Derek merasa ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya. Perasaan tak nyaman yang ia rasakan semakin menekan dada. Ia memandang rumah tetangga dengan intens. Setiap kali tatapannya beralih ke jendela di sana, ia bisa merasakan beban ketegangan yang mencekam. Anak kecil itu—siapa pun dia—menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi Derek tahu satu hal pasti. Ia harus berhati-hati. Langkahnya perlahan saat ia mendekat kembali ke pagar rumah tetangga. Tidak ada suara, hanya deru angin yang menyapu daun-daun yang gugur. Cahaya sore mulai menembus celah-celah pohon, membuat bayangan-bayangan panjang memanjang di tanah. Derek menundukkan kepalanya, menghindari untuk menatap langsung ke rumah itu. Ada ketakutan yang datang dari dalam dirinya—takut dilihat oleh ayah bocah itu, takut berisiko lebih jauh. Dari balik pagar, ia melihat bocah kecil itu muncul lagi di jendela kamar tidur. Mata mereka bertemu lagi, dan Derek merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan yang lebih dalam, seperti pesan yang disampaikan tanpa suara. Bocah itu menatapnya dengan mata yang penuh ketakutan dan kebingungan, seolah bertanya apakah Derek benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu. Namun, Derek tahu, ia tidak bisa bersikap terburu-buru. Apa pun yang ia katakan atau lakukan harus sangat hati-hati. Jika pria itu—ayah bocah itu—mendengar mereka, segalanya akan berbalik menjadi bencana. “Dengar,” bisik Derek perlahan, memastikan suara itu hanya cukup keras untuk didengar oleh bocah itu. “Aku hanya ingin membantu. Kamu bisa memberi tahu aku apa yang terjadi di sini?” Suaranya lembut, namun tetap penuh perhatian, berharap bocah itu akan merasa cukup aman untuk membuka diri. Bocah itu berdiri diam, tidak menjawab. Hanya matanya yang terus mengawasi Derek, seperti ada perasaan khawatir yang terpendam. Derek tahu waktu mereka terbatas. Ia memutuskan untuk bertanya dengan lebih hati-hati. “Apa yang ayahmu lakukan padamu? Kamu tidak sendirian, kan?” tanyanya, mencoba mencari tahu lebih banyak tanpa menyinggung perasaan anak itu atau menarik perhatian orang lain. Suaranya pelan, menahan napas agar tidak terlalu mengundang bahaya. Tapi tepat saat itu, sebuah pintu di dalam rumah terbuka. Derek cepat-cepat menarik dirinya sedikit lebih jauh dari jendela, bersembunyi di balik pohon kecil di dekat pagar. Jantungnya berdegup kencang, merasakan ketegangan yang tiba-tiba menguat. Suara langkah kaki berat terdengar di dalam rumah, menghampiri jendela tempat bocah itu tadi berdiri. Derek menahan napas, merasakan tubuhnya yang kaku. Sosok pria itu muncul di ambang pintu, berdiri dengan postur tinggi, matanya mencari ke sekitar halaman. Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya ketegangan yang terlihat jelas dari cara ia bergerak. Bocah itu cepat-cepat berlari menjauh dari jendela, menghilang ke dalam rumah. Derek memutar badan, berusaha agar dirinya tetap tersembunyi dari pandangan pria itu. Suara langkah kaki pria itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di jendela. Derek menunduk, merasakan jantungnya hampir mencelos keluar. Segala ketakutan yang ia simpan semakin menguat. Jika pria itu melihatnya, tak ada yang bisa menjelaskan mengapa ia berada di sini, bersembunyi di balik pagar, mengawasi rumah mereka. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, dan akhirnya, pria itu berpaling dan kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu dengan gerakan kasar. Derek bernafas lega, meskipun ketegangan masih terasa begitu kental. Ia harus pergi, meninggalkan tempat ini—sekarang juga. Namun, sebelum ia berbalik, Derek mendengar suara samar yang membuatnya terhenti sejenak. Sebuah bisikan, lemah, namun jelas: “Jangan beri tahu siapa-siapa.” Derek menoleh cepat, matanya langsung menangkap bayangan bocah itu di balik tirai jendela yang setengah terbuka. Bocah itu menatapnya, wajahnya terselimuti ketakutan yang begitu mendalam, seolah ia takut akan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar pria itu. Jantung Derek berdegup kencang, perasaan