“Maaf, Pak, apa memang harus begini?” tanya Jaka setelah saling pandang dengan Ario di kegelapan. Pak Kamis tak segera menjawab. Ia justru memperhatikan dengan seksama wajah dua pemuda itu.“Kalian benar-benar temannya Wira?” bisik Pak Kamis dengan penekanan nada pada kalimatnya.“Iya dong, Pak,” jawab Ario tegas.“Kok Bapak tanya begitu? Ada apa?” tanya Jaka yang mencium ada hal yang lebih besar dari yang mereka bayangkan selama ini tentang hal yang tengah dialami sahabatnya.“Kalau kalian teman Wira, sampai datang ke tempat ini, tapi nggak tahu seperti apa masalah temanmu, apa itu bisa dibilang teman?” ucap Pak Kamis begitu menyudutkan.Jaka dan Ario kembali saling pandang. Ada senggurat emosi yang meninggi di wajah Ario. Namun segera ia tepis manakala melihat bilah tajam parang di kedua tangan Pak Kamis. Keduanya serempak mengangkat bahu, tanda tak memiliki ide dan pembelaan apa pun.“Maaf, Pak, Wira memang cerita soal masalahnya dikejar-kejar oleh anak buah Pak Suryo, tapi kami ng
“Berhenti!” seru pria itu setengah berbisik.Wira berhenti mendadak namun tak mampu untuk menahan rasa terkejutnya. Seketika ia masuk lagi ke dalam air setelah hanya beberapa detik keluar. Suara masuknya Wira dalam air itu lah yang dikhawatirkan pria pengejar itu dan segera meletakkan telunjuknya di ujung hidung.“Keluar Lu dari air!” titahnya.Wira mengangkat kedua tangannya tanda ia tak akan melawan. Sesekali ia melirik ke sekitar. Tak ada siapa pun. Artinya pria ini bisa ia lumpuhkan tanpa menarik perhatian para pengejar yang mungkin masih bersembunyi dan mengawasi. Namun Wira tak tahu bagaimana caranya.Perlahan Wira keluar dari air. Pria berpakaian serba hitam itu terus menodongkan senjata apinya dengan tangan gemetar. Wajahnya terlihat panik dan terus menjaga jarak. Mungkin kemampuan spesial Wira sudah ia ketahui, atau mungkin juga ini kali pertama ia menggunakan senjata api.“Cepetan!” ucapnya setengah menghardik.“Nggak liat ini licin? Mana tangan gue ke atas, mana bisa gue pe
“Terima kasih, Wir. Ijinin aku terlibat untuk masalahmu ini,” ucap Niken di dada Wira. Sesunguhnya Wira ingin melepaskan, namun ia melihat ketulusan pada perempuan itu dan tak ingin menghancurkan momentum.“Tapi, Ken, masalahku ini bahaya. Keselamatanmu, Pak Kamis, Yura juga bisa terancam,” sanggah Wira pelan. Ia benar-benar tak ingin merepotkan Niken dan keluarganya lebih dari malam ini.“Wir, biarkan aku membalas pertolonganmu.” Niken melerai pelukannya. Ia kini sedikit mendongak memandang wajah pemuda tampan di hadapannya. “Awalnya aku pikir bisa menjadi pendampingmu, tapi rupanya sudah ada Aisya,” lanjutnya sendu.“Pendampingku?”“Ya, nikah sama kamu, melayani kamu seumur hidup mungkin jadi satu-satunya cara biar kamu tahu aku pengen berterima kasih,” terang Niken. Kedua manik mata hitam itu sudah digenangi air mata.“Kamu tahu itu nggak perlu, Ken. Kamu nggak perlu menyerahkan dirimu untuk berterima kasih. Cukup dengan membantuku kaya sekarang, itu jauh lebih baik,” ucap Wira lem
“Eh, Wir, sorry. Kamu mau kemana?” tanya Niken berusaha mengalihkan pembicaraan yang menghunus padanya.“Aku pikir lebih baik aku di luar. Di dalam rumah cuma ada kamu dan Yura, kan?” ucap Wira tanpa sekali pun meminta Niken memvalidasi ucapannya.Wira melangkah menjauh dari pintu separuh badan itu. Dapur rumah Niken cukup luas, khas dapur di desa. Dengan peralatan sederhana dan kursi bambu menyerupai balai-balai. Bedanya sudah ada washtafle yang belum ditemukan di dapur orang desa.“Nggak lebih baik kamu di dalam aja, Wir?” tanya Niken mengekori langkah Wira.“Aku nggak enak sama Pak Kamis, Ario dan Jaka. Sekaligus jaga-jaga siapa tahu ada yang coba masuk rumah dari belakang,” dalih Wira seraya duduk di kursi bambu. Beberapa detik kemudian pemuda itu menguap.“Istirahat lah, Wir. Kalau nggak mau di dalam, rebahan aja di sini. Kamu pasti capek,” ucap Niken yang sudah duduk di sisi Wira.“Hmm, kayanya rebahan dulu deh. Aku nyaris nggak pernah nyantai seharian ini,” ujar Wira tanda setu
