Share

BAB 6

Author: Petra Vie
last update Last Updated: 2025-03-12 10:44:57

Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.

“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.

“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.

“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.

“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal sebentar untuk membeli roti ini, apa yang kamu lakukan pada Raden Kaningrat?” tanya abdi dalem itu sambil melotot.

“Aku pun tidak tahu apapun,” jawabku yang takut dan bingung, untuk pertama kalinya aku melihat pria itu tertawa dengan senang rentetan giginya yang bersih dan rapi terlihat, suaranya juga menandakan dia bahagia.

“Tunggu...Hah...Danastri, benar namamu Danastri?” tanyanya membuatku tersadar, “Ah, iya, Den,” jawabku gugup yang kemudian menunduk kembali.

“Angkat wajahmu. Wardi, berhenti memarahinya dia tidak salah apapun. Gadis ini benar-benar luar biasa,” ucapnya sambil tertawa. Sekarang aku tahu nama abdi dalem itu adalah Wardi.

“Ehem...kamu mau ikan?” tanyanya membuatku bingung.

           Entah apa yang terjadi saat ini, aku yang sudah tidak waras atau orang-orang ini yang sama tidak warasnya. Kini kami bertiga berada di sungai, ya benar sungai untuk menangkap ikan. Ajakan Kaningrat beberapa waktu lalu ku terima dengan keadaan tidak terlalu sadar, karena aku terpesona begitu melihatnya tersenyum. Memang gila, sepertinya aku kesurupan setan lewat sampai harus mengambil ikan di sungai seperti ini.

“Wuih, Den...Raden lihat aku mendapatkannya,” Wardi dengan bangga dan menatapku dengan sombong.

“Bagus, dapatkan yang banyak,” perintahnya yang sudah berhasil mendapatkan tiga ikan kemudian menatapku. Jarikku ku angkat agar tidak basah, tapi percuma saja aku tetap mengenai air.

“Aku akan mendapatkannya,” ucapku yang melihat ikan di depanku dengan cepat aku mendekatinya tanpa mengetahui bahwa batu yang kujadikan pinjakan sangat licin.

“Hati-hati, jangan sampai terluka,” ucap Kaningrat sambil memegang tanganku agar tidak jatuh.

“Ah, ya terima kasih, Raden,” balasku dan menarik tanganku untuk kembali memburu ikan lagi.

           Setelah beberapa lama kami bertiga sudah duduk membakar ikan di samping sungai. Rasanya sangat asing dan aneh untuk pertama kalinya dalam hidupku makan bersama keluarga kerajaan seperti ini. Aku mengeluarkan beberapa makanan yang ku dapatkan dari pasar tadi seperti buah dan roti. Kaningrat sedari tadi menatapku sambil membalikkan ikan agar tidak gosong.

“Den, ini akan enak jika ada sambel lalapan,” ucap Wardi memecah keheningan. “Ah, aku ada tadi aku membeli bahan-bahan di pasar,” timpalku sambil mengeluarkan sayur dan cabai dari kain yang kujadikan wadah.

“Kemarikan, hari ini kamu akan mencoba sambel buatanku. Berterima kasihlah padaku, gadis pembuat masalah,” ucap Wardi mengambil bahan-bahan dari tanganku.

“Wardi, jangan berbicara seperti itu. Maafkan Wardi yang berbicara sembarang.” Kaningrat mengatakannya dengan tulus.

“Tidak apa-apa,” balasku sedangkan Wardi menatapku tidak suka sambil meminta maaf padaku. “Kalau boleh tahu Danastri sudah berapa lama kamu menjadi penari di keraton?” tanya Kaningrat memulai pembicaraan.

“Sejak usiaku 7 tahun, Den,” jawabku yang sibuk mencabuti rumput karena merasa tidak nyaman.

“Berarti saat itu,” lirih Kaningrat. “Lalu sekarang usiamu berapa, Danastri?” tanya Wardi sekembalinya mencuci cabai dan sayuran kemudian ikut duduk di sampingku.

“24 tahun.” Kaningrat tersenyum tipis, “usiaku juga 24 tahun,” timpal Kaningrat sambil tersenyum manis.

“Kalau kamu usiamu berapa?” tanyaku pada laki-laki yang sibuk mengulek dengan semangat meskipun jika dilihat lagi Wardi terlihat seperti anak laki-laki berusia awal 20an tahun.

“Memangnya kenapa kamu ingin tahu?”

“Wardi...”

“Ah, maaf, Den. Huh...21 tahun saat ini–” tanpa lama aku memotong ucapan Wardi begitu saja.

“Wah, wah aku baru tahu ternyata usiamu di bawahku, tapi kamu seperti orang tua saja dan sering memarahiku,” sindirku  “Maksudmu?” tanya Wardi tidak mengerti maksudku, “Kadang kamu sering memarahiku tanpa bertanya terlebih dahulu.” Wardi mendengus kesal, “Memangnya jika terjadi sesuatu pada Raden Kaningrat kamu akan bertanggung jawab?” tanyanya tidak suka dan semakin kencang mengulek sambel.

