Share

Episode Dua : Kuli Panggul Pemburu Apel Merah

Tentangnya yang membungkuk di emper trotoar. Menelan getir, punggung ditindih beban berkilo-kilo gram. Hendak mengumpat bahwa hal itu kejam, namun senyumnya menggigit takdir. Demi hidup, ia tak menginginkan tiga ruh melayang bebas karena kelalaiannya. Mengatasnamakan cinta suci yang sudah dianggap basi oleh jutaan rakyat. Abai. Ia acuh, merangkak perlahan sementara mata puluhan menyongsongnya sangsi. Beberapa menelan cemooh kemiskinan. Acuh! Ia menyeimbangkan beban di punggung, melangkah maju. Menerabas keramaian. Menghentikan kendaraan. Tergesa-gesa, harus segera bermuara. Beban tak direlakannya menumpang terlalu lama. 

Jika Tuhan memberikannya pilihan, maka tak mungkin ia mengizinkan ratusan beban memperbudaknya, sementara cintanya kesepian. Terkelepar di rumah berteman kesunyian. Tatkala mengenang beberapa waktu mundur seorang gadis menatap wajah datarnya di pusar kegelapan, ia tak lagi mempunyai alasan untuk duduk berleha-leha mengusap peluh di kening. Gadis bermata indah yang bersinar menandingi kecerahan rembulan. Sosok berambut panjang yang setiap malam dihempaskan angin sedang menatap gumintang. Mengkhayalkan keindahan abadi, mengusir kesengsaraan tentang sunyi yang senantiasa mengalir. 

Gadis itu, tegak bagaikan karang yang tak peduli ombak menghajarnya. Setiap malam, ia berteman resah menutup gagang pintu rumah, berharap malaikat penjaga maut menyelamatkan hidupnya dari mara bahaya orang bejat. Dikurung! Bukan! Lebih tepatnya mengurung diri dari jilatan angin liar malam. Ketenangan hendak meninggalkannya dalam kehancuran. Kebahagiaan menepi. Rindu kebersamaan menepis bayangan tentang cinta yang punah! Namun masih memiliki nyawa yang menguatkan!

 Ia berdiri di balkon rumah. Tidak mengumbar senyum. Matanya sayup-sayup menguasai malam. Menggigil. Angin menyerang dari seluruh penjuru arah. Rambutnya dipermainkan sesuka hati oleh udara. Tubuh kurusnya bergetar. Dua tangan dikatupkan di atas perut. Menatap jalan di depan rumah yang diterangi neon remang. Tak berkedip! Sesekali mengalihkan pandangan lensa menuju angkasa. Bintang hendak mengajaknya bermain. Rupa kusutnya samar menjadi semringah. Ia melukis angan, duduk di atas pangkuan awan cumulus. Menguasai jagad dengan kerajaan warna pelangi. Bintang adalah bala tentaranya yang akan mengusir sunyi melawan kabut pemanggil petir. Kaos oblongnya berkibar. Celana cekaknya menggelengkan kain. Bibir kusamnya retak. Dan pandangan polosnya ditertawakan oleh kunang-kunang yang bersembunyi di balik semak. 

 “Perhatikan jalan! Barangkali teman sudah lewat. Nanti ... terlambat! Tidak mungkin berangkat sendirian ke pasar!” Ia, yang sering mengangkut beban dengan punggungnya berpesan. 

Gadis itu mengangguk tanpa suara. Kantuk masih menguasai akal pikirnya. Khayalan sengaja dilesatkan untuk membenamkan mimpi yang sempat dimusnahkan. Pukul satu dini hari. Ia yang muda, dipaksa bangun oleh takdir. Malam adalah sahabatnya yang tidak pernah berdusta menemani gigilnya setiap hari. Karena jika ia tidak bangun dari tidur, siapakah yang akan mengunci rumah berlantai dua itu?

 “ ... siap-siap dulu di dalam!” Ia masuk. Membereskan peralatan yang akan dibawa bekerja. Tak lupa sebotol mineral. Nasi bungkus tanpa lauk ikut disertakan. 