Wira membuka pintu belakang rumah Niken. Emosinya sudah meninggi. Sabit di tangan kanannya terhunus siap untuk menebas apa pun yang menghalangi. Hampir seluruh yang ada di halaman belakang itu menoleh ke arahnya. Apa lagi sebab selain jeritan Niken yang melarang pemuda itu keluar.“Gue yang Lu cari! Nggak usah libatin orang lain!” seru Wira kepada seorang pria di tepi sungai. Pria itu baru saja menurunkan senjata apinya.“Bagus! Nggak usah susah kami cari Lu udah nongol sendiri!” sahut pria itu lantang seperti memanggil rekan-rekannya untuk muncul dari persembunyian.Wira memperhatikan sekitarnya. Ia melihat Pak Kamis, Jaka, Ario dan beberapa penduduk berjongkok setelah tembakan peringatan tadi. Jaka bahkan sudah menggenggam busur panah yang entah didapat dari mana. Ia berpengalaman tawuran saat duduk di bangku STM. Hal ini amat jamak baginya.Wira memberikan kode untuk Jaka agar tak menyerang. Tentu saja Jaka tak puas. Ia ingin sekali melepaskan anak panah pada lelaki bersenjata api
“Gue nggak papa. Udah nyantai aja!” lirih Wira sembari meringis menahan sakit di dadanya. Pemuda itu menjatuhkan sabitnya dan segera meraih tangkai belati yang menancap di dada.“Woy! Jangan bego, Lu! Jangan dicabut! Mending kita ke rumah sakit!” teriak Jaka.Sebuah teriakan yang tentu membuat warga yang ada di pekarangan belakang rumah Pak Kamis itu mendekat. Pun juga dengan Niken yang buru-buru menuruni dua anak tangga dan menghambur demi melihat kondisi Wira.“Aargh!” Wira berteriak seraya mencabut belati itu. Setelahnya ia terkulai lemas dan jatuh ke tanah.“Wira!” jerit Niken nyaris terlambat. Ia dan Jaka dengan sigap menahan tubuh bagian atas Wira agar tak jatuh ke tanah yang basah.“Pak, tolong, Pak! Bawa masuk ke rumah dulu!” pinta Niken setengah memohon.“Apa nggak langsung bawa aja ke rumah sakit, Mbak Niken?” cegah Jaka.“Rumah sakit lumayan jauh, sekitar sini nggak ada yang punya mobil buat bawa Wira. Biar saya dulu yang rawat dia di rumah. Nanti telepon ambulans aja,” ter
“Siapa yang percaya, Jek? Ditembak kok nggak ada bekas luka tembaknya,” ucap Ario dan segera diamini oleh Wira.“Gue sih mau aja lapor, Jek. Tapi kan polisi butuh bukti. Sedangkan gue nggak punya. Lagian dari kemaren gue dikejar-kejar terus. Baru ini lah gue bisa ngobrol sama orang,” terang Wira seraya menerima kaus bersih dari tangan Niken.“Iya juga sih,” lirih Jaka sebagai pertanda ia menyerah berargumen.“Mending sekarang kamu istirahat, Wir. Biar kami jaga gantian,” ucap Niken menenangkan hati.Waktu di jam dinding ruang tamu pak kamis sudah pukul 2 dini hari. Jaka dan Ario segera keluar bergabung dengan beberapa warga untuk berjaga. Sedang Wira akhirnya berusaha tidur di tuang tamu. Niken masuk ke dalam kamar setelah memastikan Wira mendapatkan tempat nyaman untuk beristirahat.***Adzan subuh selesai berkumandang. Wira melaksanakan sholat wajib dua rekaat di sisi dua sahabatnya yang baru saja tidur pukul 4 pagi. Pintu rumah dikunci dan Pak Kamis sholat subuh di Musholla tak jau
Sudah dua malam akhirnya Wira bisa tidur dengan lelap. Meski kerap mendapatkan teror melalui telepon, hidupnya relatif lebih tenang setelah Aisya memilih untuk menyewa bodyguard. Dan demi menjamin keamanan, Aisya menyediakan rumah yang nyaman untuk Mamak dan kekasihnya itu. Sedang pekerjaan bisa Wira lakukan via daring.“Apa kabar rumah kita ya, Wir? Mamak masih ada pesanan jahitan yang belum kelar,” ucap Mamak setelah duduk di sofa bersebelahan dengan meja kerja putranya.“Mamak pengen pulang?” tanya Wira tanpa menoleh. Layar laptop masih menjadi pusat perhatiannya.“Kalo memungkinkan, Wir. Mamak mau batalin aja pesenannya,” pinta Mamak sendu. Sungguh tak nyaman baginya tinggal terlalu lama di rumah yang disediakan Aisya meski jauh lebih mewah dari pada rumahnya sendiri.“Nanti aku omongin sama Aisya ya, Mak? Bodyguard-bodyguard itu kan dia yang bayar,” kilah Wira.Mamak mengangguk dan meraih remot TV sekaligus menyalakan alat elektronik berlayar 32 inch itu. Sesaat kemudian sayup-sa