Share

Tak tentu arah

Part 3  Tak tentu arah

Feesa POV

Satu tahun lamanya, aku melalui hari-hariku sebagai istri dari seorang pria tampan nan rupawan. Bahtera rumah tanggaku hingga saat ini masih tidak tentu arah. Bahkan mungkin perahuku akan karam di lautan. 

Hari-hari aku lalui sebagai istri yang memenuhi segala kebutuhan suami, menyiapkan keperluannya dan menyediakan makanan di meja layaknya tugas seorang istri pada umumnya. Nafkah lahirku sangat terpenuhi, bahkan lebih kedua mertuaku begitu baik. Tapi tidak dengan nafkah batinku. Sejak menikah dengan Mas Angga, aku tidak pernah mendapatkan nafkah batinku sebagai istrinya. 

Aku mengerti dengan situasi pernikahan kami yang terjadi karena sebuah kesalahpahaman. Tapi aku terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat kami akan melangsungkan pernikahan, aku mencuri pandang padanya. Sungguh sempurna pahatan Allah SWT jika dia tersenyum, akan ada lubang dipipi yang membuat rahang tegas itu semakin menarik. Bulu mata tegas dan sorot tajam yang mampu menusuk jiwaku hingga namanya selalu aku sebut setiap untaian doaku.

Jatuh cinta pada suamiku, apakah aku salah? Aku bagaikan orang bodoh yang selalu mendambakan cintanya. Selalu bahagia hanya dengan melihatnya, walau sekalipun dia tidak pernah menanggapinya. Bahkan suamiku cenderung membenciku, hanya melihat keburukanku, mencari-cari kesalahanku, lalu memaki diriku dengan mudahnya. 

 Kami sangat dekat, tapi ada sekat yang dia buat, sehingga dia terkesan begitu jauh dari jangkauan ku. Perasaan ini sungguh luar biasa dan berbeda, ada bunga yang selalu bermekaran, meski kapan saja bisa layu sebab tidak disirami. Tapi aku tetap bertahan dengan kata bodoh yang orang-orang sebut dengan 'Cinta'.

Aku menarik nafas dalam-dalam ingat semua perkataan menyakitkan. "Manjauhlah dariku, aku tidak suka baumu."

"Enyahlah dari hadapanku, aku benci dirimu." Bahkan dia sama sekali tidak pernah menatapku, seakan aku adalah makhluk paling buruk yang tercipta di dunia ini. 

"Menyingkirlah dariku, aku muak melihatmu." 

"Apa kau mau jadi jalang hah!" Saat aku membuka hijabku dirumah, bermaksud agar dia mendapatkan haknya. Tapi bukan pujian atau bahkan kasih sayang yang aku dapatkan, melirikku saja dia tidak mau, atau mungkin tidak akan pernah.  Bahkan dia tidak  peduli bagaimana sakitnya  perasaanku. 

"Kenapa Mas begitu membenciku?" Tanyaku saat itu, aku sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya, dan aku merasa perlu untuk mempertahankan itu. Dia suamiku.

"Kenapa? Tanyakan pada dirimu sendiri. Bukankah semua yang ada pada dirimu itu palsu? Apa yang kau lakukan kepada Papaku, sehingga dia menyerahkan semuanya kepadamu? Apakah sama seperti yang kau lakukan kepadaku saat itu? Dasar jalang." Membanting sendok dan piring lalu pergi tanpa melirikku sekalipun.

 Aku semakin menunduk merasa sangat rendah dan hina. Suami yang tidak pernah sekali saja melihat kepadaku, selalu melemparkan kata-kata pedas yang menorehkan luka yang menyanyat hatiku. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Segala ilmu pengetahuan yang aku miliki, segala doa dan nasehat yang diberikan oleh Abah dan Umi, semua itu terasa tidak ada gunanya. Aku hanya bersandar pada kekuatan Allah SWT, berharap ada secercah cahaya dalam biduk rumah tangga yang baru seumur jagung.

Kini aku termenung di teras rumah, tempat paling tenang yang membuatku nyaman dan sedikit melupakan kesedihanku dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang cukup membuatku semakin pusing.  Aku tersentak saat ponselku berdering. Bibirku mengulas senyum karena bahagia, sahabat baikku pasti sedang rindu padaku. 

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh Saroh!" Dialah sahabat baikku yang sekarang berada di kota yang berbeda dengan diriku. Sudah satu tahun ini Saroh ke Jakarta untuk bekerja sebagai WO. 

