Share

Sebuah Solusi

Penulis: Mustika Shaleha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 21:43:15

Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.

Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.

Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.

Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia terduduk di lantai sambil memeluk lututnya sendiri.

Apa yang harus gue lakuin kalau sampai Mama dan papa tahu? Masa depan gue, kuliah gue, impian Mama dan Papa. Enggak! Gue baru sembilan belas tahun. Gue nggak mau hamil.

Rasa takut sekaligus khawatir jelas Bulan rasakan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika anak ini terus berkembang. Mungkin menghubungi Beni bisa menjadi pilihan, tetapi apa iya lelaki itu mau bertanggung jawab? Bulan tidak yakin karena saat itu saja, Beni begitu marah pada Bulan dan orang tuanya.

Tangan Bulan bergerak mengusap perutnya. Ingatan mengenai upayanya untuk membunuh janin dalam perutnya tiba-tiba muncul. Bulan benar-benar kacau di trimester awal. Tidak ada yang dia pikirkan kecuali menggugurkan janin dalam perutnya. Mulai dari minum obat, makan nanas, makan durian, minum soda, sudah dia lakukan semuanya. Dia bahkan berusaha mencari banyak referensi di internet tentang bagaimana menggugurkan kandungan. Semua dia coba kecuali satu, mendatangi klinik aborsi. Bulan tidak punya cukup nyali untuk yang satu itu.

Dug!

Bulan merasakan gerakan di dalam perutnya. Dia pun tersenyum. Ada kehangatan dan rasa bahagia yang tidak bisa tergambarkan menyelimuti hatinya. Dia pun mengelus perutnya lagi. Memang sudah seharusnya sejak awal Bulan tidak berniat membunuh anak ini. Anak ini tidak bersalah. Anak ini suci dan tidak mengerti apa-apa. Beni dan Bulan yang berdosa.

Bulan menggeser posisinya yang terlentang menjadi berbaring ke kanan dengan gerakan perlahan. Dia meraih ponsel di atas meja dekat tempat tidur, lalu mulai membuka aplikasi untuk ibu hamil demi mencari informasi tentang kesehatan ibu dan bayi. Sudah lima hari sejak orang tuanya tahu tentang kehamilan Bulan. Tidak ada lagi tangis pilu darinya. Entah karena Bulan sudah mulai berdamai dengan keadaan atau justru karena Bulan sudah lelah dan bosan menangis. Yang jelas, sejak lima hari itu, Bulan tidak lagi diizinkan ke luar rumah termasuk kembali berkuliah..

 “Bulan, kamu cepat mandi, terus siap-siap,” kata mamanya yang berdiri di depan pintu kamar. Wanita paruh baya itu sudah berpakaian rapi.

“Memangnya mau ke mana, Ma?”

 “Keluarga calon suami kamu mau ke sini,” kata sang mama.

“Calon suami?” Bulan mempertanyakan pernyataan mamanya itu. “Maksud Mama siapa?” tanya Bulan yang langsung mendudukkan tubuhnya.

Bulan jelas terkejut dengan hal ini. Bagaimana bisa tiba-tiba mamanya menyinggung soal calon suami. Memangnya, siapa yang mau menikahi Bulan?

“Yang jelas bukan si berandalan itu,” jawab sang mama.

Bulan makin terperangah. Situasi semakin membuatnya bingung.

“A-ada … laki-laki lain yang mau menikahi aku, Ma?” tanya Bulan lagi yang masih belum bisa mengerti dengan apa yang mamanya maksud.

“Ya begitulah. Sudah, jangan banyak tanya lagi, pokoknya kamu siap-siap.”

“Mama sama Papa serius soal ini?” Kini, Bulan sudah berdiri sambil melangkah mendekati mamanya.

“Di bagian mana Mama bercanda, Bulan? Ini demi menutupi aib keluarga karena ulah kamu! Apa kata teman dosen Mama kalau tahu anak Mama satu-satunya hamil di luar nikah? Kolega bisnis Papa kamu juga gimana?”

