Share

4. Hari yang Panjang

Baru saja Virza menyuap beberapa sendok ke mulutnya, punggungnya ditepuk oleh seseorang. Dia menoleh ke belakang, ternyata itu adalah Selly.

"Loh, kamu makan di sini," tanya Selly sambil tersenyum ke arah Virza.

Sebenarnya Virza masih merasa heran dengan Selly sebagai teman dalam perjalanannya karena Selly tidak membangunkannya ketika kereta sudah berhenti. Namun dia tidak ingin memperpanjang hal kecil itu lagi.

"Oh iya, Sel. Ayo ikut makan! Aku lapar sekali," ajak Virza pada Selly.

Virza berdiri dari duduknya dan mencari-cari penjual yang tadi melayaninya. Tapi dia tidak menemukan penjual itu.

"Sepertinya penjualnya sedang keluar sebentar, kamu tunggu saja ya," Ujar Virza.

"Ah tidak, aku tidak makan. Aku sudah pesan makanan di seberang sana. Aku melihatmu ke sini tadi, makanya aku segera menghampirimu untuk menyapa," kata Selly sambil tersenyum.

"Oh begitu. Oh ya kita tukar nomor telepon yuk," ajak Virza.

Akhirnya mereka berdua saling memberikan nomor telepon.

"Sepertinya makananku sudah jadi, aku ke sana dulu ya. Sampai ketemu lagi," kemudian Selly meninggalkan Virza sendirian.

Tidak berapa lama setelah Selly pergi, si penjual datang.

"Wah Ibu dari mana saja dicariin dari tadi," ujar Virza kepada si penjual.

"Ibu ada kok dari tadi di situ," katanya sambil menunjuk dapur warung itu.

"Kok aku enggak lihat Ibu disitu tadi  ya?" tanya Virza bingung. 

"Saya pikir Adik sedang telepon dengan seseorang," Kata si penjual.

Virza yang mendengar itu langsung tertawa.

"Pantas saja Ibu tidak langsung keluar ketika ada pembeli baru masuk. Jadi, Ibu mengira saya sedang teleponan?" Ujar Virza merasa geli.

"Tadi, ada teman saya di sini, saya menawarkannya untuk ikut makan. Tapi ketika saya mencari Ibu tidak ada disini," ujar Virza menjelaskan setelah dia berhenti tertawa.

"Oh begitu. Tapi saya tidak melihat ada orang lain masuk kemari," kata si penjual tersebut. 

"Masa sih Bu?" gumam Virza. 

Lalu Virza melihat ke sekeliling warung itu.

'Wajar saja si penjual tidak melihat Selly masuk tadi, mungkin ketika dia duduk di situ si penjual terhalang oleh rak kayu ini,' pikir Virza melihat rak kayu dekat tempat duduk Selly tadi.

Akhirnya Virza membayar makanannya dan setelah bertanya kepada si penjual tentang angkutan umum apa yang harus dia naiki untuk sampai ke tujuannya.

Virza langsung menuju kampusnya dengan menumpang angkutan umum.

Awalnya dia ragu karena merasa malu membawa barang-barang bawaannya yang begitu banyak. Tapi ternyata dia tidak sendiri, banyak calon mahasiswa lain yang ternyata dari luar kota juga membawa barang bawaan yang lebih banyak dari bawaannya.

Sepertinya hal itu bisa dimaklumi, karena mereka baru tiba dari luar kota, bahkan ada yang baru tiba dari luar pulau.

Ketika memasuki kampus itu, Virza merasakan ada semangat baru untuk hidupnya. Dia mencari-cari Selly ketika selesai mengurus administrasi pendaftaran. Tapi sudah satu jam dia mencari belum menemukannya juga.

Akhirnya Virza memutuskan untuk melihat gedung yang akan menjadi  tempatnya berkuliah. Sambil berpikir barangkali dia akan menemukan Selly di sana.

Setelah berpuas diri berkeliling-keliling kampus dan berkenalan dengan beberapa orang baru, dia kembali ke tempat registrasi ulang tadi. Dia ingin melihat papan pengumuman yang berisi nama-nama calon mahasiswa baru. Namun karena terlalu banyak, dan dia juga tidak mengetahui nama lengkapnya Selly, jadi Virza menyerah. Virza melihat telepon selulernya, ternyata pesannya juga belum dibalas oleh Selly. Akhirnya Virza menyerah dan memutuskan untuk melanjutkan rencananya.

Rencana selanjutnya adalah mencari tempat kos. Dia berkeliling keliling mengitari lingkungan luar kampus, untuk mencari tempat kos yang murah dan hemat. Hampir 3 jam Virza berkeliling mencari tempat kos. Namun dia belum mau menyerah, meskipun kelelahan dan lapar.

Akhirnya dia menemukan Warung Makan SEDERHANA, yang penuh dengan orang yang berjajar antri di depan pintu masuknya. Virza penasaran lalu menghampirinya. Ternyata disana ada daftar menu yang bisa dilihat oleh Virza. Dari daftar menu, Virza menilai makanan disana harganya murah.

