar. Di tengah rasa sakit, Bulan mengusap perutnya. Ya, sudah dua puluh dua minggu, tetapi belum ada yang tahu. Postur Bulan yang tinggi ditambah kepintaran dia memadukan pakaian, membuat baby bump tersamarkan sempurna. Tinggal tunggu saja nanti saat semua sudah benar-benar tidak bisa ditutupi lagi. Apa yang bisa Bulan lakukan selain pasrah dan menerima semuanya? Bulan bahkan belum bercerita kepada siapa pun soal apa yang dia alami. Penderitaan akibat pemerkosaan malam itu, dia tanggung sendiri. Bulan takut, malu, dan merasa hina untuk menceritakan hal itu. Dia memang korban, tetapi saat mengingat apa yang terjadi malam itu, dia tetap merasa kotor karena dia tidak sanggup memberontak dan malah cenderung pasrah dengan tindakan Beni. Bulan merasa tidak becus menjaga dirinya sendiri karena luluh lantah saat sentuhan Beni semakin intim. Perlahan, air mata yang sejak tadi Bulan tahan pun menetes. Dia selalu berubah melankolis saat merasakan dampak kehamilan seperti ini. Beruntung, Bulan saat ini sedang sendiri karena kelas sudah kosong. Tadi, Rara adalah orang terakhir yang keluar. Ponsel dalam kantong tote bag milik Bulan, bergetar. Nama mamanya tertera pada layar. Ternyata, meskipun pemaksa, egois, dan tidak pernah bisa dibantah, naluri keibuan sang mama tetap kuat pada Bulan. Dia menelepon Bulan di saat yang tepat. “Halo, Ma,” sapa Bulan setelah dengan terburu-buru menghapus air matanya. “Lan, kamu pilek?” Bulan menarik napas dalam-dalam. Sang mama pasti menyadari perubahan suaranya. “Iya, Ma. Tadi tu lewat gedung kuliah yang lagi direnovasi, jadi debunya ke mana-mana. Bulan jadi ingusan deh.” “Makanya, pakai masker kalau ke mana-mana. Jaga kesehatan! Ingat, IPK kamu harus naik akhir semester ini. Semester dua kemarin kan jeblok” Jelas semester lalu jeblok. Saat itu, Bulan harus menghadapi ujian tidak lama setelah pemerkosaan itu terjadi. “Mama mimpiin kamu terus akhir-akhir ini.” “Mimpi apa?” “Mimpi kamu ketakutan sambil manggil Mama.” Bulan terdiam. Dia tidak menyangka firasat sang mama benar-benar kuat. Ibu tetaplah ibu, meskipun dia tidak terlalu bersahabat. “Lan.” “Iya, Ma.” “Kamu nggak papa kan?” Lagi, Bulan terdiam. Dia jadi bimbang sendiri. Apa mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya? *** Plak! Sebuah tamparan keras seketika membuat tangis tersedu-sedu Bulan berubah menjadi makin histeris. Air matanya makin mengalir deras seiring dengan kata maaf yang tidak hentinya keluar dari mulutnya. “Maaf, Ma, Pa. Maafin Bulan.” Plak! “Cukup, Papa, cukup!” teriak Bulan saat sang papa kembali menampar. Bukan, bukan menampar Bulan. Sang papa justru mengarahkan tamparan itu pada dirinya sendiri. “Dari awal Papa sudah nggak setuju kamu kuliah di luar kota. Sekarang, kejadian, kan? Kamu jadi anak liar. Hidup bebas tidak tahu aturan sampai hamil.” Herdi Suseno, papa Bulan berucap dengan nada tinggi. Kekecewaan jelas terpancar di wajahnya. Tentu saja, ayah mana yang tidak merasa hancur saat mendapati putri satu-satunya hamil di luar nikah. “Dengan siapa kamu melakukannya?” tanya sang papa. Bulan yang air matanya masih terus berlinang menjawab, “Kak Beni.” “Apa? Ya Tuhan! Anak urakan itu sudah benar-benar merusak kamu! Ini akibat kamu nggak nurut sama Mama Papa buat ngejauhin dia!” kata mamanya. “Papa bakal cari si berengsek itu! Papa seret dia ke penjara atas tuduhan tindak asusila,” ucap Herdi dengan emosi. Dia lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana, berniat melakukan panggilan. “Jangan, Pa. Papa mau apa penjarain Kak Beni? Kita melakukannya atas dasar suka, Pa.” “Kamu gila?” sang mama memekik terkejut mendengar pengakuan Bulan. Bagaimana bisa putrinya bertindak sebodoh itu? “Maaf. Kami … khilaf.” “Jadi benar kamu mencintai si berengsek itu juga?” Herdi tertawa sinis. “Lalu kamu sama dia sengaja berbuat gila sampai akhirnya hamil begini biar Papa sama Mama luluh dan merestui kalian, begitu?” “Kamu kelewatan, Bulan!” Mamanya menambahi. Bulan menggeleng. Dia tidak berniat begitu sama sekali. Bahkan sejak malam itu, Bulan tidak lagi sudi untuk bertemu Beni. Pengakuan Bulan tentang kehamilannya