Virza membalas pesan dari kawan-kawannya di telepon seluler miliknya sambil menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV. Virza duduk di samping ayahnya. Dia menoleh ke arah wajah ayahnya. Virza sudah biasa melihat wajah ayahnya yang dingin, namun sikap diam Dedy kali ini terasa berbeda buat Virza. Pandangan ayahnya terasa kosong, tidak sedang menikmati acara yang ada di televisi.
Virza segera meletakkan telepon seluler miliknya di atas meja yang ada di hadapannya.
"Ayah kenapa melamun terus?" Tanya Virza sambil memeluk lengan ayahnya.
Ayahnya menoleh pada Virza, lalu dia tersenyum dan menepuk lutut Virza dengan perlahan.
"Ayah titip pesan buat Mas Virza ya, nanti Mas Virza di sana baik-baik ya, harus bisa jaga diri. Mas Virza yakin tidak mau ditemani oleh Ayah?" Tanya ayahnya sambil terus menatap televisi. Sekarang Virza mengetahui, ayahnya sedang merasa sedih memikirkan dirinya.
"Yakin Ayah! Virza mau belajar mandiri. Virza kan sudah besar." Sahut Virza dengan percaya diri.
"Iya Ayah tahu Virza sudah besar. Setelah mengantar Virza, Ayah langsung pulang lagi kok. Ayah cuma mau menemani saat kamu daftar ulang sampai mendapatkan tempat kos, itu saja." Dedy membujuk Virza agar mau ditemani olehnya.
"Tenang Ayah, Virza tidak sendirian kok. Setibanya di sana Virza dan teman-teman akan mendaftar ulang dan mencari tempat kos bersama-sama. Jadi, Ayah tidak perlu khawatir," Virza mencoba menenangkan perasaan ayahnya dengan berbohong.
Akhirnya Dedy tersenyum dan mengalah pada keputusan putranya.
Virza terpaksa berbohong pada ayahnya karena dia tahu bahwa orang tuanya saat ini sedang kesulitan keuangan. Jika mereka mengantar Virza, pasti akan ada biaya keberangkatan tambahan. Virza sudah mempunyai rencana matang tentang apa yang akan dilakukannya saat tiba di kota itu.
***rw***
Waktu keberangkatan tiba.
Virza ditemani oleh keluarganya saat menunggu datangnya kereta api saat di stasiun.
Banyak pesan-pesan yang disampaikan oleh Ayah dan ibunya untuk Virza. Virza mendengarkannya dengan seksama. Kedua orang tuanya juga membawakannya cukup banyak perbekalan seperti uang dan makanan.
"Begitulah Mas, saat beranjak dewasa. Selamat menuju dewasa," bisik Farel. Virza melirik adiknya dan tersenyum.
"Nanti sisa barang-barang yang belum terbawa, akan Ibu kirim paket travel. Segera setelah mendapatkan rumah kost, kabari Ibu dan Ayah untuk kirim alamatnya," pesan Vina yang tanpa sadar sudah diucapkannya berkali-kali.
Virza dan Farel hanya tersenyum.
Saat keretanya tiba, Virza berpamitan dengan keluarganya sebelum menaiki keretanya. Ini bukan pertama kali Virza naik kereta, tapi ini pertama kali baginya naik kereta tanpa keluarganya.
Sebenarnya ada perasaan sedih di dalam hati Virza ketika berpisah dengan keluarganya. Namun dia sudah punya rencana dengan hidupnya.
Ketika kereta mulai melaju, seorang gadis menghampirinya sambil membawa barang-barang bawaannya.
"Permisi, ini benar gerbong 6 kan?" Tanya gadis itu pada Virza.
Virza menoleh ke arah gadis itu dan mengangguk.
"Oh berarti benar ini kursinya," Gumam gadis itu.
Sebenarnya Virza merasa heran, gadis ini dari mana, dan mengapa masih membawa barang-barangnya. Seharusnya ketika kereta akan melaju dia sudah duduk di kursinya.
"Mas, boleh tukar tempat duduk?" Tanya gadis itu ketika selesai meletakkan barang-barangnya di atas rak barang.