ketegangan yang sebelumnya ada kini semakin menguat. Ia tahu bahwa apa yang baru saja didengarnya bukan sekadar peringatan biasa. Ada ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata itu. “Jangan beri tahu siapa-siapa,” bisik bocah itu sekali lagi. Kali ini, suara itu penuh dengan keputusasaan, seperti ada sesuatu yang sangat besar yang akan terjadi jika Derek tidak mendengarkan peringatan itu. Dengan tubuh yang masih tergetar, Derek berbalik perlahan, dan tanpa menoleh lagi, ia berjalan menjauh. Di dalam hatinya, ada satu pertanyaan besar yang terus berputar: Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu? Dan mengapa bocah itu sangat takut? Saat ia melangkah kembali ke rumahnya, satu hal yang jelas: Derek tidak bisa lagi melihat rumah tetangga dengan cara yang sama. Ada sesuatu yang sangat salah di sana, dan bocah kecil itu mungkin adalah satu-satunya kunci untuk mengungkapnya. Namun, untuk mencapainya, Derek harus berhati-hati. Ayah bocah itu bisa kapan saja mendengar mereka—dan jika itu terjadi, semuanya bisa berakhir sangat buruk.Derek berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah cepat, namun pikirannya tetap tertahan oleh percakapan singkat yang baru saja terjadi di halaman. Kata-kata bocah itu terus terngiang di telinganya, menggema dalam benak. Ia bisa merasakan ketakutan yang terpendam di mata anak itu, sebuah ketakutan yang begitu dalam seolah sudah tertanam dalam hidupnya. Sesampainya di rumah, Derek memutuskan untuk tidak langsung masuk. Ia berdiri di depan pintu, merenung sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Setelah beberapa detik yang penuh kebingungan, ia memutuskan untuk kembali ke halaman belakang, tempat ia tadi berdiri. Angin malam mulai berhembus, membawa udara dingin yang menyentuh kulitnya. Ia melangkah pelan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Suara dari rumah sebelah masih sunyi, tapi perasaan was-was yang menggelayuti dirinya tidak pernah benar-benar pergi. Derek tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Ia harus tahu l
Dengan tekad yang semakin menguat, Derek memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mendekati kebenaran yang tersimpan di balik rumah tetangga itu. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk membantu anak itu adalah dengan mengetahui lebih banyak tentang keluarga yang menyembunyikan rahasia kelam tersebut. Meskipun rasa was-was masih menghantui, Derek mengumpulkan keberanian dan menuju ke depan pintu rumah tetangga. Malam itu, langit kelam diselimuti awan, seolah menandakan suasana hati yang suram. Derek berdiri di depan pintu depan rumah itu, napasnya terengah-engah karena gugup. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu, berharap bahwa tindakan kecil ini akan memberinya kesempatan untuk berbicara langsung dengan sosok yang selama ini hanya diselimuti misteri. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di depannya muncul seorang pria berwajah tegas. Mata pria itu tajam, seolah langsung menilai kedatangan Derek. Rambutnya yang sudah mulai memutih menambah kesan seriu
Derek melangkah perlahan menuruni jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah tetangga yang baru saja ia kunjungi. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius malam itu. Di pikirannya, berbagai pertanyaan masih bergemuruh—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tetangga itu, tentang ayah mereka, dan tentang bocah yang takut itu. Keinginan untuk membantu anak itu semakin menguat, namun rasa takut mulai merayap perlahan, menyadari bahwa ia mungkin telah menginjakkan kaki ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.Tiba-tiba, sebuah suara tua yang lembut menyapanya, memecah kesunyian malam.“Anak muda, berhenti sejenak.”Derek menoleh. Di ujung jalan, di samping pohon besar yang rapat, tampak seorang pria tua mengenakan pakaian lusuh. Rambutnya putih seperti salju, dan wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam. Namun, yang paling menarik perhatian Derek adalah tatapan mata kakek itu. Mata yang tajam dan penuh rahasia.
