Home / Romansa / Rindu yang Membunuh / Bab 3 - Ibu Janji

Share

Bab 3 - Ibu Janji

Author: G-Lyrae
last update Last Updated: 2025-09-29 11:36:27

Ayla menekan tombol kunci mobil, lampu garasi memantulkan garis-garis panjang di lantai keramik. Nafasnya masih berat, dada berdebar, mungkin karena rapat? Atau… ciuman? Yang jelas ketegangan itu belum hilang dari tubuhnya. Ia menutup pintu mobil, menatap sejenak lorong parkir yang sunyi, lalu menarik napas panjang.

“Lo gak boleh lemah sekarang, Ayla. Lo punya Reya,” gumamnya sekali lagi menguatkan hati dan tubuhnya sendiri.

Langkahnya cepat menuruni tangga menuju rumah, tas masih tergenggam erat. Begitu masuk, aroma teh hangat dan kue panggang menyambutnya. Reya sedang duduk di sofa, memeluk boneka kesayangan. Mata abu-abu kecil itu menatap Ayla penuh semangat, mata yang… persisi milik seseorang.

“Ibu!” seru Reya sambil meloncat ke arah Ayla.

Ayla tersenyum tipis, menunduk dan mendaratkan ciuman lembut di dahi putrinya. “Ibu pulang sayang…. Gimana hari ini Hmm? Kamu oke?”

Reya mengangguk cepat. “Aku oke, Bu. Justru ibu, lihat tuh matanya merah … capek ya..?” 

Ayla tersenyum mendengar itu “Sedikit, tapi melihat putri ibu masih bersemangat gini meski sudah gelap, semua capek ibu hilang, sayang…”

Reya tersenyum, tapi lalu matanya menyipit menyelidik “itu beneran… atau… cuma rayuan biar ibu gak usah bacain dongeng buat Reya, hmm?”

“Ya ampun sayang…, ya bener lah. Lihat kamu sehat, baik kayak gini tuh bikin ibu sembuh dari apapun sayang. Tapi nak, serius, gak ada yang sakit kan hari ini hmm??”

“Gak ada bu.” Reya tersenyum “Reya sehat, lihat” katanya lalu memutarkan badannya sendiri membuat Ayla tersenyum

“Oke ibu percaya, tapi kalo ada apa-apa, Reya harus bilang ya sama ibu, biar ibu bisa selalu bisa jagain Reya, oke?”

Reya mengangguk cepat sambil tersenyum.

“Reya sama nenek dulu ya… biar ibu mandi dulu, oke?”

“Oke”

Ibunya Ayla muncul dari dapur, “Sudah pulang sayang? Makan malam dulu sayang, belum makan kan?” kata ibunya dengan senyum lembut. Pandangan itu menenangkan Ayla.

“belum Bu, tapi Ayla mau mandi dulu, gerah,” jawab Ayla sambil menyandarkan tasnya. Ia menatap ibunya sebentar.

“Ada apa sayang?” Tanya ibunya.

“Ga papa Bu, Ayla cuma lelah” katanya lalu berjalan ke kamarnya sendiri.

Di sisi kota lain, Adrian masuk ke apartemennya yang jarang ia tempati. Sunyi, hanya langkahnya di lantai kayu yang terdengar. Ia meletakkan jas dan dasi, duduk di sofa, menatap lampu kota yang memantul di jendela. Bayangan parkiran, bibir Ayla, tatapan itu, berputar di kepalanya.

Adrian menekan sebuah nomor di handphone nya.

“Matt. Lo masih bangun?” Suaranya campur aduk, tapi menahan diri.

“iya, kenapa? gue lagi di bar, ada apa bro?” suara Matt santai.

Adrian menghela napas, “Lo pernah nyari Ayla, Matt. Waktu dia… hilang dulu, lo serius nyari sampai mentok gak?”

Matt tertawa ringan. “Ya

.. gue serius lah, gue nyari ke semua blind spot tapi Nihil Ad. gak ada jejak gak ada petunjuk seolah dia hilang ditelan bumi”

“Kalo dia ditelan bumi, dia gak akan muncul di rapat hari ini, hah” Adrian tertawa pahit

“Wait…. Dia muncul?” kaget

“Iya.” lirih 

“Serius?”

“Hmm”

“Ya udah kalo gitu Lo tanyain aja ke dia apa yang terjadi”

“Dia gak mau cerita”

“Aneh… kalow dia bisa muncul sekarang, berarti dulu… bisa jadi ada alasan Ad”

“Makannya, gue mau Lo selidiki lagi Matt, Kali ini… gak boleh ada yang terlewat, kalau terlewat lagi jabatan direktur keamanan Lo terancam.”

“Apa? Lo ngancem pake jabatan huh? Ohh ayolah Ad… gue sahabat Lo lebih lama dari Lo kenal Ayla…. Haaah, memang ya seribu kebaikan sahabat kalah sama satu wanita” katanya suaranya lebih ke dramatis.

“Kenapa? Gak bisa Lo?”