Sejenak sujud di atas sajadah lusuh mengemis keselamatan dan rizki yang memberikan berkah. Semuanya dilakukan demi sang gadis! Gadis yang senantiasa menggetarkan jiwanya. Sosok yang berdiri di tengah malam. Yang tidak kenal lelah dengan kata keluh. Ia yang membuat hidupnya menjadi lebih berarti. Juga karenanya harga dirinya jatuh tak lagi menjadi kisah menarik. Ia rela menjual tenaga di emperan trotoar, asalkan dapat memenuhi permintaan gadis yang telah menemani waktu sepinya sembilan tahun. 

 “Kau mau titip apa nanti jika ... pulang?”

 “Em...” Gadis itu berkelit manja. 

Jalanan hening. Belum ada obor melintas. Wajah langit masih sama dengan sebelumnya, berseri dengan kerlip bintang. Rumah yang dibangun di tanah lebih tinggi dari rumah warga lainnya menjadi sorotan terindah saat itu. Dua lampu menyala terang. Pilar rumah tampak menawan. Beberapa tanaman hias meringkuk kedinginan di lantai pertama. Gadis itu memegang pagar. Meremasnya dalam-dalam. Jendela rumah lebar, tak ada pembatas yang menghalangi cahaya rembulan menembus ruangan dalam. Tirai disibak. “Apel! Belikan apel merah!”

 “Baiklah! Jaga dirimu baik-baik di rumah!"

 Sebuah obor datang! Berhenti memandang ke arah rumahnya. Gadis itu berjingkat senang. Sinar dari nyala minyak tanah memungkas dingin di balkon rumah. Dalam hitungan beberapa menit ia dapat kembali memeluk guling. Maka, langit cemburu pada kecantikan obor yang lebih memikat gadis tersebut, dalam sekejab, ia akan lelap di bawah balutan impian. Malas mendongaknya, tentu ia tak pernah bersabar menunggu hari kemudian. Langit berpikir, menatap wajah gadis berkulit sawo matang di bumi membuat perasaannya sedikit tenang dari gangguan petir yang mengancam. 

 “... berangkat dulu!” Turun! Ya! Dia turun. Gadis itu mengekor menuruni anak tangga. Loncat dengan girang. “Belikan apel yang besaaarrr sekali!”

 “Iya, Sayang!”

 Gadis itu semakin riang. Melintasi ruang tamu yang dihuni beberapa kursi. Mengacuhkan dapur dan tempat makan yang kesepian. Mereka berdua melaju mendekati pintu utama. Keduanya berdiri mematung sejenak untuk menghormati perpisahan. “Jaga dirimu baik-baik, ya?” Katanya seraya mencium kening sang gadis. 

 Ia berangkat usai pintu dikunci rapat. Menuruni jalanan miring. Menyambut sahabat seperjuangannya mencari makanan. Menelusuri malam hening. Mengabaikan kantuk di penghujung malam. 

Tenaga dipersiapkan agar mampu mengangkat beban lebih banyak. Harga diri ditundukkan. Kemiskinan disujudkan. Ia bekerja agar jemari lembut orang kaya tidak lecet. Ia membantu wanita jelita tidak menyia-nyiakan tenaganya, khawatir takdir akan membuatnya renta di usia muda. Karena waktu bercicit, tidak mungkin ada orang kaya, mau menundukkan punggung untuk memikul beban dunianya di hadapan publik. Setidaknya ia merasa sangat beruntung, ada lahan pekerjaan mudah tanpa menjual harga diri ijazah di ranah prestise dunia! 

Menggelikan memang, namun ia tidak pernah tertawa karenanya. Ia adalah makhluk yang sering menimbun tawanya di dalam gudang kesengsaraan. Janganlah kau heran, jika kau dapati tubuhnya kurus tak berdaging! Hidup digunakan untuk membuang tenaganya demi mendapatkan lembaran kertas untuk membeli a.p.e.l. Ya Apel! Untuk hari itu, ia menginginkan apel demi cintanya. 

 “Angkat beras saya, ya! Bawa juga sayuran di keranjang! Jangan lupa kantong yang berisi buah-buahannya!” Seorang dengan gelang melingkar di lengan, memberikannya tugas. Ia mengangguk. Bersiap menggendong beban. “Bawa ke mobil saya yang ada di sisi terminal pasar!”

 “Iya, Tuan!”