Setelah percakapan yang menegangkan dengan pria itu, Derek merasa hatinya masih berdetak keras, perasaan gelisah membawanya pulang dengan langkah terburu-buru. Tidak pernah ia merasa sepenat ini, seperti ada sesuatu yang terus mengikutinya, mengendap-endap di belakang punggungnya. Malam itu terasa semakin berat, dan bayangan dari rumah tetangga seolah membuntutinya, bahkan setelah ia menutup pintu rumah dengan hati-hati.Pikiran Derek penuh dengan kata-kata yang diucapkan pria itu, senyumnya yang dingin, dan kata-kata yang tersembunyi di balik omong kosong itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tahu itu. Keinginannya untuk melindungi anak itu semakin kuat, tetapi semakin ia mendekati kebenaran, semakin ia merasa seolah terjerat dalam perangkap yang tak terlihat.Namun, tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk apa yang terjadi setelah ia melangkah masuk ke rumah. Saat ia mengunci pintu dengan perlahan dan menyalakan lampu ruang tamu, sebuah rasa dingin merayap da
Malam-malam Derek kini dipenuhi dengan rasa cemas yang semakin mengganggu. Setiap kali ia menutup mata, suara-suara aneh mulai mengisi ruang sekitarnya. Awalnya, ia pikir itu hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, suara itu semakin jelas—ketukan halus di dinding, desisan yang berasal entah dari mana, dan bisikan yang begitu samar namun menegangkan. Seakan ada sesuatu yang menunggu di kegelapan, mengintai dari balik bayang-bayang.Hari itu, Derek merasa kelelahan. Ia baru saja kembali dari kunjungan malam yang menegangkan di rumah tetangga itu, dan pikirannya belum juga tenang. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan pria tua yang memberi peringatan terus menghantui pikirannya. “Hati-hati dengan keluarga sebelah,” kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah itu? Apa yang mereka sembunyikan? Dan yang lebih menakutkan—apakah Derek juga sudah terperangka
Derek merasakan ketegangan yang terus menggantung di pundaknya begitu dia melangkah keluar dari rumah barunya. Teror yang semakin mencekam membuatnya merasa tak tenang di dalam rumah itu. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah ancaman tak kasat mata yang selalu mengikuti setiap langkahnya, seperti bayangan yang tak bisa ia hindari. Dia membutuhkan pelarian, sesuatu untuk mengalihkan perasaan takut dan cemas itu.Bar itu terletak tidak jauh dari rumahnya, sebuah tempat yang terlihat sederhana tapi menawarkan suasana yang cukup nyaman. Bangunan kecil dengan kayu-kayu berwarna gelap itu memiliki pintu kayu yang berat, dan begitu Derek masuk, udara dingin malam seolah terperangkap di dalamnya. Pemandangan danau yang luas bisa terlihat dari jendela-jendela besar yang ada di bar, menciptakan kesan damai, seolah semuanya di luar sana begitu tenang, jauh dari kegelisahan yang menghantui dirinya.Derek melangkah ke bar dan duduk di kursi panjang yang menghadap ke luar
Derek duduk di kursinya, gelas whiskey di tangan, matanya tetap terpaku pada pantulan dirinya di kaca bar. Pikirannya berputar, berusaha memahami apa yang baru saja diceritakan oleh Joe. Ada sesuatu yang sangat aneh dengan rumah tetangganya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rahasia biasa. Sesuatu yang sangat gelap. Saat Joe berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya di balik bar, sebuah suara halus mengganggu konsentrasi Derek.“Joe, beri saya whiskey yang sama,” suara itu terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang sengaja ditujukan hanya untuknya. Derek menoleh, terkejut melihat seorang wanita yang baru saja memasuki bar.Wanita itu langsung menuju kursi di sebelah Derek dan duduk tanpa ragu. Rambutnya cokelat panjang dan sedikit bergelombang, wajahnya cantik dengan garis rahang yang tegas dan mata tajam yang memancarkan kepercayaan diri. Sepertinya dia sudah sangat akrab dengan tempat ini, karena Joe segera menyiapkan minuman favoritnya tanpa bertanya lebih l
Hujan mengguyur deras, menciptakan dentingan tajam di atas atap mobil yang melaju sendirian di jalanan gelap. Wiper bekerja mati-matian, menyapu air yang terus mengaburkan pandangan. Lampu depan mobil hanya menerangi sepotong jalan yang gelap, tak ada petunjuk arah di luar sana. Jalanan kosong, hanya ada kilat cahaya putih yang sesekali menerangi kegelapan, seolah menegaskan betapa sunyinya malam itu.Pria itu mengapit setir dengan satu tangan, sementara yang lain menggenggam rokok mati di bibirnya. Napasnya berat, pikirannya penuh dengan kekacauan yang datang tanpa henti. Sesekali ia menatap spion tengah, lalu berpaling ke depan, merasa seperti sedang diburu oleh bayang-bayang masa lalunya. Ia lelah. Lelah dengan hidupnya yang serba salah, lelah dengan masalah yang tak pernah ada habisnya, lelah dengan kebohongan yang harus dijalani setiap hari.Namun malam itu, dalam keadaan seperti itu, ia berusaha untuk tetap tenang, berusaha tidak terlalu banyak berpikir. Jala
