Share

Foto (1)

Bab 3 : Foto (1)

Hanna bisa melihat jika Naira terkejut dengan pertanyaan yang ia ajukan. Wajah adik tirinya itu tampak tak bersahabat. Hanna merasa jika Naira terlihat seperti nenek penyihir daripada seorang gadis berusia dua puluh tahunan. Gadis yang baru bangkit dari kematian itu menepis pikirannya yang melantur dengan cepat.

“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?” Tanya Hanna lagi karena tak mendapat respons apapun dari adik tirinya itu.

Naira menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah dirasa tenang, ia menatap Hanna dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

“Aku baru ingat jika aku ada kegiatan lain saat ini. Maka dari itu, aku pergi duluan ya kak,” daripada menimpali ucapan Hanna, Naira lebih memilih pergi meninggalkannya.

Hanna tersenyum kecil melihat tingkah adik tirinya itu. Sifat Naira dari dulu ternyata tak berubah. Gadis berambut sebahu itu lebih memilih cara yang lebih halus untuk menghancurkan seseorang daripada bertatapan langsung dengan lawan bicara. Haruskah Hanna mengatakan jika adik tirinya itu tak lebih dari seorang pengecut?

Daripada mengurung diri di kamar, Hanna lebih memilih untuk menyusuri rumahnya seraya melihat keadaan sekitar. Berdiam di kamar sendirian ternyata membuatnya mati kebosanan.

Kaki jenjangnya melangkah keluar dari kamar pribadinya. Tempat yang akan ia tuju saat ini adalah kamar pribadi mendiang ibunya. Sedari dulu, Hanna ingin sekali pergi ke kamar ibunya untuk memastikan sesuatu. Hanya saja dimasa lalu ibu tirinya menghalanginya dengan seribu alasan. Dan saat ini, Hanna baru terpikir jika tingkah ibu tirinya itu terlihat sangat mencurigakan.

“Bu, aku masuk ya,” gumam Hanna pelan pada pintu berwarna coklat di hadapannya. Tangan lentik milik gadis berambut sepunggung itu memutar kenop pintu dan masuk dengan perlahan tanpa bersuara seorang pencuri.

Begitu masuk, Hanna bisa melihat jika kamar milik mendiang ibunya terlihat begitu rapi dan bersih. Barang barang yang ada di ruangan itu tertata apik pada tempatnya.

Disisi barat Hanna bisa melihat sebuah ranjang besar yang terbuat dari kayu jati. Di sisi timur gadis itu melihat beberapa lemari baju yang berada di sudut ruangan. Ternyata, pengaturan letak barang berharga ibunya tak berubah sedikit pun. Hanna merasa jika ibu tirinya itu sedikit baik karena tak mengubah apapun yang ada di ruangan ini.

Ada satu titik yang membuat Hanna merasa tertarik, yakni meja rias usang milik ibunya yang berada dekat dengan jendela. Tanpa sadar, Hanna melangkahkan kakinya ke sana.

Begitu di depan cermin, Hanna bisa melihat pantulan dirinya. Wajah oval dengan pipi tirus dan kulit seputih susu membuat ia tampak seperti seorang Dewi. Matanya yang bulat menggemaskan serta hidungnya yang baru Hanna sadari begitu mancung. Jangan lupakan juga bibir tipis berwarna merah muda yang tampak ranum untuk di cium. Cahaya matahari senja yang menyorot wajahnya membuat Hanna tampak begitu sempurna seperti bidadari. Hanna baru menyadari jika dirinya secantik itu.

Menghentikan acara terpana pada wajah, tangan lentik gadis itu pun mencoba menjelajahi isi meja rias. Laci bagian atas dan laci bawah ia periksa dengan saksama. Sayangnya, ia tak menemukan apapun selain kotak make up dan beberapa perhiasan. Dirinya hampir saja menyerah jika mata bulatnya melirik laci tengah yang letaknya sedikit tersembunyi, berdempetan antara celah untuk menyimpan kursi rias.

