Share

Membuat Onar

Sudah tiga bulan berlalu setelah kata talak itu, rasanya sudah habis kesabaranku. 

"Bagaimana, Vi. Apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Bapak. 

"Iya, Pak. Sepertinya Evita sudah yakin untuk mengurus surat perceraian."

"Yasudah, kalau itu keputusanmu, Bapak akan kenalkan kamu dengan seorang pengacara, biar dia saja yang urus semuanya."

"Terimakasih, Pak." Bapak berlalu pergi dengan tatapan yang entahlah. 

Aku tahu Bapak pasti kecewa, tidak ada orang tua yang ingin rumah tangga anaknya gagal, pun, demikian dengan Bapak. 

Tak menunggu lama, esoknya aku berangkat ke Bogor, aku mengganti semua kunci kios, sehingga Kang Andi tidak bisa lagi datang apalagi mengelolanya, kualihkan semuanya kepada orang kepercayaanku. 

______

"Vi, di depan ada Amir," ucap Mamah

"Iya, Mah. Sebentar."

Akhir-akhir ini Amir memang gencar mendekatiku, tetapi hatiku masih saja mengharapkan Kang Andi, aku masih berharap Kang Andi datang dan meminta rujuk, nyatanya setelah kunci kios kuganti ia malah semakin meradang dan menjelek-jelekkanku di sosmed. Dasar laki-laki pengecut. 

Akan kutemui Amir, setelah kurias wajahku, kutatap wajahku di cermin, aku merasa cantik, lalu aku memutar-mutar tubuhku, aku sexy dengan bobot tubuh yang ideal, apa kurangku? Mengapa Kang Andi menceraikanku? 

"Vi, kamu sedang apa? Kasian Amir lama menunggu," ucap Mamah lagi. 

"Iya, Mah." Akupun bergegas sebelum Mamah mengomel. 

Aku keluar menggunakan dress warna hitam, entah apa yang dilihat Amir, aku jadi salah tingkah. 

"Ada apa, Mir, apa ada yang salah?"

"Oh ti- tidak, Vi. Maaf kalau kamu tidak nyaman, tapi sungguh kamu terlihat sangat cantik," pujinya dan aku hanya tersenyum kearahnya. 

"Kita makan di luar saja, ya,Vi. Aku mau ngajak kamu ke cafe milik sahabatku."

"Baiklah, tapi aku tidak bisa pulang terlalu malam, karena kasian Aa, takut tidak bisa tidur karena menungguku."

"Tenang saja, Aa sama Mamah ini, Vi. Kamu pergi saja daripada di rumah murung terus, mending sana cari hiburan," ucap Mamah tiba-tiba. 

Tak lama nampak terdengar suara mobil di garasi. 

"Itu, sepertinya Bapak sudah pulang."

Aku, Amir, juga Mamah, keluar menyambut Bapak, sekalian meminta izin untuk pergi. 

"Wah, ada tamu rupanya," ucap Bapak. 

"Iya, Pak. Maaf Amir mau minta izin untuk ngajak Evita keluar."

Bapak nampak berpikir sejenak lalu menyuruh kami untuk masuk. 

"Mari, masuk terlebih dahulu, ada yang ingin Bapak bicarakan."

Kamipun saling berpandangan, seperti tahu jalan pikiranku Bapak pun berucap. 

"Hai, santai saja, Bapak hanya ingin berbincang sebentar dengan kamu juga Amir."

Akhirnya kami masuk kembali ke dalam rumah. 

"Aa kemana, Vi?" Tanya Bapak. 

"Aa, sudah tidur, Pak. Dengan Bibi."

"Kalian duduk dulu, Bapak mau ganti baju sebentar." Bapak pun berlalu pergi diikuti Mamah dari belakang. 

Aku dan Amir nampak canggung. Tak lama Bapak pun kembali menemui kami. 

"Kalian ini kelihatan tegang banget, seperti baru bertemu saja, bukankah sudah lama kalian berteman?" 

"Evita yang dulu dan sekarang sangat berbeda, Pak," ucap Amir. 

"Loh, apa bedanya?"

"Dulu, Evita sangat ceria juga galak."

"Ih, kamu apa-apaan, Mir."

"Emang sekarang bagaimana?" Tanya Bapak lagi. 

"Hmm, sekarang Evita lebih pendiam, satu hal yang tidak berubah dari dulu sampai sekarang, yaitu … Evita tetap cantik."

"Anak siapa dulu, dong," ucap Mamah kali ini. 

"Tapi sekarang Evita bukan lagi anak-anak, bahkan Evita sudah punya anak."

"Tidak ada yang berubah dengan itu, Vi," ucap Amir. 

"Hmm … jadi begini, Nak Amir, seperti kamu ketahui kalau anak Bapak ini bukan anak gadis lagi, ta-pi …." Bapak nampak menjeda kalimatnya sembari menarik nafas dalam-dalam. 

"Evita memang sudah ditalak oleh suaminya, hanya saja surat keputusan dari pengadilan belum turun, kamu tahu sendiri kalau lingkungan kita begitu dekat dengan para tetangga, Bapak selaku Kades dan Ayahmu selaku Camat sudah barang pasti banyak orang yang kenal, Bapak khawatir kedekatan kalian saat ini akan jadi bahan gunjingan, untuk sementara Bapak tidak izinkan kalian pergi berdua, tunggulah nanti saat Evita sudah memiliki surat cerai, mohon kalian mengerti."

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Kalau saya sudah lancang," ucap Amir. 

"Bapak ini apa-apaan sich, sudah bagus ada yang mau sama Si Evi," ucap Mamah kali ini. 