“Sekarang kamu hanya diam, kan?” sindirnya merasa berhasil memojokkanku.

“Tenanglah Wardi, aku sudah bukan anak kecil lagi. Tidak akan terjadi apa-apa,” ucap Kaningrat sembari memberikan ikan yang sudah matang kepada kami berdua.

           Angin sepoi-sepoi dan gemericik suara sungai menemani kami bertiga, mungkin terlihat pemandangan yang aneh jika orang lain melihatku sekarang. Karena tidak sepatutnya seorang rakyat biasa makan bersama dengan keluarga ningrat, semoga tidak terjadi apa-apa nanti.

“Kenapa? Kamu merasa senang bisa makan bersama kami dan ingin berterima kasih?” tanya Wardi yang sepertinya orang ini memang bermulut pedas.

“Iya, terima kasih sudah mengajakku mencari ikan dan makan bersama kalian,” ucapku berterima kasih.

“Jangan sungkan padaku dan Wardi, Danastri meskipun kami merupakan bagian dari keraton, tapi aku tidak seperti mereka,” jelas Kaningrat dan aku mengerti maksudnya.

“Raden Kaningrat sudah biasa hidup di luar keraton, makan dengan orang yang bukan dari kalangan ningrat sering kita lakukan bersama,” jelas Wardi sambil memakan roti dan membaginya denganku.

“Berarti kamu sudah lama bersama Raden Kaningrat?”

“Tentu saja, aku ini orang kepercayaannya kemanapun Raden Kaningrat pergi aku selalu bersamanya. Aku akan mengorbankan hidupku jika Raden Kaningrat memintanya,” jelas Wardi sambil tersenyum melirik Kaningrat.

“Wuah, sungguh kesetiaan yang luar biasa,” ucapku sambil bertepuk tangan membuat Wardi kesal karena merasa diragukan.

“Danastri apa kamu tinggal sendiri?” tanya Kaningrat ingin tahu, “Iya, orang tuaku meninggal sejak aku berusia 4 tahun karena sakit. Kemudian aku dititipkan di keluarga Atma, sahabatku meskipun begitu aku tetap memilih hidup sendiri dengan menjadi penari di keraton” jawabku berusaha agar tidak terlihat sedih.

“Apa kamu mengingat wajahnya?” tanya Kaningrat sekali lagi, “Tidak, Raden. Karena aku masih kecil aku tidak mengingatnya hanya samar-samar aku mengingat suaranya.”

“Maaf aku bertanya seperti ini tidak berniat untuk membuatmu sedih.”

“Tidak apa, memang kenyataannya seperti itu aku–” Belum selesai menyelesaikan kalimatku aku mendengar suara khas orang menahan tangis. “Ada apa denganmu?” tanyaku saat Wardi mengusap air matanya beberapa kali.

“Kamu harus makan banyak, lihat tubuhmu sangat kurus sekali.” Wardi menyerahkan makanannya yang dia beli di pasar tadi dan menyuapiku.

“Pasti rasanya sangat kesepian sekali,” tambah Wardi yang masih menangis. “Wardi, aku tidak apa-apa, sungguh aku baik-baik saja.”

“Bagaimana bisa kamu mengatakannya?, pasti sungguh sangat berat,” ucap Wardi dan kemudian memberikan koin logam miliknya untukku meskipun aku menolak dia memaksanya.

“Dia sangat perasa, terima saja” bisik Kaningrat yang masih terdengar olehku.

“Hiduplah dengan uang itu, aku tahu gaji penari tidak seberapa.”

“Terima kasih banyak,” ucapku yang tidak enak menerimanya.

“Raden, kenapa aku tidak bisa berhenti menangis?” Kaningrat menggeleng kepalanya pelan, “Kamu tidak akan bisa berhenti, apa kamu lupa kamu belum membasuh tanganmu yang terkena sambel itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Romansa Rapshodi   BAB 11

    “Atma! Aku tidak ingin menikah denganmu, kita ini sahabat yang sudah seperti keluarga. Mana mungkin aku mau menikah denganmu, kamu tidak mungkin menyukaiku, kan?” panikku dan berhasil membuatnya tertawa senang.“Ibu...Ibu dengar Danastri tidak mau menikah denganku hahaha.”“Danastri, Masmu Atma hanya bercanda saja. Dia hanya menggodamu jangan terlalu dipikirkan,” ucap Terta, ibu Atma yang duduk mendekatiku. Atma memang dua tahun lebih tua dariku dan biasanya orang-orang di sekitar kami diusia seperti Atma sudah menikah. Namun, keluarga Atma membebaskan Atma untuk menikah umur berapa saja hanya saja pikiran Atma adalah dia tidak akan menikah sebelum aku menikah.“Ini kamu makan,” ucap Ibu Terta memberikan sepiring makanan berisi lauk, nasi, dan sayur untuk ku makan.“Atma berhentilah makan mangga, sehari ini kamu sudah makan mangga lima kali. Lihatlah mulutmu sudah penuh dengan sisa mangga,” tambahnya memperingati anak semata wayangnya itu.“Baru lima buah, masih ada delapa

