Bab 16: GugatanPilihan Ana tidak bisa ditawar lagi. Dia tetap ingin mengajukan gugatan cerai. Radit sempat memohon setidaknya tunggu sampai anak mereka lahir. Siapa tahu Adrian akan berubah setelah melihat anak mereka. Tapi Ana kukuh pada pendiriannya.Radit memberi Ana pengacara. Radit menemani Ana di setiap prosesnya. Ana mengurai semua masalah dalam rumah tangga, pengacara memberi catatan-catatan penting, Radit ikut menyimak.Di pertemuan ke dua, surat yang akan diajukan ke pengadilan itu sudah jadi. Pengacara menyerahkannya pada Ana untuk dibaca ulang.“Apa harus sekarang Ana? Apa tidak tunggu saja?”“Aku mau sekarang, Mas.”“Baiklah, biar Mas serahkan ini pada Adrian. Semoga saja Adrian berpikir ulang.”Ana diam saja. Kesehatannya seperti tidak baik. Radit melihat Ana terlalu lesu dan tak bersemangat.“Kamu sudah punya perlengkapan bayi, An?”“Banyak milik yayasan.”“Begitu ya.” Radit melihat-lihat sekeliling, lalu bertanya kembali. “Kamu punya waktu tidak, Ana. Mas butuh bantua
“Mau apa kalian ke sini?” Adrian menatap Ana. Dadanya mendadak panas dan bergejolak.“Kami mau memeriksa kehamilan Ana. Bagaimana denganmu?” seru Radit dengan ekspresi songong. Dia menunjuk Adrian dengan muka.“Memeriksa kehamilan dengan orang lain?” Adrian masih menyudutkan Ana.“Bagaimana lagi. Suaminya lupa tanggung jawab.”Adrian melengos. “Jangan menjadi setan dalam rumah tangga kami, Mas!”“Setan?” Radit tersenyum mencibir. Matanya memandang lekat pada tangan Ketrin yang memeluk lengan Adrian dengan erat. “Itu apa?”Adrian buru-buru melepaskan tangan Ketrin.“Tidak perlu begitu. Santai saja. Kami sudah lihat kok. Yang gue tanya, tangan dia kenapa?”“Bukan urusan kamu!” Ketrin menyalak.Radit menggeleng pelan. “Harga dirimu tak setinggi nada bicaramu.” Radit menengok pada Ana. “Ayo, Ana!”Wanita yang sejak tadi diam itu mengekor pada Radit. Dia berusaha abai pada Adrian dan Ketrin.“Begini perilaku wanita yang dibangga-banggakan Ibu? Katanya soleha, tapi berani jalan sama laki-la
Bab 17: AncamanKetrin melihat kepergian Adrian dengan sangat kesal. Dia mengentakkan kaki. Ketrin yakin kalau Adrian akan kembali menemui Ana. Adrian bahkan tidak mengantarkan Ketrin sampai masuk rumah. Padahal luka Ketrin masih basah. Ketrin sangat kesal.Ketrin menelepon Adrian berkali-kali, tapi Adrian tidak mengangkat teleponnya. Ratusan chat Ketrin kirimkan, tapi diabaikan juga. Dari pesan bernada manja sampai yang mengancam, tak ada satu pun yang ditanggapi Adrian.Esoknya, Ketrin menunggu Adrian di lobi. Dia langsung mengejar begitu Adrian tiba.“Kamu ke mana sih? Dari semalam aku hubungi gak dibales. Aku sampe gak tidur.”“Kita harus putus, Ketrin.” Andrian bicara tanpa berhenti jalan.Ketrin terperangah. “Apa?”“Ana menggugat cerai. Aku tidak bisa berpisah dengan Ana. Jadi kita putus.”“Enggak, Adrian, kamu gak bisa kayak gini.”Adrian berhenti sejenak. “Aku sekarang sadar, hanya istri dan anak yang sekarang harus aku prioritaskan. Aku gak bisa hidup tanpa mereka. Tolong kam
“Kenapa kamu harus beli lagi peralatan bayi? Padahal kita punya banyak.”“Ini pemberian kakaknya suamiku, Mbak.”“Lucu-lucu sekali. Dia lebih baik dari pada suamimu.”Ana mengusap pakaian kecil itu. “Iya ya, Mbak, lucu.” Ana sudah tak sabar memakaikan baju itu pada bayi kecilnya. Terbayang mengusap pipi lembut dan tangannya yang mungil.“Mbak pasti kesulitan tanpa adanya kamu.”“Masih banyak yang lain, Mbak.”“Urusan administrasi Mbak cuma percaya sama kamu. Kamu teliti dan rapi.”“Pasti yang lain ada yang lebih baik dari Ana. Hanya belum ketemu saja.”“Kamu gak akan balik lagi setelah lahiran?”“Belum tahu, Mbak. Mungkin Ana akan tinggal di kampung sampai anak Ana besar.”“Gugatan kamu?”Ana terdiam. Gugatan itu masih ditahan Radit karena Adrian berjanji akan berubah. “Ana belum tahu kelanjutannya.”Minggu terakhir Ana di Jakarta. Dia pergi ke rumah Diana, mengajar Kaidan dan Nadhifa sebagaimana biasanya. Ana pamitan pada seluruh anggota keluarga sebelum pulang. Ini hari terakhir dia
“Mas ... Mas Adrian. Tolong ....” Anaya menggoyang-goyangkan tubuhku. Suaranya terdengar memelas membuatku semakin kesal.“Diam, Ana! Mas mau tidur.” Aku bergumam sambil memejamkan mata, berharap dia menyerah.“Tapi Ana ingin banget rujak, Mas. Rasanya udah di lidah. Tolong dong, Mas. Ana mau sekarang.”“An, ini udah malam. Mana ada yang jual rujak malam-malam begini?”“Coba aja cari dulu, ya.”Aku memutar badan, membelakangi Ana. Malam ini dia benar-benar menyebalkan. Aku hanya ingin tidur, tapi dia terus mengganggu dengan rengekannya. Aku tahu ini soal ngidam, tapi tetap saja, mana mungkin ada yang jual rujak sekarang?“Mas, Ana mohon. Sekali ini aja, ya? Demi baby....”Aku mendengus kesal. Suaranya semakin panas di telingaku. Nada melasnya terasa seperti paku yang menghunjam kepala. Jantungku berdegup kencang, tapi bukan karena kasih sayang, melainkan amarah.Tanpa sepatah kata, aku bangkit dari tempat tidur. Meraih jaket dan kunci motor di atas meja.“Mau ke mana, Mas?” tanya Ana
“Mas, Ana pergi. Ana sekarang sadar bahwa Mas Adrian tidak pernah dan tidak akan mungkin mencintai Ana. Ana tidak ingin semakin banyak dosa atas hubungan yang tidak Mas inginkan ini. Ana izin membawa pergi buah hati kita. Ana akan mencukupkan cinta kasih untuknya. Semoga Mas menemukan kebahagiaan yang selama ini Mas harapkan.”Aku terpaku membaca pesan itu. Tangan dan kaki mendadak lemas. Dadaku tiba-tiba nyeri dan berat. Beberapa ketakutan membayang dalam pelupuk mata.Bagaimana kalau Ana kenapa-napa, bukannya rujak super pedas itu mengenai matanya? Bagaimana dengan kehamilannya? Bagaimana kalau Ibu tahu Ana kabur? Bagaimana kalau ... kalau Ana pergi untuk selamanya?Tidak. Semoga Ana hanya menggertak saja.Aku segera menelepon Ana, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku beranjak ke luar rumah dan bertanya pada tetangga. Barang kali Ana bersembunyi di salah satu rumah. Namun jawaban mereka sama, tidak ada yang melihat Ana.Ana memang tidak punya banyak teman di sekitar sini. Setelah me
Aku kembali ke rumah. Ibu sudah berdiri di depan gerbang. Aku segera turun dari mobil, menyapa dan mencium tangan ibu."Ibu gak bilang dulu mau berkunjung.""Gak bilang gimana, Adrian? Ibu telepon Ana berkali-kali, nomornya tidak aktif."Setiap kali mendengar nama Ana hatiku rasanya gak enak. Bagaimana aku mengatasi masalah kepergiannya.Aku segera membuka gerbang. Berjalan ke depan rumah dan membuka pintu."Ana ke mana, Adrian? Tadi ibu lihat murid-murid ngajinya mencari."Aku mempersilahkan Ibu masuk lebih dulu.Ibu dan Ana terlibat dalam satu kajian yang sama. Mereka berkenalan di sana. Dari situlah Ibu menyukai Ana dan menjodohkannya denganku. Ibuku sangat menyayangi Ana. Ibu juga punya hipertensi dan kolesterol. Bisa bahaya kalau tahu menantunya kabur."Ana lagi nungguin temannya di rumah sakit, Bu." Aku mengarang saja."Ana lagi hamil, kok kamu izinin sih. Di rumah sakit banyak penyakit.""Ya ... Ana mau nolong orang, masa aku larang sih, Bu."Ibu duduk di kursi dan menyimpan ta
Suara langkah kaki di atas ubin dingin mengalihkan pandanganku dan Zihan. Kami sama-sama terbelalak melihat siapa yang datang."Ibu." Zihan buru-buru berjalan menghampiri ibu mertuaku.Bapak, Ibu, dan adiknya Ana berkunjung. Aku tertegun. Apa yang harus kujelaskan pada mereka.Zihan mencium tangan wanita berkerudung lusuh itu dengan takzim. "Ibu baru datang?""Ana di mana, Mbak Zihan?""Zihan belum dapat kabar, Bu. Tapi Zihan pasti cari tahu terus.""Bagaimana keadaan Bu Santi?""Kurang baik, Bu.""Ya Allah."Mereka terus berjalan ke sini. Detik demi detik terasa membeku. Aku diimpit rasa bersalah. Petuah Mas Radit kemarin terekam dalam ingatan. "Yang kamu perlakukan dengan tidak manusiawi itu anak orang, Adrian. Di keluarganya dia disayangi, kamu malah memperlakukan dengan tak layak. Apa yang akan orang tuanya katakan?"Aku menunduk begitu jarak dengan keluarga Ana hanya tinggal beberapa langkah. Aku menyalami bapak mertua. Pria tua itu tidak menolak uluran tanganku tapi juga tidak b
“Kenapa kamu harus beli lagi peralatan bayi? Padahal kita punya banyak.”“Ini pemberian kakaknya suamiku, Mbak.”“Lucu-lucu sekali. Dia lebih baik dari pada suamimu.”Ana mengusap pakaian kecil itu. “Iya ya, Mbak, lucu.” Ana sudah tak sabar memakaikan baju itu pada bayi kecilnya. Terbayang mengusap pipi lembut dan tangannya yang mungil.“Mbak pasti kesulitan tanpa adanya kamu.”“Masih banyak yang lain, Mbak.”“Urusan administrasi Mbak cuma percaya sama kamu. Kamu teliti dan rapi.”“Pasti yang lain ada yang lebih baik dari Ana. Hanya belum ketemu saja.”“Kamu gak akan balik lagi setelah lahiran?”“Belum tahu, Mbak. Mungkin Ana akan tinggal di kampung sampai anak Ana besar.”“Gugatan kamu?”Ana terdiam. Gugatan itu masih ditahan Radit karena Adrian berjanji akan berubah. “Ana belum tahu kelanjutannya.”Minggu terakhir Ana di Jakarta. Dia pergi ke rumah Diana, mengajar Kaidan dan Nadhifa sebagaimana biasanya. Ana pamitan pada seluruh anggota keluarga sebelum pulang. Ini hari terakhir dia
Bab 17: AncamanKetrin melihat kepergian Adrian dengan sangat kesal. Dia mengentakkan kaki. Ketrin yakin kalau Adrian akan kembali menemui Ana. Adrian bahkan tidak mengantarkan Ketrin sampai masuk rumah. Padahal luka Ketrin masih basah. Ketrin sangat kesal.Ketrin menelepon Adrian berkali-kali, tapi Adrian tidak mengangkat teleponnya. Ratusan chat Ketrin kirimkan, tapi diabaikan juga. Dari pesan bernada manja sampai yang mengancam, tak ada satu pun yang ditanggapi Adrian.Esoknya, Ketrin menunggu Adrian di lobi. Dia langsung mengejar begitu Adrian tiba.“Kamu ke mana sih? Dari semalam aku hubungi gak dibales. Aku sampe gak tidur.”“Kita harus putus, Ketrin.” Andrian bicara tanpa berhenti jalan.Ketrin terperangah. “Apa?”“Ana menggugat cerai. Aku tidak bisa berpisah dengan Ana. Jadi kita putus.”“Enggak, Adrian, kamu gak bisa kayak gini.”Adrian berhenti sejenak. “Aku sekarang sadar, hanya istri dan anak yang sekarang harus aku prioritaskan. Aku gak bisa hidup tanpa mereka. Tolong kam
“Mau apa kalian ke sini?” Adrian menatap Ana. Dadanya mendadak panas dan bergejolak.“Kami mau memeriksa kehamilan Ana. Bagaimana denganmu?” seru Radit dengan ekspresi songong. Dia menunjuk Adrian dengan muka.“Memeriksa kehamilan dengan orang lain?” Adrian masih menyudutkan Ana.“Bagaimana lagi. Suaminya lupa tanggung jawab.”Adrian melengos. “Jangan menjadi setan dalam rumah tangga kami, Mas!”“Setan?” Radit tersenyum mencibir. Matanya memandang lekat pada tangan Ketrin yang memeluk lengan Adrian dengan erat. “Itu apa?”Adrian buru-buru melepaskan tangan Ketrin.“Tidak perlu begitu. Santai saja. Kami sudah lihat kok. Yang gue tanya, tangan dia kenapa?”“Bukan urusan kamu!” Ketrin menyalak.Radit menggeleng pelan. “Harga dirimu tak setinggi nada bicaramu.” Radit menengok pada Ana. “Ayo, Ana!”Wanita yang sejak tadi diam itu mengekor pada Radit. Dia berusaha abai pada Adrian dan Ketrin.“Begini perilaku wanita yang dibangga-banggakan Ibu? Katanya soleha, tapi berani jalan sama laki-la
Bab 16: GugatanPilihan Ana tidak bisa ditawar lagi. Dia tetap ingin mengajukan gugatan cerai. Radit sempat memohon setidaknya tunggu sampai anak mereka lahir. Siapa tahu Adrian akan berubah setelah melihat anak mereka. Tapi Ana kukuh pada pendiriannya.Radit memberi Ana pengacara. Radit menemani Ana di setiap prosesnya. Ana mengurai semua masalah dalam rumah tangga, pengacara memberi catatan-catatan penting, Radit ikut menyimak.Di pertemuan ke dua, surat yang akan diajukan ke pengadilan itu sudah jadi. Pengacara menyerahkannya pada Ana untuk dibaca ulang.“Apa harus sekarang Ana? Apa tidak tunggu saja?”“Aku mau sekarang, Mas.”“Baiklah, biar Mas serahkan ini pada Adrian. Semoga saja Adrian berpikir ulang.”Ana diam saja. Kesehatannya seperti tidak baik. Radit melihat Ana terlalu lesu dan tak bersemangat.“Kamu sudah punya perlengkapan bayi, An?”“Banyak milik yayasan.”“Begitu ya.” Radit melihat-lihat sekeliling, lalu bertanya kembali. “Kamu punya waktu tidak, Ana. Mas butuh bantua
“Maksudmu?”“Aku akan membawa Ana pulang. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Ana.”Ketrin terperangah. Dia tak percaya dengan apa yang dikatakan Adrian.“Apa itu demi Ibu. Biar Ana bisa ngurus Ibu?”“Bukan. Ini demi anak kami. Aku tidak mau kehilangan anak yang dikandung Ana.”“Kamu tidak mendengarkanku ya? Bisa jadi dia bukan anak kamu.”“Waktu yang akan menjawabnya. Lihat saja nanti anak Ana mirip siapa. Pak Rafasya punya darah blasteran, keturunannya tidak seperti warga asli. Dan yang jelas aku tidak mau menyesal.”Ketrin merasa napasnya jadi berat. “Jadi kamu mau meninggalkan aku?”“Aku akan menikahimu nanti setelah hubunganku dengan Ana membaik.”“Aku mau dijadikan istri kedua?" Ketrin melotot tidak terima. “Keterlaluan kamu, Mas!” Ketrin menggebrak meja hingga membuat semua mata melihat ke sana.“Sabar dulu, Ketrin. Dengar aku.” Adrian berbisik. Malu dilihat orang.“Aku tidak mau mendengar lagi. Kamu cuma punya satu pilihan, yaitu menikahiku. Aku sudah menunggu lama. Kalau k
Bab 15: Restu IbuAna meninggalkan Adrian. Dia meminta sekuriti mengusir Adrian dari yayasan. Adrian buru-buru menghadang dan berlutut di hadapan Ana."Aku berani bersumpah akan mencintaimu dan anak kita, Ana. Mas akan adil.""Tidak perlu, Mas. Mas fokus saja pada Ketrin, tidak perlu memikirkanku. Jadikan dia wanita satu-satunya untuk Mas Adrian.""Ana, kamu mengandung anak kita.""Anak ini akan tetap menjadi anak Mas Adrian meski kita tak bersama lagi. Terima kasih tawarannya tapi aku tidak berminat." Ana menjauh. Adrian dihadang sekuriti."Ana, apa kamu mengharamkan poligami? Kamu tukang ngaji harusnya tidak menolak poligami."Ana menahan langkah dan menengok sesaat. "Aku tidak menolak poligami. Aku menolak meneruskan rumah tangga denganmu." Ana masuk rumah."Ana! Ana!"Pluk! Tongkat sekuriti memukul bokong Adrian."Aw!" Adrian menutup bokongnya dengan telapak tangan."Jangan buat keributan di sini. Pergi sana!"Pluk! Sekuriti melayangkan pukulan berikutnya.“Aw!”“Pergi cepat!”Adr
Adrian teringat Ana yang memakai pakaian dinas. Adrian melotot kaget sekaligus suka, tapi saat itu dia malah mengingat Ketrin. Adrian merasa mengkhianati Ketrin. Hingga yang keluar dari bibir Adrian bukanlah pujian, melainkan makian“Kamu memakai baju apa? Jelek sekali. Tidak perlu bersikap seperti pelacur di hadapanku karena aku tidak akan tertarik.”Lain pula ketika Ana memakai rok mini dan atasan seksi. “Apa begitu cara berpakaian wanita yang ke mana-mana pakai kerudung panjang? Sangat tak pantas sekali.” Adrian mencaci Ana karena takut jatuh cinta. Kalau Adrian sampai jatuh hati pada Ana, Ketrin akan sakit hati. Begitu pikirnya.Adrian selalu menghindar saat berpapasan. Dia tidak pernah benar-benar memandang Ana secara utuh. Pria itu lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar dan chatan dengan Ketrin tanpa harus melihat Ana. Semua itu dia lakukan agar tidak jatuh cinta.Sesungguhnya, selama setahun ini Adrian juga merasa tersiksa. Dia pernah berjanji tidak akan menyakiti Ketrin. Adr
Bab 14: Poligami (PoV Author)Adrian meninggalkan Radit dengan bibir yang sobek dan lebam di beberapa bagian. Dia berjalan menjauh dari gudang produksi dengan penuh emosi. Sementara Radit dibantu oleh para karyawannya untuk duduk.Para karyawan sudah siap membantu saat bos mereka dipukuli, tapi Radit memberi kode penolakan agar para karyawan tak ikut campur. Radit menerima semua pukulan tanpa perlawanan. Radit hanya ingin adiknya segera sadar.Radit pernah menikah dengan seorang wanita karier. Sandrina bahkan lebih baik perangainya dibanding Ketrin. Cara berpakaian Sandrina juga tidak semewah Ketrin. Awal menikah baik-baik saja, apa lagi pernikahan itu memang didasari karena cinta.Sandrina selalu mengeluh kalau ada di rumah. Setiap kali beres-beres dia akan mengomel karena merasa tenaganya diforsir. Sandrina merasa posisinya setara dengan suami, sama-sama mencari nafkah, tapi Sandrina punya tanggung jawab lebih yaitu mengurus rumah. Apa lagi setelah hamil dan melahirkan, Sandrina sem
Minggu berikutnya. Aku kembali menunggu Ana di depan masjid. Aku tak yakin dia akan kembali. Tapi usaha saja.Ana ternyata datang. Aku segera menghampirinya. Menangkap tangan wanita yang buru-buru mau kabur ini."Tunggu, Ana!""Ada apa lagi sih, Mas. Mau pamer kebahagiaan lagi?"“Ayo kita pulang!”“Pulang? Sejak kapan aku punya tempat di rumah itu?”“Mas minta maaf, Ana. Mas hanya emosi malam itu.” Aku tidak mengerti perasaanku, tapi rumah itu harus diisi kembali oleh Ana. Rumahku terlalu sepi tanpa Ana.“Tapi perbuatan Mas Adrian membuat aku mengerti kalau Mas Adrian tidak akan pernah mencintaiku dan bayi yang aku kandung.” Ana selalu bilang ‘Ana’ pada dirinya sendiri. Sekarang dia menyebut ‘aku’ seolah menunjukkan kalau aku bukan orang terdekatnya lagi.“Itu tidak benar, Ana.”“Itu artinya Mas mencintaiku?”Aku terdiam. Bimbang.“Aku tahu jawabannya. Mas Adrian hanya minta aku kembali untuk Ibu kan? Agar aku bisa menemani Ibunya Mas Adrian. Maaf, Mas. Aku tidak bisa.” Ana kembali be