Diva sendiri yang menyiapkan makan malam mereka. Seperti perkataannya saat di telepon Mama tadi, sepuluh tahun hidup sendiri di negeri orang membuatnya mandiri. Dia terbiasa melakukan semuanya sendiri, bahkan berobat ke rumah sakit pun dilakukannya sendiri. Padahal dulu dia masih berusia belasan, dan dalam keadaan amnesia. Tidak ada seorang pun yang dikenal dan dapat dipercaya, tetapi dia tetap melakukannya. Tak hanya pada pemeriksaan rutin, saat ada ingatannya yang memasuki kepala juga seperti itu. Dengan sambil memegangi kepala dia berlari dari apartemennya menuju stasiun kereta, dan tiba di rumah sakit dalam keadaan nyaris tak bertenaga. Beberapa kali hal itu pernah terjadi padanya, sehingga saat mengalami sakit kepala yang teramat bahkan sampai membuatnya pingsan, dia sudah biasa-biasa saja. "Besok kamu perginya pagi apa siang?" tanya Diva setelah nasi goreng di piringnya habis.Juna mengedikkan bahu. "Aku masih belum tau, Be. Jadwalnya ada sama Kevin." Juna belum menghabiskan
Hari masih pagi, matahari belum menampakkan diri. Juna sudah berada di dalam pesawat yang akan membawanya menuju Swiss, bahkan ia tidak sempat untuk pamit pada Diva. Tadi malam ia pulang tengah malam setelah Diva bisa ditinggalkan. Well, jangan berpikir jika malam ciuman panas mereka berakhir di atas ranjang. Ia tidak meneruskannya. khawatir jika benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, dan memilih untuk menghabiskan sisa waktu sebelum pulang dengan mengobrol bersama Pak Dudung dan Bik Asih, tak hanya bersama Diva. Pukul dua dinihari, saat ia baru beberapa menit memejamkan mata, yang terhormat Nyonya Barbara Dirgantara meneleponnya, memberitahu jika pesawat yang menjemputnya akan segera tiba. Mommy memintanya untuk segera bersiap agar setelah pesawat pribadi keluarganya itu tiba, ia langsung berangkat saja. Tak ada protes, apa yang dikatakan Mommy adalah perintah. Dengan sangat terpaksa ia kembali bangun, membatalkan rencananya untuk tidur, dan menghubungi Kevin. Ia meminta untuk
"Tante Barbara?" ulang Diva dengan alis berkerut. Echa mengangguk. "Lo ingat, nggak, sama nyokapnya Juna, Va?" tanyanya. "Dia sayang banget sama lo. Gue sampai-sampai iri liat tas limited edition yang lo punya." Salah satu kenangan sebelas tahun lalu yang masih diingatnya. Diva memiliki banyak sekali barang-barang branded hadiah dari mamanya Juna, barang yang nyaris semuanya tidak dijual di sini. Tak mungkin dia mendapatkan. barang seperti itu sementara tidak di jual di dekatnya. Orang tuanya juga tidak sedang ada urusan ke luar negeri. Sekali waktu mereka ke luar, barang yang diinginkannya sudah tak lagi dijual, sudah habis dan tidak diproduksi lagi. Bukankah itu sangat menyebalkan? Diva mencoba untuk memutar ingatannya. Siapa tahu ingatan tentang ibunya Juna ada tertinggal di otaknya. Namun, dia tetap tidak menemukannya. Yang ada hanya seorang wanita berambut pirang dengan wajah yang samar. Diva meringis, kepalanya menggeleng. Dia tidak dapat mengingatnya. "Nggak ingat," jawabnya.
