Keadaan hening di meja Diva dan sahabat-sahabatnya. Sejak kedatangan Natasya Queena, dan wanita itu bergabung di meja mereka, atmosfer berbeda langsung mereka rasakan. Seandainya saja Tasya peka, tak mungkin dia mau duduk di meja yang sudah diisi tiga orang wanita itu. Sayangnya, tidak ada kepekaan dalam dirinya membuatnya bisa duduk dengan tenang sambil memakan bubur ayam pesanannya, sementara ketiga wanita lainnya menutup rapat mulut mereka. Hanya sesekali terdengar mereka menghela napas panjang dan sedikit berat, seolah udara di sekitar mereka menipis. Sejak dulu, di antara kedua sahabat Diva, selalu Nora menjadi yang paling galak. Jika ada yang mengganggu salah satu dari mereka, dia yang maju duluan. Bukan merasa sok jago, tetapi karena memang dia peduli pada sahabat-sahabatnya. Seandainya saja Echa tidak melarangnya dengan memasang tampang memelas habis-habisan, pasti Tasya akan dihajar olehnya. Selain itu, dia tak ingin membuat masalah di warung ini. Bisa-bisa semua pelanggan
Dari nada bicaranya yang selalu tak bersahabat dan terdengar kesal setiap kali menyebut namanya, Diva dapat menyimpulkan jika wanita yang bernama Tasya ini tidak menyukainya. Jadi, nalurinya yang mengatakan jika Tasya bukanlah temannya adalah benar. Tasya bukan temannya, dia adalah musuhnya. Mungkin lebih tepatnya adalah saingannya. Tatapan Tasya seperti tatapan putri kecil Helen. Menusuk. "Jangan asal ngomong lo, ya!" Nora mulai naik pitam. Dia nyaris berdiri dari duduknya jika Diva tidak menahan lengannya. "Wajar lah kita tabur bunga di makam sahabat kita. Emangnya lo yang nggak punya sahabat lagi?" tanya Nora pedas. Dia tersenyum mengejek. Siapa pun orangnya, jika dia adalah salah satu siswa Angkasa pasti mengetahui, dan kemungkinan besar ikut mentertawakan saat Tasya ditinggalkan oleh dua orang yang diakuinya sebagi sahabat. Keduanya meninggalkan Tasya dengan meninggalkan kata-kata pedas yang menohok. Mereka mengatakan, mereka bukanlah pembantu Tasya, dan mereka sudah lelah dis
"Astaga! Tuh, cewek asli nyebelin banget!" Nora mengepalkan kedua tangannya gemas. "Lo tadi kenapa ngelarang gue buat jambak dia, sih, Va?" tanyanya pada Diva dengan bibir mengerucut kesal. "Lo ngapain nyalahin Diva?" Echa yang bertanya. "Bener apa kata Diva, ngapain kita ngeladenin si Tasya, yang ada kita jadi gila juga sama kayak dia.""Tapi, 'kan, gue kesel sama dia, Cha!" Nora membelalak. Echa menjadi pelampiasan kekesalannya, dia melemparinya dengan bantal sofa. "Masa dia ngancam Diva biar nggak dekat-dekat Juna. Lah, dia siapa? Teman Juna bukan, sahabat bukan, pacar bukan, istrinya apalagi. Hak dia apa ngelarang-ngelarang kayak gitu? Yang pacar Juna, 'kan, Diva bukan dia!" "Gue juga kesal kali, Ra, tapi nggak gini amat!" Echa membelalak. "Gue nggak ngejadiin lo sebagai pelampiasan!" Dia balas melemparkan bantal-bantal sofa yang diterimanya dari Nora, kembali pada wanita itu. "Kalian kenapa, sih?" tanya Diva bingung. "Jangan kayak anak kecil, deh, hang suka perang bantal." Dia
Juna yang terus berada di sisi Diva tak memungkinkan ada celah yang bisa digunakan untuk mendekatinya. Pasti karena itu alasan orang itu meneror Diva. Jika digabungkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, di mana Juna mendapatkan informasi dari Tasya yang memberi tahu ada seorang gadis berkacamata berdiri di depan mading sekolah saat semua kelas tengah sibuk dalam proses belajar-mengajar. Tasya sendiri melihatnya saat sedang menunggu guru yang masih belum memasuki kelas mereka, waktu itu. Dari keterangan Tasya dapat disimpulkan bahwa yang sudah menyebarkan fitnah atas Diva adalah gadis berkacamata yang merupakan salah satu siswa di sekolah mereka. Lalu, apakah pelaku penyebar fitnah dan teror adalah orang yang sama? Menurut Arsyi, iya. Sebab tidak bisa menjatuhkan Diva, membuatnya jelek di mata Juna sehingga Juna meninggalkannya, si pelaku kemudian mengirimkan pesan yang berupa teror dan ancaman pada Diva. Sayangnya, sampai sekarang pelaku kedua tindak kejahatan itu masih belum terun