Derek duduk di kursinya, gelas whiskey di tangan, matanya tetap terpaku pada pantulan dirinya di kaca bar. Pikirannya berputar, berusaha memahami apa yang baru saja diceritakan oleh Joe. Ada sesuatu yang sangat aneh dengan rumah tetangganya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar rahasia biasa. Sesuatu yang sangat gelap. Saat Joe berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya di balik bar, sebuah suara halus mengganggu konsentrasi Derek.“Joe, beri saya whiskey yang sama,” suara itu terdengar rendah, hampir seperti bisikan yang sengaja ditujukan hanya untuknya. Derek menoleh, terkejut melihat seorang wanita yang baru saja memasuki bar.Wanita itu langsung menuju kursi di sebelah Derek dan duduk tanpa ragu. Rambutnya cokelat panjang dan sedikit bergelombang, wajahnya cantik dengan garis rahang yang tegas dan mata tajam yang memancarkan kepercayaan diri. Sepertinya dia sudah sangat akrab dengan tempat ini, karena Joe segera menyiapkan minuman favoritnya tanpa bertanya lebih l
Derek merasakan ketegangan yang terus menggantung di pundaknya begitu dia melangkah keluar dari rumah barunya. Teror yang semakin mencekam membuatnya merasa tak tenang di dalam rumah itu. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah ancaman tak kasat mata yang selalu mengikuti setiap langkahnya, seperti bayangan yang tak bisa ia hindari. Dia membutuhkan pelarian, sesuatu untuk mengalihkan perasaan takut dan cemas itu.Bar itu terletak tidak jauh dari rumahnya, sebuah tempat yang terlihat sederhana tapi menawarkan suasana yang cukup nyaman. Bangunan kecil dengan kayu-kayu berwarna gelap itu memiliki pintu kayu yang berat, dan begitu Derek masuk, udara dingin malam seolah terperangkap di dalamnya. Pemandangan danau yang luas bisa terlihat dari jendela-jendela besar yang ada di bar, menciptakan kesan damai, seolah semuanya di luar sana begitu tenang, jauh dari kegelisahan yang menghantui dirinya.Derek melangkah ke bar dan duduk di kursi panjang yang menghadap ke luar
Malam-malam Derek kini dipenuhi dengan rasa cemas yang semakin mengganggu. Setiap kali ia menutup mata, suara-suara aneh mulai mengisi ruang sekitarnya. Awalnya, ia pikir itu hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, suara itu semakin jelas—ketukan halus di dinding, desisan yang berasal entah dari mana, dan bisikan yang begitu samar namun menegangkan. Seakan ada sesuatu yang menunggu di kegelapan, mengintai dari balik bayang-bayang.Hari itu, Derek merasa kelelahan. Ia baru saja kembali dari kunjungan malam yang menegangkan di rumah tetangga itu, dan pikirannya belum juga tenang. Ia duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan pria tua yang memberi peringatan terus menghantui pikirannya. “Hati-hati dengan keluarga sebelah,” kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah itu? Apa yang mereka sembunyikan? Dan yang lebih menakutkan—apakah Derek juga sudah terperangka
Setelah percakapan yang menegangkan dengan pria itu, Derek merasa hatinya masih berdetak keras, perasaan gelisah membawanya pulang dengan langkah terburu-buru. Tidak pernah ia merasa sepenat ini, seperti ada sesuatu yang terus mengikutinya, mengendap-endap di belakang punggungnya. Malam itu terasa semakin berat, dan bayangan dari rumah tetangga seolah membuntutinya, bahkan setelah ia menutup pintu rumah dengan hati-hati.Pikiran Derek penuh dengan kata-kata yang diucapkan pria itu, senyumnya yang dingin, dan kata-kata yang tersembunyi di balik omong kosong itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tahu itu. Keinginannya untuk melindungi anak itu semakin kuat, tetapi semakin ia mendekati kebenaran, semakin ia merasa seolah terjerat dalam perangkap yang tak terlihat.Namun, tak ada yang bisa mempersiapkannya untuk apa yang terjadi setelah ia melangkah masuk ke rumah. Saat ia mengunci pintu dengan perlahan dan menyalakan lampu ruang tamu, sebuah rasa dingin merayap da
Derek melangkah perlahan menuruni jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah tetangga yang baru saja ia kunjungi. Langit yang gelap semakin menambah kesan misterius malam itu. Di pikirannya, berbagai pertanyaan masih bergemuruh—tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tetangga itu, tentang ayah mereka, dan tentang bocah yang takut itu. Keinginan untuk membantu anak itu semakin menguat, namun rasa takut mulai merayap perlahan, menyadari bahwa ia mungkin telah menginjakkan kaki ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya.Tiba-tiba, sebuah suara tua yang lembut menyapanya, memecah kesunyian malam.“Anak muda, berhenti sejenak.”Derek menoleh. Di ujung jalan, di samping pohon besar yang rapat, tampak seorang pria tua mengenakan pakaian lusuh. Rambutnya putih seperti salju, dan wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam. Namun, yang paling menarik perhatian Derek adalah tatapan mata kakek itu. Mata yang tajam dan penuh rahasia.