Ternyata semua tetap demi Papa sama Mama. Bukan demi gue dan masa depan gue, batin Bulan.

“Tapi … laki-laki mana yang sudi nerima perempuan hamil, Mama? Ini mustahil.”

“Nyatanya dia mau. Keluarganya pun setuju, Bulan.”

“Pasti Mama sama Papa bikin perjanjian konyol sama dia dan keluarganya, iya, kan?” tuduh Bulan. Dia tahu, pasti semua ini tidak jauh-jauh dari uang.

“Mama sama Papa kasih imbalan apa sampai laki-laki itu sudi menerima perempuan hamil untuk jadi istri?” tanya Bulan lagi.

“Tidak ada perjanjian apa pun, Bulan. Kamu jangan menuduh orang tuamu sendiri. Kami tidak memberikan imbalan apa pun sama laki-laki itu apalagi dengan membuat perjanjian harta benda,” jelas mamanya.

“Oke, lalu, atas dasar apa dia mau menikahi Bulan, Ma?”

“Atas dasar kemauannya sendiri, Bulan.”

“Mustahil! Ini mencurigakan, Ma.”

“Mencurigakan bagaimana, Lan? Calon suamimu ini dari keluarga baik-baik.”

“Nggak ada keluarga baik-baik yang mau nerima perempuan ternoda jadi menantunya, Ma. Ini makin mencurigakan. Kalau mereka akhirnya berbuat jahat sama Bulan, gimana?”

“Cukup, Bulan! Hentikan pikiran buruk kamu! Mama sama Papa cuma berusaha yang terbaik buat kamu. Memangnya, kamu punya rencana yang lebih baik buat selamatkan nama baik keluarga kita,, hah?”

Bulan sontak terdiam. Dia jelas tak bisa membantah karena Bulan sama sekali tak punya rencana untuk masa depannya sendiri setelah semua tragedi yang menimpa.

“Setelah pertemuan ini, pernikahan kalian harus disegerakan sebelum berita kehamilan kamu merebak.”

“Tapi ini bukan anak laki-laki itu, Ma. Aku sudah bilang berkali-kali ini anak ....”

“Beni? Berandalan itu? Sekalipun itu anak dia, Mama sama Papa nggak mungkin menikahkan kamu sama dia. Anak itu nggak punya masa depan.”

“Memangnya, laki-laki yang Mama dan Papa sewa, punya masa depan?” tanya Bulan.

“Jelas punya. Dia seorang guru dan punya beberapa usaha sampingan. ”

“Gu-guru?” Bulan jelas terkejut.

Mamanya mengangguk. “Hmm … Ayahnya pengacara yang cukup punya nama, Lan. Jadi, sesuailah sama keluarga kita. Sudah, ikuti saja semuanya. Ini juga demi kebaikan kamu, Bulan,” tandas sang mama.

Bulan terdiam. Dia yang sudah pasrah, akhirnya kembali duduk di tepian ranjangnya. “Mama yakin ini demi kebaikan aku?” tanyanya.

Sang mama mengangguk. “Mama sudah kirim dokumen CV calon suami kamu ke email. Kamu bisa lihat di sana kalau dia memang bukan lelaki biasa dan jelas lebih baik daripada si berandalan itu!”

Wanita yang telah melahirkan Bulan itu membelai rambut putrinya sekilas. “Lan, kamu tahu kan kalau Papa sama Mama selalu mau yang terbaik buat kamu?”

Sekalipun gamang, Bulan akhirnya tetap mengangguk. Kini, Bulan hanya bisa berharap jika pernikahan yang dirancang kedua orang tuanya tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

“Mama ke dapur dulu, bantuin si bibi siapin hidangan.”