  • Romansa Rapshodi   BAB 10

    Aku menghela napas panjang rasanya seperti bisa bernapas lega sekali akhirnya mereka percaya aku tidak melakukan hal buruk. Aku sangat senang sekali, besok bisa bekerja lagi. Namun, ada satu hal yang ku lupakan masalah baru.“Danastri!” teriaknya mendekatiku, “Sekarang bagaimana dengan semua manggaku? Aku sudah membantumu menyelesaikan masalahmu,” lanjutnya dengan suara emosi.“Memang Pakdhe yang harus bertanggungjawab dengan masalahku kemarin, jika saja Pakdhe tidak menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan mengundang dukun beranak berandalan itu, mangga Pakdhe akan baik-baik saja,” jawabku cepat tidak ingin kalah.“Tap-““Dan tadi aku sudah mengajak Pakdhe dengan nada halus dan sopan, tapi Pakdhe sendiri tidak mau turun jika ku paksa. Pakdhe hanya akan sibuk panen mangga dan menanggapku tidak ada di sana,” lanjutku memotong ucapannya sebelum mengomel lebih jauh.“Tapi tetap saja caramu salah!”“Lalu caranya seperti apa?!” teriakku yang sedikit menantang, terlihat Pakdhe Asmoro terdiam ti

  • Romansa Rapshodi   BAB 9

    Hari ini sehari setelah kejadian Pakdhe Asmoro membawakan dukun beranak itu datang ke rumah, tersiar kabar yang entah-entah. Banyak orang yang beranggapan aku melakukan perbuatan tercela. Bahkan sekarang dihadapan teman-teman penari mereka menanyaiku macam-macam.“Buktikan jika tidak, Danastri...Kalau memang kamu melakukannya kamu harus mundur dari pekerjaan ini. Aku beri waktu sampai nanti siang datanglah ke pendopo putri!” perintah Manik yang tidak mengizinkanku untuk ikut menari. Ucapan Manik masih terngiang-ngiang di otakku, kehilangan pekerjaan yang benar-benar ku sukai sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Hidupku hancur jika harus berhenti menjadi penari dan ini semua karena satu orang yang harus bertanggung jawab mengembalikan nama baikku di depan semua orang.“Pakdhe Asmoro!” teriakku di kebun belakang rumahnya yang membuatnya hampir terjatuh dari pohon mangga.

  • Romansa Rapshodi   BAB 8

    “A-anu...bukan begitu maksudku,” ucapku merasa malu dan bingung, “Jadi maksudmu Raden Kaningrat tidak tampan?!” tanya Wardi yang tidak terima.“Tentu saja dia tampan!” jawabku setengah berteriak dan membuat kami berdua melirik ke Kaningrat yang terdiam membeku dengan wajah merah sekali.“Ra-raden?” tanya Wardi sambil menggoyangkan tubuh Kaningrat, sedangkan aku yang panik langsung berdiri.“A-a...aku...pamit dulu, terima kasih banyak atas makannya,” pamitku yang berlari menyadari ucapanku tadi benar-benar tidak pantas untuk dikeluarkan. Aku berlari sejauh mungkin saat ini aku benar-benar malu mengingat ucapanku yang mengatakan bahwa Kaningrat sangat tampan di depan orangnya langsung. Semua ini karena Wardi yang menanyaiku macam-macam, entah perasaan apa saat ini jantungku rasanya aneh. Langkahku berhenti tidak jauh dari rumah, sem

  • Romansa Rapshodi   BAB 7

    Ku rebahkan diriku di atas ranjang setelah pulang dari sungai, pikiranku melayang cukup jauh untuk mencerna semua peristiwa hari ini. Seorang penari tiba-tiba makan bersama seorang ningrat dan cukup akrab untuk berbicara. Selama memikirkan itu semua tidak terasa mataku cukup berat sampai akhirnya terlelap untuk tidur. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa meskipun sekarang saat pergi mencuci ke sungai mereka sudah tidak lagi mengejekku, kehidupanku cukup tenang selama seminggu ini tidak ada masalah sama sekali. Aku juga masih rutin datang ke keraton untuk latihan dan selama ini aku tidak pernah bertemu dengan Kaningrat, entah dia di mana mungkin saja sedang menikmati kehidupannya di luar keraton.“Kita istirahat sebentar!” perintah Manik setelah kami berlatih, aku merapikan kain selendangku.“Hah...aku cukup lelah, Danastri,” ucap Mirah yang duduk sambil mengipasi dirinya menggunakan selendang.“Aku pun,” ucapku yang kemudian beralih melihat sekitar sampai mataku mel

  • Romansa Rapshodi   BAB 6

    Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status