 Karung beras 60 kilogram meniduri punggungnya, keranjang sayur di atas kepalanya! Buah 10 kilogram dijinjingnya. Tukang parkir dan beberapa ibu belanja menoleh heran! Kekuatan apa yang diberikan Tuhan hingga membuatnya mampu mengangkat beban sebanyak itu? Gelengan kepala tertoleh ke samping kanan dan ke kiri. Sementara anak muda dengan seragam sekolah acuh. Pedagang di emperan tersenyum bangga, hati membisikkan sebuah gumaman. ‘Ini adalah keberuntungan! Kelak aku akan memperkejakannya!’

 “Jalan yang cepat!” wanita itu memonyongkan bibirnya. “Kau tahu aku akan membayarmu?” hentakan kalimat yang sangat melecehkan. Ia mengangguk, melangkah lebih panjang. 

 Untuk yang ke sepuluh ia mengangkat beban. Tenaganya telah dikuras. Jagad bersinar sangat terik. Keringat bercucuran. Ketiaknya dibanjiri oleh keringat. Tubuhnya sangat kecut. Wajahnya tidak lagi kusam, namun memotret letih menajam. Bibirnya meraung kehausan. Satu lagi, maka uang akan bertambah! “Baik, Tuan!” Demi sang gadis. Demi melihat senyum pemilik rambut panjang itu mekar. 

 Tiiinnn!!!

 “Konsentrasi!”

 Brak! Augh! Menjerit. Beras terpelanting. Buah-buahan terpental. Keranjang sayur menggelimpang. Tubuhnya roboh. Kendaraan yang nyaris menyempretnya lari menjauh. Sopirnya sempat menoleh ke belakang. Acuh! Abai dengan kecelakaan kecil hidupnya. Orang-orang berkerumun. Para penjaga ruko di pinggiran keluar, tak mau ketinggalan adegan. Aspal mencium lututnya. Perih! Ia menelan getir! Sakit! Remuk tubuhnya. Tenaga bukan hanya terkuras, namun habis. Malu! Semua mata memusatkan pandangan ke arahnya. 

 “Kau seharusnya hati-hati!” Usai menyuruh cepat, kemudian menyuruh lambat. 

Ia melenguh pasrah. Diam bukan karena merasa kalah, namun tidak ingin menambah masalah. Perlahan bangkit, menahan lututnya yang perih. Darah segar mengalir. Kulit terkelupas melingkar berdiameter lima senti meter. Demi apel! Ia bangkit, mengumpulkan buah-buah yang menggelinding, memasukkan ke dalam kantong yang bolong sedikit. Orang yang memiliki jiwa sosial membantu, mengumpulkan sayuran yang berserakan. Sementara pemiliknya hanya berkacak pinggang. 

 “Bereskan!”

 “Maaf! Lain kali saya lebih hati-hati! Maaf!” Menunduk mengangguk-anggukkan kepala. 

Yang merasa kaya semakin bertingkah. Sombong menarik senyum nyinyir di bibir. Ia tak mau bertingkah memasang wajah melas. Mengangkat beras seperti semula. Meletakkan ranjang sayur di atas kepala usai mengucap terima kasih kepada lelaki renta yang membantunya. Lelaki itu diam. Kerumunan mulai bubar. Sosial nanar! Kalah dengan kedudukan berlian di lingkar lengan seseorang. Ia membungkuk. Melanjutkan langkah menuju terminal pasar. Tuan mengekor sok gagah di belakang. 

 ‘Demi apel!’ Hati menangis. 

 “Ini dua ribu rupiah!” bayaran punggungnya ditindih beban 60 Kilogram. 

Ia berterimakasih. Lantas lari menuju pasar buah. Uang terkumpul lima puluh ribu. Beberapa orang memberinya tiga ribu, yang dermawan lima ribu, yang pelit dua ribu meminta kembali lima ratus, dan sekarang dua ribu. Bertambahlah uangnya. Lelahnya padam. Ia mengembangkan senyuman. Gadis yang dicintainya tentu akan girang. Ah manis! Rupa yang amat melegakan. Hanya beralasan itu ia bersemangat. Bahkan lupa tubuhnya beberapa menit lalu nyaris remuk. Lupa jika lututnya disengat perih. Cintanya menerbangkan luka, menelan rasa malu, juga mengabaikan penderitaan. 

