Share

Keputusan

Bab 5 : Keputusan

“Apa maksudmu?”

Hanna membekap mulutnya tatkala ia mengatakan hal yang tak boleh ia katakan. Hanna merutuki dirinya yang begitu ceroboh. Air mata terus mengalir tanpa henti dari kedua mata indahnya, membuat sebagian make up yang memoles wajah cantiknya luntur.

“Maksudku—“

“Anda berbicara seolah Anda telah mengenal saya sebelumnya, Nona,” Winter berkata dengan nada sedingin es yang mampu membuat Hanna tak berkutik.

Suasana tampak sesak dalam sejenak, seolah oksigen telah membeku bersamaan dengan nada bicara Winter yang begitu dingin. Hanna meneguk ludahnya paksa ketika dihadapkan dengan posisi seperti ini. Suasana ini... Sangat mirip dengan kehidupan pernikahan dirinya dan Winter di masa depan sebelum ia terlahir kembali ke masa sekarang.

“Anda mengatakan jika saya ingin membunuh Anda? Teori darimana itu?” Winter mendekati Hanna dengan langkah pasti, membuat tubuh sang gadis bergetar ketakutan. “Padahal kita berdua baru bertemu hari ini. Jadi, bagaimana Anda bisa menuduh saya untuk membunuh Anda?”

Hanna tak bisa menjawab pertanyaan yang Winter lontarkan padanya. Tubuh gadis itu terpaku pada ketakutan yang terus menghantui dirinya. Syarafnya seolah lumpuh untuk berbicara atau bahkan berlari. Inikah yang dinamakan kelumpuhan sementara pada orang yang tengah takut atau lebih dikenal dengan istilah tonic immobility?

“Jawab saya, Nona Hanna!” Bentak Winter keras. Bukannya menjawab, Hanna malah menangis tanpa suara.

Winter mengacak rambutnya frustrasi karena lawan bicaranya tak kunjung memberikan jawaban. Pemuda itu menghela napas berat seraya memperhatikan penampilan Hanna yang sudah kacau.

“Entah kesialan apa yang saya terima di kehidupan sebelumnya sampai saya calon tunangan yang bisu seperti ini,” pancing Winter agar setidaknya Hanna bisa bicara sepatah kata padanya. Akan tetapi, itu hanyalah khayalannya saja. Nyatanya, Hanna tetap saja mengunci mulutnya.

“Berkacalah di cermin, Nona Hanna. Wajahmu tampak mengerikan,” komentar Winter dengan nada sarkas. Baru kali ini, Hanna menoleh pada Winter seraya menatapnya tajam, tentu saja air mata masih membingkai wajah oval miliknya.

“Jangan pedulikan saya,” sahut Hanna seraya mencoba menghentikan tangisnya. Hanya saja, air matanya tak kunjung berhenti sekeras apapun Hanna mencoba.

Melihat hal itu, ada denyut sakit yang terasa di dada Winter. Melihat Hanna yang tak berdaya membuat perasaannya aneh, seakan ikut merasakan perasaan gadis yang bahkan baru ia kenal selama satu jam terakhir. Winter mengusap wajahnya kasar lalu memunggungi Hanna agar ekspresi wajahnya tak terbaca oleh gadis itu.

“Urus wajahmu terlebih dahulu. Setelah itu, kembalilah nanti ke ruangan pertemuan,” ujar Winter mencoba memberikan nasehat. Winter tak pandai menghibur orang, makanya ia bersikap seperti ini.

“Saya ingin mengatakan pada Anda, sekeras apapun Anda menolak perjodohan ini, Anda tidak bisa melakukannya, karena semua keputusan ada di tangan saya,”

Setelah mengatakan hal itu, Winter meninggalkan Hanna sendirian di taman restoran. Hanna bisa melihat punggung suaminya di masa depan semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. Begitu Winter tidak ada di jangkauan matanya, Hanna menangis kencang bahkan sampai sesenggukan.

Hanna sendiri tak tahu mengapa ia menangis hari ini. Beban yang ia tanggung dipundak terasa berat untuknya. Ia berjanji akan menjadi lebih kuat setelah tangisannya selesai.

