Mag-log inBeberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang?
Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan. “Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dalam kepala? Gejala klasik dari tekanan mental yang ekstrem. Ia adalah seorang pria di ambang kehancuran, bukan pahlawan terpilih dalam sebuah dongeng kosmik. Bangun! Iniadalah dunia nyata yang kejam. Radit menekan kedua pelipisnya, mencoba mengusir suara aneh itu. “Pergi… pergi sana… aku cuma butuh tidur!” serunya seperti orang gila. Entah ia bicara dengan siapa. [Penolakan tidak valid. Proses instalasi dimulai. Estimasi waktu: 10 detik.] Tubuh Radit menengang seketika. Suara itu kembali, lebih tegas dan dingin, mengabaikan permohonan putus asanya seolah itu hanyalah dengungan seekor lalat. “Instalasi apa?!” pekik Radit pada udara kosong, panik mulai mencengkeramnya seperti cakar es. “Tidak ada apa-apa di sini! Ini cuma warung nasi goreng sialan! Siapapun kau, aku minta pergi sekarang juga!” tambahnya masih dengan kepanikan. Keringat dingin bercucuran dari kening dan pelipisnya. Tubuhnya bergetar hebat. Sempat terpikir olehnya untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Siapa tahu suara misterius itu menghilang. [10%... 25%... 40%...] “Sialan, suara itu tidak menghilang juga!” ujar Radit frustasi. Entah apa yang harus ia lakukan untuk mengusir suara aneh di kepalanya itu. Sensasi aneh mulai menjalari tubuhnya. Bukan rasa sakit, melainkan sesuatu yang lebih asing. Ia merasa seolah-olah kesadarannya, jiwanya, sedang dipindai, diukur, dan dipetakan oleh sebuah kekuatan tak kasatmata. Setiap kenangan pahit, setiap kegagalan, setiap keraguan diri yang selama ini ia kubur dalam-dalam, kini terasa disibak dan diinventarisasi dengan efisiensi mesin yang kejam. “Hentikan! Siapa kau?!” Radit berteriak pada udara kosong. Ia mundur selangkah, tersandung kakinya sendiri dan jatuh terduduk di atas tanah berdebu. “Sialan!” makinya secara reflek. Rasanya seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Muncul suara aneh di kepalanya, malah jatuh karena kaki sendiri. [70%... 85%... 99%...] Suara misterius di kepalanya kembali muncul. Kali ini Radit tak bereaksi apapun. Ia hanya mematung, menunggu apa yang akan terjadi. Tepat di depan matanya, udara kosong mulai beriak, seolah permukaan danau yang tenang dilempari kerikil. Dari riak itu, muncullah garis-garis cahaya biru spektral yang saling menyambung, membentuk sebuah persegi panjang transparan yang melayang sekitar satu meter di hadapannya. Aksara-aksara digital yang aneh namun entah bagaimana bisa ia pahami mulai menari di permukaan layar holografik itu. [Instalasi Selesai. Selamat datang di Sistem Citarasa Ilahi.] [PENGGUNA: RADIT JAYA] [LEVEL: 0 (Pecundang Kuliner)] [SKILL: Tidak Ada] [QUEST AKTIF: 0] Mata Radit terpaku pada tulisan ‘Pecundang Kuliner’ yang terpampang nyata dengan warna merah menyala, seolah Sistem itu sengaja mengejeknya. Rasa takutnya kini bercampur dengan percikan amarah yang terhina. “Pecundang?” gumamnya lirih, sebelum berteriak lagi. “Aku tahu aku pecundang! Aku tidak butuh program hantu untuk memberitahuku!” Saking frustasinya, Radit tertawa lepas seperti orang gila. Ia mentertawakan dirinya, nasibnya, dan hidupnya yang tak berarti ini. Ia merasa benar-benar gila sekarang. [Quest Awal Dikeluarkan.] Layar itu berkedip, dan sebuah notifikasi baru muncul dengan bunyi ping lembut yang terasa menusuk keheningan malam. [QUEST PERTAMA: Nasi Goreng Kebangkitan] [DESKRIPSI: Buktikan bahwa kau layak menjadi wadah Sistem. Masaklah satu piring Nasi Goreng Level 1 yang melampaui standar kehambaranmu saat ini.] [HADIAH: 10 Poin Pengalaman, Buka Skill 'Bumbu Dasar Level 1'] [HUKUMAN JIKA GAGAL: Penghapusan eksistensi kuliner (rasa masakanmu akan menjadi lebih buruk dari air tawar).] Radit membaca baris terakhir itu dengan napas tertahan. Penghapusan eksistensi kuliner? Ini bukan lagi halusinasi. Ini adalah mimpi buruk yang interaktif. “Tidak! Aku tidak mau!” Radit merangkak mundur, menjauh dari layar biru yang melayang itu seolah benda itu adalah hantu sungguhan. “Aku tidak mau main permainanmu! Cabut benda ini dari kepalaku! Uninstall! Lakukan sesuatu!” Radit mengibaskan tangannya, mencoba