Share

Bab 4 Pelakor Berwajah Tua

Wanita itu mendengkus, ia terlihat menghela napas panjang sambil memikirkan sesuatu.

"Sebentar, ya, Mbak. Saya telepon suami dulu," ucapnya setelah sekian lama berpikir dalam kebisuan.

"Oh, iya!" Aku tersentak karena sedari tadi terus berusaha memikirkan cara-cara apa untuk membalas mereka berdua.

Wanita itu mengeluarkan ponsel dari saku dress yang ia kenakan. Lalu menghubungi lelaki yang sampai saat ini masih berstatus suamiku juga.

Dasar pelakor! Modal merampas jatah milik orang dan mau segala macam yang wah. Memangnya dia pikir seberapa banyak uang Mas Gandhi itu sehingga bisa seenaknya saja minta ini itu pada suami orang. Nikmati saja hari-harimu itu sampai kau tahu siapa sebenarnya Mas Gandhi.

"Halo, Sayang! Ada apa telepon? Mas sedang meeting di kantor!" Suara pengkhianat itu terdengar dari ponsel yang dipegang Safira.

Aku harus terus menguatkan hatiku karena pemandangan yang terjadi saat ini begitu menyakitkan. Safira dan Mas Gandhi saling menyapa dengan panggilan mesra.

Rupanya Safira sedang melakukan panggilan video dan otomatis suara pria buaya itu dapat kudengar dengan jelas. Untungnya, posisiku sedang membelakanginya dan lantas menjauh sambil berpura-pura sibuk agar tidak ketahuan oleh Mas Gandhi dari sana.

"Mas, ini aku lagi sama Mbak Lisya, orang yang mau dekor ruangan untuk acara babyshower aku," ucap Safira dengan suara manja selembut sutera.

Di usianya yang mungkin sudah kepala tiga, Safira bisa berlagak seperti seorang anak ABG dengan suara lembut dan manja.

"Hhmm ... dekor? Kan sudah Mas bilang supaya mas aja yang cari jasa dekornya!" sahut Mas Gandhi dengan suara bergetar penuh waspada. Dia pasti takut jika Safira malah menggunakan jasa dekor istrinya dan perselingkuhannya ini akan ketahuan olehku.

Sayangnya, kamu terlambat, Mas. Istrimu yang satu ini tidak cukup cerdas untuk menyembunyikan statusnya sebagai gundik.

"Aku gak mau ngerepotin kamu, Sayang. Kamu pasti masih capek karena baru pulang dari luar kota. Sudah, biar aku saja. Aku sudah ketemu jasa dekor yang bagus, kok!" sanggah Safira.

"S-siapa namanya?" Lelaki itu bertanya agak tergagap. Aku hanya mendengarkan sambil terus berusaha menata hati. Aku harus tegar demi masa depan Melisa. Jika lelaki itu telah berkhianat, maka tidak akan aku biarkan dia terus berada dalam kejayaan.

Jangan ditanya seperti apa keadaan di dalam sini, rasanya panas dan terbakar. Tanpa terasa, setetes bulir bening meluncur dari sudut mata. Aku memang benci, tapi tidak bisa memungkiri jika masih ada rasa yang tertinggal di dalam sini.

Aku mungkin masih punya cinta, tapi pengkhianatan ini sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk melupakannya. Aku tidak sudi berbagi keringat dengan wanita lain. Biar aku buang saja sampah pada tempatnya.

"Namanya Mbak Lisya, Mas!"

"Oh ... syukurlah. Terus, ada apa?" ujar Mas Gandhi terdengar lega.

Dia pikir Lisya itu siapa? Ada baiknya juga aku selalu menggunakan nama depanku jika dalam urusan pekerjaan seperti ini. Mas Gandhi pasti tidak menyangka jika Lisya yang dimaksud adalah aku--istrinya, Alisya Shanum.

"Kamu tambahin lagi ya biaya untuk dekorasinya, yang kamu kasih itu gak cukup, Mas!" rengek Safira. Wanita itu menjatuhkan bobot pada sofa kecil berwarna merah, lalu bersandar sembari mengelus perut buncitnya.

Sungguh pemandangan yang sangat memuakkan.

Setelah menyusuri perut berisi benih dari pergumulannya dengan Mas Gandhi, mataku menoleh pada sebuah cincin berlian yang melingkar di jari manis Safira. Indah sekali. Aku bahkan tidak memilikinya.

Entah darimana asalnya uang yang diberi Mas Gandhi pada wanita ini sehingga bisa memanjakannya dengan barang-barang mewah dan berkelas. Padahal, posisinya hanya karyawan biasa di kantor.

