Share

Rendang Basi Dari Mertua
Rendang Basi Dari Mertua
Penulis: Eka Sa'diyah

Bab 1. Harapan Risa

Pagi ini, Sifa sudah bersiap untuk ke rumah Ibu mertuanya. Di rumah Ibu mertuanya ada acara pengajian empat puluh harinya kematian ayah mertuanya sehingga Sifa mendapat tugas memasak untuk persiapan. 

“Bu, nanti kalau di rumah Emak ada daging rendang, bawakan sepotong untuk Risa ya, Bu? Risa ingin sekali makan daging rendang!” Emak, sapaan untuk seorang nenek dari Ayahnya yang bernama Sulhan. Sudah lama sekali Sulhan tidak pulang dari merantau. 

“Baik, Sayang!” Ucap Sifa sambil mencium pipi anak perempuannya dari pernikahannya dengan Sulhan.

Sifa pun pergi menuju ke rumah Marni yang terbilang cukup besar di desanya. Terlihat dua mobil kakak iparnya sudah berjajar rapi di halaman rumah. Baru juga kaki Sifa hendak melangkah memasuki tangga rumah, sosok yang paling dibenci Sifa sudah berkacak pinggang di depan mata.

“Heh, Sifa! Lewat belakang!” Tanpa banyak protes, Sifa gegas lewat belakang. Lebih tepatnya lewat pintu dapur. 

Sesampai di dapur, Sifa sudah disambut dengan beberapa bahan makanan yang harus dimasak hari ini. Ada Soimah, salah satu pembantu mertuanya yang sudah mulai membersihkan beras dari beberapa kerikil. Ya, kampung ini masih menggunakan beras hasil pertanian sendiri, sehingga tidak jarang terkadang masih ada kerikil atau gabah di yang tercampur.

“Non Sifa, harusnya datang agak siang saja!” Sifa hanya tersenyum mendengar ucapan Soimah.

“Ndak apa-apa, Mbak. Lagian pekerjaan rumah sudah selesai kok!” Sifa mulai mengambil daging dan membersihkannya. Sifa ditugaskan membuat rendang daging hari ini. Sifa juga yang harus membuat santan dari tiga butir kelapa yang masih utuh.

“Sifa, nanti jangan lupa rendangnya kamu sisihkan untuk Rana dan Irma. Besok mereka kembali ke kota dan minta dibawakan rendang!” Tiba-tiba Marni datang ke dapur menyampaikan sesuatu yang sangat membuat Sifa terkadang merasa iri.

“Baik, Bu!” Hanya itu yang bisa Sifa jawab kepada Mertuanya. Sifa tergolong gadis penurut, sehingga apapun yang dikatakan mertuanya akan diterimanya.

Marni kembali berkumpul bersama anak dan menantunya tanpa mau membantu kesibukan Sifa dan Soimah di dapur. 

“Non, kok betah sih sama mertua kayak begitu!” Sifa hanya menanggapi pertanyaan dengan senyum.

“Tidak apa-apa, Mbak. Bu Marni adalah Ibunya Mas Sulhan. Jadi Sifa juga harus menganggapnya sebagai Ibu Sifa sendiri!” Soimah hanya bisa menggeleng kepala melihat kesabaran Sifa.

Keduanya larut dalam pekerjaan masing-masing. Soimah bertugas memasak nasi, membuat apem dan roti kukus. Sedangkan Sifa harus mengaduk rendang sebanyak delapan kilo di dalam sebuah wajan yang cukup besar. Beberapa kali Sifa terlihat mengusap peluh yang sedari tadi membanjiri tubuhnya karena panas dari tungku yang digunakan.

“Sudah sore, aku harus mengurus Risa sebentar!” Sifa sudah berencana meminta daging rendang untuk dibawanya pulang.

Kaki hendak melangkah ke ruang keluarga. Disana terlihat Rana tengah asyik menikmati biskuit bersama Irma. 

“Mbak, Ibu dimana?” Kedua menantu Bu Marni mendelik ke arah Sifa dengan tatapan tidak suka.

“Nggak tahu, cari aja sendiri!” Sifa terpaksa mencari ke ruang tamu. Namun tidak dijumpainya sosok Bu Marni.

“Sifa, kenapa kamu disini? Harusnya kamu di dapur!” Hardik Marni kepada Sifa dengan berkacak pinggang.

“Bu, Sifa minta izin mau pulang sebentar karena mau urus Risa. Kalau boleh, Sifa mau minta satu potong daging rendang untuk Risa,” ucap Sifa dengan rasa takut karena tatapan mertuanya.

“Orang miskin makan saja ikan asin, kenapa harus rendang!” Sahut Rana dari samping Marni. Entah kapan datangnya dia, tiba-tiba saja sudah berada di samping Ibu mertuanya.

“Sebentar, Ibu akan siapkan!” Bibir Sifa tersenyum ketika Marni bersedia membawakan permintaanya.

Tidak berapa lama, Marni keluar dengan membawa sebuah kotak plastik berisi rendang yang masih hangat. Betapa bahagianya hati Sifa karena membawa daging rendang yang diinginkan Risa.