“Gue kan cuma manusia biasa bro, dulu udah sekuat tenaga gue cari tetep gak ketemu tuh wanita pujaan Lo”

“Bukannya Lo mantan Intel heh? Pokoknya gue gak mau tahu, Lo harus selidiki ini, Matt, sampai tuntas.”

“Ya…. Mantan intel juga manusia…”

“Jadi Lo lebih rela kehilangan jabatan Lo heh?”

“E..eh enggak. Serius amat sih Lo. Iya iya… gue selidiki sampe mentok.”

“Good, secepatnya.”

“Oke, siap boss.”

Adrian menutup telepon, membiarkan rasa frustasi sedikit mereda. 

Kalo Lo gak bisa kasih tau Ay, gue cari sendiri alasannya, gue takut… tapi gue lebih takut kalow gue gak tahu.

***

Ayla menatap Reya yang tertidur pulas, wajah kecilnya begitu mirip dengan seseorang yang sangat ia rindukan, tapi di balik damai itu, ada rapuh yang selalu menghantui. 

Jari-jarinya menepuk lembut rambut hitam putrinya, namun hati Ayla menegang, teringat malam itu, ruangan gelap, asing, dikelilingi orang-orang yang bersiap mengambil sesuatu yang paling berharga dari dirinya.

Ia menutup mata sejenak, menahan napas. Air mata jatuh diam-diam, tapi ia segera menyeka, tak ingin Reya tahu. Putrinya sekarang ada di hadapannya, aman, tapi luka yang malam itu tanam dalam tubuh dan jiwanya masih tersisa, bukan terlihat, tapi terasa dalam setiap detak jantung kecil itu.

Ayla menarik selimut lebih rapat, pelukan yang lembut tapi tegas, seolah ingin menahan bayangan masa lalu itu jauh dari Reya. “Ibu jaga kamu… selalu,” bisiknya lirih. Suaranya hangat, tapi getarannya tak bisa sepenuhnya disembunyikan.

Ada rasa bersalah juga yang kembali menyeruak ke dalam dirinya “Maafin ibu sayang” katanya lirih lalu mengecup kening putrinya itu.

“Ibu janji kamu akan baik-baik saja dan tumbuh dewasa, Reya” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rindu yang Membunuh   Bab 7 - Bayangan

    Apartemen Adrian sunyi, hanya detak jam dinding yang menemani kesepiannya. Adrian duduk di sofa, tatapannya kosong menembus jendela. Gelas bourbon di tangannya dibiarkan tak tersentuh, asap rokok membentuk lingkaran tipis di udara.Matt masuk setelah dipanggil, meletakkan kantong kopi di meja dengan santai. "Wah... ada hal penting nih kayaknya," komentarnya, memperhatikan asap rokok yang melingkari Adrian. "Merokok? Tanda bahaya dan seru... haha."Adrian menoleh sekilas. "Revan.""Siapa dia?" Matt mencoba mengingat. "Jangan-jangan, cowok yang makan bareng Ayla itu?"Adrian mengangguk singkat. "Selidiki dia. Semua tentang dia. Gue nggak peduli dia klien atau apapun itu. Gue nggak suka caranya dia ngeliatin Ayla."Matt mendengus, bersandar di meja. "Lo bahkan belum tahu apa-apa tentang dia. Cuma insting lo aja yang main."Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya setajam pisau. "Insting gue jarang salah, Matt. Gue nggak akan biarin Ayla deket sama orang yang mencurigakan. Cari tah

  • Rindu yang Membunuh   Bab 6 - Ayah... Reya?

    Ayla berlari dari lobi keluar gedung apartemen Adrian, dada berdebar kencang. Telepon dari ibunya masih berdering di kepalanya. “Reya, sayang… dia butuh kamu sekarang…”Nafas panik menyeruak di setiap langkahnya. Tangannya menjulur mencari tas, kunci mobil, apa pun yang bisa membawanya ke putrinya, tapi tak ada, satu-satunya yang ia bawa cuma handphone nya yang ada di saku celananya.Mobilnya masih di parkiran restoran, tempat Adrian membawanya tanpa izin beberapa jam lalu. “Astaga, Adrian… sial!” gumamnya, frustasi, hampir meneteskan air mata.Dia kembali berlari tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan tangannya.“Tunggu, Ayla…” suara Adrian terdengar tegas, tapi… ada nada khawatir di sana.Ayla tetap berjalan meski tangannya dipegang Adrian. Tapi Adrian menariknya dengan tegas, memutar tubuhnya sehingga kini berhadap-hadapan.“Kita harus bicara Ayla.” Adrian menatapnya, mata abu-abu gelap penuh intensitas.“Ada apa Ay…? Kasih ta..”“Lepas, Adrian.” A

  • Rindu yang Membunuh   Bab 5 - Ayla!

    Adrian mencondongkan tubuh ke kursi, nafasnya tinggal beberapa senti dari wajah Ayla. Mata abu-abu itu menatap tajam, menelusuri setiap gerakan Ayla yang menegang, bahkan memejamkan mata kuat.Ayla menelan nafas, jantungnya berdebar, tapi dia menahan diri. Tubuhnya kaku, tangan menekuk di pangkuan. Adrian menatap tubuh itu, memperhatikan matanya yang terpejam, dan tangan yang memegang ujung bajunya erat, Adrian menunduk sejenak.Apa kamu takut padaku sekarang Ay?Adrian menarik nafas, menenangkan diri, lalu mundur ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Suara starter mobil bergetar halus, lampu dashboard memantul di wajahnya. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, ia menekan nomor di ponsel.“Matt, pastikan semua barang-barangnya aman,” katanya singkat.“Siap, boss. Semuanya aman,” jawab suara Matt dari speaker.“Klien ku masih disana, Adrian please… aku harus kembali.”Adrian diam beberapa saat menenangkan dirinya lagi mengingat bagaimana mata yang disebut klien itu memandang Ayla, Ia

  • Rindu yang Membunuh   Bab 4 - Apa yang Kau Mau?

    Adrian menatap menu di depannya, tapi pikirannya jauh dari daftar hidangan yang ada. Lampu restoran yang hangat dan gemericik piring kaca terasa seperti dunia lain, satu-satunya yang ia pikirkan adalah sosok wanita yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Matt duduk di sampingnya, santai, tersenyum tipis sambil mengamati sahabatnya yang tampak tegang. Asisten nya, Lucas, sibuk dengan catatan keamanan, tapi matanya sesekali menoleh ke arah Adrian.“Ada temuan baru Matt?”Matt mengangkat alis, tersenyum sarkastik. “Ad, Gue bisa nyari orang hilang, bro. Tapi Ayla… dia beda. Baik dulu maupun sekarang Gue merasa ada yang aneh. Kalau dia pergi, harusnya gue bisa nemuin. Tapi dia kayak sengaja nggak mau ditemui, atau ada orang lain yang sengaja membuat dia hilang.”Adrian mengerutkan dahi. “Gue juga mikir gitu.”“Gue gak bisa bilang sekarang, tapi jangan anggap semua ini kebetulan. Ayla… dia nggak mungkin sanggup nutupin dirinya begitu rapat, Ad.” Matt menatap sahabatnya serius. “Gue

  • Rindu yang Membunuh   Bab 3 - Ibu Janji

    Ayla menekan tombol kunci mobil, lampu garasi memantulkan garis-garis panjang di lantai keramik. Nafasnya masih berat, dada berdebar, mungkin karena rapat? Atau… ciuman? Yang jelas ketegangan itu belum hilang dari tubuhnya. Ia menutup pintu mobil, menatap sejenak lorong parkir yang sunyi, lalu menarik napas panjang.“Lo gak boleh lemah sekarang, Ayla. Lo punya Reya,” gumamnya sekali lagi menguatkan hati dan tubuhnya sendiri.Langkahnya cepat menuruni tangga menuju rumah, tas masih tergenggam erat. Begitu masuk, aroma teh hangat dan kue panggang menyambutnya. Reya sedang duduk di sofa, memeluk boneka kesayangan. Mata abu-abu kecil itu menatap Ayla penuh semangat, mata yang… persisi milik seseorang.“Ibu!” seru Reya sambil meloncat ke arah Ayla.Ayla tersenyum tipis, menunduk dan mendaratkan ciuman lembut di dahi putrinya. “Ibu pulang sayang…. Gimana hari ini Hmm? Kamu oke?”Reya mengangguk cepat. “Aku oke, Bu. Justru ibu, lihat tuh matanya merah … capek ya..?” Ayla tersenyum mendengar

  • Rindu yang Membunuh   Bab 2 - Tersudut

    Parkiran bawah tanah sepi, lampu neon memantulkan garis-garis dingin di lantai beton yang rata. Langkah Ayla terdengar jelas di lorong panjang, tas masih digenggam, lututnya bergetar sedikit—bukan karena fisik, tapi sisa ketegangan rapat.“Sudah cukup, Ayla?” suara Adrian memecah hening, berat dan tegang. Nada itu bukan hanya marah; ada kepedihan, haus, frustrasi yang lama menumpuk.Ayla menoleh, jantungnya seketika melonjak. “Tuan Adrian…” suaranya pelan, profesional, tapi tak mampu menutupi sedikit getar yang ia rasakan.Adrian melangkah mendekat cepat, menutup jalur Ayla. Dalam sekejap tubuhnya menekan Ayla ke sisi mobil, bahu Adrian lebar, 188 cm tinggi, menutupi seluruh gerak Ayla yang 168 cm dengan postur ramping tapi tegap. Tangannya meraih dagu Ayla, memaksa wajahnya menatap mata Adrian yang membara.“Kenapa kau pergi begitu saja?” desisnya, hampir berteriak tapi tetap tertahan. “Kenapa hilang begitu lama tanpa kabar?” nadanya masih menahan emosi tapi tetap membuat hati Ayla b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status