Virza menoleh lagi kepadanya tanpa menjawabnya.
"Maaf saya lebih suka dekat jendela, karena telepon seluler saya harus sering diisi baterainya. Tapi kalau tidak mau tidak apa-apa. Saya cuma takut Mas akan terganggu saat saya bolak-balik mengisi daya baterainya," kata gadis itu sambil menunjuk ke arah stop kontak dekat Virza.
Virza menyetujuinya, akhirnya mereka bertukar tempat duduk dengan gadis itu.
Tidak berapa lama kemudian gadis itu mengajak Virza untuk berkenalan. Nama Gadis itu adalah Selly.
Sepanjang perjalanan Selly adalah teman perjalanan yang baik. Dia bersikap sopan pada Virza, dan selalu mengajak Virza mengobrol. Dia juga sering menawarkan Virza makanan kecil miliknya. Virza merasa senang mendapatkan teman perjalanan seperti Selly.
"Berarti kita satu kampus ya nanti," kata Selly dengan antusias.
"Iya, tapi apa jurusan kita juga sama?" Tanya Virza penasaran.
"Memangnya kamu ambil apa? Kalau aku ambil teknik informatika." Tanya Selly dengan ramah.
"Wah sama denganku." Sahut Virza merasa senang.
Selly menceritakan bahwa dirinya akan bekerja sambil berkuliah. Dia terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi keluarganya. Jadi, dia harus mampu membiayai kuliahnya sendiri.
Virza yang mendengar kisahnya Selly jadi turut termotivasi. Apalagi dia yang mempunyai rencana yang sama dengan rencana Selly sebelumnya.
Mereka terus asik berbincang, sampai tiba-tiba Virza harus menerima telepon dari ibunya. Pembicaraan mereka jadi terhenti.
Hampir setengah jam Virza menerima telepon dari ibunya. Ketika selesai menerima telepon dia menoleh ke arah Selly, ternyata Selly sudah tertidur dengan pulas.
Tiba-tiba Virza juga merasa ikut mengantuk, dan dia memejamkan matanya. Sampai dia terbangun karena terkejut ada yang membangunkannya.
"Mas, Mas, Mas. Bangun sudah sampai," kata seorang pria berpakaian seragam. Sepertinya dia salah satu orang yang bertugas di dalam kereta itu.
Virza menoleh ke kanan dan ke kiri, ternyata kereta itu sudah berhenti di sebuah stasiun tujuannya. Dia menoleh ke arah samping, ternyata Selly sudah tidak ada begitu juga barang bawaan Selly.
Virza menjadi terkejut, segera dia memeriksa barang bawaannya karena takut ada yang hilang. Ternyata semua masih ada, dan Virza merasa lega.
"Mas, lihat orang yang di samping saya tidak?" Tanya Virza kepada petugas itu.
"Tidak, dari tadi tidak ada siapapun. Saya hanya lihat Mas sendirian disini," kata petugas itu menggelengkan kepalanya.
Virza mengerutkan dahinya karena merasa heran dengan jawaban petugas itu.
"Mungkin orangnya sudah turun, Mas. Kan keretanya sudah berhenti lebih dari 5 menit yang lalu," kata petugas itu dengan cepat meralat jawabannya.
"Oh iya ya. Ya sudah terima kasih ya," Jawab Virza sambil bergegas membawa barang bawaannya untuk turun.
Seorang petugas kebersihan pun dengan cepat menghampiri kawannya itu. Lalu mereka berjalan bersama di belakang Virza.
“Ketiduran?" tanya petugas kebersihan itu.
“Iya," sahut petugas berseragam itu.
‘Hmm bergosip,’ pikir Virza saat mendengar dirinya dibicarakan oleh kedua petugas itu. Virza jadi memperlambat langkahnya.
“Lalu apanya yang aneh?" tanya petugas kebersihan itu lagi.
“Kejadian lagi, Pak. di tempat duduk yang sama," jawab petugas berseragam itu dengan perlahan.
‘Kejadian lagi? Apa ya?’ Batin Virza terkejut mendengar kalimat yang menggantung baginya. Namun ketika dia menoleh kedua petugas itu sudah berbalik arah.
Setelah turun dari kereta api Virza celingukan, dia mencari tanda panah untuk keluar dari stasiun itu. Karena Ini pertama kalinya dia datang ke kota itu.
Tiba-tiba perutnya merasa lapar, dan tas ranselnya terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Mungkin aku lapar banget, sampai merasa semua tas ini terasa berat," Virza bergumam sambil terus melangkah keluar stasiun.
Virza terus melangkah menjauhi stasiun hampir lima ratus meter. Dia sengaja berjalan jauh agar menemukan tempat makan yang murah.
Akhirnya dia menemukan warung makan kecil dan sempit. Virza menduga bahwa harga di tempat itu pasti murah. Kebetulan juga di tempat itu sedang sepi, jadi dia berpikir akan merasa aman jika makan di tempat itu dengan barang bawaannya. Kemudian Dia memutuskan untuk makan di tempat itu.
Jaya dan yang lainnya tampak meringis saat dimintai penjelasan oleh Virza tentang sikap mereka.“Wah, ada apa ini? Mengapa sikap kalian seperti itu?” tanya Virza lagi menatap satu per satu orang yang ada di sana, termasuk penjual warung makan.Penjaga warung makan pun berpaling dari Virza. Dia seperti tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan antara Jaya dan Virza. Sementara yang lain ikut bersikap sama, mereka malah memunggungi Virza dan melanjutkan makan.Virza gelisah karena ada di situasi yang canggung, dia merasa benar-benar asing di tempat yang baru pertama kali dia kunjungi. Namun Virza tidak mau menyerah, dia terus menatap pada Jaya, menuntut penjelasan yang sudah membuatnya penasaran.“Ehm, memangnya sudah berapa lama kamu tinggal di rumah kos itu?” tanya Jaya sambil berpindah tempat duduk ke dekat Virza.“Hampir 6 bulan,” sahut Virza ragu. Jaya menatap kedua mata Virza dengan saksama. Virza tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Jaya, namun dia yakin ada sesuatu yang penting in
# Esok hari.“Za, Za, bangun.” Seseorang membangunkan Virza yang tertidur di teras depan rumah kos.Virza terbangun dari tidurnya sambil menggeliat. Dia menyipitkan matanya menatap orang yang baru saja membangunkannya dari tidur. Cahaya matahari membuatnya tidak mampu membuka lebar kelopak matanya.“Mas Delta?” Virza bergumam sambil menggosok-gosok matanya.Delta duduk di samping Virza yang menatapnya heran.“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Delta bingung. Virza menggelengkan kepala.Tiba-tiba Roy sudah berada di hadapan Virza dan Delta sambil tersenyum. “Kita ke kampus yuk, ada yang mau aku bicarakan dengan kalian,” ujar Roy.“Aku tidak ada kelas hari ini. Bagaimana kalau kita bicara disini saja?” Delta memberikan penawaran.“Tidak bisa. Aku tidak ingin membicarakannya disini. Bagaimana denganmu, Virza? Apakah kamu bisa ikut denganku ke kampus?” sahut Roy. Virza langsung mengerti tujuan Roy, dia mengangguk setuju. Akhirnya Delta pun mengikuti mereka setelah Virza selesai mandi
Roy dan Ajie tidak berbuat apa-apa, karena mereka sudah kelelahan menghadapi tingkah Virza yang sebelumnya. “Mas, aku…” Ajie tidak meneruskan kalimatnya karena Roy melarang. ‘Aku takut,’ batin Ajie. Sepanjang malam itu Ajie dan Roy terus berdoa. Akhirnya, mereka melalui malam panjang itu hingga pagi menjelang. Tanpa disadari, Ajie dan Roy tertidur karena kelelahan. Virza terbangun dan seperti tidak terjadi apa-apa. Dia merasa bingung karena kedua temannya duduk sambil tertidur mendampinginya. Virza merasa sakit di sekujur tubuh sehingga dia harus berusaha keras untuk bangkit dari tempat tidur itu. Dengan perlahan dia membantu kedua temannya berbaring berdampingan. “Mereka akan merasakan sakit juga di sekujur tubuhnya kalau tertidur dengan cara begini,” kata Virza sambil merebahkan mereka. Diam-diam Virza keluar dari kamar Roy. Tiba-tiba bulu kuduk di sekujur tubuhnya merinding saat keluar kamar dan menatap lorong itu. Padahal, letak tangga berada di ujung lorong itu. Ada ras
