Share

Betara, Zalila dan Indrita

Pertanyaan itu tak keburu terjawab, karena Mereka telah sampai rumah Zalila.

Zalila membuka pintu mobil sebelah kiri untuk turun, sementara Denis tidak turun dari mobil.

"Tidak masuk dulu, Pak?" tanya Zalila sebelum menutup pintu mobil.

"Tidak, Lil. Sudah malam, sampaikan saja salam saya pada Ibu," jawab Denis.

"Oh, ya sudah, nanti saya sampaikan," balas Zalila.

Zalila membuka pintu rumahnya yang tak terkunci, begitu masuk langsung terlihat ibunya yang tertidur duduk di bangku.

'Ibu' gumamnya.

Zalila mendekati Ibunya yang masih tetap tertidur, karena langkah Zalila sangat dipelankannya. Duduk di samping Ibunya, Zalila menatap wajah sang Ibu dengan sendu.

"Ibu! Ibu sehat terus ya, Bu. Jangan sakit lagi, aku tidak mau Ibu sakit lagi" ucapnya pelan.

Menatap wajah Ibunya semakin dalam, Zalila jadi teringat saat keadaan Ibunya yang kritis ketika berada di rumah sakit.

"Ibu anda harus segera di operasi, ginjalnya harus di angkat karena sudah terlalu rusak," ucap sang dokter.

"Operasi, dok?" tanya Zalila, bukan tak percaya namun Ia berharap ada jalan lain.

"Iya, betul," jawab lembut sang dokter wanita.

"Tapi, biayanya?" Zalila kebingungan mengenai biaya untuk operasi.

"Memang cukup besar, tapi hanya itu satu-satunya cara agar Ibu anda terbebas dari rasa sakit yang teramat sangat ini,"

"Saya berharap, anda mengusahakannya,"

Zalila tak bisa berkata-kata lagi, Ia terdiam hanya mendengarkan setiap perkataan sang dokter.

Zalila keluar dari ruang dokter, usai apa yang diberi tahu dokter semuanya telah tersampaikan.

"Gala!" teriak seorang ibu menangisi seseorang yang terbaring pada brankar dan di dorong cepat oleh beberapa perawat. Terlihat juga seorang bapak bertubuh sedikit gemuk, ikut mendorong.

Melewati Zalila brankar itu, hingga Zalila melihat jelas wajah pria yang terbaring tak bergerak itu berlumuran darah. Zalila bergidik ngeri, namun tetap melihat sampai brankar dan orang-orangnya menghilang berbelok kanan.

Zalila kembali teringat perihal operasi Ibunya yang harus segera dilakukan. Namun Ia bingung akan dapat uang darimana.

'Pak Denis' satu nama tercetus dalam pikiran Zalila.

'Tidak! tidak!' namun batinnya melarang.

Ia merasa malu jika meminjam uang dalam jumlah banyak kepada Denis, bosnya.

Hingga hari ketiga, Zalila belum mendapat uang itu. Keadaan Ibunya pun, sudah semakin parah.

Hari itu Zalila termenung di bangku depan rumahnya. Seorang tetangganya menghampiri.

"Bagaimana keadaan Ibumu, La?" tanya seorang Ibu kira-kira berusia sama dengan Ibunya Zalila, yang adalah tetangganya.

"Ibu harus dioperasi," jawab Zalila sambil tertunduk sedih.

"Lalu, apa kau punya biayanya?" tanyanya yang sebenarnya telah yakin dengan jawaban tidak.

Zalila memang tidak menjawab dengan kata tidak, tetap Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan sebagai jawabannya.

"Bagaimana kalau kau pinjam uang dengan Tuan Betara?" sarannya.

"Siapa Tuan Betara?" sahut Zalila belum mengenal Betara.

"Dia orang terkaya di kampung sebelah, tetapi...," jelasnya terpotong, tak sanggup meneruskan untuk menceritakan tentang Betara yang sudah terkenal sebagai rentenir kejam.

"Dia bisa meminjam mu uang, Zalila," ucapnya lagi pada intinya.

"Benarkah?" timpal Zalila tak percaya.

"Cobalah kau datangi, Tuan Betara," lanjutnya.

Malamnya di Rumah Sakit, Zalila merenungkan saran dari tetangganya itu. Ia juga tidak mengambil habis apa yang disarankan itu.

'Pasti ada imbalan yang harus diberikan, jika Tuan Betara itu sampai mau meminjamkan uang dengan jumlah besar, tapi apa ya?' gumamnya.

'Tapi apapun itu, aku harus pinjam uang dengan Tuan Betara itu'

'Ya, aku harus ke sana'

Zalila terus berkata-kata sendiri, bertanya sendiri dan menjawab sendiri.

Zalila telah sampai di rumah Betara, setelah sebelumnya Ia mencari-cari dan bertanya-tanya pada siapapun yang ditemuinya. Anehnya, setiap orang yang ditanyainya selalu berpesan agar sebaiknya tidak berhubungan dengan Tuan Betara.