Entah mengapa aku merasa sangat malu, statusku ini membuat aku tidak percaya diri, mungkin niat Bapak hanya ingin melindungiku dari omongan-omongan para tetangga, tetapi di sisi lain aku merasa menjadi beban dan aib di kekuargaku sendiri. 

"Vi, kamu jangan tersinggung dengan keputusan Bapak, begitupun dengan kamu Mir, sejujurnya Bapak sangat senang ketika kamu main ke sini, terlebih melihat respon Aa," ucap Bapak nampak sedih. 

"Pak, jika diijinkan saya akan menunggu Evita, sampai Evita siap, sebenarnya jauh sebelum Evita menikah saya sudah menyukainya, hanya saja saya tidak punya keberanian untuk mengatakannya, sampai saya sadar, kalau semua sudah terlambat karena tiba-tiba saja Evita mengirimkan surat undangan waktu itu."

Mendengar penuturan Amir tentu saja aku kaget, aku tidak menyangka kalau Amir menyimpan perasaan untukku, sedangkan aku sampai saat ini masih menganggapnya sebagai teman saja, karena di hatiku tetap hanya ada Kang Andi seorang. 

Meski berkas perceraian sedang diurus aku masih menunggu keajaiban tiba, berharap Kang Andi datang dan meminta maaf dan memulai kembali dari awal. Setelah mengetahui perasaan Amir, aku semakin menjaga jarak, entahlah, aku hanya tak ingin menyakiti perasaannya. 

Satu bulan berlalu… 

Aku menatap selembar kertas yang berada di tanganku, tepat hari ini aku resmi menjanda. Rasanya begitu sesak kurasa. 

Esoknya di depan rumah tiba-tiba saja terdengar suara kaca jendela pecah, sepertinya, seseorang sengaja melempar batu, kami sekeluarga kaget, Aa seketika menangis ketakutan, lalu terdengar suara teriakan dari luar. 

"Hai, wanita sialan! Wanita iblis! Wanita matrealistis! Bisa-bisanya kamu membuat aku miskin, membuat aku tak punya apa-apa, puas kamu, hah. Puas!"

"Kurang ajar! Siapa itu?" Tanya Bapak. 

"Hati-hati, Pak," ucap Mamah. 

"Vi, kamu bawa Aa, ke kamar, biar Bapak yang bereskan, sedangkan Mamah, cepat panggil Mang Ujang."

"Heh! Wanita sundel keluar kamu, temui aku, kembalikan anakku, kembalikan hartaku, dasar sialan!" Umpat seseorang dari luar, tak lama terdengar banyak orang ribut. Aku menitipkan Aa pada Bi Inah asisten rumah tangga di rumah Bapak, sedangkan aku mengikuti Bapak kulihat beliau menghubungi Pak RT juga Pak Rw.

"Vi, kamu mau ke mana?"

"Mau keluar, Mah. Sepertinya Evita kenal suara itu."

"Iya, Vi. itu memang mantan suami kamu, Andi. Tapi sebaiknya kamu jangan kesana, kayaknya dia lagi mabok, Vi."

"Benar, apa kata Mamahmu, sebaiknya kamu diam di dalam, biar Bapak dan Pak RT yang bereskan."

"Ta-pi, Pak."

"Untuk kali ini dengarkan apa kata Bapak."

Aku begitu cemas takut kalau terjadi sesuatu, bisa-bisanya Kang Andi datang dalam keadaan mabuk, dahulu sebelum menikah Kang Andi memang punya kebiasaan minum alkohol juga memakai obat terlarang, tetapi setelah menikah tidak pernah sekalipun ia menyentuh barang haram itu lagi, karena ia mau mendengar nasihatku dan berjanji akan berubah, hari ini kenapa dia malah seperti ini, seharusnya dia datang baik-baik. 

"Evita … keluar kamu, ayo ikut pulang denganku, aku masih mencintaimu, aku akan membuatmu bahagia, aku, a-ku… hahhhh!" Teriak Kang Andi. 

"Cepat kalian bawa dia, amankan saja dahulu, di rumah Pak RT Jangan biarkan dia pulang berkendara dalam keadaan seperti ini," ucap Bapak. Alhamdulillah sepertinya Bapak tidak tersulut emosi bahkan masih memikirkan Kang Andi. 

"Ini bukannya menantu, Bapak ya?" Tanya Pak RT. 

"Mantan menantu, anak saya sudah bercerai dengan dia," jawab Bapak

"Lepaskan … lepaskan…."

"Diam kamu! Bikin malu!" Sentak Bapak, sedang Kang Andi masih meronta ketika tangannya berhasil dipegang oleh Pak RT juga salah seorang warga. 

"Cepat bawa, ikat saja dulu tangannya," ujar Bapak, karena tidak mau diam akhirnya Bapak pun menampar Kang Andi, sungguh saat itu aku tak tega, aku hanya memperhatikan dari dalam melalui jendela kaca, rasanya perih hati ini melihat dirinya seperti itu. 

"Evita … maafkan aku sayang, aku mencintaimu, pulang sayang…." lirih Kang Andi sambil menangis. 

"Wah, ada apa ya?"

"Itu bukannya, menantu Pak Kades, kenapa dia teriak-teriak?"

"Iih, menantunya tukang mabok." 

"Padahal ganteng banget, yah."

"Dia bukannya orang Bogor ya, jauh-jauh datang ke sini malah bikin keributan."

 "Benar-benar bikin malu, yah."

Terdengar ucapan warga yang saling bersahutan, Kang Andi pun dibawa karena terlihat lemas. 

Akupun hendak menemui Kang Andi, tapi lagi-lagi  Bapak dan Mamah mencegah, akhirnya aku masuk ke kamar dan memeluk Aa dan menangis sejadi-jadinya. 

'Bisa-bisanya kamu seperti ini kang....' lirihku

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status