"Kita akan tidur di kamar yang terpisah, kan?"
"Sebenarnya ini rumahmu yang mana? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau kau punya rumah sendiri?" "Luas gak rumahnya? Ada berapa kamar?" "Boleh tidak kalau aku ajak teman-teman ke sana?" Maya terus saja menghujani Reza dengan pertanyaan-pertanyaan yang memutar di kepalanya. Ia tidak peduli dengan perasaan laki-laki yang sekarang berada di sampingnya itu apalagi yang ada di pikirannya. Maya hanya ingin, kalau hidupnya tetap baik-baik saja setelah menyandang status sebagai istri seorang Reza Prayuda. Dia tidak ingin dikekang, apalagi sampai harus merubah dirinya. Sudah ada tekad dalam hatinya, kalau dia harus terus membatasi diri dari Reza tanpa memikirkan bagaimana perasaan yang menjadi suaminya itu. "Kalau orang nanya itu dijawab, bukan diam saja," gerutu Maya kesal. Reza masih terus diam, ia sedang berusaha menata hatinya agar ego untuk menahan Maya di sampingnya hilang. Dia tidak mau kalau wanita yang dicintainya ada di sampingnya hanya karena terpaksa. "Za!" Maya berteriak. Kali ini suaranya berhasil membuat Reza menatap ke arahnya. "Apa? Aku sedang menyetir, jangan ngajak ngobrol terus," ucap Reza pelan. Darah Maya langsung mendidih. "Ngobrol? Dari tadi aku hanya ngomong sendiri, kamu itu hanya diam seperti angsa tersambar petir!" Maya berbicara dengan geram. Rasanya dia ingin mencabik-cabik mulut Reza yang sudah bicara seenaknya itu. "Emang kamu tahu bagaimana angsa tersambar petir?" Reza bertanya serius. "Eza," teriak Maya emosi. Mobil pun memasuki halaman rumah yang terlihat sederhana, tapi terhitung besar kalau hanya ditinggali dua orang. Namun, berbeda dengan Mata yang selalu hidup di rumahnya yang seperti istana dan semuanya yang serba ada. Hanya tinggal memberikan perintah, semuanya yang dia inginkan akan langsung ada di depan mata. "Kamu seriusan ini rumahnya? Kok kecil?" Maya menatapnya dari dalam mobil dengan ekspresi kecewa. Reza menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Turun sekarang, lalu kita diskusikan masalah Galang, atau tetap di sini dan sejarah tentang Galang harus kita kubur?" Maya yang mendengar nama Galang disebut langsung turun tanpa banyak bertanya, sementara Reza hanya terpaku melihatnya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Reza memukul stir pelan. Berpura-pura bersikap tidak terjadi apapun di depan Maya adalah satu-satunya cara untuk membuat Maya nyaman berada di sisinya. Namun, apakah bisa bertahan? Rasanya sekarang pun Reza sudah tidak tahan lagi. "Ayo cepat turun! Tadi malah nyuruh aku duluan, sekarang kamu malah bengong!" Maya kembali berteriak. Permohonan Bu Nina tadi terus saja terngiang. "Mama tidak rela jika malah dirimu yang terluka karena Maya, Za. Mama mohon, bantu dia untuk mencintaimu, dan jangan mengantarkannya kepada laki-laki lain. Mama mohon." Awalnya rencana mereka baik-baik saja tanpa harus ada kebohongan, tapi Bu Nina mendengar apa yang mereka bisikan tadi. Jadi, dengan terpaksa, Reza berjanji akan mencobanya. Akan tetapi, Maya langsung berbisik. "Katakan saja. Toh Mama tidak akan tahu kalau kita nanti akan bersandiwara." Maya juga mengatakan kepada mamanya kalau dia akan berusaha untuk mencintai Reza. Laki-laki yang kini telah menjadi suaminya. "Aku haus." Maya langsung melemparkan tubuhnya di sofa yang ukurannya lumayan besar. "Sana ambil air putih di dapur." Reza berkata cuek. "Apa? Enggak mau." ucapnya manja. "Bibi, Mbak, Kakak, tolong ambilkan air!" Maya kembali berteriak sambil memberikan perintah, sama seperti yang selalu dia lakukan di rumah orang tuanya selama ini. Tanpa banyak bicara, Reza langsung pergi ke dapur, dan mengambil segelas air putih. "Nih, minum," titahnya. "Aku mau jus mangga. Enggak mau air putih," protes Maya. "Buat sendiri. Di sini tidak ada yang kerja," tegas Reza. "Apa?" Tubuh Maya langsung lemas ketika mendengar kabar mengejutkan ini. **UNP** "Kapan kita akan mulai tentang pencarian Mas Galang?" Maya langsung menatap Reza sengit. "Janjinya kan setelah sampai. Sekarang sudah sepuluh menit lebih tiga belas detik, tapi masih belum