“Nih ada rendang sisa kemarin. Baru juga Ibu hangatkan, lagian juga masih enak!” Sifa menerima kotak plastik dari tangan Mertuanya.

“Terima kasih, Bu!” Ada hati yang merasa sakit ketika mertuanya memberikan daging rendang sisa kemarin kepadanya. Padahal ada daging rendang yang baru saja dimasak. Dengan kecewa, Sifa membawa pulang daging rendang sisa tersebut. 

Kedatangan Sifa disambut Risa di depan rumah. Risa gadis mandiri sejak kecil sehingga Sifa tidak begitu repot mengurus Risa disaat harus berjualan kue keliling kampung.

“Ibu sudah pulang! Pasti itu rendang untuk Risa!” Rasa kecewa berubah bahagia kala melihat wajah Risa yang tengah berbahagia.

“Iya, Nak! Ibu siapkan dulu di piring ya!” Risa mengekor Ibunya menuju ke dapur. Usai menyiapkan nasi, Sifa kemudian membuka kotak plastik tersebut. Baru juga dibuka, aroma aneh menyeruak begitu saja. 

“Kenapa aroma rendang ini begini?” Batin Sifa.

“Wah! Banyak sekali rendangnya! Risa boleh cicip, Bu?” Hati semakin kecewa karena harapan Risa tidak sesuai kenyataan. Sifa memastikan rendang yang dibawanya masih layak dimakan. Usai mencicipi sedikit bumbu rendang itu, Sifa merasa ada rasa yang aneh. Rendang tersebut ternyata sudah basi.

“Nak, Ibu minta maaf! Rendang ini basi!” Sebenarnya ada rasa tidak tega menyampaikan hal ini, tetapi jika tidak disampaikan akan berbahaya jika terlanjur dimakan.

“Basi? Kok bisa, Bu?” Wajah Risa berubah muram usai mengetahui rendang yang dibawa ibunya sudah basi.

“Mungkin Ibu tadi terlambat mengaduknya hingga rendangnya bisa basi!” Entahlah, Sifa mencari alasan sekenanya supaya Risa tidak kecewa.

“Gini aja, malam ini kita makan telur dadar spesial saja ya! Besok kalau Ibu sudah ada rezeki lagi, ibu akan buatkan rendang daging terenak untuk Risa!” 

Akhirnya Risa mau menerima alasan Ibunya. Sifa akhirnya membuatkan telur dadar dengan banyak bawang daun sebagai menu makan malam Risa. Ada hati yang menangis melihat Risa begitu lahap menikmati telur dadar dengan banyak bawang daun. Bukan karena suka dengan bawang daun, tetapi telur yang dibeli oleh Sifa sengaja yang berukuran kecil karena harganya lebih murah.

Usai magrib, Sifa kembali ke rumah mertuanya untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Sebenarnya Sifa malas sekali teringat rendang yang dibawanya ternyata basi. Karena rasa hormat yang dimilikinya, Sifa terpaksa datang untuk membantu acara keluarga suaminya.

“Kamu lama banget sih! Nganter rendang gitu saja sampai selama ini!” Benar-benar panas sekali telinga Sifa mendengar ucapan mertuanya yang sudah berdiri di depan pintu dapur. 

“Ma-maaf, Bu.”

Sifa kembali melanjutkan persiapan pengajian sebentar lagi dimulai. Rendang mulai ditata rapi di sebuah kotak berkat. 

“Dikasih rendang basi ya, Non. Tadi Mbak lihat Ibu memasukkan rendang yang tadi mau Mbak buang!” Sifa hanya bisa mengangguk tersenyum kecut tanpa bisa menjawab. Ada luka yang harus dia tahan untuk sementara waktu. Mbak Soimah sebenarnya cukup kasihan pada Sifa yang selalu menjadi bahan ejekan atau bahkan sebagai pembantu jika ada acara di rumah mertuanya.

“Sabar ya, Non! Orang sabar pasti rejekinya lebar! Mbak doakan semoga Non Sifa selalu diberikan keberkahan dan kebahagiaan!” Dia Soimah menjadi obat dan penghibur hati Sifa yang tengah terluka.

Pengajian berlangsung lancar, menantu dan anak Bu Marni semua ikut hadir dalam pengajian. 

“Sifa dimana, Bu? Kok hanya Sifa saja yang tidak hadir!” Raut wajah Bu Marni berubah ketika Bu Endang mempertanyakan keberadaan Sifa, menantu bungsunya.

“Sifa tidak mau ikut pengajian, Bu. Dia lebih suka di dapur, jadi saya persilahkan saja semau dia. Memang dia cukup berani pada saya!” Bu Marni mulai bercerita yang tidak-tidak kepada tetangganya. Selama ini Bu Marni bersikap baik kepada Sifa jika berada di depan orang, tetapi akan berubah sebaliknya jika tidak ada orang.

“Oh, ternyata dijadikan tukang masak to?” Seketika wajah Bu Marni menegang dan raut wajahnya terlihat malu ketika kenyataan tentang Sifa sudah diketahui tetangganya.

Bagaimana reaksi Marni setelah ini?

Tunggu bab selanjutnya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status