 Pukul lima sore. Senja mulai merangkak. Ia lompat dari toko-toko buah. Sebagian tutup, sebagian tidak menjual apel merah. Melenguh sebal. Namun tidak menyerah, mencari lagi. Pasar kampung tak selengkap dengan pasar-pasar kota. Apel termasuk buah langka, sedikit peminatnya, sebab harganya miring bagi perekonomian penduduk. Yang banyak berjejalan pisang, pepaya, jambu biji, mangga, dan melon. Apel merah! Dia butuh apel merah kesukaan gadisnya. 

 “Ada apel merah, Bu?”

 “Tidak! Hanya apel hijau kecil-kecil itu!” menunjuk keranjang buah berisi apel kecil pucat. 

Ia menoleh memperhatikan satu-persatu tubuh apel-apel mungil itu. Ia ingin memberikan kesempurnaan untuk gadis yang selalu membuatnya hidup dengan bersemangat. 

 “Saya cari tempat lain!”

Ganti toko. 

 “Ada apel merah?” memandang buah-buah di hadapan pedagang. Setumpuk mangga. Setumpuk jambu air pucat. Setumpuk sawo matang yang diragukan kematangannya. Bergelimpangan semangka. Beberapa salak. Bergelantungan pisang. Sekeranjang jeruk yang sarinya sudah disedot pabrik. 

 “Maaf sudah habis!”

 ‘Kau mau titip apa?’

 ‘Apel! Apel yang sangat besaaarrr! Apel merah!’ Kalimat itu terngiang. Ia pilu membayangkan ekspresi kekecewaan. Urung. Lain waktu ada kesempatan untuk membelinya. Melangkah memasuki pasar sayuran. Beberapa tutup. Tersisa sawi pucat. Beras dua kilo dengan kualitas sederhana, lauk ikan asin. Kaki kemudian dituntun pulang. Naik mobil pick up. Menumpang! 

Begitulah kehidupan sehari-harinya, malam berjalan kaki, jika senja naik mobil orang. 

***

 Gadis itu telah lama menunggu. Ia mengusap bening di mata. Merajuk di pelukannya yang baru saja tiba di depan rumah. Khawatir jika orang yang dicintainya tidak pulang. Setiap hari ia dibunuh rasa takut sendirian. Bosan berkawan dengan presenter TV di dalam ruangan. Kepulangannya mengusir cemas. Mendadak menghilangkan bulir. Haru dibasuh rindu yang berkesumat sendu. Syaraf di otaknya mengingat sesuatu.

 “Ibu, di mana apelnya?”

Ia diam. Wanita yang belum terlalu tua itu menatap buah hatinya datar. Mengusap pipi tak mampu berkata-kata. Selendang tersampir di pundak kirinya. Kuli gendong! Yah! Pekerjaannya untuk menumbuhkan gadis yang kini meminta apel merah. Sementara takdir mengkandaskan! Senyum hambar. 

“Ibu tidak membelikannya untukku?”

Kantung matanya yang kendor semakin mengendor. Sesak dadanya. Lelah kembali dirasakan. “Ah, Ibu! Ibu menyebalkan! Aku menunggu buah apel dari tadi pagi!” Salah satu alasan ia menunggu selain kehadirannya yang lebih penting. 

***

Yang lebih menguatkannya merajut langkah tergesa-gesa berkilo-kilo meter setiap malam. Berkawan gigil mencekam. Melintasi empat perbatasan kampung di Kabupaten Magelang, tak menghiraukan retinanya mengemis lelap. Karenanya bukan hanya tenaga yang dipertaruhkan, letih juga diadudombakan.  

Daun bambu bergesekan, pasukan kabut bergerilya menutup rembulan. Terlihat mengerikan. Ia yang berwajah sayu melangkah bersama rombongan pedagang pasar. Tiga makhluk berselendang lama, maju dengan kicau yang tak terarah. Tiga orang itu terkenang dalam temaram obor yang dipegang seseorang. Kenyataan hidup mereka lebih kelam dari kegelapan malam. 

Pukul dua dini hari mereka merangkak membasmi perekonomian rendah keluarga, mencari nafkah, dan sunguh realita yang mengungkap baginya membanting tulang. Semua nyawa berwajib saling menjaga, mereka tak akan membiarkan lelaki jalang mabuk di jalanan mengambil dagangan dengan lancang. Tak ada pelindung, wanita-wanita yang rahimnya pernah membuahkan cinta itu tak didampingi Ayah! Mereka bertiga merangkak dengan berbekal pakaian hangat, selendang tersampir, dan bahan dagangan di belakang punggung, yang pedagang. Lain dengannya, ia adalah kuli gendong pasar. 

 Ia pernah merintih pada pencipta Bumi. Diberikan kesengsaraan hidup tidak apa-apa, namun membayangkan putri ke duanya yang masih belia terduduk melamun di sisi jendela menatap jalan, menyayat batin dan menghancurkan bendungan airmata. Demi apa pun, ia amat sangat menyayanginya, bahkan ia rela melangkah di perut malam yang membekukan jiwa raga. Turun pada tangga umur sang gadis, Fira, selisih dua tahun, maka Caca menginjak angka tujuh tahun, kelas satu SD. Lugu, pandangannya polos, gerak jemarinya liar meraba-raba alam. Poninya sering berantakan. Pekerjaan kesehariannya bermain masak-masakan di sisi jendela rumah lantai dua, menyibak tirai, membuka jendela, terkadang duduk di atasnya, melempar pandang ke jalanan. 

Rumah penduduk yang berserakan tidak menjadi bangunan menarik, meski ia melihat di sisi jalan terdampar lahan luas yang sering dijadikan arena berlari anak memamerkan tawa riang mereka seusai azan dzuhur, ia tidak peduli. Menggigil bibirnya jika sudah bosan, merajuk pada kakaknya, Fira. Menarik rok yang dikenakan, menggeser-geser ke kanan dan ke kiri, rambut dikucir duanya akan bergoyang, bola matanya akan sedikit berkaca. “Ibu di mana?” Awan stratus menjatuhkan airmata. Badai menggeretakkan langit. Burung-burung pulang ke sangkar. Anak yang bermain masuk ke dalam kandangan kasih sayang masing-masing. Fira, sembilan tahun, memeluk, di umurnya yang seharusnya hanya memikirkan permainan, dipaksa oleh takdir agar lebih dewasa, memeluk adiknya, membelai ubunnya, mengecup keningnya, lantas jongkok di hadapannya, berkata lembut, amat sangat lembut. “Ibu masih bekerja di pasar,’

 “Kenapa belum pulang?”

 Hening. Hujan bertebaran. Ratusan, bahkan ribuan mengguyur perkampungan. Titik-titik yang jatuh mengecup tubuh genting-genting perumahan. Berisik. Suara petir bertambah mengganggu ketenangan jantung. Mereka berdua berpelukan. Fira mengerti perasaan adiknya yang ketakutan. 

 “Adik, Ibu sedang membelikan kita jajan.” Buah apel kembali bersemayam di otaknya. Gadis itu tersenyum memamerkan gigi-giginya yang rapi. Putih berseri, ia berwajah manis, tatapannya menenangkan, belaian jemarinya menyejukkan. “Yang sabar ya?” Alam memotret dua gadis di dalam rumah bertingkat, tidak menangis, namun kesepian. Coba tengok pada rumah penduduk lain. Lengkap ada Ayah yang sedang menyesap segelas kopi di ruang tamu, ibu sibuk meracik bumbu makanan di dapur, buah hati bermain perang-perangan membuat kamar gaduh, selimut dililitkan dileher, mengkhayal menjadi spiderman, yang satu mengambil bantal dijadikan tameng, sapu adalah senjata yang diimajinasikan sebagai pedang. Gaduh, menandingingi teriakan petir. Hujan berangin kencang tidak menjadikan nyali mereka meringkuk kesepian. 

 Fira yang dipaksa lebih dewasa memapah adiknya ke dalam kamar. Jujur, ia bukan keluarga yang dipermainkan di dalam kemiskinan secara nyata. TIDAK! Kau lihat, rumahnya berlantai dua. Mereka lelap di atas kasur dan selimut tebal, lebih nyaman daripada milik penduduk lain. Mereka memakai pakaian yang lebih indah. Bahkan di lantai satu, pada sebuah ruang, berserakan jajan-jajanan. Ibu yang baik hati telah mempersiapkan kebutuhan mereka sejak dini. Ada sebuah alasan yang disembunyikan takdir, menutup kebersamaan belia-belia mungil itu. 

