Home / Romansa / Rindu yang Membunuh / Bab 2 - Tersudut

Share

Bab 2 - Tersudut

Author: G-Lyrae
last update Last Updated: 2025-09-29 09:24:58

Parkiran bawah tanah sepi, lampu neon memantulkan garis-garis dingin di lantai beton yang rata. Langkah Ayla terdengar jelas di lorong panjang, tas masih digenggam, lututnya bergetar sedikit—bukan karena fisik, tapi sisa ketegangan rapat.

“Sudah cukup, Ayla?” suara Adrian memecah hening, berat dan tegang. Nada itu bukan hanya marah; ada kepedihan, haus, frustrasi yang lama menumpuk.

Ayla menoleh, jantungnya seketika melonjak. “Tuan Adrian…” suaranya pelan, profesional, tapi tak mampu menutupi sedikit getar yang ia rasakan.

Adrian melangkah mendekat cepat, menutup jalur Ayla. Dalam sekejap tubuhnya menekan Ayla ke sisi mobil, bahu Adrian lebar, 188 cm tinggi, menutupi seluruh gerak Ayla yang 168 cm dengan postur ramping tapi tegap. Tangannya meraih dagu Ayla, memaksa wajahnya menatap mata Adrian yang membara.

“Kenapa kau pergi begitu saja?” desisnya, hampir berteriak tapi tetap tertahan. “Kenapa hilang begitu lama tanpa kabar?” nadanya masih menahan emosi tapi tetap membuat hati Ayla bergetar.

Ayla menelan ludah, ingin menjawab, tapi kata-kata membeku. Ingatan malam itu melintas—momen saat dia harus pergi, terluka, tapi tidak bisa menjelaskan apapun. Ia menunduk, napas panjang. “Aku… harus pergi” katanya berusaha menghindar.

Adrian mendengus kesal “tidak sebelum kau menjelaskan!” Katanya tegas.

“Aku gak bisa Adrian…” lirih

Adrian menatapnya tajam. “Tidak bisa? Tidak bisa apa, Ayla? Menjelaskan? Membiarkan aku mencari tanpa hasil?” Tangannya menekan dagunya sedikit lebih keras. “Aku sudah menahan diri bertahun-tahun, dan sekarang kau muncul, dan diam begitu saja?”

Ayla menarik napas, menahan tubuhnya agar tidak terhuyung. “Adrian… lepas!” suaranya lebih tegas, menahan diri dari panik.

Adrian menyipitkan mata. “Lepas? Kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja? Aku ingin jawaban, Ayla. Setiap pertanyaan, aku mau kau jawab!” katanya tegas seolah tidak ingin ditolak.

Ayla mengalihkan pandangan, berusaha menahan gemetar. “Aku tidak bisa… sekarang,” bisiknya, menahan air mata yang nyaris jatuh.

“Kau tidak bisa atau tidak mau?” Adrian menekankan kata-katanya, hampir seperti menembus dinding pertahanan Ayla. “Kau tahu aku menunggu jawaban itu. Ayla…, Setiap malam aku mencari… mencari…” Suaranya menahan retakan emosi.

Ayla menutup mata sesaat, menahan napas, kemudian mencoba mendorong bahu Adrian. “Tuan Adrian… tolong, aku harus pergi,” ia menekankan, berusaha membuat ruang di antara mereka.

Adrian tertawa kecil tapi dingin, pahanya menempel ke sisi mobil, membuat Ayla tidak bisa bergerak kemanapun. “Pergi? Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Kau muncul dan langsung pergi? Tidak, Ayla. Tidak bisa!.”

Tubuh Adrian bergerak lebih dekat, tangannya menggenggam dagu Ayla, matanya seolah ingin menembus semua rahasia yang ditutup rapat. “Kenapa kau diam? Kau pikir diam bisa menghapus kesalahanmu heh? Bisa menghapus luka yang kau tinggalkan? Heh? Jawab!”

Ayla menggigit bibir, menahan tangis. “Aku diam bukan karena aku tidak peduli… aku hanya… tidak bisa menjelaskan! Please Adrian… ”

Adrian menarik napas dalam, “please apa heh?”

