MasukSepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.
“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.
“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.
“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.
“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal sebentar untuk membeli roti ini, apa yang kamu lakukan pada Raden Kaningrat?” tanya abdi dalem itu sambil melotot.
“Aku pun tidak tahu apapun,” jawabku yang takut dan bingung, untuk pertama kalinya aku melihat pria itu tertawa dengan senang rentetan giginya yang bersih dan rapi terlihat, suaranya juga menandakan dia bahagia.
“Tunggu...Hah...Danastri, benar namamu Danastri?” tanyanya membuatku tersadar, “Ah, iya, Den,” jawabku gugup yang kemudian menunduk kembali.
“Angkat wajahmu. Wardi, berhenti memarahinya dia tidak salah apapun. Gadis ini benar-benar luar biasa,” ucapnya sambil tertawa. Sekarang aku tahu nama abdi dalem itu adalah Wardi.
“Ehem...kamu mau ikan?” tanyanya membuatku bingung.
Entah apa yang terjadi saat ini, aku yang sudah tidak waras atau orang-orang ini yang sama tidak warasnya. Kini kami bertiga berada di sungai, ya benar sungai untuk menangkap ikan. Ajakan Kaningrat beberapa waktu lalu ku terima dengan keadaan tidak terlalu sadar, karena aku terpesona begitu melihatnya tersenyum. Memang gila, sepertinya aku kesurupan setan lewat sampai harus mengambil ikan di sungai seperti ini.
“Wuih, Den...Raden lihat aku mendapatkannya,” Wardi dengan bangga dan menatapku dengan sombong.
“Bagus, dapatkan yang banyak,” perintahnya yang sudah berhasil mendapatkan tiga ikan kemudian menatapku. Jarikku ku angkat agar tidak basah, tapi percuma saja aku tetap mengenai air.
“Aku akan mendapatkannya,” ucapku yang melihat ikan di depanku dengan cepat aku mendekatinya tanpa mengetahui bahwa batu yang kujadikan pinjakan sangat licin.
“Hati-hati, jangan sampai terluka,” ucap Kaningrat sambil memegang tanganku agar tidak jatuh.
“Ah, ya terima kasih, Raden,” balasku dan menarik tanganku untuk kembali memburu ikan lagi.
Setelah beberapa lama kami bertiga sudah duduk membakar ikan di samping sungai. Rasanya sangat asing dan aneh untuk pertama kalinya dalam hidupku makan bersama keluarga kerajaan seperti ini. Aku mengeluarkan beberapa makanan yang ku dapatkan dari pasar tadi seperti buah dan roti. Kaningrat sedari tadi menatapku sambil membalikkan ikan agar tidak gosong.
“Den, ini akan enak jika ada sambel lalapan,” ucap Wardi memecah keheningan. “Ah, aku ada tadi aku membeli bahan-bahan di pasar,” timpalku sambil mengeluarkan sayur dan cabai dari kain yang kujadikan wadah.
“Kemarikan, hari ini kamu akan mencoba sambel buatanku. Berterima kasihlah padaku, gadis pembuat masalah,” ucap Wardi mengambil bahan-bahan dari tanganku.
“Wardi, jangan berbicara seperti itu. Maafkan Wardi yang berbicara sembarang.” Kaningrat mengatakannya dengan tulus.
“Tidak apa-apa,” balasku sedangkan Wardi menatapku tidak suka sambil meminta maaf padaku. “Kalau boleh tahu Danastri sudah berapa lama kamu menjadi penari di keraton?” tanya Kaningrat memulai pembicaraan.
“Sejak usiaku 7 tahun, Den,” jawabku yang sibuk mencabuti rumput karena merasa tidak nyaman.
“Berarti saat itu,” lirih Kaningrat. “Lalu sekarang usiamu berapa, Danastri?” tanya Wardi sekembalinya mencuci cabai dan sayuran kemudian ikut duduk di sampingku.
“24 tahun.” Kaningrat tersenyum tipis, “usiaku juga 24 tahun,” timpal Kaningrat sambil tersenyum manis.
