Share

Bagian 2

Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata.

Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah.

"Zea ... Zea ...."

Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan mencari sumber suara yang baru saja memanggil namanya. Suara yang tak asing lagi di telinganya. Dari jarak kurang lebih 10 meter, seorang pria bertubuh tegap tengah berlari mendekat ke arahnya. Mata bening pria itu menatapnya penuh binar.

"Assalamu'alaik, Zea!" ucap pria itu dengan sesekali menghela nafas. "Hariko paneh bana. Nio kama, Adiak?" sambungnya dengan logat khas Minang.

"W*'alaikassalam." Zea mengernyitkan keningnya, dia bingung apa yang harus dia jawab. Karena dia sendiri tidak mengerti makna dari ucapan pria itu.

Hal itu membuat pria yang kini berdiri di hadapannya tertawa geli. "Hari ini panas banget. Kamu mau ke mana, Dik?"

"Oh ... Aku mau ke Nasr City."

"Ke rumah Syeikh Omar?"

Zea mengangguk.

"Kebetulan. Aku juga ingin ke sana. Ada janji dengan beliau."

Zea tersenyum tanpa menggubris ucapan pria tersebut. Dia kembali mengayunkan langkah kakinya.

"Kita bisa ke sana bareng, kan?" Pria itu berusaha menyejajarkan derap langkahnya dengan langkah Zea.

"Tentu."

Zea melangkahkan kakinya dengan cepat. Begitu pula dengan pria itu. Matahari di siang hari ini panasnya bukan main.

Pria itu bernama Syauqi Taiq. Awal mengenalnya, Zea lebih sering memanggilnya Taiq. Namun dia lebih senang dirinya dipanggil dengan sebutan Syauqi, yang tentunya karena dia memiliki sebuah alasan atas hal itu. Dia berasal dari keluarga muallaf. Namun dia telah muslim sejak lahir. Ayahnya berasal dari Spanyol, sedangkan ibunya berdarah Minang asli. Sang ayah berpindah keyakinan sebelum menikahi sang ibu, sedangkan sang ibu merupakan seorang muallaf ketika usianya menginjak 13 tahun. Syauqi sama seperti Zea, seorang Mahasiswa Al-Azhar yang berasal dari Indonesia. Usianya 2 tahun lebih dewasa dari Zea, namun hingga saat ini dia belum menyelesaikan pendidikannya dari Universitas Al-Azhar.

Bukan karena tak mampu menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Namun Syauqi lebih senang hadir untuk menuntaskan talaqqi-nya dengan Syeikh Omar ketimbang hadir dalam bangku perkuliahan. Syauqi sempat mengajukan cuti selama satu semester hanya karena supaya bisa fokus talaqqi Al-Qur'an. Hal ini yang membuat dirinya tertinggal dalam bangku perkuliahan. Banyak dari teman seangkatannya yang sudah menjadi alumni, ada pula yang sudah pulang ke Indonesia dan mengabdikan diri di tanah air tercinta. Bahkan tak jarang pula beberapa dari temannya yang sudah menuntaskan pendidikan S2, baik di Indonesia, Mesir, maupun di negara lainnya. Sedangkan Syauqi, kini tengah berjuang mengejar gelar licence-nya.

"Bukan tentang gelar atau pengakuan saja yang kucari. Tetapi sisi manfaat dari setiap sudut bumi Kinanah ini yang begitu langka untuk dijejaki."

Kalimat itulah yang sempat dia katakan kepada Zea tatkala keduanya tak sengaja berjumpa dalam perjalanan pulang dari kampus, di minibus. Zea mampu mengartikan makna dari kalimat yang diucapkan oleh pria itu. Zea bergeming.

"Selain itu, aku juga sedang menunggumu, Zea."

Seuntai kalimat ini sempat terucap indah dalam hati Syauqi. Tak ada satu pun yang makhluk di dunia ini yang mampu mendengarnya. Dia telah menyimpannya begitu rapat, hanya antara dirinya dan Sang Khalik.

Tak lama kemudian, terdengar tawa renyah yang juga berasal dari lisan pria itu. Syauqi melanjutkan kalimatnya dengan tawa renyah setelah melihat gadis di sampingnya diam terpaku. Sepertinya dia bisa membayangkan seperti apa mimik wajah gadis di sampingnya itu.

"Kamu kenapa diam? Hampir saja aku membuat seorang gadis menjadi patung di minibus ini. Kamu tahu? Bisa-bisa patungmu menjadi sejarah yang akan dimuseumkan di Mesir!" guraunya.

"Mau macam-macam denganku?!" Zea mendelik. Kemudian disusul dengan tawa Syauqi seraya menelungkupkan kedua tangan di depan dada.

"Tapi, sungguh. Aku terkesima dengan kepercayaan diri yang kamu miliki. Kamu mampu memandang segala hal dengan pandangan positif," sambung Zea setelah beberapa saat.

Syauqi tak membalas ucapannya. Dia hanya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke jendela minibus seraya tangan kirinya membetulkan posisi ranselnya yang sedikit merosot.

Itulah Syauqi. Menurutnya, Syauqi adalah pria paling aneh yang pernah dia kenal. Meskipun sudah tiga tahun lamanya dia mengenal Syauqi, baik itu dari Wafa—adik kandung Syauqi—maupun dari Paman Omar. Namun baginya, Syauqi masih menjelma sebagai pria aneh yang pernah dia temui.

Syauqi mengambil studi di Fakultas Dirasat Al-Islamiyah w* Al-Arabiyah di Al-Azhar. Ayahnya yang merupakan seorang muallaf sejak 36 tahun terakhir ini sangat mendukung Syauqi juga Wafa dalam menimba ilmu di bumi Kinanah dengan segala macam warna-warni kehidupan di dalamnya.

Azan berkumandang ketika dia dan Syauqi tiba di rumah Paman Omar. Ternyata perjalanan dari El-Gamaleya menuju Nasr City telah menghabiskan kurang lebih satu setengah jam perjalanan. Di rumah Paman Omar, dia dan Syauqi disambut dengan penyambutan yang baik. Paman Omar memintanya untuk masuk ke dalam menemui Raeena—Istri Omar yang juga merupakan bibinya—yang sedang memasak di dapur, sedangkan Paman Omar dan beberapa muridnya yang datang untuk talaqqi Al-Qur'an bergegas menuju Masjid Fateema El-Zahraa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status