“segala sesuatu bisa dijelaskan Ayla, pilihannya cuma 2, mau menjelaskan atau diam seperti pengecut?” katanya menekan bahkan mengiris hati wanita yang ada dihadapannya.

“Sepertinya kamu memilih yang tetakhir. Hah”

Ayla sempat membelalakkan mata beberapa detik, lalu ia mencoba menepis dagu Adrian, mendorong tubuhnya sekuat tenaga, tapi sia-sia. Adrian lebih besar, lebih kuat, dan emosi yang meledak memperkuat cengkeramannya. “Lepaskan!” teriak Ayla, suara hampir pecah.

Mata Adrian semakin panas, daripada melepaskan Adrian malah menunduk, memberikan ciuman kasar di bibir Ayla. Bibirnya menekan, menuntut, meraup seperti haus yang tak terpuaskan. Ayla menutup rapat, menahan bibirnya. Tangannya menekan lengan Adrian, mencoba menyingkir, tapi tubuhnya tak mampu menciptakan jarak.

“Ahh…” desah pendek keluar dari Ayla seperti meringis saat Adrian menggigit bibir bawahnya, memaksa sedikit celah, supaya Adrian bisa menciumnya lebih dalam. namun ia tetap melawan, menendang dan menekan untuk membuka ruang, meski sia-sia.

Adrian menghela napas, menelan desahan itu, lalu menekan lagi, lebih rakus. “Kau pikir diam bisa menghindari aku?” Suaranya serak, frustrasi, haus akan jawaban, haus akan kontak itu. “Kau pikir aku bisa berdamai dengan semua ini tanpa jawabanmu?”

Ayla memeringis, mendorong tubuh Adrian lagi. “Aku tidak… aku tidak bisa memberimu jawaban apapun… Adrian!”

Adrian menarik sedikit, menatap mata Ayla yang menahan air mata, membaca semua ketegangan itu.

“Lepas… please…” lirih.

“Kenapa kamu gak bisa jawab hmm?” Suara Adrian melembut, bahkan tatapannya juga melembut sebentar.

“Kenapa….?” Lebih lirih

“Ay…”

Panggilan itu… nada itu, itu panggilan sayang Adrian dulu padanya, Ayla sempat tertegun mendengar itu, ia menatap mata Adrian sayu, emosinya bercampur seolah memori kebersamaan mereka dipanggil ke momen itu, begitu juga Adrian.

Adrian kembali meraup bibir Ayla dengan bibirnya, kali ini bukan kasar, kali ini lebih lembut, lebih… rindu.

Cup…cup… cup…

Lalu satu ciuman panjang yang ditahan beberapa detik

Kangen banget Ay, gue kangen banget…

Tapi Ayla meski dia sempat terbuai, dia tetap diam, bibirnya tetap rapat, tidak membuka, tidak menahan, hanya membiarkan Adrian selesai.

Merasakan Ayla yang tidak merespon ciumannya membuat Adrian kesal, seolah hanya dia yang merindukan momen itu. Ia Menarik nafas panjang, tatapan Adrian kembali tegas dan dingin.

“Aku tidak akan berhenti sampai kau buka mulutmu sendiri dan kasih penjelasan. Kalau kau tidak kasih sekarang, aku bisa tagih tiap hari”

“Dan tiap tagihan tidak akan pernah mudah, Ayla.” katanya menekankan setiap katanya. Ia akhirnya melepaskan Ayla, berbalik berjalan ke mobilnya sendiri.

Ayla menelan ludah, gemetar, dan menunduk. Napasnya berat, tangannya menekan bibir yang masih panas. Aroma ciuman itu menggantung di udara, bukti malam yang tidak akan mudah dilupakan.

Ayla duduk di mobil, tubuhnya masih bergetar. Jantungnya berdebar tak karuan, air mata jatuh tapi ia cepat menahan diri. “Tidak… Lo gak boleh nangis, Ayla… Lo harus kuat. Lo kuat, Ayla,” bisiknya pada diri sendiri, menarik napas panjang.

Adrian menghela napas panjang, menyalakan mobilnya sendiri di ujung lorong. Ia menoleh sekali, melihat Ayla duduk di mobil, wajahnya lelah, mata berkaca-kaca.

“Aku… aku cuma ingin kau jujur, Ayla. Itu saja.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rindu yang Membunuh   Bab 7 - Bayangan

    Apartemen Adrian sunyi, hanya detak jam dinding yang menemani kesepiannya. Adrian duduk di sofa, tatapannya kosong menembus jendela. Gelas bourbon di tangannya dibiarkan tak tersentuh, asap rokok membentuk lingkaran tipis di udara.Matt masuk setelah dipanggil, meletakkan kantong kopi di meja dengan santai. "Wah... ada hal penting nih kayaknya," komentarnya, memperhatikan asap rokok yang melingkari Adrian. "Merokok? Tanda bahaya dan seru... haha."Adrian menoleh sekilas. "Revan.""Siapa dia?" Matt mencoba mengingat. "Jangan-jangan, cowok yang makan bareng Ayla itu?"Adrian mengangguk singkat. "Selidiki dia. Semua tentang dia. Gue nggak peduli dia klien atau apapun itu. Gue nggak suka caranya dia ngeliatin Ayla."Matt mendengus, bersandar di meja. "Lo bahkan belum tahu apa-apa tentang dia. Cuma insting lo aja yang main."Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya setajam pisau. "Insting gue jarang salah, Matt. Gue nggak akan biarin Ayla deket sama orang yang mencurigakan. Cari tah

  • Rindu yang Membunuh   Bab 6 - Ayah... Reya?

    Ayla berlari dari lobi keluar gedung apartemen Adrian, dada berdebar kencang. Telepon dari ibunya masih berdering di kepalanya. “Reya, sayang… dia butuh kamu sekarang…”Nafas panik menyeruak di setiap langkahnya. Tangannya menjulur mencari tas, kunci mobil, apa pun yang bisa membawanya ke putrinya, tapi tak ada, satu-satunya yang ia bawa cuma handphone nya yang ada di saku celananya.Mobilnya masih di parkiran restoran, tempat Adrian membawanya tanpa izin beberapa jam lalu. “Astaga, Adrian… sial!” gumamnya, frustasi, hampir meneteskan air mata.Dia kembali berlari tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan tangannya.“Tunggu, Ayla…” suara Adrian terdengar tegas, tapi… ada nada khawatir di sana.Ayla tetap berjalan meski tangannya dipegang Adrian. Tapi Adrian menariknya dengan tegas, memutar tubuhnya sehingga kini berhadap-hadapan.“Kita harus bicara Ayla.” Adrian menatapnya, mata abu-abu gelap penuh intensitas.“Ada apa Ay…? Kasih ta..”“Lepas, Adrian.” A

  • Rindu yang Membunuh   Bab 5 - Ayla!

    Adrian mencondongkan tubuh ke kursi, nafasnya tinggal beberapa senti dari wajah Ayla. Mata abu-abu itu menatap tajam, menelusuri setiap gerakan Ayla yang menegang, bahkan memejamkan mata kuat.Ayla menelan nafas, jantungnya berdebar, tapi dia menahan diri. Tubuhnya kaku, tangan menekuk di pangkuan. Adrian menatap tubuh itu, memperhatikan matanya yang terpejam, dan tangan yang memegang ujung bajunya erat, Adrian menunduk sejenak.Apa kamu takut padaku sekarang Ay?Adrian menarik nafas, menenangkan diri, lalu mundur ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Suara starter mobil bergetar halus, lampu dashboard memantul di wajahnya. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, ia menekan nomor di ponsel.“Matt, pastikan semua barang-barangnya aman,” katanya singkat.“Siap, boss. Semuanya aman,” jawab suara Matt dari speaker.“Klien ku masih disana, Adrian please… aku harus kembali.”Adrian diam beberapa saat menenangkan dirinya lagi mengingat bagaimana mata yang disebut klien itu memandang Ayla, Ia

  • Rindu yang Membunuh   Bab 4 - Apa yang Kau Mau?

    Adrian menatap menu di depannya, tapi pikirannya jauh dari daftar hidangan yang ada. Lampu restoran yang hangat dan gemericik piring kaca terasa seperti dunia lain, satu-satunya yang ia pikirkan adalah sosok wanita yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Matt duduk di sampingnya, santai, tersenyum tipis sambil mengamati sahabatnya yang tampak tegang. Asisten nya, Lucas, sibuk dengan catatan keamanan, tapi matanya sesekali menoleh ke arah Adrian.“Ada temuan baru Matt?”Matt mengangkat alis, tersenyum sarkastik. “Ad, Gue bisa nyari orang hilang, bro. Tapi Ayla… dia beda. Baik dulu maupun sekarang Gue merasa ada yang aneh. Kalau dia pergi, harusnya gue bisa nemuin. Tapi dia kayak sengaja nggak mau ditemui, atau ada orang lain yang sengaja membuat dia hilang.”Adrian mengerutkan dahi. “Gue juga mikir gitu.”“Gue gak bisa bilang sekarang, tapi jangan anggap semua ini kebetulan. Ayla… dia nggak mungkin sanggup nutupin dirinya begitu rapat, Ad.” Matt menatap sahabatnya serius. “Gue

  • Rindu yang Membunuh   Bab 3 - Ibu Janji

    Ayla menekan tombol kunci mobil, lampu garasi memantulkan garis-garis panjang di lantai keramik. Nafasnya masih berat, dada berdebar, mungkin karena rapat? Atau… ciuman? Yang jelas ketegangan itu belum hilang dari tubuhnya. Ia menutup pintu mobil, menatap sejenak lorong parkir yang sunyi, lalu menarik napas panjang.“Lo gak boleh lemah sekarang, Ayla. Lo punya Reya,” gumamnya sekali lagi menguatkan hati dan tubuhnya sendiri.Langkahnya cepat menuruni tangga menuju rumah, tas masih tergenggam erat. Begitu masuk, aroma teh hangat dan kue panggang menyambutnya. Reya sedang duduk di sofa, memeluk boneka kesayangan. Mata abu-abu kecil itu menatap Ayla penuh semangat, mata yang… persisi milik seseorang.“Ibu!” seru Reya sambil meloncat ke arah Ayla.Ayla tersenyum tipis, menunduk dan mendaratkan ciuman lembut di dahi putrinya. “Ibu pulang sayang…. Gimana hari ini Hmm? Kamu oke?”Reya mengangguk cepat. “Aku oke, Bu. Justru ibu, lihat tuh matanya merah … capek ya..?” Ayla tersenyum mendengar

  • Rindu yang Membunuh   Bab 2 - Tersudut

    Parkiran bawah tanah sepi, lampu neon memantulkan garis-garis dingin di lantai beton yang rata. Langkah Ayla terdengar jelas di lorong panjang, tas masih digenggam, lututnya bergetar sedikit—bukan karena fisik, tapi sisa ketegangan rapat.“Sudah cukup, Ayla?” suara Adrian memecah hening, berat dan tegang. Nada itu bukan hanya marah; ada kepedihan, haus, frustrasi yang lama menumpuk.Ayla menoleh, jantungnya seketika melonjak. “Tuan Adrian…” suaranya pelan, profesional, tapi tak mampu menutupi sedikit getar yang ia rasakan.Adrian melangkah mendekat cepat, menutup jalur Ayla. Dalam sekejap tubuhnya menekan Ayla ke sisi mobil, bahu Adrian lebar, 188 cm tinggi, menutupi seluruh gerak Ayla yang 168 cm dengan postur ramping tapi tegap. Tangannya meraih dagu Ayla, memaksa wajahnya menatap mata Adrian yang membara.“Kenapa kau pergi begitu saja?” desisnya, hampir berteriak tapi tetap tertahan. “Kenapa hilang begitu lama tanpa kabar?” nadanya masih menahan emosi tapi tetap membuat hati Ayla b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status