Keadaan hening di meja Diva dan sahabat-sahabatnya. Sejak kedatangan Natasya Queena, dan wanita itu bergabung di meja mereka, atmosfer berbeda langsung mereka rasakan. Seandainya saja Tasya peka, tak mungkin dia mau duduk di meja yang sudah diisi tiga orang wanita itu. Sayangnya, tidak ada kepekaan dalam dirinya membuatnya bisa duduk dengan tenang sambil memakan bubur ayam pesanannya, sementara ketiga wanita lainnya menutup rapat mulut mereka. Hanya sesekali terdengar mereka menghela napas panjang dan sedikit berat, seolah udara di sekitar mereka menipis. Sejak dulu, di antara kedua sahabat Diva, selalu Nora menjadi yang paling galak. Jika ada yang mengganggu salah satu dari mereka, dia yang maju duluan. Bukan merasa sok jago, tetapi karena memang dia peduli pada sahabat-sahabatnya. Seandainya saja Echa tidak melarangnya dengan memasang tampang memelas habis-habisan, pasti Tasya akan dihajar olehnya. Selain itu, dia tak ingin membuat masalah di warung ini. Bisa-bisa semua pelanggan
Dari nada bicaranya yang selalu tak bersahabat dan terdengar kesal setiap kali menyebut namanya, Diva dapat menyimpulkan jika wanita yang bernama Tasya ini tidak menyukainya. Jadi, nalurinya yang mengatakan jika Tasya bukanlah temannya adalah benar. Tasya bukan temannya, dia adalah musuhnya. Mungkin lebih tepatnya adalah saingannya. Tatapan Tasya seperti tatapan putri kecil Helen. Menusuk. "Jangan asal ngomong lo, ya!" Nora mulai naik pitam. Dia nyaris berdiri dari duduknya jika Diva tidak menahan lengannya. "Wajar lah kita tabur bunga di makam sahabat kita. Emangnya lo yang nggak punya sahabat lagi?" tanya Nora pedas. Dia tersenyum mengejek. Siapa pun orangnya, jika dia adalah salah satu siswa Angkasa pasti mengetahui, dan kemungkinan besar ikut mentertawakan saat Tasya ditinggalkan oleh dua orang yang diakuinya sebagi sahabat. Keduanya meninggalkan Tasya dengan meninggalkan kata-kata pedas yang menohok. Mereka mengatakan, mereka bukanlah pembantu Tasya, dan mereka sudah lelah dis
"Astaga! Tuh, cewek asli nyebelin banget!" Nora mengepalkan kedua tangannya gemas. "Lo tadi kenapa ngelarang gue buat jambak dia, sih, Va?" tanyanya pada Diva dengan bibir mengerucut kesal. "Lo ngapain nyalahin Diva?" Echa yang bertanya. "Bener apa kata Diva, ngapain kita ngeladenin si Tasya, yang ada kita jadi gila juga sama kayak dia.""Tapi, 'kan, gue kesel sama dia, Cha!" Nora membelalak. Echa menjadi pelampiasan kekesalannya, dia melemparinya dengan bantal sofa. "Masa dia ngancam Diva biar nggak dekat-dekat Juna. Lah, dia siapa? Teman Juna bukan, sahabat bukan, pacar bukan, istrinya apalagi. Hak dia apa ngelarang-ngelarang kayak gitu? Yang pacar Juna, 'kan, Diva bukan dia!" "Gue juga kesal kali, Ra, tapi nggak gini amat!" Echa membelalak. "Gue nggak ngejadiin lo sebagai pelampiasan!" Dia balas melemparkan bantal-bantal sofa yang diterimanya dari Nora, kembali pada wanita itu. "Kalian kenapa, sih?" tanya Diva bingung. "Jangan kayak anak kecil, deh, hang suka perang bantal." Dia
Juna yang terus berada di sisi Diva tak memungkinkan ada celah yang bisa digunakan untuk mendekatinya. Pasti karena itu alasan orang itu meneror Diva. Jika digabungkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, di mana Juna mendapatkan informasi dari Tasya yang memberi tahu ada seorang gadis berkacamata berdiri di depan mading sekolah saat semua kelas tengah sibuk dalam proses belajar-mengajar. Tasya sendiri melihatnya saat sedang menunggu guru yang masih belum memasuki kelas mereka, waktu itu. Dari keterangan Tasya dapat disimpulkan bahwa yang sudah menyebarkan fitnah atas Diva adalah gadis berkacamata yang merupakan salah satu siswa di sekolah mereka. Lalu, apakah pelaku penyebar fitnah dan teror adalah orang yang sama? Menurut Arsyi, iya. Sebab tidak bisa menjatuhkan Diva, membuatnya jelek di mata Juna sehingga Juna meninggalkannya, si pelaku kemudian mengirimkan pesan yang berupa teror dan ancaman pada Diva. Sayangnya, sampai sekarang pelaku kedua tindak kejahatan itu masih belum terun
Sepasang alis Diva berkerut, mencoba untuk menggali ingatannya yang tertidur. Ada beberapa yang diingatnya, tentang Arsyi. Entah di mana mereka waktu itu, yang pasti angin sedikit lebih kencang berembus. Sepertinya mereka berada di tempat yang tinggi, mungkin atap gedung sekolah. "Waktu itu di atap gedung sekolah, deh, kayaknya." Diva mengerutkan alis dan hidungnya, mencoba mengingat-ingat. "Ada Arsyi juga di sana, tapi nggak ada Kevin. Aku ingat Kevin pas kemaren dia bilang, dia yang sering ngejodoh-jodohin aku sama Juna pas kita masih sekolah." Diva meringis. "Terus pas di atap gedung, aku nggak tau kita lagi ngapain, yang pasti aku pernah minta tolong sama Arsyi buat jaga rahasia aku. Cuman rahasia apa, aku masih nggak ingat.""Rahasia lo dapat pesan-pesan ancaman sama teror itu, Va," ucap Nora. "Arsyi yang pertama lo kasih tau sama lo mintain bantuan. Habis itu baru lo ngasih tau kita berdua. Itu juga karena Arsyi yang maksa biar lo ada tempat curhat selain dia. Gue ingat pas Ars