Setelah sang mama pergi, Bulan pun meraih ponselnya di ranjang. Dengan tangan agak gemetar, Bulan membuka email berisi dokumen daftar riwayat hidup calon suaminya. Sebuah dokumen yang membuat Bulan cukup tahu bahwa dia akan dinikahi laki-laki berusia tiga puluh lima tahun alias hampir dua kali lipat dari umurnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Sayap Burung

    Enam tahun yang laluTak kurang dari dua puluh orang berkumpul di sebuah gedung yang pembangunannya terbengkalai. Mereka yang mayoritas berjaket gelap itu memfokuskan pandangan pada lelaki bertubuh tinggi yang sedang berdiri berkacak pinggang. Dia, sosok paling mencolok di antara yang lain karena mengenakan flanel merah itu, berkata, "Gue harap siapa pun pelakunya, ngaku sekarang, sebelum gue repot-repot ngecek satu-satu tato di badan kalian karena kalau ternyata kalian terbukti bohongin gue, kalian bakal tahu akibatnya."Semua yang di sana diam. Beberapa saling menoleh lalu berbisik, beberapa menggeleng, meyakinkan bahwa mereka bukan pelaku yang dicari, dan beberapa yang lain hanya diam tertunduk karena takut akan ancaman pemimpin mereka meski mereka tak melakukan apa pun."Berkali-kali gue udah bilang, jangan recokin pembangunan fasilitas umum! Termasuk pasar. Mikir dong pakai otak! Sebagian kalian nyari duit di situ. Emang kalian nggak mau pasar jadi bagus, hah? Kalian mau pasar te

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Fakta dari Darti

    Mas Langit: Bulan, perasaanmu belum baikan ya? Maaf soal ketidakjujuranku tadi. Aku berangkat ke sekolah dulu ya.Mas Langit: Istriku yang cantik, apa perasaanmu sudah membaik? Ini aku sudah di sekolah. lagi ngawasi anak murid main voli.Mas Langit: Sudah ya sedihnya. Aku minta maaf sekali. Sedihmu bikin dedek bayi sedih juga. Ayo senyum lagi.Bulan meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Dia belum berminat membalas rentetan chat dari sang suami. Tidak, dia tidak marah pada Langit karena Bulan justru sebal dengan dirinya sendiri yang tidak becus jadi istri. Langit terlalu baik. Bulan hanya ingin menjadi istri yang baik juga agar Langit bahagia.“Duaar!”Seseorang mengejutkan Bulan.“Bu Darti,” ucap Bulan setelah mendapati asisten rumah tangganya itu.“Ibu hamil jangan kebanyakan ngelamun nanti auranya nggak positif. Kasihan bayi dalam perut,” kata Bu Darti.Bulan tersenyum getir. “Lagi galau,” ucapnya.“Cantik-cantik kok galau. Kenapa sih, Bulan? Hidupmu udah enak. Wajah cantik, dui

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Debaran

    Dengan sedikit ragu, Langit menepikan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup dan lampunya tak menyala. Dia sengaja memilih tempat itu agar keberadaannya tak mengundang kecurigaan.Dari jarak sekitar sepuluh meter, Langit bisa melihat sebuah warung bertuliskan Warung kopi Bagas Waras. Sebuah tempat yang sedari bertahun lalu menjadi tempat nongkrong anak-anak geng scorpio.Seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobil Langit."Masuk," kata Langit setelah membuka pintu sebelah kirinya."Ini hasil print out yang Mas Bos minta," kata orang itu sambil mengulurkan kertas dokumen yang dibungkus plastik kepada Langit."Oh iya. Ini buat bayar ngeprintnya." Langit memberikan lembaran dua puluh ribuan."Nggak usah, Mas. Mana bisa gue nerima bayaran ngeprint dari orang yang beliin gue tiga unit komputer, dua printer, dan mesin potokopi, hmm?""Ya jangan gitu, Dis." Langit bersikeras memberikan uangnya. Namun, Yudis tetap menggeleng."Oke, semoga rejeki lo makin lancar. Usaha cetak dan fo

