Share

Kedatangan Denis

Sore pun tiba, Zalila bersiap akan pulang. Jam kerjanya telah selesai, bergantian dengan shif dua karyawan lain.

Berbarengan dengan Lucy keluar dari Resto. Langkah Mereka terhenti, ketika ada seseorang memanggil Zalila.

"Lil!" panggil Denis, sambil berlari kecil untuk lebih mendekati Zalila.

"Iya, Pak!" sahut Zalila, sebelumnya melirik pada Lucy. Sahabatnya itu pun, membalas dengan melihatnya juga.

"Bagaimana? mau ku antar pulang?" tanya Denis yang telah sampai pada kedua karyawannya itu.

Zalila dan Lucy kembali saling melirik, kemudian Lucy mencolek Zalila dengan sikutnya. Mengangkat kedua alis lengkungannya dan menggerakkan wajah cantiknya kearah Denis, Lucy memberi kode agar Zalila menerima tawaran Denis.

Merasa di dukung, Denis tersenyum girang. Zalila sendiri mengikuti saran Lucy, karena Ia selalu percaya dengan sahabatnya itu.

Zalila sampai di rumahnya dengan diantar Denis.

"Ini rumahmu, Lil?" tanya Denis melihat rumah Zalila dari kaca jendela depan mobilnya yang memang menghadap tepat ke depan rumahnya, masuk dan berhenti di halaman luas rumah Zalila.

"Iya, Pak!"

"Tapi lebih tepatnya gubuk, Pak!"

Denis memperhatikan lagi rumah Zalila yang terlihat kental dengan rumah adat Jakarta.

"Ini sih, bagus, Zalila. Terlihat tradisional dan asri," timpal Denis.

"Ayo, pak, turun," ajak Zalila.

"Eits, Pak lagi. Mas, dong," protes Denis.

"Iya, Mas Denis," sahut Zalila tersenyum kecil.

Baru saja Zalila akan turun dari mobil Denis. Bos nya itu memanggilnya lagi." Lila!"

"Ini, dibawa sekalian," ujarnya setelah Zalila menolehnya.

Zalila mengambil sebuah paper bag yang di ulurkan Denis itu, sambil melempar senyum.

"makasih, Mas Denis!"

Denis membalas dengan mengangguk juga senyuman. Kemudian turun dari mobil, bersebelahan pintu dengan Zalila yang turun dari pintu sebelah kiri.

Di dalam rumah Zalila, seperti biasa ada Ibunya yang duduk di bangku ruang tamu. Ya, bangku dengan busa yang tidak menggembul lagi. Bukan sofa empuk dan mewah.

"Bu!" panggil Zalila sambil membuka pintu.

Denis masih di luar yang juga ada dua bangku kayu dan mejanya. Kemudian Ia duduk, menunggu Zalila yang masuk ke dalam.

Denis melebarkan pandangannya ke sekeliling rumah Zalila. Ada rasa kagumnya pada rumah itu, di jaman modern seperti ini masih ada rumah berdisain rumah adat.

Zalila keluar bersama Ibunya yang Ia gandeng. Sontak, Denis bangun dari duduknya dan menyambut sopan Ibu Zalila.

"Bu, ini bos aku, namanya pak Denis." Zalila memperkenalkan Denis pada Ibunya.

Tak lama berbincang-bincang selanjutnya, dari sekedar basa-basi hingga soal pekerjaan Zalila. Denis mengadukan jika Zalila adalah karyawannya yang rajin.

Denis undur diri, usai meminum segelas kopi suguhan Zalila.

"Terimakasih, Nak Denis. Sudah bersedia datang ke sini, pakai mengantar Lila segala," ucap Radiah, ibu Zalila.

"Iya, Bu!" sahut Denis sambil tertawa kecil.

Zalila dan Ibunya masuk ke dalam rumah, sepulangnya Denis. Di bangku ruang tamu yang juga tempat menonton televisi, Mereka duduk bersama.

Awal perkenalan Ibu Zalila dan Denis, berkesan manis. Di mata Ibu Zalila, Denis adalah pria yang sopan dan bertanggung jawab.

Ibu Zalila menaruh harapan pada Denis, jika suatu saat Denis dan Zalila berjodoh. Ia sudah sangat menginginkan Zalila Menikah, menyadari kondisinya yang sering sakit-sakitan. Ketakutannya yang selalu hadir di saat sakitnya adalah tak dapat lagi menemani Zalila, begitupun dengan pernikahan Zalila. Ia takut tak dapat menyaksikannya.