Hanna pun membuka laci tengah itu. Butuh sedikit tenaga ekstra karena letak laci itu yang sulit untuk dibuka. Ketika Hanna berhasil membukanya, ia terkejut dan kesal setengah mati. Tak ada apapun di laci ini. Hanna hanya menemukan sebuah foto usang. Itu adalah sebuah foto keluarga. Karena penasaran Hanna mengambil foto itu dan melihatnya dengan saksama.

Dalam foto itu, Hanna melihat ada empat orang yang tengah berpose lucu. Di sisi kanan ada seorang perempuan yang Hanna perkirakan umurnya 26 tahunan. Harus Hanna wanita dalam foto ini begitu cantik dengan rambut panjang sepunggung seperti miliknya. Di sisi kiri Hanna bisa menemukan seorang lelaki gagah yang tenang merangkul tangan perempuan itu. Yang menarik perhatian Hanna adalah dua anak kecil dalam foto itu.

Dua anak kecil berbeda jenis kelamin itu bergandengan tangan seraya tersenyum lebar ke arah kamera. Hanna membalik foto itu dan menemukan sebuah tulisan yang terasa ganjil di matanya.

Sakura, jika kau menemukan foto ini

Maka larilah secepat mungkin

Ada orang yang ingin membunuhmu untuk menjadi penerus kedua keluarga Rosemary

Hanna mengernyitkan dahinya begitu mendengar nama Rosemary seperti yang tertulis dalam foto. Rasanya ia pernah mendengar marga keluarga itu. Tapi, dimana?

Karena terlalu asyik melamun, Hanna tak menyadari jika ada seseorang yang masuk ke kamar ibunya.

“Hanna, apa yang kau lakukan di ruangan ini?”

Sebuah suara mengagetkan Hanna yang tengah berpikir keras maksud dari foto itu. Wajahnya berubah pias dan tubuhnya menegang. Hanna berbalik dan menemukan jika yang mengagetkannya adalah Azzura, ibu tirinya.

Suasana terasa tegang diantara kedua perempuan beda generasi itu. Dalam waktu singkat, suasana di ruangan ini terasa sangat dingin dan sangat sesak. Untuk menetralisir suasana yang tak enak, Hanna angkat suara.

“Oh bunda, Anda membuat saya kaget,” sahut Hanna dengan nada gugup. Secepat kilat, Hanna memasukkan foto yang ia temukan dari meja rias ke dalam sakunya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” ulang Azzura dengan tatapan penasaran namun juga tajam. Ukh, tatapan yang cukup mengerikan.

“Oh itu, em...” Hanna merasa kebingungan harus menjawab apa. Matanya berpendar ke arah lain dengan cepat, berharap mendapatkan sesuatu untuk menjadi alasan agar ibu tirinya itu tidak curiga. Di tengah ketakutannya, Hanna mendapat sebuah ide brilian yang mungkin akan meyakinkan Azzura.

 “Saya sedang mencari gaun untuk pertemuan nanti malam, Bunda. Anda tahu sendiri bukan saya tak punya banyak pakaian di dalam lemari?” alibi Hanna dengan tanpa ragu. Hanna harus terlihat normal agar tak dicurigai.

“ Kenapa kau tak bilang dari tadi?” wanita itu berkaca pinggang seraya menghela napas berat. Iris mata zambrud miliknya menatap Hanna dengan lekat. “Aku sudah menyiapkan bajumu di kamar Naira. Cepatlah pergi ke salon untuk memperbaiki penampilannya yang terlihat urakan itu,”

“Baiklah, saya mengerti,”

Azzura meninggalkan Hanna sendirian setelah mengucapkan hal itu tanpa dosa. Hanna menghela napas lega ketika dirinya tak ketahuan. Ketika punggung Azzura sudah tak terlihat, Hanna mengacungkan jari tengahnya karena kesal dengan sikap ibu tirinya.

Hanna melirik jam yang tergantung di dinding. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Itu artinya, dirinya hanya punya waktu tiga jam untuk bersiap menemui orang itu. Karena tak ingin membuang waktu, Hanna pun pergi menuju salon seperti perintah ibu tirinya.

Di masa sekarang, aku tak akan mengalah padamu lagi, Winter. Akan aku tunjukan jika perempuan menggunakan logikanya maka laki laki akan hancur menjadi debu yang tertiup angin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status