Adrian mencondongkan tubuh ke kursi, nafasnya tinggal beberapa senti dari wajah Ayla. Mata abu-abu itu menatap tajam, menelusuri setiap gerakan Ayla yang menegang, bahkan memejamkan mata kuat.
Ayla menelan nafas, jantungnya berdebar, tapi dia menahan diri. Tubuhnya kaku, tangan menekuk di pangkuan. Adrian menatap tubuh itu, memperhatikan matanya yang terpejam, dan tangan yang memegang ujung bajunya erat, Adrian menunduk sejenak. Apa kamu takut padaku sekarang Ay? Adrian menarik nafas, menenangkan diri, lalu mundur ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Suara starter mobil bergetar halus, lampu dashboard memantul di wajahnya. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, ia menekan nomor di ponsel. “Matt, pastikan semua barang-barangnya aman,” katanya singkat. “Siap, boss. Semuanya aman,” jawab suara Matt dari speaker. “Klien ku masih disana, Adrian please… aku harus kembali.” Adrian diam beberapa saat menenangkan dirinya lagi mengingat bagaimana mata yang disebut klien itu memandang Ayla, Ia mengatur ritme nafasnya sendiri agar lebih stabil. “Tolong, tuan Adrian, saya masih ada janji dengan klien saya, tolong hentikan mobilnya.” Lebih tegas Adrian malah terkekeh, tawa yang bukan bahagia, bukan senang, tapi pahit dan menyakitkan. “Janji?” “Sebelum kau janji dengan klien mu itu, kau lebih dulu hutang janji padaku. Ayla.” “Seingat ku, seminggu yang lalu pertemuan terakhir kita, kita belum ada janji temu lagi kan? Tuan?” “Jangan pura-pura bodoh.” “Maksudmu….” agak lirih “4 tahun lalu…. Kau lupa? pura-pura lupa? Atau pura-pura bodoh huh?” Ayla terdiam sesaat, Ya… janji itu… “Apa? Kau benar-benar lupa janji mu sendiri? Kau lupa Janji kita, heh?” ada sakit di nada suaranya, terluka. “4 tahun lalu… itu… gak penting, hentikan mobilnya Adrian.” Lirih tapi tegas Adrian segera melajukan mobilnya lebih cepat lalu berhenti tak lama setelah itu. “Turun!” Katanya dingin. Ayla kaget, tapi dia tetap membuka pintu mobilnya dan turun, ia memperhatikan sekitar. Ini kan… gedung apartemen dia dulu. Tapi… terserah, ayo pergi saja Ayla, selagi bisa. Tapi sebelum kakinya melangkah lebih jauh, tangan Adrian menghentikannya lagi. “Ikut aku.” Tegas “Sakit. Adrian lepas.” Memang pergelangan tangannya agak sakit bekas genggaman Adrian tadi yang cukup kuat dan lama. Ada perasaan bersalah didada Adrian, hingga membuatnya melepaskan genggaman tangannya, tapi sedetik kemudian dia menggendong tubuh Ayla ke pangkuannya ala bridal style. “Ad!” Ayla menggoyangkan kakinya berniat mengacaukan keseimbangannya Adrian, supaya dia bisa turun, namun Adrian tetap tegak berjalan masuk ke gedung itu. “Be a good girl.” “I'm not a girl.” katanya antara marah dan cemberut. Beberapa orang di lobi memperhatikan mereka, dan insting lama Ayla muncul, ia menyembunyikan wajahnya di dada Adrian, tangan memegang erat bahu dan lehernya. Adrian tersenyum kecil, merasakan Ayla mencari perlindungan padanya seperti dulu. Api kemarahannya tadi nyaris padam, yang tersisa hanya senyum itu. Di lift, Ayla akhirnya mengangkat wajah, beradu pandang dengan Adrian, tapi buru-buru menoleh ke samping. “Lihat, katamu 4 tahun lalu tidak penting, lalu kenapa pipimu merah? Hmm?” katanya dengan nada menggoda, sengaja. “Apa? Mana ada.. merah, kamu salah lihat.” Masih mengalihkan pandangan, tapi kini dia makin salah tingkah, mau turun gak bisa karna Adtian makin mengeratkan pelukannya, mau nutup muka pake tangan malah makin keliatan malu nya, sembunyi lagi ke dadanya Adrian, gengsi. Adrian ngeh sama ekspresi Ayla yang guguo dan salah tingkah itu, dia menikmatinya bahkan tersenyum. “Turunin gak?” Tiba-tiba nadanya galak, kayak marah saking malunya. “Gak mau.” Adrian terkekeh sambil membenarkan, mengeratkan posisi Ayla di gendongannya. “Ad~!” Matanya melotot tapi nadanya manja, malah membuat Adrian makin tertawa lebar. Ah! Ketiaknya! Dia paling gak tahan kalo disentuh disitu. Heh. Rasain ini. “Ah… ah… geli Ay. Ahh… “ Ayla gak berhenti menggelitik ketiaknya, pertama satu sisi lalu sisi