Ajie menghembuskan nafas panjang. Dia merasa lega karena ternyata Roy yang berada di depan pintu. Dia melihat sosok Roy yang rambut serta pakaiannya dalam keadaan basah.‘Tapi, mengapa diam dan tertunduk saja? Mengapa dia tidak memanggilku?’ pikir Ajie. ‘Ah, sudahlah! Aku berpikir terlalu berlebihan. Normal saja dia dalam keadaan basah begitu setelah berwudhu,’ pikir Ajie sambil menepis pikiran yang sebelumnya.Kemudian dia segera membuka pintu kamar mengingat waktunya yang sudah tinggal sedikit lagi. Ketika pintu dibuka, Roy segera masuk ke dalam kamar dan berdiri menatap Virza yang masih terbaring dan memejamkan mata.“Mas, waktunya tinggal sedikit lagi. Cepatlah! Sebelum masuk Isya,” Ajie mengingatkan Roy sambil memberikan sarung setelah membantunya menggelar sajadah di lantai. Tapi Roy hanya terdiam dan menerima sarung itu. Ajie terus melawan perasaan-perasaan yang menurutnya ada yang aneh dengan sikap Roy. Dia menepis dugaan pada Roy.Ajie menyingkir dari hadapan Roy dan memili
“Brug!” Roy segera menarik Virza, karena terburu-buru, Roy menariknya hingga terjatuh ke lantai. Mereka berdua tersungkur.Namun Virza langsung bangun kembali dan mencoba membuka pintu. Dia seperti sedang dikendalikan oleh sesuatu. Melihat itu, Roy segera bangkit dan meraih tangan Virza dengan susah payah.‘Dia seperti terpengaruh dengan suara itu,’ pikir Roy.“Aku mau buka pintu, ada temanku diluar!” Virza menghardik Roy karena dirinya merasa terganggu dengan Roy yang selalu menghalanginya. Matanya terbuka lebar dan menatap marah pada Roy, bahkan Virza sempat menggeram ke arah Roy, membuat Roy semakin yakin bahwa Virza sedang dikuasai oleh sesuatu meskipun keadaannya setengah sadar.“Dia bukan temanmu, Za!” Roy memperingatkan. Tangannya terus ditepis oleh Virza ketika berusaha menggenggamnya, sehingga tangan mereka tampak seperti sedang saling memukul.Roy memutuskan untuk bertindak lebih kasar dan mendekap Virza.“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!” Roy berseru di telinga Vi
“Kamu kenapa, Za? Jangan bikin orang panik!” Roy meninggikan suaranya agar Virza segera sadar. Roy langsung berinisiatif untuk menutup pintu kamarnya dan mendorong Virza agar segera duduk di atas tempat tidurnya. Perlahan tatapan mata Virza pun berubah normal kembali, meskipun masih ada sisa-sisa ketakutan yang tertinggal. Setelah kondisi Virza tampak normal kembali, Roy mulai mengajaknya berbicara. “Ada apa? Mengapa kamu seperti itu tadi? Apakah kamu melihat sesuatu lagi?” desak Roy sambil duduk di samping Virza. “ Apakah mas Roy pergi untuk menonton televisi setelah Mas Roy mandi tadi?” Virza malah balik bertanya. Roy menggelengkan kepala. Virza terdengar mendengus. ‘Ah, pasti aku melihat hal lain lagi nih!’ batin Virza. “Kamu melihat sesuatu di ruang nonton televisi ya?” tanya Roy dengan nada rendah. Virza menundukkan kepala. Dia malah mengingat hal lain. Ternyata Virza menyadari, bahwa di sisi kiri kamar Roy tidak ada kamar lagi. Di Sisi kiri kamar Roy hanya terdapat sebua