Ibu! ada apa?" tanya Zalila terbangun.
"Ini, Ibu tidak sengaja menendang tas kertas, kamu," sahut Radiah.
"Ternyata isinya baju bagus begini," lanjutnya.
"Oh, itu baju dari pak Denis," ungkap Zalila yang dilanjutkan dengan menguapnya.
"Dari pak Denis?" tanya heran ibu Zalila.
'Ada ya, bos sebaik ini' batinnya.
"Lila, apa mungkin pak Denis, su--," ucapan Radiah terpotong melihat Zalila yang tertidur kembali.
Keesokan harinya...
"Duh, yang kemarin diantar pulang pak bos!" ledek Lucy, saat bersamaan sampai di restoran.
Belum lah menimpali ledekan dari Lucy, muncul pula Denis dari belakang.
Zalila kini sudah menginjak tiga tahun menjadi karyawan di restoran milik Denis. Di tahun ini, Denis baru mulai lebih mendekati Zalila, karena kesibukannya dengan beberapa Restorannya di beberapa tempat lainnya.
Pertemuannya yang diawali sebuah peristiwa membuat hubungan mereka berlanjut menjadi hubungan antara karyawan dan bosnya. Namun, hal itu hanya anggapan dari Zalila saja, tidak pada Denis.
Denis ingin ada hubungan yang lebih antara dirinya dan Zalila yang menurut pandangannya adalah gadis yang pantas untuk dijadikan Istrinya.
Akan tetapi, lagi-lagi Denis gagal ketika ingin mengungkapkannya. Ia takut jika Zalila malah akan menjauhinya, jika di lihat dari sikap Zalila seperti tak ada perasaan yang sama pada apa yang Ia rasakan.
"La, aku duluan, ya." Lucy pamit sebelum di usir secara halus oleh Denis.
Lucy lebih dulu dua tahun bekerja di restoran Denis. Jadi Lucy sudah mengenal karakter bosnya itu, Ia juga tahu bagaimana bosnya itu bersikap dan jika sudah menginginkan sesuatu.
"Apa nanti malam, saya boleh mengajakmu lagi?" tanyanya seraya menyeimbangi Zalila yang berjalan pelan.
"Memangnya mau kemana, Pak?" tanya Zalila balik.
"Ada lah, ke suatu tempat," jawabnya masih merahasiakan.
"Ya, nanti saya tanya ibu dulu, ya, Pak," putus Zalila.
"Oke, nanti saya telpon, ya,"
"Oh ya, nanti gaunnya di pakai,"
Seperti sudah jadi kebiasaan, tanpa mengetahui lagi respon Zalila setelah ucapnya, Denis melangkah cepat lebih dulu ke dalam restoran. Ia yang sebagai bos tentunya akan masuk ke ruang kantornya, yang berada di lantai dua.
Matahari mulai terik, ada seorang pengunjung laki-laki yang tengah di layani Zalila.
"Mbak, capuccino nya yang manis ya, semanis mbaknya," goda pria itu.
Dari ujung ruangan jalan menuju tangga lantai dua, ada Denis yang memperhatikan.
"Baik, Mas! satu saja, ya?" tanya Zalila tak meladeni rayuan pria tersebut.
"Ya, satu saja. Dua juga tidak apa, buat Mbaknya satu. Biar sekalian menemani saya minum," goda pria itu lagi.
Tak tahan dengan pria yang selalu menggoda Zalila, Denis pun akhirnya mendekati.
"Maaf, Mas. Kami tidak menerima layanan untuk menemani tamu," tegas Denis.
"Oh, maaf, Pak. Habis, mbaknya cantik," sahutnya sambil cengengesan.
"Jaga sikap Anda, ya. Jika masih ingin disini silahkan, jika tidak silahkan pergi," marah Denis merasa pria itu main-main dengan Zalila.
"Baik, Saya akan cari tempat lain," ketusnya sambil beranjak.
ucapan pria itu membuat Zalila panik, bukankah Ia harus melayani pengunjung dengan baik.
"Mas!Mas, duduk saja dulu. Saya akan siapkan pesanan, Mas," cegah Zalila.
"Tidak perlu!" ketusnya lagi, kali ini pria itu benar-benar pergi.
"Pak, lihat. Anda telah mengusir tamu anda, Pak!" marah Zalila.
"Biarkan dia pergi, jika tidak dia akan semakin jauh kurang ajar padamu!" balas Denis dengan tajam.
Tak menimpali lagi ucapan Denis, Zalila hanya diam memeluk buku menu. Zalila berpikir apa yang dilakukan Denis, itu untuk melindunginya dari sikap yang mungkin akan menjurus pada tindakan asusila jika dibiarkan.