atas dasar suka sama suka hanya karena dia lelah. Dia tidak ingin berurusan dengan polisi. Dia terlalu sakit untuk kembali bercerita tentang kejadian malam itu. Yang Bulan butuhkan hanya kedamaian dan tempat untuk bernaung yang membuatnya merasa tidak sendiri lagi menghadapi semua ini. Lagi pula, apa gunanya lapor polisi? tubuh Bulan juga tidak akan kembali utuh. Dia tetap kotor dan masa depannya tetap hancur. “Tidak akan ada pernikahan antara kamu dan si berengsek itu!” Herdi memberikan keputusan tegas. “Papa akan cari jalan keluar lain.” Bulan tidak menaggapi apa pun. Sambil masih tetap menangis, dia hanya menatap papanya yang melangkah pergi. Bukankah seharusnya begitu? Sejak dulu apa yang terjadi pada hidup Bulan memang atas keputusan orang tuanya, bukan orang lain dan bukan Bulan sendiri. Setelah ini, entah takdir apa yang orang tuanya pilihkan, Bulan siap dan pasrah menerimanya.Enam tahun yang laluTak kurang dari dua puluh orang berkumpul di sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Mereka yang mayoritas berjaket gelap itu memfokuskan pandangan pada lelaki bertubuh tinggi yang sedang berdiri berkacak pinggang. Dia, sosok paling mencolok di antara yang lain karena mengenakan flanel merah itu, berkata, "Gue harap siapa pun pelakunya, ngaku sekarang, sebelum gue repot-repot ngecek satu-satu tato di badan kalian karena kalau ternyata kalian terbukti bohongin gue, kalian bakal tahu akibatnya."Semua yang di sana diam. Beberapa saling menoleh lalu berbisik, beberapa menggeleng, meyakinkan bahwa mereka bukan pelaku yang dicari, dan beberapa yang lain hanya diam tertunduk karena takut akan ancaman pemimpin mereka meski mereka tak melakukan apa pun."Berkali-kali gue udah bilang, jangan recokin pembangunan fasilitas umum! Termasuk pasar. Mikir dong pakai otak! Sebagian kalian nyari duit di situ. Emang kalian nggak mau pasar jadi bagus, hah? Kalian mau pasar te
Mas Langit: Bulan, perasaanmu belum baikan ya? Maaf soal ketidakjujuranku tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu ya.Mas Langit: Istriku yang cantik, apa perasaanmu sudah membaik? Ini aku sudah di sekolah. lagi ngawasi anak murid main voli.Mas Langit: Sudah ya sedihnya. Aku minta maaf sekali. Sedihmu bikin dedek bayi sedih juga. Ayo senyum lagi.Bulan meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Dia belum berminat membalas rentetan chat dari sang suami. Tidak, dia tidak marah pada Langit karena Bulan justru sebal dengan dirinya sendiri yang tidak becus jadi istri. Langit terlalu baik. Bulan hanya ingin menjadi istri yang baik juga agar Langit bahagia.“Duaar!”Seseorang mengejutkan Bulan.“Bu Darti,” ucap Bulan setelah mendapati asisten rumah tangganya itu.“Ibu hamil jangan kebanyakan ngelamun nanti auranya nggak positif. Kasihan bayi dalam perut,” kata Bu Darti.Bulan tersenyum getir. “Lagi galau,” ucapnya.“Cantik-cantik kok galau. Kenapa sih, Bulan? Hidupmu udah enak. Wajah cantik, dui
Dengan sedikit ragu, Langit menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup dan lampunya tak menyala. Dia sengaja memilih tempat itu agar keberadaannya tak mengundang kecurigaan.Dari jarak sekitar sepuluh meter, Langit bisa melihat sebuah warung bertuliskan Warung kopi Bagas Waras. Sebuah tempat yang sedari bertahun lalu menjadi tempat nongkrong anak-anak geng scorpio.Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobil Langit."Masuk," kata Langit setelah membuka pintu sebelah kirinya."Ini hasil print out yang Mas Bos minta," kata orang itu sambil mengulurkan kertas dokumen yang dibungkus plastik kepada Langit."Oh iya. Ini buat bayar ngeprintnya." Langit memberikan lembaran dua puluh ribuan."Nggak usah, Mas. Mana bisa gue nerima bayaran ngeprint dari orang yang beliin gue tiga unit komputer, dua printer, dan mesin potokopi, hmm?""Ya jangan gitu, Dis." Langit bersikeras memberikan uangnya. Namun, Yudis tetap menggeleng."Oke, semoga rejeki lo makin lancar. Usaha cetak dan fo
"Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi
Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m
Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa