Share

Bab 6

Saat Briella tiba di Galapagos, vila dalam keadaan gelap. Hanya gemercik air yang sayup-sayup terdengar dari kamar mandi di lantai atas.

Dia menaiki tangga ke lantai dua dan berdiri di ambang pintu sambil melihat ke dalam.

Udara dingin dan sejuk masuk ke dalam pakaiannya yang longgar, membuatnya gemetar.

"Masuklah."

Suara dalam yang memikat itu terdengar dan Briella melangkah masuk tanpa menggunakan alas kaki.

Valerio membelakanginya sehingga dia bisa menatap punggung Valerio yang lebar dan kekar. Air mengalir di garis-garis ototnya dan turun ke pinggulnya yang indah. Air terus mengalir ke kaki ramping dan panjangnya, membuat sosoknya terlihat seperti lukisan yang sempurna.

Briella mengambil handuk dan berjalan mendekat, lalu menyampirkan handuk di tangannya ke tubuh pria itu.

"Kamu mandi air dingin?"

Valerio berbalik. Tatapannya menyapu tubuh Briella dan jatuh pada telapak kakinya yang tidak mengenakan alas kaki, saling bertumpuk satu sama lain. Sangat ironis.

Valerio melingkarkan tangannya di pinggang Briella dan menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Dia menunduk dan mendaratkan ciuman yang dalam dan intens ke bibir Briella.

Setelah beberapa saat, Briella tidak bisa bernapas karena ciuman ini. Dalam pelukan pria itu, dia meronta dengan napas terengah-engah.

Valerio melirik kain kasa di dahi Briella dan bertanya dengan asal.

"Apa sakit?"

"Sakit."

"Rasakan."

Wanita ini lebih memilih berada di sekitar pria lain daripada meminta tolong kepadanya.

Briella selalu mengandalkan trik itu. Kalau Valerio tidak ada di sana, wanita itu pasti sudah diseret ke tempat tidur dan diperkosa.

Briella cemberut, merasa tidak senang.

Valerio tidak memberinya kesempatan untuk berbicara dan berkata dengan nada dingin, "Buka semua bajumu."

Briella ragu-ragu, tetapi dia tetap melepas semua pakaiannya. Keindahan dalam dirinya tidak terhalang di depan mata pria itu.

Valerio mengalihkan pandangannya dan mengenakan jubah mandi.

"Bersihkan bagian yang disentuh orang-orang itu sampai bersih."

Valerio langsung pergi setelah mengatakan kalimat yang penuh dengan rasa jijik itu.

Pintu kamar mandi tertutup. Briella memejamkan matanya, merasa lelah secara fisik dan mental.

Tahan sedikit lagi. Setelah malam ini dia akan bebas.

Briella membuka keran air panas dan membersihkan tubuhnya berulang kali. Dia terus menggosok bagian yang disentuh oleh pria-pria itu dengan kencang dan baru berhenti setelah merasakan rasa sakit yang menusuk.

Dia membersihkan diri selama dua jam, baru rasa jijik di dalam dirinya sedikit menghilang.

Tubuhnya terbalut handuk saat keluar dari kamar mandi. Begitu Briella melangkah ke kamar, Valerio langsung mengangkatnya dan melemparkannya ke tempat tidur. Pria itu menindihnya dengan tangan berada di kedua sisi tubuh Briella.

Briella memalingkan wajahnya dan memejamkan mata.

Saat mereka melakukannya, Valerio tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi bisa dirasakan kalau dia sangat menginginkan Briella. Briella merasa tulang-tulang di tubuhnya akan hancur. Dia tidak pernah mengalami pengalaman yang tak terlupakan seperti ini. Air matanya terus menetes, rasanya seperti mau mati.

Sampai lewat tengah malam, Valerio baru mencapai puncaknya. Saat terakhir, dia memeluk Briella dengan erat dan berbisik di telinganya.

"Ayo akhiri hubungan ini."

Briella ditarik ke dalam pelukan pria itu. Dia terus menatap lampu kristal di langit-langit kamar dengan tatapan tidak fokus.

"Ya."

Ketika semua gejolak dan gairah itu kembali tenang, Valerio beranjak dan menyerahkan sebuah berkas pada Briella.

"Ini surat rekomendasi untukmu. Kamu bisa keluar dari Perusahaan Regulus dan melanjutkan pekerjaanmu sebagai sekretaris."

Briella duduk dan membuka berkas tersebut. Di berkas itu terpampang foto seorang pria.

Pria itu terlihat lebih muda dari Valerio, memiliki paras tampan dan bersih.

"Maksudmu, kamu ingin aku menjadi sekretaris pria ini?"

Valerio benar-benar hebat dalam memanipulasi. Dia bilang memang sebagai sekretaris, tetapi kenyataannya pria itu hanya menganggapnya sebagai seorang simpanan untuk orang lain!

"Lukas Yonatan itu juniorku saat kuliah bisnis di Negara Jerius. Kepribadiannya sangat baik, latar belakang keluarganya juga bagus. Kariernya sedang naik dan memiliki masa depan yang cerah. Dia adalah pria muda berbakat. Kamu bisa percaya dan bergantung kepadanya."

Briella tertawa sinis dan mengejek, "Semudah itu kamu memberikan wanita yang sudah puas kamu mainkan kepada orang lain?"

Wajah Valerio langsung berubah muram. "Briella, jangan meremehkan dirimu sendiri seperti itu."

"Lalu, apa yang harus aku katakan? Apa selama lima tahun ini Pak Valerio nggak mempermainkanku dan malah benar-benar mencintaiku?"

Valerio menatap wajah Briella dengan saksama dan penuh perhitungan.

Setelah melihat gurat dingin dan sarkasme di mata Briella, dia membentak lantang.

"Jangan buat masalah. Bukannya kamu suka uang? Dia mungkin nggak akan ngasih sebanyak yang aku kasih, tapi setidaknya cukup untuk mendukung mimpimu yang ingin hidup mewah."

Mata indah Briella menyiratkan senyuman, hanya saja senyuman itu terkesan sangat dingin.

Valerio mendengus dingin, ekspresinya menunjukkan penghinaan. "Kamu kesal karena aku berkata begitu? Kamu sangat pintar dan tahu cara menukar nilai dalam dirimu dengan apa yang kamu inginkan. Nggak ada salahnya menyukai uang. Tapi yang paling menakutkan adalah nggak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan."

Briella menggelengkan kepalanya dan tertawa keras.

"Pak Valerio, ternyata aku seburuk itu di matamu, ya?"

Di matanya, Briella adalah sebuah mainan untuk memuaskan kebutuhan fisiknya yang tidak layak untuk dihargai.

Valerio menunjukkan ekspresi yang rumit. Tatapannya menyapu wajah Briella yang terluka. Kulitnya yang pucat memancarkan kecantikan yang rapuh, dengan kedua mata yang berlinang.

Melihatnya yang seperti ini saja sudah mengganggu pikiran Valerio.

Dia tidak bisa memahami wanita ini.

Jika ini adalah sebuah trik untuk mempermainkannya, maka trik ini memang cukup membingungkannya.

"Kamu punya hak untuk memilih. Semuanya terserah kamu."

Briella menghela napas dalam. Kalau dipikir-pikir, dia memang tidak punya hak untuk ribut dengan pria itu. Valerio benar. Dia menjual tubuhnya demi uang. Kalau sekarang dia menuntut rasa hormat dari pria ini, malah makin membuatnya terkesan tidak punya pendirian.

Briella mendongak, menunjukkan senyum profesional yang biasa dia tunjukkan saat bekerja.

"Baik, Pak Valerio. Terima kasih atas kebaikannya. Besok saya akan menyerahkan surat pengunduran diri ke perusahaan."

Valerio terdiam sejenak, lalu menjawab datar, "Terserah."

Pada saat itu, Briella merasakan perasaan bebas yang datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan vila tanpa menoleh ke belakang.

Di samping jendela, cukup lama pria itu berdiri dalam kegelapan. Matanya terus menatap punggung Briella yang makin menjauh. Wajahnya terlihat makin dingin saat beradu dalam pekatnya malam, memberikan kesan sepi.

Jika Davira tidak kembali, dia bisa terus mempertahankan hubungan ini dengan Briella. Namun, saat ini mengakhiri semuanya mungkin adalah pilihan terbaik bagi mereka ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status