Tetapi tidak dalam pikiran Denis yang sebenarnya Ia merasa cemburu buta dengan perlakuan pria yang menggoda Zalila. Walaupun sebenarnya sangat beresiko terhadap restorannya jika pria itu akan melakukan sesuatu yang merugikan restorannya, karena sakit hatinya.
"Ada apa, La? sepertinya tadi ada adu mulut, ya?" tanya Lucy begitu Zalila sampai di counter khusus waiters atau pelayan restoran.
"Iya, tuh. Pak Denis, malah mengusir pengunjungnya," sahut kesal Zalila.
"Hm, pasti ada sesuatu?" selidik Lucy.
"Tidak, Pak Denis nya saja yang cepat marah seperti itu." Zalila masih belum juga mengerti jika Denis cemburu dengan pria itu.
"Lila...Lila!" Lucy menggeleng merasa Zalila yang masih juga belum menyadari ketertarikan Denis padanya.
"Kenapa, memangnya?" Zalila kebingungan dengan Lucy yang seperti itu, menggeleng sambil sedikit tertawa menyebut namanya.
"Kamu itu masih belum sadar apa gimana, sih. Pak Denis bersikap seperti itu, karena dia cemburu," jelas Lucy masih tertawa kecil.
"Sudahlah," malas Lucy, kemudian beranjak melihat ada pengunjung yang baru menempati meja bernomor sembilan.
"Cemburu? apa sih, maksud kamu, Lucy?" Zalila mengencangkan suaranya, karena Lucy semakin jauh.
*****
"Jadi, tidak apa Ibu aku tinggal?" tanya Zalila.
"Iya, Lila. Tidak apa, pergilah dengan pak Denis," sahut ibu Zalila mengijinkan.
Zalila telah memberi tahu ibunya bahwa Denis akan mengajaknya malam ini ke suatu tempat yang Ia juga belum tahu.
"Kau tidak akan memakai baju dari pak Denis, kemarin?" tanya Radiah.
"Iya sih, Bu. Pak Denis minta aku pakai baju itu," jawab Zalila.
Ditengah perbincangan itu, suara ponsel Zalila yang berada di atas pubet pendek terdengar nyaring. Zalila menghampirinya dan menjawab panggilan telepon itu.
"Halo, Pak Denis!" sapa Zalila dalam sambungan telepon yang ternyata dari Denis.
"Apa? Pak Denis sudah di depan rumah!" pekik Zalila atas pemberitahuan Denis.
"Ya, sebentar saya bukakan pintunya," balas Zalila, kemudian menutup teleponnya.
"Siapa, La?" tanya Ibunya.
"Pak Denis, Bu! sudah di depan rumah katanya," sahut Zalila terus melangkah ke pintu.
Sampai di depan pintu, Zalila membuka pintunya dan benar saja Denis sedang berdiri tepat di depan pintu.
"Hai, Zalila!" serunya.
"Pak Denis, ada-ada saja. Telepon, tidak tahunya sudah di depan pintu," sambut Zalila.
Hehe...
Terkekehnya Denis, atas ucapan Zalila itu.
"Di ajak masuk saja, La, Pak Denis nya!" teriak Radiah dari bangku tamu.
"Mari masuk saja, Pak," ajak Zalila.
Denis masuk ke dalam rumah Zalila, tak lupa Ia memberi salam kepada Ibu Zalila. Menduduki bangku yang lebih dekat dengan pintu, usai dipersilahkan duduk. Denis semakin kagum dengan keadaan rumah Zalila yang terasa semakin nyaman semakin ke dalam rumah ini. Rumah yang sederhana namun dengan tata letak yang rapih serta kebersihan dan harum ruangan yang membuat nyaman.
"Di buatkan minum, La," titah Radiah.
"Tidak usah, Bu. Saya mau langsung mengajak Zalila," cegah Denis yang membuat terhenti dari beranjaknya.
"Oh, begitu," mengerti Radiah.
"La, gaunnya?" ucap lanjut Denis singkat bermaksud mempertanyakan mengenai gaun pemberiannya yang sudah dipesannya agar dipakai malam ini, saat diajak pergi.
"Iya, Mas. Belum saya pakai," sahut Zalila tertawa kecil.
"Sudah, di pakai dulu sana," titah ibunya.
Lima menit menunggu Zalila berganti baju, akhirnya Zalila keluar juga dari kamarnya dengan memakai gaun dan polesan bedak natural.
'Wah!' gumam pelan Denis sambil tak berhenti menatap Zalila.
Zalila mengedarkan pandangannya kesemua arah, Ia melihat banyak orang-orang berpakaian bagus-bagus dan mewah. Terutama pada wanitanya, yang gaunnya menjuntai hingga lantai dan ada yang begitu seksi menampilkan bentuk lekuk tubuh idealnya.Sepasang pengantin yang berdiri di pelaminan, menyambut ceria orang-orang yang memberi selamat kepadanya. Semuanya telah jelas, jika Denis mengajak Zalila ke sebuah pesta pernikahan."Ayo, La!" ajak Denis lalu menggandeng bahu Zalila.Zalila menurut mengikuti langkah Denis, dan membiarkan tangan Denis merangkulnya walaupun Ia merasa tak nyaman."Hai, Denis!" sapa seorang wanita, Cantik sekali penampilannya."Hai!" balas Denis tanpa ekspresi."Ini pacar kamu?" tanya kemudian.Baru saja Zalila ingin menyanggah pertanyaan itu, Denis yang sudah keburu menjawab."Iya, pacarku," ucapnya."Oh, turun ya selera kamu," cibir wanita itu, usai menatap detail Zalila. Dalam pandangannya, Zalila memang t
Pertanyaan itu tak keburu terjawab, karena Mereka telah sampai rumah Zalila.Zalila membuka pintu mobil sebelah kiri untuk turun, sementara Denis tidak turun dari mobil."Tidak masuk dulu, Pak?" tanya Zalila sebelum menutup pintu mobil."Tidak, Lil. Sudah malam, sampaikan saja salam saya pada Ibu," jawab Denis."Oh, ya sudah, nanti saya sampaikan," balas Zalila.Zalila membuka pintu rumahnya yang tak terkunci, begitu masuk langsung terlihat ibunya yang tertidur duduk di bangku.'Ibu' gumamnya.Zalila mendekati Ibunya yang masih tetap tertidur, karena langkah Zalila sangat dipelankannya. Duduk di samping Ibunya, Zalila menatap wajah sang Ibu dengan sendu."Ibu! Ibu sehat terus ya, Bu. Jangan sakit lagi, aku tidak mau Ibu sakit lagi" ucapnya pelan.Menatap wajah Ibunya semakin dalam, Zalila jadi teringat saat keadaan Ibunya yang kritis ketika berada di rumah sakit."Ibu anda harus segera di operasi, ginjalnya harus di angkat
Seminggu sudah tidak ada kabar dari Betara. Membuat Zalila merasa keheranan, hingga akhirnya Ia mencoba untuk mencari tahu. Karena Ia takut, jika tiba-tiba Betara dan anak buahnya akan menyerangnya lagi.Dari kejauhan Zalila mengintai rumah Betara. Memanjangkan pandangannya, Zalila mendapati rumah itu begitu sepi. Pagar rumah yang tinggi terlihat terbuka.Pukk...Seorang Ibu menepuk pundak Zalila, membuatnya terkejut."Sedang apa, mengintai seperti itu?" tanya."Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya--," sahut Zalila gugup."Hati-hati kalau sampai Tuan Betara tahu," katanya lagi memperingati."Sebenarnya saya sedang ada urusan dengan Tuan Betara, tetapi sudah seminggu ini Tuan Betara tidak menemui saya," ungkap Zalila.Ibu itu menganggukkan kepalanya, seperti mengerti maksud Zalila."Maksud mu, tidak meneror, bukan?""Tuan Betara itu sedang tertimpa musibah,""Ya, semoga saja selamanya. Biar tahu rasanya sulit orang yang
"Terimakasih," ucap Zalila usai kepada seorang apoteker, usai membayar dan menerima obat yang dibelinya.Berbalik badan, Zalila langsung berhadapan dengan Indrita. Terjadilah saling pandang, namun Zalila langsung tertunduk."Kau, Zalila," sebut Indrita.Zalila tetap tertunduk, tak berani mengangkat wajahnya. Ia sangat ketakutan.Indrita terus menatap dalam Zalila, ada sesuatu yang Ia pikirkan tentang Zalila."Ayo ikut aku." Indrita menarik Zalila untuk segera keluar dari apotik.Di luar, Indrita baru melepaskan dari mencekal pergelangan tangan Zalila."Kamu enak-enakan beli obat, sementara hutangmu belum juga kau bayar!" ketusnya memarahi Zalila."Maaf Nyonya, obat ibu saya sudah habis," sahut pelan Zalila.'Hmm!' batin Indrita sambil mengangguk-angguk.Indrita menarik lagi Zalila, mengajaknya secara paksa untuk masuk ke dalam mobilnya."Cepat masuk!" hentak Indrita."Tapi, Nyonya. Saya harus memberikan obat ini
"Cepat putar keran Shower nya!" Gala terus memerintah Zalila dari depan pintu kamar mandi.Keluar rintik-rintik deras air dari Shower, sedikit membasahi baju Zalila."Sudah," ucap Zalila."Ya sudah, berdirilah kau di bawah air yang mengalir itu,"Zalila merasa keheranan dengan apa yang diperintahkan Gala. Apa maksudnya menyuruh Zalila berdiri di bawah air mengalir itu, tentunya akan membuat bajunya basah kuyup. Tentunya pula memang itu yang di inginkan Gala.Gala menjadikan Zalila pelampiasan dendamnya, sedangkan Zalila sendiri tidak tahu bahkan tidak paham sama sekali maksud semua ini. Tetapi Gala begitu menikmati melihat Zalila yang basah kuyup seluruh tubuhnya. Seakan dendamnya benar-benar telah Ia balas pada orang yang melakukannya."Tuan Muda, apakah sudah selesai? Sa-Saya kedinginan," ucap Zalila gemetar, kedua tangannya memeluk dirinya."Belum, tetaplah disitu!" teriak Gala.Zalila merasa kedinginan badannya, Ia memang sedang me
"Sekarang juga, suruh suster ini pergi!" ketus Gala."Gala, dia itu memang harus melayani mu menuruti perintah mu, sebagai bayaran hutangnya," jelas Indrita."Maksud, mami? tanya Gala."Eeem..., maksud mami. Kalau dia pergi, dia akan berhutang karena mami sudah bayar dia," bohong Indrita.Sebenarnya sangat tidak setuju dengan apa yang di lakukan kedua orang tuanya ini, mengenai peminjaman uang yang berbunga. Karena itu, Ia memiliki usaha sendiri tanpa meminta bantuan dari kedua orang tuanya ini.Awalnya Gala tidak pernah mengetahuinya, karena banyak orang yang membicarakannya bahkan ada yang sampai melampiaskan kekesalan padanya barulah Ia mengetahuinya.Gala pun akhirnya marah kepada Betara dan Indrita, hingga mengancam akan pergi. Untuk mencegah Gala pergi, Betara dan Indrita mengatakan akan meninggalkan itu semua. Namun ternyata, Betara dan Indrita tak benar-benar melepas bisnis pinjaman uang berbunga nya itu. Karena begitu banyak keuntungan ya
Dibelakang Rumahnya terdapat hamparan air berukuran 3x7 meter. Ya, itu adalah sebuah kolam renang. Biasanya Gala yang paling sering menggunakannya, namun dengan kondisinya sekarang ini tentu sangat tidak memungkinkan.Tak berjauh jarak dari pinggir kolam renang itu terdapat payungan besar dengan kursi panjang dibawahnya sebagai tempat untuk berjemur seusai berenang, selayaknya nuansa pantai.Indrita merebahkan dirinya pada kursi panjang itu, melunjurkan kakinya."Kau dibawah!" perintahnya pada Zalila.Zalila menurut, duduk di bawah menghadap Indrita yang terbaring itu. Pastinya kursi pantai itu memang tidak tinggi."Pijatlah kakiku!" perintahnya lagi.Zalila pun menurut, perlahan Ia memegang kaki Indrita yang mulus. Kemudian Ia menggerakkannya keatas kebawah dengan sedikit menekannya. Ia sering melakukannya pada Ibunya."Hm, enak juga pijatan mu," ucap Indrita."Saya sering melakukannya pada Ibu saya, Nyonya," sahut Zalila."Oh b
Kau harus di beri hukuman," ketus Gala."Walaupun hanya telat lima menit?" protes Zalila."Ya, itu telat juga, bukan?" elak Gala."Ya sudah, aku harus melakukan apa?" pasrah Zalila akhirnya.Gala menatap Zalila dengan tatapan seperti memikirkan sesuatu. Bibirnya yang tipis sedikit kemerahan menyunggingkan senyum tertanda ada sesuatu pula.Indrita telah pulang bersama Betara, entah bertemu dimana mereka. Betara yang pergi lebih dulu, tentu untuk urusan bisnisnya. Ia menggilai membangun perusahaan, saat ini proses pembangunan bangunannya sedang berjalan.Tak seperti Gala yang telah memiliki perusahaan sendiri dengan usahanya sendiri, walaupun perusahaan kecil. Betara yang sudah berencana telah lama, namun baru kali ini berjalan itupun baru hanya pembuatan bangunannya saja. Betara pun membangunnya dari hasil meminjamkan uang secara berbunga."Pi, mami mau ke kamar Gala dulu," katanya pada Betara yang seperti biasanya begitu mereka sampai, merek