“Kalau kamu usiamu berapa?” tanyaku pada laki-laki yang sibuk mengulek dengan semangat meskipun jika dilihat lagi Wardi terlihat seperti anak laki-laki berusia awal 20an tahun.
“Memangnya kenapa kamu ingin tahu?”
“Wardi...”
“Ah, maaf, Den. Huh...21 tahun saat ini–” tanpa lama aku memotong ucapan Wardi begitu saja.
“Wah, wah aku baru tahu ternyata usiamu di bawahku, tapi kamu seperti orang tua saja dan sering memarahiku,” sindirku “Maksudmu?” tanya Wardi tidak mengerti maksudku, “Kadang kamu sering memarahiku tanpa bertanya terlebih dahulu.” Wardi mendengus kesal, “Memangnya jika terjadi sesuatu pada Raden Kaningrat kamu akan bertanggung jawab?” tanyanya tidak suka dan semakin kencang mengulek sambel.
“Sekarang kamu hanya diam, kan?” sindirnya merasa berhasil memojokkanku.
“Tenanglah Wardi, aku sudah bukan anak kecil lagi. Tidak akan terjadi apa-apa,” ucap Kaningrat sembari memberikan ikan yang sudah matang kepada kami berdua.
Angin sepoi-sepoi dan gemericik suara sungai menemani kami bertiga, mungkin terlihat pemandangan yang aneh jika orang lain melihatku sekarang. Karena tidak sepatutnya seorang rakyat biasa makan bersama dengan keluarga ningrat, semoga tidak terjadi apa-apa nanti.
“Kenapa? Kamu merasa senang bisa makan bersama kami dan ingin berterima kasih?” tanya Wardi yang sepertinya orang ini memang bermulut pedas.
“Iya, terima kasih sudah mengajakku mencari ikan dan makan bersama kalian,” ucapku berterima kasih.
“Jangan sungkan padaku dan Wardi, Danastri meskipun kami merupakan bagian dari keraton, tapi aku tidak seperti mereka,” jelas Kaningrat dan aku mengerti maksudnya.
“Raden Kaningrat sudah biasa hidup di luar keraton, makan dengan orang yang bukan dari kalangan ningrat sering kita lakukan bersama,” jelas Wardi sambil memakan roti dan membaginya denganku.
“Berarti kamu sudah lama bersama Raden Kaningrat?”
“Tentu saja, aku ini orang kepercayaannya kemanapun Raden Kaningrat pergi aku selalu bersamanya. Aku akan mengorbankan hidupku jika Raden Kaningrat memintanya,” jelas Wardi sambil tersenyum melirik Kaningrat.
“Wuah, sungguh kesetiaan yang luar biasa,” ucapku sambil bertepuk tangan membuat Wardi kesal karena merasa diragukan.
“Danastri apa kamu tinggal sendiri?” tanya Kaningrat ingin tahu, “Iya, orang tuaku meninggal sejak aku berusia 4 tahun karena sakit. Kemudian aku dititipkan di keluarga Atma, sahabatku meskipun begitu aku tetap memilih hidup sendiri dengan menjadi penari di keraton” jawabku berusaha agar tidak terlihat sedih.
“Apa kamu mengingat wajahnya?” tanya Kaningrat sekali lagi, “Tidak, Raden. Karena aku masih kecil aku tidak mengingatnya hanya samar-samar aku mengingat suaranya.”
“Maaf aku bertanya seperti ini tidak berniat untuk membuatmu sedih.”
“Tidak apa, memang kenyataannya seperti itu aku–” Belum selesai menyelesaikan kalimatku aku mendengar suara khas orang menahan tangis. “Ada apa denganmu?” tanyaku saat Wardi mengusap air matanya beberapa kali.
“Kamu harus makan banyak, lihat tubuhmu sangat kurus sekali.” Wardi menyerahkan makanannya yang dia beli di pasar tadi dan menyuapiku.
“Pasti rasanya sangat kesepian sekali,” tambah Wardi yang masih menangis. “Wardi, aku tidak apa-apa, sungguh aku baik-baik saja.”