bicara." Maya menggerutu sambil menggertakan gigi. Lagi-lagi tidak ada yang bisa Reza lakukan, karena dia tahu kalau Maya sudah seperti ini, tandanya tidak bisa ditunda lagi. "Simpan dulu barang-barang kamu di kamar," pinta Reza sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing. Belum sampai lima belas menit Maya berada di rumahnya, tapi suaranya sudah membuat telinga sakit. Apalagi, mulai saat ini ia harus terbiasa. Dengan malas, Maya berjalan ke arah kamar yang ditunjuk Reza. "Apa? Mana kamarnya?" Suara teriakan kembali terdengar. Terpaksa, Reza bangkit dari duduknya untuk memberikan penjelasan. "Ini kamarnya, May. Masa iya kamu tidak tahu. Ini tempat tidur, ini meja rias, itu jendela, dan ini lemari pakaian." Reza menjelaskan hal yang tidak perlu, karena Maya juga melihatnya. "Aku tahu! Tapi mana ada kamar sekecil ini? Tidak ada ruangan khusus untuk baju, yang ada hanya lemari kecil ini saja. Kamar mandi di dalam pun kecil, tidak bisa berendam. Apa-apaan kamu ini? Mau buat aku mati muda, ya?" cecarnya membuat Reza kewalahan. "Sudahlah, terserah kalau kamu tidak ingin mencari Galang. Aku juga tidak akan memaksa," lirih Reza. Untuk saat ini senjata yang bisa digunakan hanya nama Galang, maka Maya akan langsung mengikuti. "Kau? Kenapa selalu menggunakan namanya? Ini kamarnya memang gak lengkap tahu," geramnya menatap Reza sengit. "Enggak lengkap gimana? AC ada, TV ada, kamar mandi ada, lemari ada, jendela ada, taman belakang kamar ada, apa lagi yang kurang?" Reza mengabsen semuanya yang ada di kamar itu. "Terserah. Terus kamu tidur di mana?" "Di sini juga, kita kan pasangan suami istri." Reza berbicara serius. "Dari Hongkong!" Maya langsung menutup pintu ruangan yang baru saja menjadi kamar tidurnya itu dengan dibanting. Setelah menyimpan semua barang-barangnya, dia langsung keluar dari kamar. "Ayo kita bahas sekarang." Maya duduk di depan Reza dengan tatapan membunuh. "Pokoknya aku tidak ingin tidur satu ruangan." "Iya." Reza menanggapi dengan singkat dan santai. Dia sudah tahu kalau Maya yang membencinya tidak mungkin mau tidur satu kamar. "Kita juga harus membuat kontrak. Aku tidak ingin kamu mencampuri kehidupan pribadiku dan aku juga berjanji tidak akan pernah mencampuri kehidupan pribadimu," tegas Maya sambil menulis kata-kata yang baru saja diucapkannya di atas selembar kertas HVS yang diselipkan di kantong bajunya. Reza membuka ponselnya setelah merasakan ada getaran. "Tentu. Enggak usah buat kontrak, aku akan melakukannya jika kamu mau." Mata Reza mengerjap ketika melihat sebuah foto yang dikirimkan oleh nomor yang tidak ada namanya. "Aku gak percaya. Aku akan menuliskan semuanya, kamu tinggal tanda tangan saja," desisnya sambil terus fokus pada apa yang sedang ditulisnya. Reza tidak menghiraukan perkataan wanita yang tengah sibuk menulis sambil berbicara itu dia sibuk memperhatikan foto yang diterimanya. "Apa kamu yakin kalau Galang hanya mencintaimu?" tanya Reza membuat Maya menatapnya tajam. "Tentu saja yakin," jawab Maya mantap. Reza langsung menunjukkan gambar yang diterimanya. "Lihatlah, apa begini sikap laki-laki yang kau cintai dan juga mencintaimu?"Maya menatap Reza sinis. "Kalau tidak suka dengan Galang, gak usah cari-cari kesalahannya. Aku tahu ini foto editan, jadi gak usah berusaha untuk membuatku membencinya." "Ini bukan editan, aku baru saja nerima dari nomor yang tidak dikenal." Reza berucap pelan. "Itu tandanya hanya fitnah. Kan kita gak tahu siapa yang mengirimkan pesan. Kamu jangan mudah terhasut, dong. Aku gak suka." tegas Maya. Dia memang seringkali membenci orang-orang yang berusaha menjauhkan dirinya dengan Galang. Reza menatap Maya dengan sayup. Mau bagaimanpun, ia harus menepati janjinya untuk mencari Galang dengan Maya. Tanpa sepengetahuan Maya, Reza mencari media sosial milik Galang. Namun, tidak ada satupun yang ditemukan. Baik itu dari aplikasi biru, tok-tok, dan beberapa aplikasi lainnya. "Ayo kita kunjungi ke rumahnya!" seru Maya bersemangat. Mereka pun menuju ke alamat yang diberikan oleh Maya. "Jangan katakan pada mereka kalau aku adalah istrimu, anggap saja kita orang asing atau hanya teman. P