Dengan tekad yang semakin menguat, Derek memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mendekati kebenaran yang tersimpan di balik rumah tetangga itu. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk membantu anak itu adalah dengan mengetahui lebih banyak tentang keluarga yang menyembunyikan rahasia kelam tersebut. Meskipun rasa was-was masih menghantui, Derek mengumpulkan keberanian dan menuju ke depan pintu rumah tetangga. Malam itu, langit kelam diselimuti awan, seolah menandakan suasana hati yang suram. Derek berdiri di depan pintu depan rumah itu, napasnya terengah-engah karena gugup. Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu, berharap bahwa tindakan kecil ini akan memberinya kesempatan untuk berbicara langsung dengan sosok yang selama ini hanya diselimuti misteri. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di depannya muncul seorang pria berwajah tegas. Mata pria itu tajam, seolah langsung menilai kedatangan Derek. Rambutnya yang sudah mulai memutih menambah kesan seriu
Derek berjalan kembali ke rumahnya dengan langkah cepat, namun pikirannya tetap tertahan oleh percakapan singkat yang baru saja terjadi di halaman. Kata-kata bocah itu terus terngiang di telinganya, menggema dalam benak. Ia bisa merasakan ketakutan yang terpendam di mata anak itu, sebuah ketakutan yang begitu dalam seolah sudah tertanam dalam hidupnya. Sesampainya di rumah, Derek memutuskan untuk tidak langsung masuk. Ia berdiri di depan pintu, merenung sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Setelah beberapa detik yang penuh kebingungan, ia memutuskan untuk kembali ke halaman belakang, tempat ia tadi berdiri. Angin malam mulai berhembus, membawa udara dingin yang menyentuh kulitnya. Ia melangkah pelan, memastikan tidak ada suara yang bisa terdengar. Suara dari rumah sebelah masih sunyi, tapi perasaan was-was yang menggelayuti dirinya tidak pernah benar-benar pergi. Derek tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Ia harus tahu l
Derek merasa ada sesuatu yang menggelisahkan dalam dirinya. Perasaan tak nyaman yang ia rasakan semakin menekan dada. Ia memandang rumah tetangga dengan intens. Setiap kali tatapannya beralih ke jendela di sana, ia bisa merasakan beban ketegangan yang mencekam. Anak kecil itu—siapa pun dia—menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Tapi Derek tahu satu hal pasti. Ia harus berhati-hati.Langkahnya perlahan saat ia mendekat kembali ke pagar rumah tetangga. Tidak ada suara, hanya deru angin yang menyapu daun-daun yang gugur. Cahaya sore mulai menembus celah-celah pohon, membuat bayangan-bayangan panjang memanjang di tanah. Derek menundukkan kepalanya, menghindari untuk menatap langsung ke rumah itu. Ada ketakutan yang datang dari dalam dirinya—takut dilihat oleh ayah bocah itu, takut berisiko lebih jauh.Dari balik pagar, ia melihat bocah kecil itu muncul lagi di jendela kamar tidur. Mata mereka bertemu lagi, dan Derek merasa ada sesua
Cahaya samar menelusup dari celah-celah tirai, membentuk garis-garis tipis di lantai kayu yang dingin. Derek mengerjap, matanya terasa berat. Kepalanya masih diselimuti kabut kantuk yang tersisa dari malam panjang yang tak tenang. Ia bangkit perlahan, tubuhnya terasa kaku. Rumahnya sunyi, hanya terdengar dengung halus dari lemari es di dapur.Namun, saat ia mengingat suara-suara dari rumah sebelah semalam, ketenangan itu terasa semu. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di bawahnya, menunggu waktu yang tepat untuk muncul kembali.Derek menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Seharusnya ia tak terlalu memikirkan hal itu. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengambil sebotol air. Saat meneguknya, matanya melirik ke arah jendela yang menghadap rumah sebelah. Rumah itu tampak biasa saja di bawah sinar matahari, tak ada tanda-tanda kekacauan seperti yang terdengar semalam.Tapi sesuatu terasa ganjil.Tirai yang kemarin malam setengah ter