Share

Bab 3 Dekorasi Mewah

"Iya, maksud saya Mbak sudah pernah ketemu dengan mantan istrinya itu?" ucapku ketus. Jika kuturuti nafsuku saat ini, aku ingin sekali menjambak rambut dan mencakar wajah wanita bernama Safira ini.

Dia telah lancang merebut suamiku dan merampas semua yang seharusnya menjadi milikku. Rumah, mobil dan fasilitas ini seharusnya menjadi milikku, bukan dia.

"Oh, belum sih, Mbak!" ucapnya sembari nyengir kuda. Tangan kanannya memainkan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai begitu saja.

Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat betapa mulusnya kulit gundik Mas Gandhi ini. Bersih, putih tak bernoda. Kukunya juga sangat terawat dan indah, menandakan bahwa ia tidak pernah sama sekali menyentuh deterjen apalagi meremas kain pel. Sangat berbeda denganku yang setiap hari harus bergelut dengan semua pekerjaan rumah tangga yang seakan tidak ada habisnya.

Sungguh Mas Gandhi telah memberi fasilitas yang spesial untuk wanita ini. Salon dan juga ART. Entah berapa duit yang ia habiskan setiap bulan demi perawatan wanita berwajah pas-pasan ini. Aku akui, Safira wanita yang pandai berdandan dan sepertinya sangat lihai memoles alat make up.

Sementara aku, kulit yang gelap ini terjadi karena aku terlalu sering beraktivitas di luar rumah sedangkan kuku yang kusam ini karena kerap bercampur dengan deterjen pencuci baju dan piring. Aku mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan ART.

Aku bukan tidak mampu membayar pembantu ataupun pergi ke salon dan merawat diri seperti orang lain. Tapi selama ini aku lebih mengutamakan kebutuhan rumah dan anak. Aku pikir karena Mas Gandhi tidak pernah protes dan kerap memuji penampilanku, itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Mas Gandhi bukanlah suami yang neko-neko.

Nyatanya, aku telah salah karena begitu percaya pada sang pengkhianat. Entah memang aku yang tak cantik atau memang dasar Mas Gandhi yang buaya.

"Jadi, kenapa Mbak bisa menyimpulkan bahwa mantan istri suami Mbak itu gendut, jelek dan bau?" sahutku. Walau pun aku tidak semodis Safira, tapi aku bukan lah wanita yang gendut, jelek, dan bau. Aku masih cukup mengerti untuk merawat diri meski bukan ke salon setiap hari.

"Ya ... karena suami saya yang bilang begitu," celetuknya. Ia memberikan tatapan tajam yang menghujam ke sanubari. Entah mulai curiga atau tidak senang, Safira mulai menunjukkan sikap yang berbeda.

"Mbak percaya?"

"Hu'um, Mas Gandhi tidak pernah berbohong pada saya, Mbak! Eh, kok, jadi ngomongin suami saya, sih? Ayo Mbak diukur dulu ruangannya!" sergah Safira yang sepertinya mulai curiga dengan gelagatku.

Ah ... aku tak boleh menginterogasinya lagi. Dia tidak boleh tahu kalau aku lah istri pertama Mas Gandhi karena tiba-tiba aku sudah punya ide untuk membalas semuanya. Tunggu saja, Safira!

"Oh iya maaf." Aku tersenyum sambil menundukkan sedikit kepala karena posisi dia saat ini adalah pelanggan yang harus aku layani dengan baik. Aku harus tetap profesional demi rencana terselebung di balik ini meriahnya acaranya.

Aku pun berjalan mengitari ruangan sembari menduga-duga seperti apa tampilan dekorasi yang akan aku buat di ruangan yang luas ini. Sepertinya dinding yang lebar ini akan menjadi titik backdrop dimana akan aku susun hiasan yang mencolok dari yang lainnya dan bagian depannya disusun meja berukuran panjang untuk meletakkan berbagai kue-kue manis. Sementara sisi kosong yang lainnya akan aku hiasi dengan pernak-pernik, balon dan segala hiasan yang menyangkut acara baby shower.

Safira juga meminta agar dari pagar sampai ke titik ruangan dihiasi dengan balon-balon cantik berwarna metalik untuk menyambut kedatangan para tamu.

"Saya mau buat dekorasinya yang paling bagus, Mbak. Dipenuhi balon dan dekorasi yang lucu-lucu. Mahal juga gak apa-apa, yang penting saya dan suami merasa puas," pintanya dengan binar yang bahagia sembari menunjukkan contoh dekorasi yang diinginkan dari ponsel mahalnya.

Aku tahu bagaimana terharunya perasaan wanita yang masa kehamilannya disambut dengan begitu istimewa oleh pasangannya.

Sayangnya, aku tidak merasakan hal seperti ini saat mengandung Melisa dulu. Hidupku dan Mas Gandhi sangat susah waktu itu, sehingga untuk acara tujuh bulanan saja, aku hanya sekedar mengadakan syukuran kecil dengan kerabat dekat saja.

Alangkah bi*dabnya lelaki ini karena setelah mencapai titik kejayaan, ia malah bermain api di belakang istri.

Ah ... kuatkan aku, ya Allah. Jangan jadikan aku lemah karena pengkhianatan ini.

Aku kembali fokus pada Safira dan menjabarkan harga dekorasi yang diinginkannya setelah memperhatikan gambar dari layar gawai yang pasti dibeli dengan modal merayu Mas Gandhi.

"Kalau yang terbaru dengan full pernak-pernik seperti ini kisaran harga sampai dua belas juta, Mbak! Mau?" ucapku.

"Dua belas juta?" ulang Safira agak terkejut. Sepertinya dia shock mendengar harga yang aku sebutkan. Tetapi memang seperti itu lah adanya. Dia meminta dekorasi terbaru dan mewah yang pastinya tidak akan bisa aku kerjakan sendiri.

"Iya, Mbak. Sanggup?" ujarku dengan kening yang berkerut karena kulihat Safira mendadak jadi gelisah.

"Hhmm, gimana, ya, Mbak? Soalnya budget untuk dekorasi yang diberikan suami saya hanya tujuh juta. Memangnya gak bisa kurang lagi?" tawarnya dengan wajah bingung sekaligus memelas.

"Kalau tujuh juta ada juga kok, Mbak. Tapi tidak semewah ini. Ini contohnya," jelasku. Aku tunjukkan contoh gambar dekorasi budget tujuh juta dari ponselku, namun dia sepertinya tidak setuju.

"Ck, terlalu simpel, Mbak. Aku gak suka! Malu dong sama teman-teman kalau cuma pakai dekorasi kayak begitu! Yang tadi aja, deh, Mbak. Tujuh juta aja, ya," cicitnya sungguh tidak tahu malu.

Sepertinya Safira tipe wanita bergaya hidup tinggi dan tidak mau tersaingi.

"Gak bisa, Mbak. Tetap dua belas juta!" ucapku kekeh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status