Share

Bagian 4

Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi.

Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak debu-debu tipis yang menempel pada baling-baling kipas.

Baru beberapa menit dia memejamkan mata, suara samar Wafa terdengar dari ruang keluarga. "Mbak Zea, kemarilah!"

Sebenarnya dia sangat berat untuk kembali membuka mata. Namun panggilan harus ditunaikan. Dengan lunglai, dia bangkit dan berjalan menuju sumber suara.

"Ada apa pang—"

Seperti mengerti keinginannya. Begitu sampai di luar kamar, tampak Noura dan Wafa tengah menyiapkan beberapa menu hidangan. Tak juga lepas dari pandangannya, beberapa hidangan makan malam yang sedang disajikan di atas karpet hijau bermotif bunga yang selalu digunakan untuk alas duduk bersama. Ada kue bolu yang dia tebak adalah hasil tangan Noura siang tadi, ada tamar hindi (minuman dingin khas Mesir dengan perpaduan rasa asam dan manis), ada konafah (makanan manis yang terbuat dari tepung gandum yang diolah seperti mie kering atau bihun), ada juga grilled kofta (makanan yang terbuat dari daging domba cincang kemudian dibentuk seperti sosis yang dibakar menggunakan arang seperti kebab), dan ada beberapa macam buah seperti anggur, jeruk, dan kurma.

Matanya berbinar. Kebetulan sekali, setelah menempuh perjalanan jauh siang tadi, membuat rasa laparnya kembali datang. Padahal, sebelum pulang dari rumah Paman Omar, dia sudah ikut makan bersama di sana. Terlebih, perjalanan pulang terasa lebih panas dari berangkat. Biasanya antara pukul 4 sampai 5 adalah puncak panas di siang hari. Metro terasa seperti panci yang baru saja dipakai untuk memasak. Sungguh, kulit terasa seperti direbus.

"Masyaa Allah, makan besar. Noura, kue buatanmu pasti nikmat." Mata beningnya nampak berbinar menatap kue bolu buatan Noura siang tadi.

Noura berdecak. "Ah, Mbak. Cicipi dulu, baru deh bilang nikmat."

"Tapi aku yakin, pasti nikmat." Zea bersikeras dengan argumennya lalu mengalihkan pandangannya kepada Wafa. "Konafah dan grilled kofta itu dirimu yang membuatnya, Waf?"

Wafa menggeleng. "Bukan, Mbak. Hari ini aku belum masak. Karena sepulang kuliah tadi aku langsung pergi membeli bahan sembako. Sedangkan aku pulang kuliah sekitar jam 4, tadi."

"Lalu, kamu yang membeli ini semua?"

Wafa kembali menggeleng. Hal itu membuatnya bingung. Jika bukan Wafa yang membelinya, lantas, dari mana asalnya hidangan nikmat itu?

"Tadi Uda Syauqi kemari, dan memberikan ini semua. Katanya untuk makan malam kita." Wafa seolah paham apa yang ada di pikiran Zea.

"Apa? Uda Syauqi?"

"Iya, dan tamar hindi ini, katanya khusus buat Mbak Zea. Karena aku 'kan memang kurang suka, Mbak Noura apalagi."

Syauqi bersama kelima kawannya memang menempati rumah flat yang letaknya dua lantai di bawah flat mereka, sehingga bukanlah hal yang sulit baginya jika ingin memberikan sesuatu. Sudah menjadi kebiasaan Syauqi, jika dia memiliki rezeki lebih dia akan membaginya kepada sang adik dan juga beberapa orang yang tinggal satu flat dengan adiknya, termasuk Zea.

Sejak menjadi mahasiswa Al-Azhar, Syauqi memang sudah mulai berbisnis untuk menyambung hidupnya di Mesir. Bukan karena kedua orang tuanya di Minang tidak mampu membiayai dirinya dan sang adik, dia hanya tak ingin membebani keduanya soal dana kebutuhan sehari-hari. Berbagai bisnis kecil-kecilan sudah pernah ditekuni olehnya; dari mulai menjadi translator bahasa Arab, membagikan nasi kotak dari hotel ke hotel, hingga menjual masakan khas Minang yang dia buat dari hasil olahan tangannya sendiri. Biasanya jika banjir permintaan terjemah dari customer, ataupun banjir pesanan rendang, penghasilan dalam sebulan bisa mencapai 3500-4500 pound, jumlah yang tidak sedikit baginya. Jika sedang sepi mungkin hanya mencapai 800-1500 pound. Yang sebagian hasilnya akan dia sisihkan untuk dirinya dan sebagian lagi dia berikan untuk kebutuhan sehari-hari sang adik.

"Berapa utang kau di Kairo, Nak?" Pertanyaan yang sempat dilayangkan sang ibu suatu ketika melalui telepon. Ibunya sempat khawatir putra dan putrinya memiliki utang yang banyak lantaran tak pernah meminta bekal untuk biaya hidup selama menimba ilmu di Mesir kepada kedua orang tuanya.

"Tak ada, Mak. Amak tak perlu khawatir. Ambo di sini sambil menekuni kerja sampingan, Mak."

