Pov Ibra"Bang.""Katakan siapa Ayah dari bayi itu?""M-maksud Abang apa? Aku gak ngerti."Wajah Rani terlihat kebingungan. Sepertinya ia belum tahu kalau kini dirinya tengah berbadan dua. Namun, rasa penasaran sekaligus amarah yang bercokol dalam dada sudah tidak bisa kutahan. Semuanya harus jelas sebelum aku menentukan kembali keputusan yang akan aku ambil nantinya."Kamu hamil.""H-hamil?" Wajahnya semakin pias."Ya. Sekarang katakan, bayi siapa yang sedang kamu kandung itu? Apakah bayinya Arman?" "Abang ngomong apa? Kenapa malah bawa-bawa Arman. Kalau aku hamil, ya sudah pasti ini anak Abang," kilahnya tak terima."Rani, ingatan ini masih sangat jelas. Sudah beberapa bulan terakhir kita tidak pernah tidur bersama. Bahkan saat di Lombok pun, kita gagal melakukannya karena tamu bulanan kamu tiba-tiba datang. Ditambah perselingkuhan kamu dengan Arman yang kini terbongkar. Wajar jika Abang curiga itu bukan anak Abang," tukasku. Biarlah aku dianggap kejam karena meragukan kehamilan R
"Ayah baik-baik saja?"Pertanyaan yang dilontarkan Farel, menyentak diri ini dari lamunan. Ingin rasanya aku jujur dan menjawab, bagaimana mungkin bisa baik-baik saja jika kenyataan untuk kembali memiliki Hana kandas sudah. Namun, tentu saja ucapan itu hanya tercekat di tenggorokan. Meskipun Farel putraku sendiri, aku masih punya malu untuk menunjukkan kesedihan ini."Tentu saja Ayah baik-baik saja. Bundamu akan bersanding dengan orang yang tepat. Sandi begitu menyayangi kalian. Tidak ada alasan bagi Ayah untuk tidak merasa bahagia. Ayah malah senang karena bundamu mendapat pengganti yang lebih baik dari Ayah," tuturku berusaha tegar di hadapan Farel. Tidak akan aku biarkan putraku melihat kerapuhan diri ini karena mendengar kabar bahagia dari Hana. "Ayah merasa baik-baik saja karena Ayah juga sudah mempunyai Tante Rani, kan?Dia wanita yang telah berhasil membuat Ayah berpaling dari Bunda. Tentu Ayah pun begitu mencintainya." Farel melirikku sekilas. Seulas senyum sinis ia tampilkan,
S*alAku kehilangan jejak mereka. Mobil Sandi yang sengaja kubuntuti, melaju cukup kencang sedangkan mobilku harus terjebak ketika rambu lalu lintas berubah merah.Aku hanya bisa pasrah dan memutar kemudi untuk kembali ke kantor. Biarlah kali ini mereka lolos. Aku yakin tidak lama lagi hubungan di antara keduanya akan segera kuketahui. Aku tidak pernah menyangka kalau Sandi dan Rani saling mengenal. Selama pernikahanku dengan Rani, tidak pernah sekali pun aku melihat Sandi menemuinya. Andai memang mereka teman atau saudara, seharusnya aku mengetahuinya sejak dulu. Bersamaan dengan rasa kecewa dan penasaran yang bergelung menjadi satu, terpaksa kusimpan dulu masalah tentang Sandi, karena aku harus menghadiri meeting penting jam 2 siang ini. Semoga saja Tuhan mempermudah jalanku jika memang ada yang tidak beres pada mereka berdua.*Sudah satu minggu semenjak kejadian di cafe waktu itu, aku masih belum mendapat kabar yang berarti dari orang suruhanku. Dia hanya memberi tahu kalau akti
[Hallo, Pak.]"Bagaimana? Kamu berhasil mengikuti dia?"[Ya. Saat ini dia sudah sampai di sebuah cafe yang tidak jauh dari Taman Kota. Sepertinya dia akan menemui seseorang di sini.]"Terus buntuti dia. Kamu ikut masuk dan laporkan padaku siapa yang ia temui."[Baik, Pak.]"Ya, sudah. Nanti kabari saya lagi."Setelah telepon ditutup, aku pun kembali menghampiri anak-anakku yang sudah menunggu untuk pulang. Tadinya Hana menolak karena merasa tidak enak. Akan tetapi, atas bujukan anak-anak yang ingin pulang denganku, dengan terpaksa ia pun akhirnya setuju.Berada satu mobil bersama Hana, tak ayal membuat detak jantungku bertalu cepat. Buncahan rasa bahagia tidak dapat terlukiskan saat mendengar celoteh riang anak-anakku yang saling becanda ria. Rasanya aku ingin meminta pada Tuhan untuk menghentikan waktu sejenak, agar kebersamaan ini tidak segera berlalu. "Terima kasih sudah mengantar kami, Bang," ucap Hana ketika kami sudah sampai di rumahnya."Sama-sama. Ini sudah jadi kewajiban Aba
