"Iya, maksud saya Mbak sudah pernah ketemu dengan mantan istrinya itu?" ucapku ketus. Jika kuturuti nafsuku saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut dan mencakar wajah wanita bernama Safira ini.
Dia telah lancang merebut suamiku dan merampas semua yang seharusnya menjadi milikku. Rumah, mobil dan fasilitas ini seharusnya menjadi milikku, bukan dia."Oh, belum sih, Mbak!" ucapnya sembari nyengir kuda. Tangan kanannya memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat betapa mulusnya kulit gundik Mas Gandhi ini. Bersih, putih tak bernoda. Kukunya juga sangat terawat dan indah, menandakan bahwa ia tidak pernah sama sekali menyentuh deterjen apalagi meremas kain pel. Sangat berbeda denganku yang setiap hari harus bergelut dengan semua pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya.Sungguh Mas Gandhi telah memberi fasilitas yang spesial untuk wanita ini. Salon dan juga ART. Entah berapa duit yang ia habiskan setiap bulan demi perawatan wanita berwajah pas-pasan ini. Aku akui, Safira wanita yang pandai berdandan dan sepertinya sangat lihai memoles alat make up.Sementara aku, kulit yang gelap ini terjadi karena aku terlalu sering beraktivitas di luar rumah sedangkan kuku yang kusam ini karena kerap bercampur dengan deterjen pencuci baju dan piring. Aku mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan ART.Aku bukan tidak mampu membayar pembantu ataupun pergi ke salon dan merawat diri seperti orang lain. Tapi selama ini aku lebih mengutamakan kebutuhan rumah dan anak. Aku pikir karena Mas Gandhi tidak pernah protes dan kerap memuji penampilanku, itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Mas Gandhi bukanlah suami yang neko-neko.Nyatanya, aku telah salah karena begitu percaya pada sang pengkhianat. Entah memang aku yang tak cantik atau memang dasar Mas Gandhi yang buaya."Jadi, kenapa Mbak bisa menyimpulkan bahwa mantan istri suami Mbak itu gendut, jelek dan bau?" sahutku. Walau pun aku tidak semodis Safira, tapi aku bukan lah wanita yang gendut, jelek, dan bau. Aku masih cukup mengerti untuk merawat diri meski bukan ke salon setiap hari."Ya ... karena suami saya yang bilang begitu," celetuknya. Ia memberikan tatapan tajam yang menghujam ke sanubari. Entah mulai curiga atau tidak senang, Safira mulai menunjukkan sikap yang berbeda."Mbak percaya?""Hu'um, Mas Gandhi tidak pernah berbohong pada saya, Mbak! Eh, kok, jadi ngomongin suami saya, sih? Ayo Mbak diukur dulu ruangannya!" sergah Safira yang sepertinya mulai curiga dengan gelagatku.Ah ... aku tak boleh menginterogasinya lagi. Dia tidak boleh tahu kalau aku lah istri pertama Mas Gandhi karena tiba-tiba aku sudah punya ide untuk membalas semuanya. Tunggu saja, Safira!"Oh iya maaf." Aku tersenyum sambil menundukkan sedikit kepala karena posisi dia saat ini adalah pelanggan yang harus aku layani dengan baik. Aku harus tetap profesional demi rencana terselebung di balik ini meriahnya acaranya.Aku pun berjalan mengitari ruangan sembari menduga-duga seperti apa tampilan dekorasi yang akan aku buat di ruangan yang luas ini. Sepertinya dinding yang lebar ini akan menjadi titik backdrop dimana akan aku susun hiasan yang mencolok dari yang lainnya dan bagian depannya disusun meja berukuran panjang untuk meletakkan berbagai kue-kue manis. Sementara sisi kosong yang lainnya akan aku hiasi dengan pernak-pernik, balon dan segala hiasan yang menyangkut acara baby shower.Safira juga meminta agar dari pagar sampai ke titik ruangan dihiasi dengan balon-balon cantik berwarna metalik untuk menyambut kedatangan para tamu."Saya mau buat dekorasinya yang paling bagus, Mbak. Dipenuhi balon dan dekorasi yang lucu-lucu. Mahal juga gak apa-apa, yang penting saya dan suami merasa puas," pintanya dengan binar yang bahagia sembari menunjukkan contoh dekorasi yang diinginkan dari ponsel mahalnya.Aku tahu bagaimana terharunya perasaan wanita yang masa kehamilannya disambut dengan begitu istimewa oleh pasangannya.Sayangnya, aku tidak merasakan hal seperti ini saat mengandung Melisa dulu. Hidupku dan Mas Gandhi sangat susah waktu itu, sehingga untuk acara tujuh bulanan saja, aku hanya sekedar mengadakan syukuran kecil dengan kerabat dekat saja.Alangkah bi*dabnya lelaki ini karena setelah mencapai titik kejayaan, ia malah bermain api di belakang istri.Ah ... kuatkan aku, ya Allah. Jangan jadikan aku lemah karena pengkhianatan ini.Aku kembali fokus pada Safira dan menjabarkan harga dekorasi yang diinginkannya setelah memperhatikan gambar dari layar gawai yang pasti dibeli dengan modal merayu Mas Gandhi."Kalau yang terbaru dengan full pernak-pernik seperti ini kisaran harga sampai dua belas juta, Mbak! Mau?" ucapku."Dua belas juta?" ulang Safira agak terkejut. Sepertinya dia shock mendengar harga yang aku sebutkan. Tetapi memang seperti itu lah adanya. Dia meminta dekorasi terbaru dan mewah yang pastinya tidak akan bisa aku kerjakan sendiri."Iya, Mbak. Sanggup?" ujarku dengan kening yang berkerut karena kulihat Safira mendadak jadi gelisah."Hhmm, gimana, ya, Mbak? Soalnya budget untuk dekorasi yang diberikan suami saya hanya tujuh juta. Memangnya gak bisa kurang lagi?" tawarnya dengan wajah bingung sekaligus memelas."Kalau tujuh juta ada juga kok, Mbak. Tapi tidak semewah ini. Ini contohnya," jelasku. Aku tunjukkan contoh gambar dekorasi budget tujuh juta dari ponselku, namun dia sepertinya tidak setuju."Ck, terlalu simpel, Mbak. Aku gak suka! Malu dong sama teman-teman kalau cuma pakai dekorasi kayak begitu! Yang tadi aja, deh, Mbak. Tujuh juta aja, ya," cicitnya sungguh tidak tahu malu.Sepertinya Safira tipe wanita bergaya hidup tinggi dan tidak mau tersaingi."Gak bisa, Mbak. Tetap dua belas juta!" ucapku kekeh.Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu."Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan."Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi."Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra. Rupan
Aku kembali memacu motorku di jalanan menuju sekolah tempat Melisa menuntut ilmu dua tahun ini. Gadis kesayanganku itu pasti sudah menungguku di dekat pintu gerbang sekolahnya.Ah ... aku tidak bisa menjelaskan betapa hancurnya perasaan ini kala menyadari rumah tangga ini tidak baik-baik saja. Entah seperti apa reaksi Melisa nanti jika mengetahui bahwa kedua orang tuanya mungkin tidak akan bisa bersama lagi. Aku sungguh tidak sudi meneruskan pernikahan ini. Sebagai istri, aku masih bisa bertahan ketika ujian ekonomi terus menghampiri. Namun tidak pada ujian orang ketiga. Tidak ada kompensasi untuk pengkhiantan.Dulu, aku tetap setia mendampingi Mas Gandhi meski ia tidak bisa menghasilkan lebih dari tiga juta setiap bulannya karena posisinya hanya sebagai karyawan biasa, sementara kebutuhan hidup kian hari kian sulit. Melisa sudah mulai sekolah dan punya banyak keinginan. Aku sampai harus berjualan online demi menopang kehidupan di kota ini namun sering kehabisan modal demi mencukupi
"Mama ....!" Melisa melambai dari kejauhan, kemudian berlari ke arahku. Aku belum juga turun dari sepeda motorku tapi gadis berseragam batik itu sudah kelihatan tidak sabar.Aku tersenyum menanggapinya, lalu menunggunya keluar dari pagar sekolah."Mama ... ayo kita belanja!" ujarnya begitu antusias. Pasalnya, besok adalah hari ulang tahun Melisa dan aku sudah berjanji untuk membelikannya kue bolu kesukaannya. Selain itu, kami harus membeli segala pernak pernik ulang tahun seperti topi, souvenir dan Snack untuk dibagikan pada teman-teman sekelasnya besok. Aku sudah mendapat izin dari wali kelasnya untuk membuat sedikit acara sebelum pulang besok. Biasanya anak-anak akan pulang lebih awal di hari jum'at.Seharusnya hal ini pun menjadi aktivitas yang menyenangkan bagiku tapi sejak mengetahui kebusukan Mas Gandhi, aku jadi kehilangan semangat. Melisa sudah mengingatkan ayahnya dari jauh-jauh hari agar ikut merayakan hari ulang tahunnya di sekolah besok. Tetapi karena Mas Gandhi harus men
"Bisa kan ditransferkan sekarang?" ulangnya setelah tak kunjung mendapat sahutan dariku.Tidak salah lagi, uang lima juta itu pasti akan dia gunakan untuk tambahan biaya dekorasi gundiknya. Safira pasti terus merengek padanya untuk mengabulkan semua keinginan wanita yang penuh dengan gengsi itu."Uang lima juta, untuk apa, Mas?" tanyaku berpura-pura terkejut. Mas Gandhi memang terbiasa menggunakan uangku tapi tidak pernah sampai sebanyak ini. Lelaki itu kerap meminta bantuanku untuk sekedar mengisi bahan bakar mobilnya tapi tidak sampai jutaan. Paling tidak hanya dua ratus ribu dan polosnya aku karena tidak pernah pula menagih uang itu kembali. Jika aku tahu uang untuk membeli bahan bakar itu digunakannya untuk mendatangi Safira, maka akan aku bakar sekalian dia dengan mobilnya."Hhmm, untuk beli oleh-oleh buat kalian!" ujarnya setelah terdiam cukup lama. Cih, oleh-oleh apa lagi yang dia maksud jika saat ini saja dia sudah kembali dari luar kota dan berada di kota yang sama denganku
Lelaki yang tidak aku tahu asal usulnya itu lantas mendekat pada Melisa kala menyadari buah hatiku itu menangis karena benda yang sudah berserakan dan tidak lagi berbentuk itu. Semua pernak-pernik ulang tahunnya sudah tidak layak pakai."Cup cup cup anak cantik, maaf ya, Om tidak sengaja! Kamu mau ulang tahun, ya?" Lelaki itu berjongkok untuk mensejajarkan diri dengan putriku. Ia mengusap air bening yang berjatuhan dari sudut netra Melisa.Bukan hanya anak itu, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Bahkan aku lelah. Aku dan Melisa sudah mengitari mall, mengantri dan bersusah payah membawa semuanya namun harus berakhir seperti ini. Rasanya aku pun ingin menangis tetapi malu pada pria di depanku."Iya, Om. Aku mau rayain ulang tahunku di sekolah besok. Tapi semuanya sudah rusak, huaaa!" Melisa menangis semakin kencang. Harapannya untuk merayakan ulang tahun yang berkesan bersama teman-teman sekelasnya pupus sudah. Yang tertinggal hanya kue tanpa kemeriahan yang lain."Maafin Om, ya, S
Untuk pertama kalinya aku membentak dan bicara sekeras ini pada Melisa. Ia pasti sangat terkejut dengan sikapku yang dianggap telah berubah kasar padanya.Aku sungguh dilema. Kurasa hari terberat dalam hidupku selama berumah tangga adalah hari ini. Bahkan ini lebih berat dari pada ketika aku kebingungan saat beras dan gas habis secara bersamaan. Atau ketika tak bisa beli baju lebaran.Mengetahui Mas Gandhi telah membagi cinta dan materi dengan wanita bernama Safira membuatku jadi hampir setengah gila. Sakit karena materi itu bisa digantikan. Tapi jika sakit karena patah hati rasanya tak ada ganti. Walau Mas Gandhi akan datang dan membawa seribu maaf untukku. Itu tidak akan cukup mengobati luka menganga akibat menikamku dari belakang.Sakit, benci dan sedih membaur ke dasar jiwa sehingga aku tak bisa mengendalikan emosi. Aku malah melampiaskannya pada Melisa dengan bentakan kasar dan menyakitkan. Bukannya merasa puas. Aku sungguh merasa semakin bersalah.Kulihat Melisa masih tertunduk
Rumah Kedua SuamikuSetelah sedikit berbasa-basi. Akhirnya, kami pun saling memperkenalkan diri. Sesuai dugaanku. Ternyata Rozi bukan lah orang sembarangan. Dia adalah seorang direktur dari sebuah perusahaan asuransi di Jakarta dan ke sini untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mengunjungi anak cabang dari perusahaannya untuk memeriksa kinerja para karyawan serta keuangan di sana.Apalagi ada laporan jika di beberapa anak perusahaannya mengalami ketimpangan dalam masalah keuangan.Kebetulan semalam dia memang terburu-buru. Rozi yang biasanya ke mana-mana mengendarai mobil, menjadi kaku saat harus mengendarai sepeda motor di jalanan beraspal. Tapi kali ini dia datang mengendarai mobi ditemani sang sopir.Rozi mengaku padaku bahwa dia adalah seorang duda yang ditinggal mati oleh anak dan istrinya. Istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertama mereka sedangkan putrinya menyusul sebelas bulan setelahnya. Dan ketika melihat Melisa. Pria itu langsung teringat akan mendiang putrinya. Apa lag
"Wah ... mama cantik sekali!" puji Melisa saat memindai penampilan baruku. Aku baru selesai mengambil tiga paket perawatan sekaligus. Rambut, wajah dan badan di salon terpercaya di kota ini. Walau harus merogoh kocek yang cukup dalam. Namun usahaku ini tidak sia-sia. Aku tampil glow up dengan kulit yang lebih cerah dan bersih.Rambutku yang ikal telah mendapat perawatan keratin sehingga tampil lurus dan bersinar."Beneran?" godaku lagi pada Puteri semata wayangku. Melisa kubawa juga ke salon untuk menemaniku karena aku tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Anak itu menungguku di tempat bermain khusus anak yang memang disediakan oleh pihak salon."Benar, Ma. Mama cantik sekali," celotehnya dengan tatapan kagum melihat tampilan ibunya. Senyum merekah tak lepas dari wajahku sedari tadi, karena sejak mematut diri di cermin, aku menyadari bahwa aku masih sangat cantik dan memikat.Aku masih lebih cantik ketimbang Safira yang pandai berpoles make up itu.Setelah melakukan semua pe