Share

Bagian 3

"Assalamu'alaik, ya 'Ammah Raeena. (Bibi Raeena)."

"Hey. 'Alaikissalaam warahmatullah."

"Izzayyak, ya 'Ammah? (Apa kabarmu, Bibi?)"

"Kuways, alhamdulillah. (Baik, alhamdulillah)." Wanita berparas putih dengan bola mata cokelat itu mengembangkan senyumnya, dia tetap terlihat muda walau usianya tak lagi muda. Terlebih dari itu, dia memiliki kemampuan berbahasa Arab fusha maupun 'amiyah yang sangat fasih. Maklum, meskipun berdarah Jerman, dia adalah jebolan Universitas Al-Azhar, selain itu juga dia sudah lama menetap di Mesir bersama sang suami.

Paman Omar dan Bibi Raeena hanya tinggal berdua sejak 11 tahun yang lalu. Di usia 15 tahun, putranya memilih untuk menetap di Jerman bersama sang kakek dan mengenyam pendidikan di sana. Mungkin satu tahun sekali putranya akan berkunjung ke Mesir untuk menjumpai Paman Omar dan Bibi Raeena. Bibi Raeena adalah seorang muslimah yang taat. Dia berasal dari keluarga yang sangat mengenal Islam, meskipun memang menjadi minoritas di Jerman. Ayahnya adalah seorang dosen filsafat Islam di salah satu universitas terkemuka di Jerman. Namun karena usia yang tak lagi muda, ayahnya harus beristirahat dari aktivitasnya sebagai seorang dosen dan memilih mengisi waktunya mengajar Al-Qur'an untuk anak-anak kecil di rumahnya.

Bibi Raeena dan Paman Omar memang sengaja mengirim putranya ke Jerman dan tinggal bersama sang ayah untuk menemani kesendiriannya, karena memang Bibi Raeena adalah satu-satunya putri yang ayahnya miliki. Ibunya telah lebih dulu berpulang menghadap Sang Mahakuasa ketika dirinya berusia 19 tahun.

"Sudah dua tahun ini Rasheed menjadi dosen di sana. Cepat sekali rasanya waktu berjalan. Sebelas tahun lalu, dia diantarkan ke Jerman, dan kini dia sudah memanen buah dari kesungguhannya di sana," kenang Bibi Raeena.

"Aku belum pernah bertemu dengan putra Bibi ini. Tetapi mendengar dari cerita yang Bibi sampaikan, sepertinya dia memang lelaki yang gigih."

"Betul. Dia sangat gigih." Bibi Raeena berjalan menuju wastafel. Di wajah putih berserinya terlukis senyum tulus. "Zea, apakah Umma-mu sudah menyampaikan hal penting kepadamu?"

"Em." Sejenak Zea terdiam dan mengingat beberapa hal yang sempat disampaikan sang Umma melalui telepon. "Sudah, Bibi," sambungnya.

Bibi Raeena kembali tersenyum. "Tidak usah terburu-buru mengambil keputusan. Pertimbangkanlah dulu dan mintalah pertolongan kepada Allah dalam mengambil keputusan."

"Baik, Bibi." Zea berjalan menghampiri Bibi Raeena. "Tapi, mengapa aku yang dia pilih?"

Bibi Raeena menaruh cabai yang baru saja dia bersihkan, dan kemudian meraih jemari Zea. "Rasheed yang memintamu pada Pamanmu, dan beberapa hari setelahnya Pamanmu langsung menyampaikan hal tersebut kepada Abi-mu."

"Tapi, dari mana dia mengetahuiku?"

"Tiga tahun yang lalu, ketika dia baru saja tiba di sini saat berlibur, kebetulan kau baru saja pulang dari sini. Rasheed langsung bertanya tentangmu kepada Ayahnya. Ia merasa heran, karena setiap murid Ayahnya yang ia kenal adalah laki-laki, tetapi justru ketika itu ia melihat seorang perempuan. Akhirnya Ayahnya menjelaskan bahwa kau adalah sepupu jauhnya."Zea masih menyimak setiap detail penjelasan Bibi Raeena.

"Bibi mengira, dia hanya bertanya tentangmu cukup sampai di situ. Tetapi selang setahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu dia kembali bertanya tentangmu. Lalu, beberapa bulan yang lalu, dia menyampaikan maksudnya kepada Ayahnya mengenai niatnya untuk memperistri dirimu," lanjutnya.

Zea tak mampu menanggapi apa yang baru saja disampaikan oleh Bibi Raeena. Mendadak jemarinya dingin. Bahkan dalam pandangannya pun dia belum pernah melihat sosok pria yang bernama Rasheed ini, yang dia ketahui masih saudara misannya dari sang Abi.