"Kenapa, Ibu menatap aku seperti itu?" tanya Zalila merasa aneh dengan ditatapnya oleh Ibunya yang sambil tersenyum-senyum.

"Kau dan Pak Denis itu, apa ada hubungan yang lebih?" tanyanya.

"Tidak, Bu. Pak Denis itu memang baik pada semua karyawannya," elak Zalila.

Mendengar jawaban Zalila yang katanya Denis baik pada semua karyawannya, mematahkan dugaannya jika Denis memperlakukan lain putrinya itu dari karyawan lainnya karena ada persaan yang lain pula.

Malam pun datang menyamarkan semua yang terlihat jelas di siang hari. Zalila memandang ke luar lewat jendela kamarnya. Semilir angin malam sangat terasa menerpa wajahnya, memainkan rambut hitam dan panjang milik Zalila.

Terbuai belaian angin malam itu, Zalila baru tersadar tentang peristiwa pagi tadi saat di rumah mewah Betara.

'Urusan ini tentu belum selesai, saya akan meminta keputusan mu sore nanti'

Ucapan Betara itu terngiang di telinga dan ingatan Zalila. Kemudian Ia melihat jam dinding yang menempel di tembok Rumahnya. Jam dinding yang tak bernyawa namun berdetak di setiap detiknya, menunjukkan pukul sepuluh malam.

Zalila merasa keheranan sendiri baru menyadari tak ada pergerakan dari Betara, yang biasanya selalu mengirim anak buahnya. Padahal Tuan rentenir itu akan meminta keputusannya sore tadi.

'Apa dia lupa, sama seperti ku' gumam Zalila.

Zalila yang pikirannya masih tertuju pada Betara dan ancamannya, dikagetkan dengan suara ketukan pintu kamarnya.

"Lila!" panggil Radiah.

"Iya, Bu!" sahut Zalila seraya beranjak untuk membuka pintu.

"Kau belum tidur, La?" tanya Radiah, sudah dibukakan pintu oleh Zalila.

"Belum, Bu. Belum ngantuk," sahut Zalila sambil berjalan ke tempat tidurnya, kemudian Ia duduk di pinggirnya. Di ikuti oleh Ibunya.

"La, Ibu harus bantu kamu untuk mencari uang, untuk membayar hutang kita pada tuan Betara," ucap Radiah menatap Zalila.

"Ibu tenang saja, ini pasti ada jalan keluarnya agar kita terbebas dari hutang tuan Betara," timpal Zalila, Ia merebahkan kepalanya di pangkuan Ibunya. Belaian lembut pun jatuh ke kepala Zalila dari tangan kurus Ibunya.

"Ibu tidak ingin kau bersusah payah sendirian," ucapnya sambil tetap membelai rambut Zalila.

"Bu, kesehatan Ibu yang paling penting. Yang lainnya, tidak perlu Ibu pikirkan." Zalila bangun dari tidurannya di pangkuan Ibunya tadi.

"Kamu juga, Lila. Ibu khawatir, kesehatan mu akan terganggu," balas Radiah dengan memegang kedua pipi lembut Zalila.

"Sudah, Ibu tidak perlu khawatir," Zalila kembali merebahkan kepalanya di pangkuan Ibunya seperti tadi. Ibunya pun kembali membelai sayang kepala Zalila. Hingga akhirnya, Zalila tertidur.

"Tidurlah, Nak. Kau memang anak yang baik, Ibu sayang padamu, Lila."

Sebutir air bening keluar dari ujung pelupuk matanya, segera Ia menyekanya agar tak sampai jatuh. Jika jatuh, kemungkinan akan menimpa wajah Zalila yang semakin manis dalam terpejam matanya.

Radiah membetulkan dengan pelan dan hati-hati tubuh Zalila, agar jangan sampai terbangun. Kini terbaring sempurna Zalila di atas kasurnya.

Radiah menutup jendela kamar Zalila yang tadi terbuka. Langsung saja wajahnya tertiup angin dingin malam, Ia bergidik merasakan kedinginan pada bulu kuduknya. Barulah terasa hangat usai jendela tertutup.

Baru saja akan keluar kamar Zalila, Radiah tak sengaja menendang sebuah paper bag yang terletak di bawah bagian depan tempat tidur Zalila yang berhadapan dengan jendela.

Tak menimbulkan suara keras, paper bag yang berisi gaun yang tadi di belikan Denis itu jatuh rebah. Radiah memungutnya, berniat untuk di rapikan kembali. Gaun itu terlihat sedikit keluar dari paper bag.

'Baju siapa ini? apa iya, punya Lila?' gumamnya seraya melihat lebar gaun tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status