lainnya. “Ay… hahahahahaha” tertawa geli “Turunin gak?” “Gak mau!” “Oke, kamu yang minta” Kali ini Ayla menggelitik kedua sisinya. “Ah.. hahahahaha. Ay. Berhenti…” “Nggak. Turunin dulu!” tegasnya “O…oke, oke, hah hah” Akhirnya dengan nafas terengah-engah Adrian menurunkan Ayla. “Jangan kabur, aku cuma mau… ngobrol Ay, please…?” “Aku yang mau ngobrol.” Katanya tegas. “Dengar ini tuan Adrian, kamu tidak berhak membawa saya seenaknya, apalagi mengganggu meeting saya dengan klien saya. Oke?” “Heh, meeting kamu bilang?” Seolah api yang tadi mulai padam tersulut kembali. “Yang aku lihat cuma… seorang lelaki yang menginginkanmu mengajakmu makan malam dengan alasan meeting.” Mata Ayla membelalak mendengar itu. “Revan bukan seperti itu.” Tegasnya “Oh… jadi namanya Revan.” Adrian menarik sisi pinggang Ayla, membuat mereka berdiri sangat dekat. Mata mereka saling menatap. “Siapa dia, hmm?” “Aku sudah bilang dia klien ku.” “Hanya klien hmm?” “Tentu saja, kamu berharap aku berkata apa heh? Apa kamu lebih puas kalo jawabanku dia… lebih dari itu? Hmm?” nadanya mulai naik. Rahang Adrian mengeras tanda bahwa dia berusaha keras menahan diri, mendengarnya saja, membayangkannya saja bahwa Ayla punya hubungan dengan pria lain membuat Adrian merasa sangat panas karna api cemburu. Ting… Pintu lift terbuka, Adrian menggandeng tangan Ayla, memastikan dia mengikuti, “ayo, aku benar-benar hanya ingin ngobrol Ay, please… oke?” Ayla akhirnya pasrah mengikuti. Oke, ayo selesaikan obrolan ini dan pulang Ay, Reya pasti sudah nunggu. Adrian memasukan kode aksesnya, masih sama, tanggal itu, tanggal mereka pertama kali bertemu. “Ayo masuk…” Tapi sebelum masuk, handphone Ayla berdering, sebuah nama ‘ibu’. “Kamu dimana? Makan malamnya sudah selesai?” “Mmm.. iya.. sudah Bu, kenapa?” “Reya sayang… dia butuh kamu, cepat pulang ya…” Ayla menelan ludah, jantungnya seketika mencelos. Meski panik, ia berusaha tetap tenang. “Iya Bu… Ayla pulang , sekarang juga.” Ayla beranjak dari depan pintu apartemen Adrian, menuju lift lagi, Adrian mengejar. “Ayla!”Apartemen Adrian sunyi, hanya detak jam dinding yang menemani kesepiannya. Adrian duduk di sofa, tatapannya kosong menembus jendela. Gelas bourbon di tangannya dibiarkan tak tersentuh, asap rokok membentuk lingkaran tipis di udara.Matt masuk setelah dipanggil, meletakkan kantong kopi di meja dengan santai. "Wah... ada hal penting nih kayaknya," komentarnya, memperhatikan asap rokok yang melingkari Adrian. "Merokok? Tanda bahaya dan seru... haha."Adrian menoleh sekilas. "Revan.""Siapa dia?" Matt mencoba mengingat. "Jangan-jangan, cowok yang makan bareng Ayla itu?"Adrian mengangguk singkat. "Selidiki dia. Semua tentang dia. Gue nggak peduli dia klien atau apapun itu. Gue nggak suka caranya dia ngeliatin Ayla."Matt mendengus, bersandar di meja. "Lo bahkan belum tahu apa-apa tentang dia. Cuma insting lo aja yang main."Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya setajam pisau. "Insting gue jarang salah, Matt. Gue nggak akan biarin Ayla deket sama orang yang mencurigakan. Cari tah
Ayla berlari dari lobi keluar gedung apartemen Adrian, dada berdebar kencang. Telepon dari ibunya masih berdering di kepalanya. “Reya, sayang… dia butuh kamu sekarang…”Nafas panik menyeruak di setiap langkahnya. Tangannya menjulur mencari tas, kunci mobil, apa pun yang bisa membawanya ke putrinya, tapi tak ada, satu-satunya yang ia bawa cuma handphone nya yang ada di saku celananya.Mobilnya masih di parkiran restoran, tempat Adrian membawanya tanpa izin beberapa jam lalu. “Astaga, Adrian… sial!” gumamnya, frustasi, hampir meneteskan air mata.Dia kembali berlari tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan tangannya.“Tunggu, Ayla…” suara Adrian terdengar tegas, tapi… ada nada khawatir di sana.Ayla tetap berjalan meski tangannya dipegang Adrian. Tapi Adrian menariknya dengan tegas, memutar tubuhnya sehingga kini berhadap-hadapan.“Kita harus bicara Ayla.” Adrian menatapnya, mata abu-abu gelap penuh intensitas.“Ada apa Ay…? Kasih ta..”“Lepas, Adrian.” A