"Yah, aku keduluan ucapin salamnya! Waalaikum salam cantikku. Sedang apa nih? Aku rindu kamu tahu. Tapi kerjaan aku banyak banget. Penuh! Sampai tahun depan. Setiap hari pentengin mereka yang pamer kemesraan kepadaku. Mereka jahat, tidak tahu apa, jiwa jombloku meronta, mana pengantin prianya cogan semua huaa. Rasanya aku ingin pulang saja ke desa." Aku tersenyum mendengar celotehan teman masa kecilku itu. Dia selalu bisa mengalihkan perhatianku tanpa sengaja. 

Jika saja aku mampu untuk sedikit bercerita dan membuka aib rumah tanggaku. Tapi masalahnya tidak semudah itu, kekurangan suamiku adalah hal yang wajib aku tutupi. Jika aib itu terbongkar, sama saja dengan membuka aibku sendiri. Biarlah Allah SWT yang hanya menjadi pendengar setiaku. 

"Emang di desa ada cogan?" Aku mengulum senyum, pasti temanku itu sedang meniup hijab segi empat miliknya. 

"Ada! Kang Ali yang suaranya merdu merayu itu. Ah atau mungkin KEPON yang alim dan santun itu. A.... Aku jadi rindu kampung halaman." teriak Saroh dramatis, aku bahkan sampai menjauhkan ponsel dari telingaku. 

Kepon adalah singkatan dari 'ketua pondok' dasar Saroh ada-ada saja. Dia  tetangga pondok yang sering datang untuk mengaji, atau sekedar bermain denganku. Dia teman yang setia dan baik hati. Suara cemprengnya kadang membuatku rindu ingin bertemu. 

Lama berbincang dengan dirinya, membuatku bisa melupakan beban berat yang aku pukul selama ini. Gigiku bahkan sampai mengering karena mendengar celotehan unfaidahnya yang lucu dan menghibur.

"Feesa, hai Neng!"

"Hemmh!"

"Aku kirim paket lho, kado yang aku janjikan saat pernikahanmu. Aku kirim itu, agar rumah tanggamu semakin harmonis. Aku dapat itu dengan berguru dari pasangan tersohor yang sampai sekarang terjamin keharmonisannya. Semoga menular kepadamu.  Jangan lupa dipakai ya. Itu langsung aku pesan dari butik beliau tadi."

"Terima kasih Saroh." Aku ingin sekali mengatakan, bahwa kado apapun tidak akan mengubah kenyataan rumah tanggaku yang tidak pernah damai. 

Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk. Ah aku lupa, ibu mertuaku tadi memberitahu jika akan berkunjung. Aku lekas berdiri dan menuju pintu.

"Mama!"

"Assalamualaikum Sayang!" Ibu mertua yang supel memelukku dengan penuh kasih sayang. Inilah salah satu alasanku bertahan, selain cinta yang sudah bersemayam dihatiku, aku juga tidak ingin mengecewakan mertuaku yang baik hati dan perhatian ini. 

"Tahu nggak, mama kesini mau ngapain?" dengan penuh semangat Mama bertanya, sedangkan  otakku mengatakan tidak, yang direspon oleh gelengan kepala. 

"Kita bikin makan siang yuk! Lalu, kita antar ke kantornya Angga. Kita akan buat surprise, dia pasti akan senang." Lagi-lagi hatiku teriris, andai hubungan kami baik-baik saja, mungkin aku akan dengan senang hati melakukannya, bahkan mungkin tanpa mama yang suruh. Sayangnya itu semua aku ucapkan di dalam hati. 

_

_

Aku dan Mama Lina membuat manu untuk makan siang Mas Angga. Mas Angga bukanlah orang yang pemilih, dia menyukai semua jenis yang berbahan dasar gading. 

Dengan penuh semangat, aku dan mama datang ke kantor Mas Angga. Sejak menikah, baru kali ini aku datang ke kantor suamiku sendiri.  Itupun karena inisiatif ibu mertua. 

"Besok-besok kamu sering-sering datang dan bawakan makan siang ya! Agar Angga semangat kerjanya." Aku mengangguk dalam kebimbangan. 

"Nak, kamu masuklah dulu, aku akan menerima panggilan."  Mama merogoh tas jinjingnya. 

Aku bingung, antara mau mengetuk atau tidak, kebetulan pintunya sedikit terbuka, aku putuskan untuk mendorongnya. 

"Astaghfirullah!" Sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat kini terpampang jelas dimataku.

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status