"Oh ya, beberapa menit yang lalu sebelum kau datang, Rasheed menelepon Bibi. Mengabarkan bahwa dia sudah tiba di Mesir."

"Alhamdulillah. Dia sudah sampai di Nasr City, Bi?"

"Sudah, tetapi dia harus menemui temannya lebih dulu."

Zea hanya menanggapi dengan senyuman di wajahnya.

"Bibi ...," ujarnya setelah beberapa menit.

"Aywah? (Iya?)"

"Mengapa dia tidak menikahi gadis Jerman saja? Bukankah gadis Jerman sangat cantik? Seperti Bibi."

Wajah polos Zea ketika mengatakan hal demikian membuat Bibi Raeena tak mampu menahan tawanya. Diusapnya pelan ubun-ubun Zea yang terbalut kerudung hitam dengan jemarinya sembari menatap lembut gadis yang merupakan keponakannya ini.

Usai memandu beberapa muridnya dalam talaqqi Al-Qur'an di masjid, Paman Omar segera menghampiri Zea dan istrinya yang baru saja selesai memasak, dia mendapati keduanya tengah berada di ruang keluarga.

"Syauqi itu temanmu, ya?" Paman Omar yang baru saja menghampirinya dan Bibi Raeena di ruang keluarga langsung mengajukan pertanyaan kepadanya.

"Lebih tepatnya dia adalah kakak dari teman satu flatku, Paman."

Sosok lelaki berkharismatik yang usianya berkisar 50 tahun itu bergabung bersamanya dan Bibi Raeena.

"Dia baru saja pulang. Tadi Paman lihat kalian berangkat bersama ke sini. Kamu tidak apa-apa pulang sendiri nanti?"

"Tidak apa-apa, Paman. Kami tidak sengaja bertemu di persimpangan jalan menuju rumah Paman tadi, yang kebetulan sama-sama ingin ke rumah Paman. Lagipula memang tak seharusnya tadi kami pergi bersama."

Paman Omar mengangguk pelan. Kini dirinya tengah menunggu sang istri yang sedang menyiukkan beberapa menu hidangan yang sudah disediakan. Keluarga Paman Omar ini memang terbilang sangat sederhana. Mereka lebih senang menikmati hidangan secara lesehan di atas karpet dibanding menikmati hidangan di meja makan.

Setelah menyiukkan beberapa menu hidangan yang kemudian diberikannya kepada Paman Omar, Bibi Raeena kembali menyiukkan hidangan untuk Zea.

"Bibi, tidak perlu. Biar aku yang ambil sendiri saja." Tidak enak hati Zea disiukkan hidangan oleh Bibi Raeena, dengan sigap Zea menyiuk sendiri untuknya, sehingga Bibi Raeena pun mengurungkan niatnya menyiukkan hidangan untuk Zea.

"Zea, kamu menginap di sini saja. Paman khawatir. Karena hari sudah sore. Bisa-bisa kamu sampai di flatmu malam hari," cemas Paman Omar.

"Tidak apa-apa, Paman. Tidak usah khawatir. Lagipula teman-teman Zea di rumah pasti sudah menunggu. Tadi ketika Zea akan berangkat ke sini, Noura sedang membuatkan kue untuk kami, dan sekarang pasti sudah jadi. Zea sudah tidak sabar ingin menyicipinya." Zea bercerita seolah sedang membayangkan kue buatan Noura. Hal tersebut membuat Paman Omar dan Bibi Raeena saling melempar pandang dan tersenyum.

Sekitar pukul lima sore, setelah selesai semua keperluannya dengan sang paman, Zea bergegas pamit untuk pulang ke rumahnya.

Memang, maksud kedatangan Zea ke rumah pamannya ini bukan semata-mata untuk membahas mengenai keseriusan Rasheed kepada dirinya, melainkan untuk berkonsultasi mengenai karya tulis ilmiah yang sedang dia garap dari hasil risetnya selama beberapa pekan terakhir ini. Akhirnya janji yang sempat tertunda ini tertunaikan sudah. Janji yang dibuat antara dirinya dan sang paman ini sebenarnya sudah sejak satu pekan lalu direncanakan. Namun, dirinya baru sempat datang di hari ini. Di samping padatnya jadwal kegiatan sang paman yang mengharuskannya bersabar menunggu beberapa waktu lagi untuk bisa berkonsultasi, juga karena jarak dari El-Gamaleya ke Nasr City yang bisa dibilang cukup menguras waktu di perjalanan berdebu di bawah teriknya matahari Kairo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status