Adrian mencondongkan tubuh ke kursi, nafasnya tinggal beberapa senti dari wajah Ayla. Mata abu-abu itu menatap tajam, menelusuri setiap gerakan Ayla yang menegang, bahkan memejamkan mata kuat.Ayla menelan nafas, jantungnya berdebar, tapi dia menahan diri. Tubuhnya kaku, tangan menekuk di pangkuan. Adrian menatap tubuh itu, memperhatikan matanya yang terpejam, dan tangan yang memegang ujung bajunya erat, Adrian menunduk sejenak.Apa kamu takut padaku sekarang Ay?Adrian menarik nafas, menenangkan diri, lalu mundur ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Suara starter mobil bergetar halus, lampu dashboard memantul di wajahnya. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, ia menekan nomor di ponsel.“Matt, pastikan semua barang-barangnya aman,” katanya singkat.“Siap, boss. Semuanya aman,” jawab suara Matt dari speaker.“Klien ku masih disana, Adrian please… aku harus kembali.”Adrian diam beberapa saat menenangkan dirinya lagi mengingat bagaimana mata yang disebut klien itu memandang Ayla, Ia
Adrian menatap menu di depannya, tapi pikirannya jauh dari daftar hidangan yang ada. Lampu restoran yang hangat dan gemericik piring kaca terasa seperti dunia lain, satu-satunya yang ia pikirkan adalah sosok wanita yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Matt duduk di sampingnya, santai, tersenyum tipis sambil mengamati sahabatnya yang tampak tegang. Asisten nya, Lucas, sibuk dengan catatan keamanan, tapi matanya sesekali menoleh ke arah Adrian.“Ada temuan baru Matt?”Matt mengangkat alis, tersenyum sarkastik. “Ad, Gue bisa nyari orang hilang, bro. Tapi Ayla… dia beda. Baik dulu maupun sekarang Gue merasa ada yang aneh. Kalau dia pergi, harusnya gue bisa nemuin. Tapi dia kayak sengaja nggak mau ditemui, atau ada orang lain yang sengaja membuat dia hilang.”Adrian mengerutkan dahi. “Gue juga mikir gitu.”“Gue gak bisa bilang sekarang, tapi jangan anggap semua ini kebetulan. Ayla… dia nggak mungkin sanggup nutupin dirinya begitu rapat, Ad.” Matt menatap sahabatnya serius. “Gue
Ayla menekan tombol kunci mobil, lampu garasi memantulkan garis-garis panjang di lantai keramik. Nafasnya masih berat, dada berdebar, mungkin karena rapat? Atau… ciuman? Yang jelas ketegangan itu belum hilang dari tubuhnya. Ia menutup pintu mobil, menatap sejenak lorong parkir yang sunyi, lalu menarik napas panjang.“Lo gak boleh lemah sekarang, Ayla. Lo punya Reya,” gumamnya sekali lagi menguatkan hati dan tubuhnya sendiri.Langkahnya cepat menuruni tangga menuju rumah, tas masih tergenggam erat. Begitu masuk, aroma teh hangat dan kue panggang menyambutnya. Reya sedang duduk di sofa, memeluk boneka kesayangan. Mata abu-abu kecil itu menatap Ayla penuh semangat, mata yang… persisi milik seseorang.“Ibu!” seru Reya sambil meloncat ke arah Ayla.Ayla tersenyum tipis, menunduk dan mendaratkan ciuman lembut di dahi putrinya. “Ibu pulang sayang…. Gimana hari ini Hmm? Kamu oke?”Reya mengangguk cepat. “Aku oke, Bu. Justru ibu, lihat tuh matanya merah … capek ya..?” Ayla tersenyum mendengar
Parkiran bawah tanah sepi, lampu neon memantulkan garis-garis dingin di lantai beton yang rata. Langkah Ayla terdengar jelas di lorong panjang, tas masih digenggam, lututnya bergetar sedikit—bukan karena fisik, tapi sisa ketegangan rapat.“Sudah cukup, Ayla?” suara Adrian memecah hening, berat dan tegang. Nada itu bukan hanya marah; ada kepedihan, haus, frustrasi yang lama menumpuk.Ayla menoleh, jantungnya seketika melonjak. “Tuan Adrian…” suaranya pelan, profesional, tapi tak mampu menutupi sedikit getar yang ia rasakan.Adrian melangkah mendekat cepat, menutup jalur Ayla. Dalam sekejap tubuhnya menekan Ayla ke sisi mobil, bahu Adrian lebar, 188 cm tinggi, menutupi seluruh gerak Ayla yang 168 cm dengan postur ramping tapi tegap. Tangannya meraih dagu Ayla, memaksa wajahnya menatap mata Adrian yang membara.“Kenapa kau pergi begitu saja?” desisnya, hampir berteriak tapi tetap tertahan. “Kenapa hilang begitu lama tanpa kabar?” nadanya masih menahan emosi tapi tetap membuat hati Ayla b