“Dasar manusia es. Di kehidupan sekarang ataupun nanti, kau hanyalah manusia yang tak memiliki rasa empati,” gerutu Hanna dengan kesal karena Winter ternyata malah meninggalkannya. Pemuda itu tak memiliki inisiatif untuk memberikan selembar tisu ataupun sarung tangan. Kesal juga berharap pada kulkas berjalan seperti Winter.

Begitu air matanya reda dan perasaannya sudah membaik, Hanna membuka tas jinjing yang ia bawa untuk mengeluarkan cermin. Begitu ia berkaca, Hanna merasa terkejut dengan wajahnya yang tampak seperti orang depresi karena kehilangan belahan jiwa.

“Ukh, aku benar benar kacau sekali,” keluh Hanna pada dirinya sendiri. Gadis itu pun berusaha bangkit untuk membetulkan kembali make up-nya di kamar mandi restoran yang berada di luar. “Semoga saja Winter menolak perjodohan ini,”

***

“Kau darimana saja, Winter?” tanya nyonya Cakradara dengan raut wajah khawatir yang begitu kentara. Winter tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari ibunya itu.

“Dari taman restoran, Bu,” Jawab Winter singkat. Hanya saja, orang orang yang berada di ruangan itu tak percaya pada pengakuan sepihak dari pemuda jangkung itu. Mereka menatap Winter dengan tatapan menuntut penjelasan.

“Kau tidak menipu kami kan, Winter?” tanya kepala keluarga Cakradara sangsi dengan jawaban dari putranya itu. Winter memutar mata malas mendengar pertanyaan Ayahnya. Jengah juga mengapa ia dicurigai tak berdasar seperti ini.

“Saya benar benar dari sana. Jika Anda sekalian tidak percaya, silakan tanyakan hal ini pada Nona Hanna,” ujar Winter kesal seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Semua orang mengiyakan ucapan dari putra semata wayang keluarga Cakradara. Mereka tak ingin membuat pemuda jangkung nan rupawan itu kesal hingga meninggalkan pertemuan yang penting ini. Untuk saat ini, semua orang yang ada di ruangan itu sepakat bahwa mereka tak akan mengganggu mood Winter dengan telepati mata satu sama lain.

“Saya dari taman restoran bersama calon istri saya, nona Hanna,” ujar Winter mencoba merangkai kata kata yang pas untuk menyampaikan informasi ini pada kedua keluarga. Di sisi lain, Naira tampak kesal karena Winter menyebut kakak tirinya calon istri. Ada kobaran api cemburu di dada Naira.

“Tadinya, saya adalah orang yang memiliki prinsip untuk tak menikah seumur hidup. Hanya saja, saya harus melanggar hal itu karena ada hal yang mengusik ego saya,” Winter mengatakan hal itu seraya menyesap air putih yang tersedia di atas meja. Begitu tenggorokannya basah karena air yang ia minum, Winter pun melanjutkan kembali ucapannya.

“Nona Hanna bilang ia akan menolak perjodohan ini. Namun lain halnya dengan saya,” Winter menarik napas sejenak untuk menetralkan detak jantung yang berbeda dari biasanya. Entah kenapa, Winter cukup berat untuk mengatakan lanjutan kalimatnya pada kedua keluarga yang telah menunggu jawaban darinya.

“Saya tetap akan menerima perjodohan ini. Mohon atur waktunya untuk acara pertunangan secepat mungkin. Saya akan menyerahkan acara pertunangan ini pada Anda sekalian. Saya mohon untuk undur diri karena ada pekerjaan yang belum saya selesaikan,”

Setelah mengucapkan demikian, Winter berdiri dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan tempat pertemuan diadakan.

Reaksi para orang tua tentu saja terkejut dengan keputusan Winter yang terbilang nekat. Padahal sebelumnya, Winter memiliki prinsip untuk melajang seumur hidupnya. Mengapa sekarang ia menerima perjodohan ini? Apakah pertemuannya dengan Hanna bisa mengubah keputusan Winter secepat itu? Pertanyaan itu terus berputar putar di pikiran semua orang yang ada di sana, termasuk Naira.

“Kak, kau merampas apa yang harusnya menjadi milikku. Jangan salahkan aku jika merebutnya kembali darimu,” gumam Naira pelan yang dibalas oleh angin yang berhembus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status