"Tunggu!"Semua tamu yang hadir menoleh ke arahku. Mereka memandangku dengan tatapan keheranan, mungkin karena penampilanku yang masih memakai pakaian rumah sakit. Sandi terlihat terkejut. Tangannya yang sudah menjabat tangan penghulu pun sampai terlepas. Sedangkan Hana dan anak-anak yang duduk di deretan kursi paling depan, tersenyum bahagia ketika melihat kedatanganku disertai Mama."Ayah sudah sembuh?" Kia yang pertama kali angkat bicara, lalu berjalan ke arahku."Kia senang Ayah sudah sembuh.""Iya, Nak. Ayah sudah sembuh. Sekarang, Kia sama Bang Farel dulu, ya. Ayah ingin bicara sama Bunda dan yang lainnya.""Kia, sini sama Abang!"Farel yang seakan mengerti, menuntun Kia agar kembali duduk di sampingnya. Aku pun kembali fokus pada semua orang yang hadir di sini, terutama Hana."Maaf kalau saya mengganggu kelancaran acara ini. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu pada Hana, sebelum pernikahan ini terjadi."Kaki ini melangkah mendekati Hana yang masih duduk dengan wajah terlihat
"Yah."Farel menghampiriku yang masih termenung di ruang tamu."Ya, Nak? Bagaimana keadaan bunda kamu?""Bunda masih sedikit syok. Tapi sedang ditenangkan sama Oma.""Maafkan Ayah karena telah membuat kekacauan. Ayah hanya ....""Ayah jangan menyalahkan diri sendiri. Menurut aku, tindakan Ayah sudah benar. Aku malah senang pernikahan Bunda dengan Om Sandi dibatalkan. Meskipun hal ini membuat Bunda terpukul, tapi setidaknya Bunda tidak menikah dengan pria seperti Om Sandi." Farel menghela napas. Pasti anak itu pun merasa lega karena akhirnya Hana terlepas dari tipu daya yang telah dilakukan Sandi."Tapi kasihan bundamu. Dia harus menanggung malu pada semua tamu yang hadir karena pernikahannya batal. Dia juga pasti merasa trauma jika suatu saat ada pria yang mendekatinya lagi.""Siapa?""Maksudnya?""Memangnya siapa yang mau mendekati bunda lagi? Ayah?" Farel menaikan satu alis sambil tersenyum jahil. Ah, aku malu karena telah keceplosan bicara di depan anak itu."Ya ... maksud Ayah, bu
Ponsel yang berada dalam genggaman hampir terjatuh setelah mendapat keterangan dari Rasya. Diculik? Bagaimana mungkin. Kalau pun iya, lantas siapa pelakunya dan apa motifnya? Satu per satu pertanyaan muncul dalam benak. Tidak habis pikir dengan masalah yang tak berhenti menimpa diri ini. Urusan soal Nana saja belum selesai, kini aku harus dibuat panik oleh Farel yang tiba-tiba menghilang. "Bagaimana? Apa kata teman-temannya?" Mama kembali bertanya saat melihatku terkulai lemas di atas kursi."Mereka tidak ada yang tahu di mana Farel. Jam lima sore mereka sudah pulang ke rumah masing-masing," terangku. "Ya Allah, bagaimana ini, Ibra? Mama khawatir Farel kenapa-napa," ujarnya dengan gelisah."Mama tenang dulu, Ibra akan menyuruh orang untuk mencari keberadaan Farel." Aku berusaha setenang mungkin, padahal hati ini pun sudah didera rasa panik."Bagaimana dengan Hana? Apa kita beritahu dia?""Aku rasa jangan dulu, Ma. Aku takut dia tambah syok," larangku. Sebelum Farel dipastikan keber
Pov Hana"Kia, sabar, Ya. Sebentar lagi Ayah pulang. Ayah gak mungkin lupa ulang tahun Kia."Aku terus membujuk Kia yang menangis ingin bertemu Bang Ibra. Biasanya anak itu tidak pernah serewel ini, tapi saat ini ia sangat ingin Bang Ibra hadir bersama kami. Mungkin karena hari ini ulang tahunnya, Kia ingin merayakannya dengan sang Ayah, seperti biasanya."Bun, coba telepon Ayah lagi." Farel memberi saran."Sudah, tapi ponsel Ayah masih tidak aktif.""Kalau begitu biar Farel yang menyusul Ayah. Farel yakin sekarang Ayah sedang bersama perempuan itu.""Jangan, Nak!" Kucekal lengan Farel yang sudah berdiri. "Jangan ke sana. Di sini saja temani Bunda dan adikmu.""Tapi Bun--"Kugelengkan kepala perlahan. "Farel dengar kata-kata Bunda. Lebih baik sekarang kita mencari cara bagaimana membujuk Kia supaya tidak menangis lagi," bujukku."Baiklah, Bun."Farel akhirnya duduk kembali. Kuperhatikan ia yang tengah susah payah membujuk Kia. Tak terasa air mata sudah mengalir di kedua pipi. Melihat