"Waduh ... memangnya berapa lagi, Sayang? Ini saja aku sudah habis sepuluh juta untuk catering, belum lagi potografer dan souvenir. Sekarang kamu minta tambahin uang dekor lagi? Yang sederhana saja, Fira!" bantah Mas Gandhi namun terkesan hati-hati.

Luar biasa, ternyata sampai seroyal ini dia pada wanita gundiknya. Pantas saja dia tidak begitu peduli pada urusan renovasi rumah beberapa bulan lalu, rupanya uang yang dia punya dihabiskan untuk merenovasi keinginan sang gundik.

"Gak mau, Mas. Aku maunya yang itu!" Safira merajuk, tingkahnya seperti seorang anak kecil yang tidak diberi uang jajan. Ia bahkan berpura-pura menangis seperti anak kecil. Dan entah apa yang mereka bicarakan selanjutnya, karena Safira telah meninggalkan aku sendiri di ruangan ini. Wanita dengan make up setebal lima senti itu masuk ke kamarnya.

Aku jengah melihat tingkah Safira yang terlihat kekanak-kanakan. Bagaimana bisa Mas Gandhi menyukai seorang wanita yang terlihat dewasa namun tingkahnya tidak kalah jauh dengan Melisa? Ah ... b*doh sekali, nafsu memang bisa mengalahkan segalanya.

Aku tidak tahu orderan kali ini merupakan berkah atau musibah. Jika aku tolak, artinya aku sedang melepas rezeki namun bila aku terima, aku akan semakin menemukan hal-hal menyakitkan lainnya.

Entah berkah atau musibah, mungkin seperti inilah cara Allah membongkar rahasia besar yang selama ini disembunyikan oleh Mas Gandhi. Jika aku tidak dapat orderan ini, pasti aku tidak akan tahu sama sekali jika ada wanita lain yang turut menikmati hasil keringat suamiku, bahkan mungkin keringatku juga.

Aku bersyukur meski akhirnya harus menanggung luka yang menganga sendirian. Aku yakin akan ada hikmah di balik ini semuanya. Yang penting aku harus tetap kuat dan tegar demi memberi hadiah manis untuk para pengkhianat ini nanti.

Tiba-tiba wanita itu datang dan menghampiriku. Wajahnya yang sempat murung kembali cerah seperti di awal tadi.

"Gimana, Mbak?" lontarku.

"Jadi, Mbak. Ini saya kasih DP lima juta dulu, ya. Sisanya lusa kalau semua sudah beres, ya!" ucapnya sembari mengulas senyuman manis.

Safira pasti bingung ke mana hendak menyembunyikan wajahnya dariku jika hanya untuk membayar dua belas juta saja harus berdebat panjang dengan sang suami. Dengan segala kesombongan yang ia sampaikan tadi, rasanya mustahil jika Mas Gandhi tidak mengabulkan keinginannya.

Aku mengangguk, menghitung lembaran merah yang ia serahkan lalu mencatatnya di kertas kwitansi yang memang selalu ada di dalam tasku.

Aku jadi penasaran. Dari mana Mas Gandhi mendapatkan uang untuk memanjakan gundiknya ini? Apa dia punya sumber uang yang lain lagi selain bekerja di kantor? Aku harus segera menyelidiki.

Setelah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku pun berpamitan pergi apalagi jam sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Melisa akan pulang sebentar lagi dan aku tidak ingin membuat anak itu menunggu terlalu lama.

Sebelum beranjak dari rumah ini, aku menyempatkan diri untuk bertanya sedikit pada Safira. Kebetulan dia mengantarku sampai depan pintu.

"Kalau saya boleh tahu, berapa usia Mbak Safira?" celetukku. Aku sungguh penasaran dengan perempuan centil dengan wajah dewasa ini.

"Saya? Usia saya dua puluh tiga, Mbak!" ungkapnya dan itu membuatku ingin tertawa sekencang-kencangnya.

"Memangnya kenapa, Mbak?" sosornya dengan dahi yang mengkerut. Dia mungkin menyadari perubahan pada mimik wajahku.

Astaga! Aku salah besar. Kupikir dengan penampilan yang mencolok seperti itu, usia Safira itu sudah kepala tiga. Rupanya usianya masih dua puluhan bahkan masih lebih muda dariku.

"Oh ... enggak, saya kira seumuran saya," terangku sambil terkikih dalam hati. Aku tidak mungkin berterus terang mengatakan jika aku menyangka dia sudah kepala tiga, bisa-bisa dia tersinggung dan membatalkan kesepakatan ini.

Huh, lucu sekali. Rupanya Safira ini golongan pelakor muda yang berwajah tua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status