Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.
Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.
Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.
Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia terduduk di lantai sambil memeluk lututnya sendiri.
Apa yang harus gue lakuin kalau sampai Mama dan papa tahu? Masa depan gue, kuliah gue, impian Mama dan Papa. Enggak! Gue baru sembilan belas tahun. Gue nggak mau hamil.
Rasa takut sekaligus khawatir jelas Bulan rasakan. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika anak ini terus berkembang. Mungkin menghubungi Beni bisa menjadi pilihan, tetapi apa iya lelaki itu mau bertanggung jawab? Bulan tidak yakin karena saat itu saja, Beni begitu marah pada Bulan dan orang tuanya.
Tangan Bulan bergerak mengusap perutnya. Ingatan mengenai upayanya untuk membunuh janin dalam perutnya tiba-tiba muncul. Bulan benar-benar kacau di trimester awal. Tidak ada yang dia pikirkan kecuali menggugurkan janin dalam perutnya. Mulai dari minum obat, makan nanas, makan durian, minum soda, sudah dia lakukan semuanya. Dia bahkan berusaha mencari banyak referensi di internet tentang bagaimana menggugurkan kandungan. Semua dia coba kecuali satu, mendatangi klinik aborsi. Bulan tidak punya cukup nyali untuk yang satu itu.
Dug!
Bulan merasakan gerakan di dalam perutnya. Dia pun tersenyum. Ada kehangatan dan rasa bahagia yang tidak bisa tergambarkan menyelimuti hatinya. Dia pun mengelus perutnya lagi. Memang sudah seharusnya sejak awal Bulan tidak berniat membunuh anak ini. Anak ini tidak bersalah. Anak ini suci dan tidak mengerti apa-apa. Beni dan Bulan yang berdosa.
Bulan menggeser posisinya yang terlentang menjadi berbaring ke kanan dengan gerakan perlahan. Dia meraih ponsel di atas meja dekat tempat tidur, lalu mulai membuka aplikasi untuk ibu hamil demi mencari informasi tentang kesehatan ibu dan bayi. Sudah lima hari sejak orang tuanya tahu tentang kehamilan Bulan. Tidak ada lagi tangis pilu darinya. Entah karena Bulan sudah mulai berdamai dengan keadaan atau justru karena Bulan sudah lelah dan bosan menangis. Yang jelas, sejak lima hari itu, Bulan tidak lagi diizinkan ke luar rumah termasuk kembali berkuliah..
“Bulan, kamu cepat mandi, terus siap-siap,” kata mamanya yang berdiri di depan pintu kamar. Wanita paruh baya itu sudah berpakaian rapi.
“Memangnya mau ke mana, Ma?”
“Keluarga calon suami kamu mau ke sini,” kata sang mama.
“Calon suami?” Bulan mempertanyakan pernyataan mamanya itu. “Maksud Mama siapa?” tanya Bulan yang langsung mendudukkan tubuhnya.
Bulan jelas terkejut dengan hal ini. Bagaimana bisa tiba-tiba mamanya menyinggung soal calon suami. Memangnya, siapa yang mau menikahi Bulan?
“Yang jelas bukan si berandalan itu,” jawab sang mama.
Bulan makin terperangah. Situasi semakin membuatnya bingung.
“A-ada … laki-laki lain yang mau menikahi aku, Ma?” tanya Bulan lagi yang masih belum bisa mengerti dengan apa yang mamanya maksud.
“Ya begitulah. Sudah, jangan banyak tanya lagi, pokoknya kamu siap-siap.”
“Mama sama Papa serius soal ini?” Kini, Bulan sudah berdiri sambil melangkah mendekati mamanya.
“Di bagian mana Mama bercanda, Bulan? Ini demi menutupi aib keluarga karena ulah kamu! Apa kata teman dosen Mama kalau tahu anak Mama satu-satunya hamil di luar nikah? Kolega bisnis Papa kamu juga gimana?”
Ternyata semua tetap demi Papa sama Mama. Bukan demi gue dan masa depan gue, batin Bulan.
“Tapi … laki-laki mana yang sudi nerima perempuan hamil, Mama? Ini mustahil.”
“Nyatanya dia mau. Keluarganya pun setuju, Bulan.”
“Pasti Mama sama Papa bikin perjanjian konyol sama dia dan keluarganya, iya, kan?” tuduh Bulan. Dia tahu, pasti semua ini tidak jauh-jauh dari uang.
“Mama sama Papa kasih imbalan apa sampai laki-laki itu sudi menerima perempuan hamil untuk jadi istri?” tanya Bulan lagi.
“Tidak ada perjanjian apa pun, Bulan. Kamu jangan menuduh orang tuamu sendiri. Kami tidak memberikan imbalan apa pun sama laki-laki itu apalagi dengan membuat perjanjian harta benda,” jelas mamanya.