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Geng Scorpio

    "Saya tegaskan sekali lagi. Ini anak saya. Anak Bulan adalah anak saya. Jadi, jangan pernah kamu mengganggu dia lagi."“Aaargh, bangsat!” Beni mengumpat sambil melempar kaleng minuman kosong yang sejak tadi digenggamnya setelah isinya tandas."Eh, Anjing! Itu kaleng kalau kena jidat pelanggan gue gimana? Mau matiin warung gue, lo?" Seorang lelaki dengan kaus bergambar tengkorak, bertanya dengan nada sebal."Kasih gue sekaleng bir lagi," kata Beni alih-alih menanggapi kekesalan pemilik warung.Dengan masih cemberut si pemilik warung memberikan sekaleng bir dari dalam kulkas kepada Beni. "Ini bir nol alkohol. Mau lo minum satu tanki juga nggak bakalan mabok. Beli ciu sana kalau otak lo lagi budrek!""Masih sore, bangsat! Ntar kalau udah gelap gue mabok," kata Beni lalu membuka kaleng bir itu dan meminumnya."Lo lagi kenapa sih? Nggak jelas amat."Beni tersenyum kecut. "Hidup gue emang nggak pernah jelas, Gas.""Iya juga sih," ucap Bagas si pemilik warung. Dia lanjut menata piring berisi

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Ceritakan

    Segelas susu hangat, Langit letakkan di atas karpet di dekat Bulan yang kini duduk serius menatap laptop. Aah tidak, mode serius Bulan langsung terganggu saat aroma sabun yang maskulin menggelitik indera penciumannya.“Mas, udah?” Ucapnya.Langit mengangguk. “Diminum dulu susunya.““Nanti.”“Bulan, minum susu dulu.”Bulan menggeleng. Dia lalu menggeser posisi laptopnya dan berganti menatap Langit dengan serius. “Mas pasti marah ya?” Ucapnya.“Kata siapa?”“Kataku.”“Dan itu nggak bener.”Bulan mengerucutkan bibir. “Mas, Mas Langit jangan marah ya. Please. Aku bakal jelasin semuanya. Aku ….”“Aku nggak marah, Bulan,” potong Langit.“Beneran?”Langit mengangguk. “Orang marah nggak mungkin bikinin kamu susu.”Bulan langsung nyengir. “Iya juga sih. Tapi … Aku tetep aja nggak enak. Kehadiran Kak Beni pasti mengusik Mas Langit, kan?”Langit mengangguk jujur.“Maaf,” ucap Bulan.“Aku benci ucapan dia yang merendahkan kamu. Kesel banget rasanya. Sampai aku harus mandi dulu biar otakku nggak m

  • Rembulan dalam Dekapan Langit   Kedatangan Beni

    Dengan laptop di atas meja lipat, Bulan duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Ahh tulang belakangnya memang sudah mulai rewel belakangan ini. Mungkin karena beban perutnya semakin berat. Apalagi setelah dia tahu kalau Bu Darti hari ini tidak datang, Bulan memutuskan untuk melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga, jadilah punggungnya makin sakit.“Oke, mari kita nyalakan laptop. Istirahat sudah cukup,” gumam Bulan sendirian. Dia menyalakan laptop dua belas incinya, kemudian mengakses laman akademik kampus untuk mengurus cuti kuliah seperti yang Langit sarankan.“Oh, ternyata pakai surat pernyataan sama scan kartu mahasiswa juga. Oke, mari kita buat dulu,” gumam Bulan lagi.Lalu, baru saja dia hendak mulai menulis surat pernyataan, suara ketukan pintu depan terdengar dari ruang tengah tempatnya berada saat ini.“Mas Langit? Masa iya, udah pulang?” Gumam Bulan sembari bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju pintu.Seketika Bulan terperangah saat mendapa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status