menepis layar itu. Namun, tangannya hanya menembus cahaya biru itu tanpa perlawanan, mengirimkan sensasi dingin seperti menyentuh kabut pagi ke ujung jarinya. [Sistem Citarasa Ilahi terikat secara permanen pada jiwa pengguna. Proses pencabutan tidak dimungkinkan.] “Jiwa? Omong kosong apa ini?” Radit berdiri dengan goyah, matanya memancarkan keputusasaan murni. Ia menatap wajannya yang dingin, kompornya yang mati, dan warungnya yang gelap. Seluruh dunianya telah runtuh hari ini, dan sekarang, entah dewa atau iblis mana yang memutuskan untuk menjadikannya bahan lelucon. “Aku menyerah, mengerti?” ucapnya dengan suara serak, lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada Sistem. “Aku sudah mau menutup warung ini. Aku sudah selesai. Kau datang terlambat. Cari saja orang lain, cari koki hebat, jangan ganggu pecundang sepertiku.” [Analisis status mental pengguna: Keputusasaan tingkat tinggi terdeteksi. Motivasi eksternal diperlukan.] [Memulai prosedur injeksi pengetahuan paksa.] “Injeksi apa la—“ Sebelum Radit bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah gelombang kejut menghantam tempurung kepalanya. Ini bukan sekadar sakit kepala. Ini adalah badai neurologis. Seluruh dunianya meledak dalam simfoni rasa dan aroma yang tak pernah ia kenal. Radit bisa mencium aroma bawang putih yang ditumis pada suhu 176,7 derajat Celsius, suhu sempurna untuk mengeluarkan rasa manis tanpa sedikit pun jejak pahit. Ia bisa merasakan di ujung lidahnya tekstur garam laut murni yang digiling hingga ukuran 0,3 milimeter, ukuran ideal untuk larut merata di atas nasi panas. Ia bisa melihat dengan mata batinnya bagaimana molekul minyak kelapa berinteraksi dengan butiran nasi, menciptakan lapisan pelindung tipis yang mencegah nasi menjadi lembek. Sebuah banjir data yang tak terbendung seperti gambar, aroma, rasa, dan teknik membanjiri otaknya. Sebuah resep. Bukan sekadar resep, melainkan cetak biru rasa yang hidup. Bumbu Dasar Level 1. Setiap miligram garam, setiap irisan bawang, setiap tetes minyak… semua terpatri ke dalam jiwanya dengan paksa. Radit merasa kepalanya serasa akan meledak. Rasa sakit yang tak bisa ditahan itu merobek sebuah teriakan bisu dari tenggorokannya saat jutaan informasi menghantam otaknya. "Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa sistem sialan ini bisa hinggap di kepalaku?"Suara isapan itu berhenti, menyisakan keheningan yang seribu kali lebih menakutkan. Kehampaan suara itu terasa seperti sebuah pernyataan—hidangan telah habis, transaksi telah selesai. Radit, yang masih berjongkok dengan lutut gemetar, merasakan gelombang dingin merayap di punggungnya, sebuah insting purba yang memerintahkannya untuk lari.Tanpa berpikir, ia bangkit dan berbalik. Ia tidak berlari, karena kakinya terasa seperti jeli, melainkan berjalan sempoyongan dengan kecepatan yang dipaksakan. Ia mematuhi perintah Sistem: jangan menoleh. Setiap langkah menjauh dari persimpangan itu terasa seperti menarik kakinya dari lumpur hisap yang tak terlihat. Ia bisa merasakan sesuatu di belakangnya, bukan kehadiran fisik, melainkan sebuah kekosongan yang mengawasinya, sebuah tatapan dari entitas yang baru saja ia beri makan.Begitu pintu warungnya yang reyot tertutup di belakangnya, kakinya lemas. Ia bersandar di pintu, dadanya kembang kempis, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Gila… g
“Kau… bukan sekadar juru masak,” bisiknya, kata-kata itu keluar seperti hembusan napas yang rapuh, sarat dengan kekaguman yang nyaris menyakitkan. “Kau adalah seorang pencerita. Dan ini…,” si wanita menunjuk piring kaleng itu dengan dagunya, matanya masih terpaku pada Radit, “...ini adalah kebenaran yang bisa dirasakan.”Radit hanya bisa menatap wanita itu. Mulutnya terbuka tanpa suara. Otaknya gagal total memproses pujian yang begitu puitis dan dahsyat. Selama ini, pujian tertinggi yang pernah ia terima adalah, “Lumayan, Dit, nggak terlalu gosong.”Wanita itu perlahan berdiri, gerakannya kembali anggun dan terkendali, seolah momen keterkejutan tadi hanyalah riak sesaat di permukaan danau yang dalam. Ia merapikan blazernya, tatapannya yang tajam kini melunak, digantikan oleh sesuatu yang lebih kompleks. Rasa hormat, keingintahuan, dan mungkin sedikit kebingungan.“Aku Luna,” katanya, memperkenalkan diri seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, di tengah warung yang lebih mirip lo
