"Bang ... mari kita berpisah."
Sontak saja pelukan ini aku lepas. Kubalikkan tubuh Hana hingga kini posisi kami berhadapan. Hatiku mencelos ketika melihat wajahnya sudah bersimbah air mata. Sikapku yang memang sudah sangat keterlaluan, telah melukai hati Farhana begitu dalam."Jangan katakan itu. Abang minta maaf jika selama ini terlalu sering mengabaikan kalian. Abang janji mulai hari ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu dan anak-anak." Kali ini aku bersungguh-sungguh. Kejadian yang menimpa Kia menjadi tamparan keras untukku yang lebih condong kepada Rani. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum bisa berkata jujur kepada Hana tentang keberadaan Rani yang hadir di antara kami. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikan bangkai ini dari istri pertamaku."Abang tidak perlu berjanji. Keputusan Hana sudah bulat, kita akan tetap berpisah."Dia tetap pada pendirian. Kucoba meraih tubuhnya untuk didekap, tetapi Hana beringsut mundur menjauhiku membuat diri ini gusar dibuatnya."Kamu ini kenapa, sih? Tiba-tiba saja meminta berpisah karena Abang tidak datang ke acara ulang tahun Kia. Kamu tahu sendiri akhir-akhir ini Abang disibukkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Abang mengaku salah karena terlalu sering meninggalkan kalian, tapi Abang mohon kamu mengerti. Abang ini bekerja untuk kamu dan anak-anak."Berusaha meyakinkan Hana terus aku lakukan meskipun dengan penuh kebohongan. Diri ini tidak sanggup jika harus kehilangan Hana. Dia sosok wanita yang selalu menjadi penenang. Rasa cinta ini pun tetap tidak berubah walau Rani kini hadir di antara kami dan mengisi sebagian sisi hatiku yang lain."Abang yakin karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal?"Pertanyaan Hana membuatku mengerutkan kening. "Apa maksud kamu? Tentu saja karena pekerjaan. Memangnya kamu pikir karena apa?"Senyum sinis terukir dari bibirnya yang tipis. Selarik senyum yang tidak pernah diperlihatkan Hana padaku selama kami hidup berumah tangga. Diri ini mulai cemas. Jangan-jangan---"Hana sudah tahu semuanya.""M-maksud kamu?" Aku semakin gelisah."Abang selama ini bukan disibukkan karena pekerjaan, melainkan istri Abang yang saat ini tengah hamil muda."Wajahku terasa panas. Tangan ini pun gemetar. Ternyata Hana sudah mengetahui semuanya bahkan ketika aku belum siap menghadapi kemungkinan terburuk sekali pun."Hana, Abang bisa jelaskan.""Tidak perlu, Bang. Apa yang Hana saksikan sudah menjelaskan semuanya. Maaf, Hana tidak bisa bertahan dalam rumah tangga ini lagi. Bukan Hana menentang poligami, tetapi Hana tidak suka dengan cara yang Abang lakukan. Diam-diam menikah tanpa sepengetahuan Hana, itu yang membuat Hana kecewa," ungkapnya."Kamu sudah lama mengetahuinya?" tanyaku gugup."Ya. Sejak enam bulan yang lalu. Sikap Abang yang makin berubah membuat Hana mencari tahu penyebabnya. Insting seorang istri itu kuat, Bang. Tadinya Hana ingin memberi kesempatan pada Abang untuk berubah. Tapi ternyata Abang malah semakin menjadi, bahkan sampai melupakan ulang tahun Kia.""Hana--""Mari kita berpisah saja, Bang. Hana sudah tidak kuat menjalani pernikahan seperti ini. Hana mencoba menerima dengan ikhlas ketika tahu Abang telah membagi hati. Namun, jika sudah menyangkut anak-anak yang Abang abaikan, Hana tidak bisa memberi kesempatan lagi."Hana beringsut turun dari ranjang. Ia berjalan menuju lemari dan mengeluarkan sebagian pakaiannya."Kamu mau apa?" tanyaku panik. Tangan ini mencoba menahan gerakannya, tetapi lagi-lagi Hana menepis."Hana akan pergi bersama anak-anak. Abang silahkan jatuhkan talak untuk Hana sekarang juga.""Jangan gila kamu, Hana!" teriakku yang mulai terpancing emosi."Aku memang sudah gila semenjak tahu Abang mendua!" Sergahnya tak kalah sengit. Aku terpaku. Hana-ku kini berani berkata dengan nada tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan di depanku."Hana mohon, Bang. Lepaskan Hana dari semua rasa sakit