“Bagaimana bisa kamu mengatakannya?, pasti sungguh sangat berat,” ucap Wardi dan kemudian memberikan koin logam miliknya untukku meskipun aku menolak dia memaksanya.
“Dia sangat perasa, terima saja” bisik Kaningrat yang masih terdengar olehku.
“Hiduplah dengan uang itu, aku tahu gaji penari tidak seberapa.”
“Terima kasih banyak,” ucapku yang tidak enak menerimanya.
“Raden, kenapa aku tidak bisa berhenti menangis?” Kaningrat menggeleng kepalanya pelan, “Kamu tidak akan bisa berhenti, apa kamu lupa kamu belum membasuh tanganmu yang terkena sambel itu.”
Aku tidak tahu sejak kapan, hanya saja kini rumahku menjadi perkumpulan ketiga orang ini, Atma, Barga, dan Manik. Setelah ku ingat-ingat dulu Atma sering sekali bertengkar dengan Barga dan menyuruhku menjauhinya, tapi lihat kini mereka berteman seperti tidak pernah melempari jagung satu sama lain.“Jadi Danastri, apa kamu ikut dengan kami?” tanya Barga setelah menghidupkan rokoknya.“Pergi kemana?”“Tentu saja, pasar malam!” seru Atma antusias sambil melirik ke Manik.“Ayo, Danastri. Akan sangat menyenangkan jika kita pergi bersama,” pinta Manik memohon.“Atma, ini semua akal-akalanmu, kan? Agar kamu bisa pergi bersama Manik,” ucapku sambil menyipitkan mata dan Atma bersiul-siul menatap pintu luar.“Danastri, aku sudah lama sekali tidak pergi denganmu...aku janji akan membelikan apapun yang kamu mau,” tawar Barga yang tetap saja tidak menarik dimataku, dia pikir aku perempuan yang hanya ingin uangnya.“Ayo, Danastri. Tidak mungkin kamu tega membiarkanku bersama dua laki-laki kurang wa
Mataku menemukan wanita menggunakan pakaian berwarna putih bersama salah satu dayang keraton, semua yang ada di keraton terlihat lebih indah saat ada wanita itu mungkin dia salah satu alasan raja berani memperjuangkan cintanya. Selir Kahiyang. Dia tesenyum lembut menatapku dan mendekatiku, rasanya aku tidak sudi memberikan hormat pada orang ini setelah mendengar semua cerita kebenaran tentang orang tuaku.“Namamu tadi siapa? Aku sedikit lupa,” tanya Selir Kahiyang setelah berada di depanku, aku tidak mau melihat wajahnya benar-benar tidak sudi melihatnya.“Da-Danastri.”“Kamu tumbuh dengan baik dan mirip sekali dengan Kinasih, sangat cantik,” pujinya yang memegang daguku dengan cepat aku langsung bersimpuh memberikan hormat.“Maaf, saya belum memberikan salam. Perkenalkan saya Danastri penari keraton bersama Manik,” ujarku yang sepertinya orang itu cukup terkejut dengan reaksiku langsung menjauhinya.“Berdirilah, Danastri. Aku hanya ingin melihatmu,” ujarnya dan dengan berat hati aku
Sesaat setelah aku selesai menjemur pakaian di luar, aku dikejutkan oleh Manik yang menungguku tidak jauh dari tempatku. Wajahnya yang entah menurutku setelah pertengkaranku dengan Ambar dan Suci, wajah Manik lebih lembut atau mungkin karena hubungannya kembali membaik dengan Atma.“Ayo, Danastri,” ajaknya, “Kemana, Manik?” tanyaku yang ku dapati wajahnya sedikit was-was.“Keraton.”“Untuk apa aku kesana? Aku sudah mengatakan padamu tidak akan kembali ke sana,” tolakku yang langsung ingin masuk rumah, tapi tertahan karena lenganku dipegang dengan erat.“Aku tahu...tapi bukan untuk menari melainkan undangan perjamuan dari Ratu.”Mataku membulat sempurna benar-benar enggan untuk pergi, “Tidak, aku tidak mau,” tolakku keras.“Danastri, kamu tidak bisa menolaknya. Kita hanya makan setelah itu pulang,” jelas Manik sambil menyeretku untuk mengikutinya, tapi aku masih kekeuh dengan pendapatku.“Aku tidak mau, Manik. Lepaskan aku!”Manik berhenti dan menatapku sepenuhnya menemukan wajahku yan
