Apartemen Adrian sunyi, hanya detak jam dinding yang menemani kesepiannya. Adrian duduk di sofa, tatapannya kosong menembus jendela. Gelas bourbon di tangannya dibiarkan tak tersentuh, asap rokok membentuk lingkaran tipis di udara.Matt masuk setelah dipanggil, meletakkan kantong kopi di meja dengan santai. "Wah... ada hal penting nih kayaknya," komentarnya, memperhatikan asap rokok yang melingkari Adrian. "Merokok? Tanda bahaya dan seru... haha."Adrian menoleh sekilas. "Revan.""Siapa dia?" Matt mencoba mengingat. "Jangan-jangan, cowok yang makan bareng Ayla itu?"Adrian mengangguk singkat. "Selidiki dia. Semua tentang dia. Gue nggak peduli dia klien atau apapun itu. Gue nggak suka caranya dia ngeliatin Ayla."Matt mendengus, bersandar di meja. "Lo bahkan belum tahu apa-apa tentang dia. Cuma insting lo aja yang main."Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya setajam pisau. "Insting gue jarang salah, Matt. Gue nggak akan biarin Ayla deket sama orang yang mencurigakan. Cari tah
Ayla berlari dari lobi keluar gedung apartemen Adrian, dada berdebar kencang. Telepon dari ibunya masih berdering di kepalanya. “Reya, sayang… dia butuh kamu sekarang…”Nafas panik menyeruak di setiap langkahnya. Tangannya menjulur mencari tas, kunci mobil, apa pun yang bisa membawanya ke putrinya, tapi tak ada, satu-satunya yang ia bawa cuma handphone nya yang ada di saku celananya.Mobilnya masih di parkiran restoran, tempat Adrian membawanya tanpa izin beberapa jam lalu. “Astaga, Adrian… sial!” gumamnya, frustasi, hampir meneteskan air mata.Dia kembali berlari tapi langkahnya terhenti saat sebuah tangan kuat mencengkram pergelangan tangannya.“Tunggu, Ayla…” suara Adrian terdengar tegas, tapi… ada nada khawatir di sana.Ayla tetap berjalan meski tangannya dipegang Adrian. Tapi Adrian menariknya dengan tegas, memutar tubuhnya sehingga kini berhadap-hadapan.“Kita harus bicara Ayla.” Adrian menatapnya, mata abu-abu gelap penuh intensitas.“Ada apa Ay…? Kasih ta..”“Lepas, Adrian.” A
Adrian mencondongkan tubuh ke kursi, nafasnya tinggal beberapa senti dari wajah Ayla. Mata abu-abu itu menatap tajam, menelusuri setiap gerakan Ayla yang menegang, bahkan memejamkan mata kuat.Ayla menelan nafas, jantungnya berdebar, tapi dia menahan diri. Tubuhnya kaku, tangan menekuk di pangkuan. Adrian menatap tubuh itu, memperhatikan matanya yang terpejam, dan tangan yang memegang ujung bajunya erat, Adrian menunduk sejenak.Apa kamu takut padaku sekarang Ay?Adrian menarik nafas, menenangkan diri, lalu mundur ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Suara starter mobil bergetar halus, lampu dashboard memantul di wajahnya. Tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, ia menekan nomor di ponsel.“Matt, pastikan semua barang-barangnya aman,” katanya singkat.“Siap, boss. Semuanya aman,” jawab suara Matt dari speaker.“Klien ku masih disana, Adrian please… aku harus kembali.”Adrian diam beberapa saat menenangkan dirinya lagi mengingat bagaimana mata yang disebut klien itu memandang Ayla, Ia
Adrian menatap menu di depannya, tapi pikirannya jauh dari daftar hidangan yang ada. Lampu restoran yang hangat dan gemericik piring kaca terasa seperti dunia lain, satu-satunya yang ia pikirkan adalah sosok wanita yang tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya. Matt duduk di sampingnya, santai, tersenyum tipis sambil mengamati sahabatnya yang tampak tegang. Asisten nya, Lucas, sibuk dengan catatan keamanan, tapi matanya sesekali menoleh ke arah Adrian.“Ada temuan baru Matt?”Matt mengangkat alis, tersenyum sarkastik. “Ad, Gue bisa nyari orang hilang, bro. Tapi Ayla… dia beda. Baik dulu maupun sekarang Gue merasa ada yang aneh. Kalau dia pergi, harusnya gue bisa nemuin. Tapi dia kayak sengaja nggak mau ditemui, atau ada orang lain yang sengaja membuat dia hilang.”Adrian mengerutkan dahi. “Gue juga mikir gitu.”“Gue gak bisa bilang sekarang, tapi jangan anggap semua ini kebetulan. Ayla… dia nggak mungkin sanggup nutupin dirinya begitu rapat, Ad.” Matt menatap sahabatnya serius. “Gue
Ayla menekan tombol kunci mobil, lampu garasi memantulkan garis-garis panjang di lantai keramik. Nafasnya masih berat, dada berdebar, mungkin karena rapat? Atau… ciuman? Yang jelas ketegangan itu belum hilang dari tubuhnya. Ia menutup pintu mobil, menatap sejenak lorong parkir yang sunyi, lalu menarik napas panjang.“Lo gak boleh lemah sekarang, Ayla. Lo punya Reya,” gumamnya sekali lagi menguatkan hati dan tubuhnya sendiri.Langkahnya cepat menuruni tangga menuju rumah, tas masih tergenggam erat. Begitu masuk, aroma teh hangat dan kue panggang menyambutnya. Reya sedang duduk di sofa, memeluk boneka kesayangan. Mata abu-abu kecil itu menatap Ayla penuh semangat, mata yang… persisi milik seseorang.“Ibu!” seru Reya sambil meloncat ke arah Ayla.Ayla tersenyum tipis, menunduk dan mendaratkan ciuman lembut di dahi putrinya. “Ibu pulang sayang…. Gimana hari ini Hmm? Kamu oke?”Reya mengangguk cepat. “Aku oke, Bu. Justru ibu, lihat tuh matanya merah … capek ya..?” Ayla tersenyum mendengar
Parkiran bawah tanah sepi, lampu neon memantulkan garis-garis dingin di lantai beton yang rata. Langkah Ayla terdengar jelas di lorong panjang, tas masih digenggam, lututnya bergetar sedikit—bukan karena fisik, tapi sisa ketegangan rapat.“Sudah cukup, Ayla?” suara Adrian memecah hening, berat dan tegang. Nada itu bukan hanya marah; ada kepedihan, haus, frustrasi yang lama menumpuk.Ayla menoleh, jantungnya seketika melonjak. “Tuan Adrian…” suaranya pelan, profesional, tapi tak mampu menutupi sedikit getar yang ia rasakan.Adrian melangkah mendekat cepat, menutup jalur Ayla. Dalam sekejap tubuhnya menekan Ayla ke sisi mobil, bahu Adrian lebar, 188 cm tinggi, menutupi seluruh gerak Ayla yang 168 cm dengan postur ramping tapi tegap. Tangannya meraih dagu Ayla, memaksa wajahnya menatap mata Adrian yang membara.“Kenapa kau pergi begitu saja?” desisnya, hampir berteriak tapi tetap tertahan. “Kenapa hilang begitu lama tanpa kabar?” nadanya masih menahan emosi tapi tetap membuat hati Ayla b