ini. Hana juga berhak bahagia, bukan? Jika tetap bersama Abang, Hana yakin kebahagiaan itu hanya akan menjadi angan semata. Jika perlu Hana akan bersujud di kaki Abang agar Abang mau melepaskan Hana."Tubuhnya mulai luruh, tetapi dengan cepat aku menahannya dengan memegang bahu rapuhnya. "Jangan seperti ini, Hana. Abang janji akan bersikap lebih adil kepada kalian. Pikirkan lah anak-anak kalau kita sampai berpisah." Kucoba membujuknya, berharap ia bisa luluh dan memberiku kesempatan sekali lagi."Kenapa baru sekarang Abang ingat anak-anak? Bukankah selama ini Abang sering mengabaikan mereka?"Tak ada lagi jawaban yang keluar dari mulutku. Semua yang Hana katakan memang benar. Justru aku yang selama ini tidak memikirkan perasaan anak-anak."Lalu ke mana kamu akan pergi? Tetaplah tinggal di sini. Biar Abang yang keluar dari rumah ini."Hana menggelengkan kepalanya perlahan. "Terlalu banyak kenangan di rumah ini. Hana tidak ingin terus bergelut dengan masa lalu yang menyakitkan. Hana memilih pergi mencari kebahagiaan di luar sana. Ayok, Bang, talak Hana sekarang.""Hana--""Ayok, Bang!" ujarnya setengah berteriak. Rupanya sudah sedalam itu luka yang aku torehkan hingga dia tidak ingin lagi hidup bersama pria sepertiku."Baiklah jika itu mau kamu. Akan Abang kabulkan."Kupejamkan mata sebelum kata sakral kuucapkan. Tak mampu diri ini melihat wajah itu semakin terluka setelah mendengarnya. Maafkan aku, Hana ...."Farhana khairunnisa, detik ini kujatuhkan talak padamu. Mulai saat ini engkau haram untukku."Kubuka mata ini, senyum Hana yang aku lihat pertama kali. Tidak ada lagi air mata yang keluar dari netra teduhnya. Hana sudah ikhlas menerimanya, tidak sepertiku yang berkubang dengan rasa penyesalan."Abang bisa keluar dari kamar ini?""Kenapa? Ini kamar Abang juga.""Kalau begitu biar Hana yang tidur di kamar anak-anak."Ia beranjak meninggalkan aku yang masih bergeming di tempat. Suara pintu yang tertutup menyadarka diri ini dari keterpakuan.Aku lupa ... Hana sekarang bukan istriku lagi.Bersambung.Hari itu adalah hari terakhir di mana aku bertemu dan bercakap dengan Hana. Sempat kuberi ancaman supaya dia mengurungkan niat, tetapi sama sekali tidak mempan. Aku meminta hak asuh Farel dan Kia jatuh ke tanganku. Namun lagi-lagi, wajah Hana yang memelas membuat diri ini tidak tega untuk memisahkan dia dengan anak-anak kami. Akhirnya kesepakatan kami ambil. Hana aku perbolehkan membawa Kia sedangkan Farel tetap tinggal denganku dan juga Rani. Dengan berat hati ia pun menyetujui. Aku tahu diri ini terlalu jahat dan egois. Namun mau bagaimana lagi? Sama halnya dengan Hana, aku pun tidak sanggup jika harus berpisah dengan Farel mau pun Kia. Kini dua tahun telah berlalu semenjak kepergian Hana. Rumah tangga bersama Rani yang kukira akan dipenuhi kebahagiaan nyatanya malah terasa hambar. Ditambah sikap Farel yang semakin menjadi pembangkang, menambah penyesalan diri atas kehilangan sosok Farhana.Aku sadar anak itu hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku. Ia pun kecewa dengan Hana y
"Farel, buka pintunya. Ayah mau bicara!""Farel!"Tetap tak ada sahutan. Sudah hampir satu jam tubuh ini berdiri di depan kamarnya. Dia tetap bergeming meskipun aku mengetuk pintu dan memanggil namanya beberapa kali. Setelah insiden penamparan itu, Farel terpaksa ikut denganku berkat bujukan dari wali kelas yang kebetulan berpapasan dengan kami. Tanpa sepatah kata pun, putraku keluar dari mobil dan langsung mengurung diri di kamar sejak kami sampai di rumah hingga kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Farel, Ayah minta maaf, Nak. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi. Bilang sama Ayah, apa yang harus Ayah lakukan supaya kamu mau memaafkan?""Farel.""Sudah, Bang. Biarkan dia menenangkan diri dulu."Usapan lembut di bahu aku rasakan ketika diri ini mulai lelah membujuk dia. Rani menuntunku ke ruang keluarga, mengajakku duduk di sana. "Dia belum makan dari siang, Ran. Abang khawatir nanti dia sakit," keluhku seraya meremas rambut dengan kasar. Merasa menjadi Ayah yang
Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini."Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini."Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda."Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sam
Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan."Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku dengan napas yang tersengal. "Anda ayahnya?""Iya.""Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk bebera
"Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?""Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?""Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku."Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya. "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan."Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Fa
Sudah setengah hari Farel pergi dari rumah dan aku belum mendapat informasi lagi dari orang suruhan. Anak itu benar-benar nekat. Ia sampai berani membohongiku demi bisa keluar dari rumah ini. Aku yakin dia pergi untuk mencari keberadaan bundanya. Rasa gelisah membuat diri ini tidak bisa duduk dengan tenang. Apa lagi setelah orang suruhanku akhirnya memberi informasi kalau mereka kehilangan jejak Farel. Sepertinya anak itu sadar jika sedang diikuti. Farel cukup jeli dan pintar dalam mengecoh mereka."Gimana, Mas? Sudah diketahui ke mana tujuan Farel?" Rani datang sambil membawakan segelas teh hangat untukku."Mereka kehilangan jejak. Sepertinya anak itu tahu kalau sedang diikuti," terangku seraya memijat kening yang terasa pusing. Memikirkan Farel dan segala ulahnya membuat diri ini harus ekstra menjaga kesabaran."Apa mungkin dia mencari Mbak Hana?""Sepertinya iya. Dia tidak bisa sabar padahal Abang juga sedang berusaha mencari keberadaan bundanya.""Abang mencari Mbak Hana?" Pertan
Telaga bening di mata ini satu per satu mulai luruh. Melihat interaksi mereka yang begitu akrab, terlihat saling menyayangi layaknya saudara. Seketika perasaan iri merambati hati. Ingin rasanya aku berada di sana, di antara mereka yang saling becanda tawa.Farel terlihat sangat ceria sambil sesekali menggoda Kia dan bocah kecil yang entah siapa. Tawanya begitu lepas, sangat berbeda saat ia berada di rumah bersamaku. Kia ... putri kecilku kini tubuhnya semakin tinggi. Hana begitu pandai mengurusnya hingga Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang semakin cantik dan sopan. Bisa dilihat dari penampilan anak itu yang kini memakai jilbab seperti bundanya.Kia ... ini Ayah, Nak. Adakah Kia mengingat dan merindukan Ayah? Andai kondisinya memungkinkan. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Menghujaninya dengan ciuman untuk meluapkan rindu yang selama ini tertahan.Namun, hal itu hanya ada dalam angan semata. Diri ini tidak cukup bernyali untuk menemui mereka setelah apa yang aku lakukan
"Gimana? Abang jadi ngikutin Farel? Kenapa jam segini baru pulang?" Rani mencecarku dengan pertanyaan ketika diri ini baru saja sampai rumah. Jam memang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku kira Rani tidak sudah tidur, ternyata ia masih menungguku di ruang tamu."Abang memang ngikutin dia.""Terus? Dia ke mana? Nyari Mbak Hana? Abang juga ketemu dia, dong," cecarnya lagi yang membuat kepalaku semakin pusing.Tak ingin terjadi pertengkaran, aku beranjak meninggalkan Rani. Namun, istriku itu tak menyerah sebelum rasa penasarannya terjawab. Rani mengikutiku ke kamar sambil terus mencecarku dengan pertanyaan."Kenapa Abang gak jawab pertanyaan aku? Abang ketemu Mbak Hana terus kalian bernostalgia sampai Abang pulang selarut ini?""Bisa gak sih kamu diam!" bentakku. "Abang ini cape, Ran. Baru saja sampai tapi kamu malah terus bertanya macam-macam, pake acara curiga lagi. Ya, Abang memang mengikuti Farel yang ternyata menemui Hana. Tapi Abang sama sekali tidak menemui mereka apa lagi mel