Sepasang alis Diva berkerut, mencoba untuk menggali ingatannya yang tertidur. Ada beberapa yang diingatnya, tentang Arsyi. Entah di mana mereka waktu itu, yang pasti angin sedikit lebih kencang berembus. Sepertinya mereka berada di tempat yang tinggi, mungkin atap gedung sekolah. "Waktu itu di atap gedung sekolah, deh, kayaknya." Diva mengerutkan alis dan hidungnya, mencoba mengingat-ingat. "Ada Arsyi juga di sana, tapi nggak ada Kevin. Aku ingat Kevin pas kemaren dia bilang, dia yang sering ngejodoh-jodohin aku sama Juna pas kita masih sekolah." Diva meringis. "Terus pas di atap gedung, aku nggak tau kita lagi ngapain, yang pasti aku pernah minta tolong sama Arsyi buat jaga rahasia aku. Cuman rahasia apa, aku masih nggak ingat.""Rahasia lo dapat pesan-pesan ancaman sama teror itu, Va," ucap Nora. "Arsyi yang pertama lo kasih tau sama lo mintain bantuan. Habis itu baru lo ngasih tau kita berdua. Itu juga karena Arsyi yang maksa biar lo ada tempat curhat selain dia. Gue ingat pas Ars
"Kamu nggak apa-apa, 'kan, Be? Maaf, nggak sempat pamit sama kamu. Mommy nelpon pagi-pagi buta, minta aku siap-siap. Katanya, pesawat yang jemput aku bentar lagi dateng. Aku pergi jam empat pagi."Diva tetap cemberut meskipun Juna sudah menjelaskan alasannya kenapa tidak pamit padanya. Pipinya menggembung, bibir mengerucut. Tak peduli akan disebut anak kecil, dia hanya ingin menumpahkan kekesalannya pada pria yang saat ini terhubung melalui panggilan video, dengannya. Pukul sebelas siang, saat dia baru keluar dari kamar mandi. Sebab tak ada siapa pun yang membangunkannya, dia terlambat bangun hari ini. Ketika membuka mata, melihat ke jam dinding ternyata sudah lewat pukul sepuluh pagi. Padahal tadi malam dia tidak begadang, tidurnya di jam seperti biasa. Namun, tetap saja dia bangun lebih siang. "Mau nelpon kamu, tapi aku nggak mau ganggu kamu lagi tidur.""Tapi, seenggaknya kamu bisa kirim pesan, 'kan?" protes Diva. Ini adalah kalimat pertama sejak mereka terhubung beberapa menit ya
Seandainya saja pertemuan ini bisa diwakilkan atau lebih bagus lagi tidak dihadiri, ia pasti sudah melakukannya. Tidak akan pergi ke tempat yang jauh dari wanitanya. Melihat Diva menangis membuat dadanya terasa sesak juga. Juna menarik napas panjang, mendiamkannya beberapa detik di paru-parunya yang terasa kosong, membuangnya kembali setelah dirasa paru-parunya sudah terisi. "Maafin aku, Be, aku juga nggak pengen ada di sini." Juna mengusap wajah kasar. "Jangan nangis lagi, dong, Baby, ntar kamu makin cantik. Aku nggak mau ada saingan." Delikan mata Diva yang berair sedikit menghiburnya. Wanitanya tampak semakin menggemaskan. Seandainya Diva berada di sini, sudah pasti akan dipeluknya tubuh mungil itu."Apaan, sih, Juna! Ngehiburnya nggak banget!" Tawa Juna pecah melihat belalakan mata cokelat gelap itu. "Maksudnya apa, ya, Baby?" tanyanya dengan menekankan kata baby. Ia sengaja, Diva terlihat semakin menggemaskan jika cemberut. Tingkahnya masi
Swiss dan cokelat yang bersalju. Di akhir tahun hanya itu yang diingat Juna saat ia masih kecil. Kedua orang tuanya sering mengajaknya ke Titlis untuk liburan. Biasanya mereka menghabiskan waktu satu minggu di sana kemudian kembali ke New York untuk menghabiskan liburan musim dingin dan merayakan natal. Kembali lagi ke Jakarta setelah pergantian tahun. Namun, saat ini ia tidak sedang berlibur, melainkan bagian dari pekerjaan. Seperti yang dikatakannya pada Diva saat panggilan video mereka tadi pagi, siang sampai tiba makan malam, ia bersama Kevin dan kedua orang tuanya beserta asisten pribadi mereka masing-masing menghadiri pertemuan yang membahas masalah pekerjaan mereka. Sebenarnya ia tidak menyukainya, tetapi karena hanya para pebisnis yang memiliki pengaruh besar saja yang diundang, maka ia menghadirinya. Kata Kevin, ini sebuah kehormatan. "Ada yang mau Juna omongin nanti sama Mommy sama Daddy." Juna mengakhiri obrolan makan malam mereka dengan sebuah kalimat yang membuat Arsen