Setelah bersabar menunggu cukup lama, akhirnya tiba waktunya Virza untuk masuk kedalam warung makan tersebut. 

"Dari mana Mas, kok bawa-bawa tas banyak sekali?" Tanya si pemilik Warung Makan SEDERHANA itu.

"Saya mahasiswa baru, Bu. Habis daftar ulang ke kampus Nusantara Merdeka. Saya mau cari tempat kost, Bu," sahut Virza menjelaskan.

Beberapa mata memandang ke arahnya. Virza berharap di antara mereka ada yang memberikan informasi kepadanya.

"Mau cari tempat kos yang seperti apa, Mas?" Tanya wanita setengah baya pemilik warung itu lagi.

Belum sempat Virza menjawab, penjual itu sibuk melayani pembelian ingin membayar.

Kini hanya tinggal Virza sendiri yang berada di warung makan itu dan dia baru saja selesai menghabiskan makan dan minumnya.

Pemilik warung itu mendekati Virza dan duduk di sampingnya.

"Oh ya Mas, namanya siapa?" Tanya pemilik warung itu.

"Nama saya Virza, Bu. Maaf kalau saya lancang, kalau Ibu sendiri namanya siapa?" Tanya Virza dengan sopan kepada wanita pemilik warung makan itu.

"Nama saya Farida, panggil saja saya Ibu Ida," jawab Ibu Ida.

"Mas Virza mau cari kamar yang seperti apa?" Tanya Bu Ida lagi.

"Yang paling murah saja Bu, yang penting dekat dengan kampus supaya tidak ada ongkos lagi," Jawab Virza sambil tertawa pelan.

Ibu Ida memperhatikan Virza dari ujung rambut sampai ujung kakinya, kemudian dia tersenyum.

"Di rumah saya sebenarnya ada satu kamar, tapi kos campuran," kata Ibu Ida.

Virza berpikir sejenak, dia ingat pesan ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya.

'Kalau aku menerima tawaran Bu Ida, suatu saat kalau Ayah dan Ibu akan menjengukku, pasti mereka bisa khawatir,' pikir Virza.

"Mohon maaf Bu, kalau kost khusus putra ada?" Tanya Virza lagi.

"Kalau yang dekat sini ada, tapi bukan kamar mandi dalam," Jawab Bu Ida.

"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting murah," sahut Virza mengulangi lagi sambil tersenyum malu.

Ibu Ida tertawa pelan.

"Biasanya anak-anak cari kosan yang bagus, supaya bisa minta uang lebih sama orang tuanya. Harga kamar sebenarnya lima ratus ribu, tapi mereka suka meminta satu juta kepada orang tua mereka. Alasannya karena fasilitasnya beda," Ibu Ida bercerita pada Virza. Bu Ida bercerita sambil tersenyum-senyum mengenang tingkah para mahasiswa di rumah kosnya. 

Virza hanya tertawa pelan menanggapinya.

"Saya kasihan dengan orang tua saya, Bu. Untuk biaya saya pergi ke sini saja mereka memaksakan diri. Saya berencana untuk kuliah sambil bekerja, agar bisa meringankan beban orang tua saya," jawab Virza malu-malu. Virza takut dianggap sok idealis atau pamer oleh Bu Ida. 

Ternyata Ibu Ida memandang Virza dengan kagum sekaligus prihatin. 

"Baiklah akan saya tunjukkan, di belakang warung makan ini ada dua rumah, coba kamu tanya apa ada kamar kosong yang tersedia. Setahu saya dua rumah itu biaya sewa kamarnya murah-murah. Kalau belum ada yang tersedia, Mas Virza bisa kost di tempat saya dulu sampai dapat kamar disitu," kata Bu Ida lagi dengan ramah.

"Wah terima kasih banyak Bu, atas informasinya. Saya coba kesana dulu, nanti saya kabari Ibu Ida lagi," sahut Virza dengan senang.

Setelah membayar makanan dan minumannya Virza bergegas membawa barang-barangnya ke rumah yang ditunjukkan oleh Ibu Ida.

Sekarang Virza sudah berada di depan dua rumah yang dimaksud oleh Bu Ida. Virza melihat ke arah rumah itu dan membandingkannya. Setelah beberapa saat kemudian, Virza memilih rumah yang lebih baik keadaannya untuk pertama dia datangi.

Virza mencoba mengetuk berkali-kali rumah kos itu namun tidak ada yang menyahut atau membukakan pintu. Virza masih ingin bersabar untuk menunggu, dia berharap akan ada pemilik atau anak kos yang keluar masuk di rumah kos itu. Namun tidak ada yang berlalu lalang selama  menunggu 1 jam, akhirnya Virza merasa putus asa.

Terpaksa dia harus menuju yang kedua. Tempatnya tidak lebih baik dari rumah kos pertama yang dia datangi tadi. Sesaat dia memandangi rumah kos itu. Ternyata ada papan namanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status