"Kita akan tidur di kamar yang terpisah, kan?" "Sebenarnya ini rumahmu yang mana? Kenapa aku tidak pernah tahu kalau kau punya rumah sendiri?" "Luas gak rumahnya? Ada berapa kamar?" "Boleh tidak kalau aku ajak teman-teman ke sana?" Maya terus saja menghujani Reza dengan pertanyaan-pertanyaan yang memutar di kepalanya. Ia tidak peduli dengan perasaan laki-laki yang sekarang berada di sampingnya itu apalagi yang ada di pikirannya. Maya hanya ingin, kalau hidupnya tetap baik-baik saja setelah menyandang status sebagai istri seorang Reza Prayuda. Dia tidak ingin dikekang, apalagi sampai harus merubah dirinya. Sudah ada tekad dalam hatinya, kalau dia harus terus membatasi diri dari Reza tanpa memikirkan bagaimana perasaan yang menjadi suaminya itu. "Kalau orang nanya itu dijawab, bukan diam saja," gerutu Maya kesal. Reza masih terus diam, ia sedang berusaha menata hatinya agar ego untuk menahan Maya di sampingnya hilang. Dia tidak mau kalau wanita yang dicintainya ada di sampingn
"Cukup, jangan buat Reza berada di dalam masalah. Bukan dia yang menginginkan menjadi pengganti, tapi Papa yang memintanya, Papa tidak mau menanggung malu atas karena Galang!" jelas Pak Hasan yang sedari tadi mencoba sabar pun sudah tidak bisa ditahan lagi. Emosinya langsung keluar ketika mendengar perkataan putrinya yang menyakitkan. Maya menatap sekilas ke arah papanya dan melepaskan kemeja Reza. "Papa sudah dikasih apa sampai berani mengatakan kebohongan seperti itu? Papa tidak usah membelanya, aku sudah tahu kalau Reza bisa melakukan apapun!" ucapnya penuh penekanan. Pak Fahmi dan istrinya memilih untuk menjauh dari kamar Maya. Mereka merasa tidak enak hati karena Pak Hasan melakukan proses ijab qobul tanpa menunggu Maya sadar lebih dulu. "Maya, sadarlah! Reza tidak memberikan apapun pada Papa. Kami memang yang meminta bahkan memohon padanya untuk menggantikan Galang, Maya!" Lagi, Pak Hasan berusaha untuk menjelaskan. "Papa mohon, lupakan Galang, dan cintai Reza. Dia laki-la
Proses ijab qobul sudah selesai dilaksanakan. Tentu saja karena Pak Hasan memohon kepada Reza agar bisa membantunya keluar dari rasa malu ini. Awalnya Reza menolak, dia tidak ingin melakukan hal besar seperti ini tanpa diketahui Maya. Namun, apa boleh buat, Pak Hasan meminta dengan setengah memaksa agar Reza bersedia. "Terima kasih, Za. Terima kasih kamu sudah membantu Papa keluar dari masalah ini." ucap Pak Hasan sambil menggenggam tangan Reza dengan penuh haru. Pak Fahmi dan Bu Habibah hanya bisa diam sambil beristigfar. Mereka masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, antara percaya dan tidak percaya. Awalnya mereka datang hanya untuk menjadi tamu undangan, begitupun dengan putranya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Reza tiba-tiba menggantikan posisi mempelai pria, tapi mempelai wanitanya tidak tahu. "Terima kasih juga Abi Fahmi, Umi Habibah. Semoga ini jalan yang terbaik!" seru Pak Hasan bahagia. Rasa panik yang tadi tiba-tiba hadir kini sudah berubah menjadi panc
"Jangan tinggalkan kita, Maya, aku mohon!" teriak Reza. Akhir-akhir ini ada yang mengganjal dalam hati Reza dan membuatnya seringkali bermimpi kalau sosok Maya akan menghilang dari hidupnya. Meskipun Reza mencintainya dengan tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balasan, tapi tetap saja ia tidak ingin mimpi itu terjadi di kehidupan nyata. Reza memilih beranjak dari tempat tidur dan duduk di sofa kamar yang menghadap ke taman belakang untuk melihat bunga-bunga yang bermekaran. "Umiii! Abi! Kejutan!" teriak Maya dari luar pintu rumah keluarganya Reza membuat sepasang suami istri terkejut. Maya adalah anak tetangga, sekaligus perempuan yang menjadi teman Reza satu-satunya. Dia memang sering datang ke rumah Reza untuk meminta bantuan ataupun sekadar curhat. "Ada apa, Nak?" Bu Habibah--ibunya Reza langsung mendekat ke arah Maya dan bertanya tentang apa yang menjadi kejutannya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak menjawab. Dia malah duduk di sofa dengan tangan ke belakang. Seperti