Lalat-lalat itu, yang tadinya menjadi simbol pembusukan dan kegagalan, kini melayang beku di udara, sayap-sayap mungil mereka berhenti bergetar. Mereka bukan lagi serangga, melainkan para pemuja bisu yang terpaku di hadapan sebuah altar rasa, terhipnotis oleh kemenyan ilahi yang menguar dari sepiring nasi goreng di atas meja.Radit sendiri berdiri sama kakunya. Ia menatap piring di hadapannya, bukan dengan rasa bangga, melainkan dengan ketakutan. Nasi goreng itu memancarkan aura hangat, butiran-butiran nasinya yang keemasan tampak berkilau lembut di bawah cahaya remang warungnya. Ini bukan lagi makanan. Ini adalah sebuah artefak, sebuah keajaiban yang lahir dari wajan tuanya, dan ia tidak berani menyentuhnya, takut keajaiban itu akan sirna jika disentuh oleh tangan seorang pecundang sepertinya.Keheningan yang sakral itu tiba-tiba pecah.Bukan oleh dengung lalat yang kembali sadar, melainkan oleh suara asing yang datang dari jalanan. Sebuah deru mesin yang halus, dalam, dan bertenaga
Radit tersentak, punggungnya menghantam tanah berdebu di belakang warung dengan bunyi gedebuk. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak beraturan, seolah ia baru saja berlari maraton sejuta kilometer. Matanya terpejam rapat, mencoba mengusir sisa-sisa ledakan sensorik itu. Ia merasakan denyutan di setiap saraf, bukan sakit, melainkan sebuah kejutan dahsyat yang melampaui rasa nyeri. Radit membuka kelopak matanya. Dunia di sekelilingnya tampak berbeda. Bukan secara fisik, namun dalam sebuah dimensi yang lebih subtil.Udara malam yang dingin kini terasa membawa partikel-partikel aroma tersembunyi. Debu di tanah tak lagi hanya debu, melainkan campuran partikel mineral dengan jejak aroma tanah basah dan sisa pembakaran kayu. Bahkan embusan angin yang menerpa kulitnya terasa seperti sentuhan yang bisa ia ‘rasakan’ komposisinya.Radit berdiri dengan gontai, kepalanya masih berdenyut seperti ditabuh gong. Namun ada sensasi kejelasan yang aneh. Seolah, di tengah kekacauan itu, sebuah perp
Beberapa saat Radit mematung. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Suara yang muncul di kepalanya membuatnya bertanya-tanya. Apa ia sungguh kehilangan kewarasannya sekarang? Sistem Citarasa Ilahi. Sesuatu yang tidak disangka oleh Radit. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?Arang hitam itu terlepas dari genggamannya yang gemetar, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang nyaris tak terdengar. Radit berdiri kaku, matanya yang membelalak liar menatap spanduk lusuh di hadapannya, tetapi yang ia lihat bukanlah kain pudar itu. Ia melihat kehampaan.“Gila…,” desisnya, napasnya keluar dalam embusan gemetar yang membentuk kabut tipis di udara malam yang dingin. “Aku sudah gila. Stres. Kurang tidur. Kelaparan. Lengkap sudah penderitaanku,” ocehanya pada diri sendiri. Radit mencoba merangkai serpihan rasionalitas yang tersisa di benaknya yang kacau. Tentu saja itu jawabannya. Tubuhnya telah mencapai batas, dan otaknya mulai memproduksi ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan pahit. Suara di dala
Radit menggenggam spatulanya dengan erat. Spatula itu meliuk-liuk, mengaduk masakan di wajan cekung. Api dari kompor menyala-nyala, mengeluarkan hawa panas di sekitar. Klang! Deng! Klang!Suara bising spatula baja yang menghantam dasar wajan cekung itu terdengar lelah, nyaris tanpa gema. Hanya bunyi logam mati yang beradu dalam kepulan asap tipis beraroma sangit. Bagi Radit, itu adalah musik pengiring kegagalan. Ritme monoton dari seorang pecundang yang bahkan sudah terlalu letih untuk merasa putus asa.Pemuda itu mengaduk nasi dengan gerakan mekanis, matanya kosong menatap butiran-butiran putih yang melompat enggan di atas minyak jelantah yang mulai menghitam. Ini adalah piring kelima belas hari ini. Dan seperti empat belas piring sebelumnya, ia tahu persis rasanya bahkan sebelum mencicipi. Rasa hambar. Sebuah kekosongan yang bisa dikunyah. Nasi goreng tanpa jiwa.“Satu lagi sampah,” gumamnya dengan nada kecewa pada diri sendiri. Suaranya serak dan tertutup oleh desis wajan.Api d