Kakikku rasanya terpaku di bumi tidak bisa ku gerakkan, aliran darahku seperti memompa lebih cepat. Dadaku sangat sakit mengingat semua cerita kebenaran tentang keluargaku dan kini penyebab dari masalah ini semua ada di sini di dekatku. Derap langkahnya semakin mendekat, tapi sialnya sangat sial kakikku tidak bisa bergerak. Ku tundukkan leherku dan berusaha sekuat tenaga agar bisa menggerakan kakiku untuk cepat pergi.“Danastri, ada apa?” tanyanya yang mencoba memegang lenganku, “Jangan sentuh aku!” teriakku yang mana dia bisa melihat pelupuk mataku menggenang air dan pergi begitu saja.“A-astaga ada apa dengan anak itu, Raden?” tanya Wardi yang sama terkejutnya mendapati aku seperti itu. Di satu sisi Raden Kaningrat merasa ada yang tidak beres denganku. Malam hari saat aku tertidur aku bermimpi bertemu bapak dan ibu, di sana kami sedang berada di rumah yang mungkin milik keluarga bapak dulu. Suasananya sangat hangat, aku bisa mengetahui wajah bapak meskipun d
Hari-hari berikutnya aku menikmati hidupku sebagai orang yang sudah tidak bekerja di sanggar tari, keputusan itu akhirnya diizinkan oleh keluarga Atma mereka membiarkanku untuk menenangkan diri. Dan pekerjaanku sekarang membantu bapak mengurusi pasokan pangan terkadang membantu ibu membatik untuk di jual di pasar atau dikirim ke tengkulak untuk dijual kembali.“Danastri.” Suaranya membuatku menoleh setelah menyerahkan kain batik pesanan ke pasar dan dengan cepat aku belari menjauhi orang tersebut yang terlihat bingung mendapati reaksiku tidak seperti biasanya.“Danastri ada apa?” tanya Atma yang tidak jauh denganku melihatku sudah berlari pulang, tidak lama matanya berhasil menemukan seseorang yang dia kenal. Wajahnya sangat sumringah mendapati seseorang mendekatinya dengan cepat.“Ma-”“Atma, apa yang sebenarnya terjadi? Sudah dua minggu ini Danastri tidak datang ke sanggar. Apa dia masih sakit?” tanya Manik tecetak jelas di wajahnya penuh kekhawatiran. Tangan kanannya penuh membawa
Sayup-sayup aku bisa mendengar suara anak-anak sedang bermain di luar, dunia yang sangat berbeda denganku saat ini. Air mataku yang tak kunjung berhenti, dan rasa buah-buah ini seperti hilang dari indera perasaku bahkan tenggorokanku masih tercekat karena emosiku sendiri. Ku letakkan pisang yang tidak bisa ku telan lagi dan aku mulai membenci buah pisang tanpa alasan jelas.“Kadang kita diberikan hal-hal yang tidak bisa kita ketahui alasannya, kamu hanya bisa memilih, Danastri,” ucap Pakdhe Asmoro lebih lembut dari biasanya. “Hidup dengan perasaan menerima dan memaafkan mereka atau mengisinya dengan dendam serta amarah...pilihlah itu Danastri untuk kehidupanmu sendiri,” lanjutnya yang membuatku kesal.“Bagaimana bisa aku hidup seperti itu? Setelah semua yang terjadi dan aku baru mengetahuinya setelah usia 24 tahun, aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Pakdhe.”“Kehilangan orang yang bahkan belum pernah ku temuin karena perbuatan orang lain, sangatlah menyakitkan, Pakdhe.