“Oke, lalu, atas dasar apa dia mau menikahi Bulan, Ma?”
“Atas dasar kemauannya sendiri, Bulan.”
“Mustahil! Ini mencurigakan, Ma.”
“Mencurigakan bagaimana, Lan? Calon suamimu ini dari keluarga baik-baik.”
“Nggak ada keluarga baik-baik yang mau nerima perempuan ternoda jadi menantunya, Ma. Ini makin mencurigakan. Kalau mereka akhirnya berbuat jahat sama Bulan, gimana?”
“Cukup, Bulan! Hentikan pikiran buruk kamu! Mama sama Papa cuma berusaha yang terbaik buat kamu. Memangnya, kamu punya rencana yang lebih baik buat selamatkan nama baik keluarga kita,, hah?”
Bulan sontak terdiam. Dia jelas tak bisa membantah karena Bulan sama sekali tak punya rencana untuk masa depannya sendiri setelah semua tragedi yang menimpa.
“Setelah pertemuan ini, pernikahan kalian harus disegerakan sebelum berita kehamilan kamu merebak.”
“Tapi ini bukan anak laki-laki itu, Ma. Aku sudah bilang berkali-kali ini anak ....”
“Beni? Berandalan itu? Sekalipun itu anak dia, Mama sama Papa nggak mungkin menikahkan kamu sama dia. Anak itu nggak punya masa depan.”
“Memangnya, laki-laki yang Mama dan Papa sewa, punya masa depan?” tanya Bulan.
“Jelas punya. Dia seorang guru dan punya beberapa usaha sampingan. ”
“Gu-guru?” Bulan jelas terkejut.
Mamanya mengangguk. “Hmm … Ayahnya pengacara yang cukup punya nama, Lan. Jadi, sesuailah sama keluarga kita. Sudah, ikuti saja semuanya. Ini juga demi kebaikan kamu, Bulan,” tandas sang mama.
Bulan terdiam. Dia yang sudah pasrah, akhirnya kembali duduk di tepian ranjangnya. “Mama yakin ini demi kebaikan aku?” tanyanya.
Sang mama mengangguk. “Mama sudah kirim dokumen CV calon suami kamu ke email. Kamu bisa lihat di sana kalau dia memang bukan lelaki biasa dan jelas lebih baik daripada si berandalan itu!”
Wanita yang telah melahirkan Bulan itu membelai rambut putrinya sekilas. “Lan, kamu tahu kan kalau Papa sama Mama selalu mau yang terbaik buat kamu?”
Sekalipun gamang, Bulan akhirnya tetap mengangguk. Kini, Bulan hanya bisa berharap jika pernikahan yang dirancang kedua orang tuanya tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Mama ke dapur dulu, bantuin si bibi siapin hidangan.”
Setelah sang mama pergi, Bulan pun meraih ponselnya di ranjang. Dengan tangan agak gemetar, Bulan membuka email berisi dokumen daftar riwayat hidup calon suaminya. Sebuah dokumen yang membuat Bulan cukup tahu bahwa dia akan dinikahi laki-laki berusia tiga puluh lima tahun alias hampir dua kali lipat dari umurnya.
“Ibu, kenapa akte kelahiranku beda sama teman-teman, Bu? Di akte teman-temanku, semua tulisannya ada nama ayah sama ibunya, tapi punyaku, cuma ada nama ibu. Memang benar ya kalau aku nggak punya ayah?”“Langit, kamu nggak boleh ngomong gitu. Setiap anak pasti punya ayah. Suatu saat, ayah kamu pasti datang.”“Ibu bohong! Ibu selalu bilang begitu dari dulu tapi apa? Sampai aku sudah mau lulus SD, aku nggak pernah lihat ayah. Bahkan namanya saja aku tidak tahu, Bu.”“Langit, ayah kamu itu orang hebat, Nak. Dia sibuk. Kamu sabar ya.”“Siapa namanya, Bu?”“Namanya ….”“Langit, penghulu sudah datang.” Ucapan sang ayah menyadarkan Langit dari lamunan tentang masa kecilnya.“Oh ya. Sebentar. Langit pakai peci dulu,” kata Langit. Dia kemudian menatap cermin sembari memakai peci abu-abu senada dengan pakaian yang dia kenakan.“Duh! Anak ayah ganteng sekali. Jadi ingat waktu Ayah muda. Ck, benar kata orang-orang kalau kamu versi 2.0 dari Ayah,” kata Pramono.Mendengar itu, Langit tersenyum getir