Namun Zalila tidak peduli, walaupun Ia sempat merasa khawatir juga.

"Hey, mau apa kau kesini, nona ?" tanya seorang Laki-laki bertubuh kekar.

"Sa-Saya ingin bertemu Tu-Tuan Betara," jawab Zalila ketakutan.

"Tak biasanya gadis kecil yang ingin bertemu Tuan Betara" katanya sambil memperhatikan Zalila.

Kemudian Ia masuk ke dalam rumah besar itu. Tak lama, laki-laki bertubuh kekar itu muncul bersama dua orang di depannya. Dua itu adalah sepasang suami-istri, dengan pakaian selayaknya Tuan dan Nyonya. Mereka berjalan semakin mendekati Zalila.

Zalila menatap dalam pada Betara dan Indrita. Ia seperti pernah melihat kedua wajah itu.

"Kau rupanya," ucap Betara seperti sudah mengenal Zalila.

"Tuan, mengenal saya?" Zalila memberanikan diri bertanya.

"Siapa dia, Pi?" tanya wanita disampingnya yang tentunya adalah Indrita, istri Betara.

"Kau anak Jalil, kan?" pertanyaan Betara sekaligus menjawab pertanyaan Istrinya.

"Benar, Tuan? Bagaimana, Tuan mengenal almarhum bapak Saya?" tanya Zalila, ketakutannya mulai sedikit berkurang.

"Oh, jadi ini anaknya Jalil," timpal Indrita.

Zalila semakin keheranan dengan Indrita juga mengenal Bapaknya.

"Untuk apa, kau kesini?" tanya Indrita ketus.

Betara yang juga ingin mengetahui tujuan Zalila, menatap dan juga menunggu jawaban dari Zalila.

"Sa-Saya ingin meminjam uang, Tuan! Nyonya," jawab Zalila, rasa takutnya datang lagi.

"Oh!" pekik Indrita melirik Betara, kemudian mereka saling tertawa seperti kegirangan.

"Kau datang kepada orang yang tepat, cantik," ucap Betara.

"Cantik? apa maksudmu berkata seperti itu, Pi?" cemburu Indrita.

"Oh, maksudku, Zalila," elaknya.

"Benar, kan. Namamu Zalila?" tanya Betara.

"Benar!" jawab Zalila, lagi-lagi keheranan dengan Betara yang juga mengenal dirinya.

"Katakan, berapa yang kau butuhkan?" tawar Betara.

"Benar, Zalila. Kau tidak usah sungkan," timpal Indrita.

"Katakan saja, kami pasti akan memberikan," lanjut Indrita, kemudian Ia menatap Betara yang juga balas menatap. Ada senyum aneh yang tersungging di bibir mereka.

"Lila, kau sudah pulang, Nak?" tanya Radiah telah bangun dari tidurnya. Pertanyaan itu mengagetkan Zalila, hingga membuyarkan semua lamunannya tentang Betara yang bersedia meminjamkan uang dalam jumlah besar padanya. Tetapi ada udang di balik batu, ada tujuan tertentu dari itu semua.

"Ibu kenapa tidur di bangku?" tanya Zalila.

"Ibu menunggu mu pulang," sahut Radiah.

"Bu, Tuan Betara mengapa begitu mengenal Bapak?" tanya Zalila. Pertanyaan yang belum sempat Ia tanyakan pada Ibunya.

Zalila hanya memberitahu bahwa Ia telah meminjam uang dari Betara untuk biaya operasi Ibunya. Walaupun setelah itu, Ia harus mendapat Omelan keras dari Ibunya, karena apa yang dilakukannya itu adalah suatu kesalahan yang besar. Namun akhirnya, Ibunya mengerti dan menerima apa yang dilakukan Zalila itu semata-mata untuk dirinya jua.

Radiah memang belum menjelaskan bagaimana bersikeras nya perlawanan Bapaknya terhadap Betara.

"Tuan Betara memang sudah sangat menginginkan tanah dan rumah kita ini, Lila," ungkap Radiah.

"Dia berusaha sekali membujuk almarhum bapakmu untuk bersedia menjual rumah ini. Tetapi bapakmu selalu menolak.

"Hm, pantas saja perasaan ku pun tidak ingin memberikan rumah ini pada Tuan Betara, walaupun Ia mengatakan akan membelinya dan hutang kita lunas," ungkap Zalila.

"Dia mengatakan hal itu padamu?" tanya Radiah terkejut.

"Itulah yang terjadi di pagi dua hari lalu, Bu," jelas Zalila, baru menceritakannya.

"Tapi, kok aneh ya, Bu? Tuan Betara, belum ada kabar lagi. Dia bahkan meminta ku memberi kepuasan sore harinya,"

"Keputusan apa, Zalila?"

"Sebenarnya, Tuan Betara meminta ku untuk memilih menyerahkan tanah kita sebagai bayaran hutang dan bunganya, atau--," Zalila diam tak melanjutkan ucapannya.

"Atau apa, Lila?" tanya Radiah.

"Atau Ia akan membeli rumah kita, saat ini juga, Bu,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status