 Caca menguatkan. Namun bukan hanya ia yang lebih menguatkan. Ada lagi satu nyawa di dalam kamar, terbaring dengan mata cantiknya. Tertidur berselimut kehangatan. Boneka panda dijadikannya bantal. Rambut acak-acakan. Fira dan Caca memandang sekilas, sebelum kemudian rebah di sisinya. Jangan berani-berani kau tarik selimutnya, ia akan menjerit, meraung-raung saat hujan turun. Menanyakan hal yang sama seperti Caca, membuat Fira bimbang hendak melakukan apa. 

 Gadis, tiga ruh jelita! Dikurung dalam hening tanpa cinta. Hanya waktu yang menguatkan cerita. Detik berdetak tipis, Fira muak menatap jarum di dinding. Ia merasa geraknya bukan hanya melambat, namun mendekati wafat. Caca lelap. 

Ia terjaga. Azan asyar melengking nyaring. Mengetuk pintu hati yang tertutup gelap. Hujan membuat malas para jemaah surau. Serempak melilitkan sarung, bersujud di bawah atap masing-masing. Fira bangun perlahan mengambil air wudu. Tak ada yang mendidiknya untuk salat, ia hanya tahu bahwa gurunya di sekolah menyuruhnya salat. Gadis itu duduk di kelas tiga. Namun lebih sering tidak sekolah sebab sibuk menjaga adik-adiknya. Kau bayangkan, Caca berumur tujuh tahun, maka adiknya yang sedang lelap lebih muda lagi, empat tahun! Sedang liar berlari ke sana-kemari, sedang nikmat rebah di dalam belaian ibunda. PR terberat baginya jika adik kecilnya terjaga, meraung-raung memanggil nama ‘Ibu'. 

 Lihatlah, punggung gadis itu membungkuk, mengusap hening sendirian. Melayangkan doa. Bukan semoga masa depan cerah. Ia belum paham apa makna masa depan. Bukan agar nilai akademiknya menawan. Ia juga tidak mengerti dengan kata nilai. Otaknya cerdas, ia selalu riang melakukan sesuatu meskipun di usianya yang genap sembilan tahun belum mampu membaca sesuatu. Mundur! Kawan berteriak penuh cacian, gadis bodoh! Jangankan membaca, menulis saja ia belum mampu. Buku-buku pelajarannya kosong. Ia lebih sering berimajinasi di dalam kelas. Bergurau dengan kawan sebangkunya. Guru melotot. Ia acuh, tersenyum. Mematikan nyali sang guru untuk menegur, melihat di mejanya terduduk gadis yang lebih menggemaskan. Jemarinya merobek-robek kertas. Rambutnya berantakan. Tetap, meski pakaiannya tidak disetrika, anak itu mengundang jemari-jemari tangan hendak mencubit pipinya. Fira tertawa. Adiknya ngompol di atas meja. Gaduh. Suasana belajar tidak menyenangkan. Guru menghela napas. Siswa-siswi terbahak secara kompak. 

 Dan hari itu ia tidak sekolah, sujud di atas lembar sajadah yang terjungkir. Memakai mukenah yang melorot berkali-kali. Waktu tertawa geli, ia bukannya menghadap ka’bah, namun memunggungi ka’bah. Jangan kau hina dirinya jika kiblat saja ia belum tahu. Setidaknya ia mau mendengarkan seruan azan. Mengangkat tangan. Mendongak menatap langit-langit ruangan. 

Buku-buku berserakan di sisi sajadah. Pena bergelimpangan. Boneka Berbie menatap muram. Sweater dan tas juga tidak tergantung rapi. Adik-adiknya pagi tadi membuat ruang salat menjadi tak menyenangkan. Namun, tetap saja ia abai, apa itu rapi, ia belum terlalu memahami. Yang ia inginkan hanyalah berdoa, meminta sesuatu kepada Allah, bukan keselamatan! Bukan! “Ya Allah, Fira ingin ibu cepat pulang membawa apel merah!” Waktu berdesir. Dari kemarin ibu belum memberikannya buah yang diinginkan. Senja mengusap ubun Fira. Hujan semakin deras. Wajah Bumi menggelap. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status