Laki-laki berbalut kemeja batik lengan panjang itu turun dari mobil SUV putih. Untuk sesaat, lelaki itu menatap bangunan rumah dua lantai bernuansa putih dan krem di hadapannya sampai akhirnya, bahunya ditepuk. “Deg-degan?” Lelaki berkemeja batik tadi pun tersenyum saja tanpa menjawab. “Kyai Rais nggak usah tanya. Sudah jelas dia kelihatan gugup sekali.” Seorang pria paruh baya menyahut. “Ayah ngeledek aku?” “Kenapa? Kamu salah tingkah ya? Ck, tarik napas dalam-dalam ya. Ayah tahu ini keputusan besar, Nak, tapi kalau kamu sudah yakin, insyaallah semua akan berjalan baik.” “Aamiin.” “Ayah kamu benar, Langit. Keyakinan kamu beriring dengan niat baikmu. Insyaallah, akan dimudahkan,” tambah Kyai Rais. “Tapi, Langit ragu, Ayah, Kyai,” ungkap Langit. “Kenapa?” “Apa iya dia benar-benar mau sama bujang tua seperti Langit?” Belum sempat Kyai Rais dan ayahnya menjawab, seseorang yang muncul dari balik pintu rumah, berseru, “Pak Pram, Kyai Rais, Nak Langit, ayo masuk!” “Masyaallah,
Tangan Bulan bergetar hebat saat mengangkat benda pipih memanjang itu dari dalam gelas kecil. Setelah menunda-nunda, akhirnya pagi ini Bulan memantapkan hati untuk mengecek agar semuanya benar-benar pasti. Entah kepastian baik atau buruk, yang jelas, Bulan harus siap.Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa dibendung saat garis dua terpampang di benda pipih memanjang itu. Bulan langsung terduduk di atas closet yang tertutup kemudian melemparkan benda yang dia pegang ke lantai kamar mandi kosnya. Kesakitannya akibat pemerkosaan itu sepertinya belum cukup pedih. Kini, bebannya bertambah dengan kehadiran benih Beni dalam perutnya.Tanpa pikir panjang, Bulan keluar dari kamar mandi dan langsung mengambil ponselnya di atas kasur. Dia melakukan pencarian mengenai obat penggugur kandungan sampai akhirnya dia memesan dua merek obat yang berbeda melalui salah satu aplikasi belanja daring.Anak ini nggak boleh berkembang. Gue nggak boleh hamil, batin Bulan dengan napas naik turun. Dia te
“Hai, kamu lulusan tahun berapa?”Seseorang dengan jaket jeans menyapa. “Aku … baru lulus tahun ini, Kak.” Bulan menjawab dengan nada sedikit ragu. “Oh, baru lulus. Nama kamu?” Orang itu bertanya lagi. “Rembulan” “Wow, nama yang sesuai sama orangnya. Cantik. Kalau istilah sekarang, glowing. Oh iya, kenalin. Aku … Handarbeni Utomo. Panggil aja Beni.” Seandainya Bulan tidak datang pada acara reuni lintas angkatan itu, mungkin semuanya tidak akan terjadi. Dia tidak akan mengenal Beni. Dia juga tidak perlu mengalami hal seperti ini. Waktu itu, Bulan yang baru lulus terlalu bersemangat untuk datag karena ingin bertemu dengan teman-teman sekolahnya lagi setelah beberapa bulan mereka berpisah dan jadi mahasiswa baru, “Bulan, ini kuesioner kelompok kita. Udah beres tugasku ya. Sekarang bagian kamu input datanya.” Seseorang menyodorkan beberapa lembar kertas yang dijepit jadi satu kepada Bulan. Namun, Bulan malah bergeming. “Bulan.” Orang itu memanggilnya lagi. “Lan?” “Oh iya, m
“Bulan, aku pamit!”Teriakan itu membuat Bulan langsung melongok dari pintu kamar kosnya. “Loh! Kak Sinta pulang juga? Yaaahh, kenapa semua orang pulang sih? Aku di kosan sendirian dong!” kata Bulan.“Sama Laili.”“Laili balik tadi siang, Kak.”“Loh iya, kah? Ya emang ini long weekend sih, Lan. Kamu juga harusnya balik,” kata Sinta.Bulan menghela napas. “Lagi banyak tugas, Kak. Kalau di rumah, mager banget mau ngerjain,” kata Bulan.“Halah, baru semester dua juga. Santai aja! Aku yang bulan depan harus magang aja santai,” kata Sinta.“Haduh! Maunya ya santai, tapi omelan Mama enggak bisa diajak santai, Kak.”“Yah, mama kamu dosen sih, pasti ekspektasinya tinggi ya.”Bulan mencebik sambil mengangguk.“Hmm ... kaciaaaan. Ya udah, nggak papa kalau nggak pulang. Masih ada Antika kok, jadi kamu nggak beneran sendiri. Cuma, sabar ya kalau nanti si Antika ....”“Sssst! Udah paham,” sambung Bulang. Dia dan Sinta langsung terkekeh bersamaan karena keduanya paham soal Antika si paling sering b