"Kau fokus saja kuliah. Biar Abak dan Amak yang biayakan kau dan Wafa." Suaranya sempat terdengar putus-putus akibat jaringan yang kurang bagus di Minang saat itu, tepatnya di Kabupaten Agam.

"Tak apa, Mak. Yakinlah pada ambo. Ambo dan adiak mohon doa dari Abak dan Amak."

"Tak perlu kau pinta. Doa Abak dan Amak tak pernah lepas untuk kau dan Wafa," lirih Hayati, ibunya yang dia panggil Amak.

Perbincangan singkat antara Syauqi dan sang Amak kala itu terhenti ketika azan Ashar waktu Kairo berkumandang.

Syauqi memang bukan putra tertua di keluarganya, tetapi sikapnya sangat dewasa. Dia masih memiliki dua orang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan. Kedua kakak laki-lakinya sudah sukses di perantauan, keduanya kini berada di Jakarta bersama istri masing-masing. Kakak perempuannya pun telah sukses dalam bisnis kulinernya, kini dia ikut dengan suaminya dan tinggal di Kabupaten Dharmasraya, Minang. Meskipun tinggal berjauhan, ketiga kakaknya tak pernah lupa untuk menjenguk kedua orang tuanya.

"Ayolah kita mulai cicipi saja hidangan lezat ini, aku sudah lapar," cerocos Noura dengan wajah polosnya yang mulai tak sabar untuk menyicipi hidangan.

"Lha, kamu sudah lapar? Kenapa nggak makan duluan saja dari tadi? Kan kasihan perutmu."

"Alamak, kami menunggu Mbak Zea datang. Kami tidak berani menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mbak. Sekarang, kami boleh mencicipi konafah dan grilled kofta-nya, kan?"

"Ah, kamu ini, Nour. Kalau mau ya ambil saja. Kan Uda Syauqi memberikan ini untuk kita semua. Kenapa harus tunggu izinku segala?"

"Bukan begitu, Mbak. Kami tidak enak hati. Mbak tahu, kan? Pria seperti Uda Syauqi dikenal dingin seantero Al-Azhar terhadap perempuan. Jarang-jarang seorang pria dingin bersikap semanis ini. Cuma sama Mbak Zea saja sikapnya nggak dingin. Ya kan, Waf?" Sepertinya Noura sedang menggoda Zea.

"Kamu ini ada-ada saja. Di flat ini ada adiknya, Nour. Wajar saja dia bersikap demikian."

"Mbak ini seperti tidak paham sinyal—"

Zea menghela nafas. "Nour ...."

Noura tidak jadi melanjutkan ucapannya setelah mendapat tatapan maut dari Zea. Sedangkan, Wafa yang merasa Uda-nya tengah menjadi perbincangan hanya bisa menahan tawa. Matanya sudah menyipit sejak dia menutup mulutnya dengan jemari kanannya.

"Sudah, sudah. Kasihan, nanti Uda-ku tersedak," timpal Wafa yang masih menahan tawanya.

"Ya sudah. Kalian sudah tak sabar ingin menyicipinya, kan? Bismillah, ayo kita cicipi bersama!" ujar Zea sembari menyomot sebiji buah kurma di hadapannya. Sebagai yang paling tua di antara mereka, Zea harus bisa mengendalikan situasi. Jika bukan dirinya, mungkin tak ada yang berani memulai untuk menikmati hidangan lezat itu.

Menikmati hidangan lezat usai berlelah-lelah seharian memang terasa sedap. Malam ini mereka benar-benar berpesta. Banyak sekali hidangan yang bisa mereka nikmati. Hal seperti ini sangat langka di kalangan mahasiswa ataupun mahasiswi Al-Azhar. Mungkin sekali dalam sebulan mereka bisa makan besar.

Wafa yang tengah menikmati grilled kofta mendadak menghentikan aktivitasnya dan bergeming sesaat. Dia tampak sedang berpikir. Sepertinya dia teringat akan sesuatu. Tanpa banyak basa-basi, dia berdiri dan mengayunkan langkah kaki menuju kulkas. Diambilnya tiga buah gelas yang sudah terisi ashir melon di atas sebuah nampan yang terbuat dari kayu.

"Kukira sudah tersaji semuanya hidangan sebanyak ini. Ternyata masih ada yang tertinggal," komentar Noura.

"Aku lupa. Sore tadi sepulang kuliah aku tergoda melihat ashir melon yang dijual di jalan. Akhirnya aku membelinya." Wafa kembali bergabung bersama mereka. "Nah ini, satu untuk Mbak Noura, satu untuk Mbak Zea, dan satu untukku," sambungnya seraya memberikan ashir melon kepada Zea dan Noura.

Angin malam semilir masuk melalui jendela kamar yang sengaja dibuka sedikit. Usai jeda iklan yang diciptakan oleh Wafa tadi, akhirnya mereka kembali menikmati hidangan tersebut. Meskipun hanya bertiga dalam satu flat, akan tetapi terasa begitu ramai karena ocehan polos Noura yang tak ada habisnya. Mereka menikmati hidangan sembari berbincang ringan. Sudah tentu, suasana seperti ini akan menjadi kenangan indah yang tiada mungkin bisa terlupakan. Yang kelak, ketika pulang ke tanah air, mereka pasti akan merindukan suasana indah malam musim panas di Mesir seperti saat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status