Seumur-umur baru kali ini aku ikut belanja bulanan. Biasanya itu tugas Zanna. Jadi tak perlu heran kalau aku gak tau tentang harga bahan pokok atau juga perlengkapan dapur.
"Hon, aku gak paham kita mau beli apa," keluhku.
"Tenang, aku sudah biasa belanja. Bunda melatihku dengan baik." Bram terbahak.
Aku ikut tertawa saat Bram dengan bangga memamerkan catatan belanja yang tersimpan rapi di dokumen ponselnya.
"Kamu tunggu di sini. Aku ambil troli sebentar," pinta Bram.
Aku mengangguk patuh. Setelah mendorong troli, aku mengikuti langkahnya. Ada bahagia yang menyusup dalam dada. Hal kecil seperti ini pun mampu membuatku tersenyum semringah.
"Ada yang pengen kamu beli untuk keperluan sendiri, Babe?" tanya Bram.
Sepertinya sudah separuh dari catatan itu yang berhasil dia masukkan dalam troli dan aku hanya mengekori saja.
"Eh, iya. Aku ke sana sebentar ya, Hon."
Aku mengelilingi supermarket. Mencoba mencari apa
"Kamu berangkat kerja aku anterin?"Ah iya, mobilku masih di rumah Mami. Kemarin aku diantar pakai mobil Zanna."Boleh, Hon. Tapi nanti gak sampai gedung kantor ya. Mencegah gosip." Aku mengecup pipinya.Bram menghela napas. "Demi kamu ini, ya. Aku rela mengikuti semua permainan. Bayarannya harus setimpal.""Gak mau rugi banget ya, kamu Hon!" Aku mendengkus.Gerak cepat Bram meraih pinggangku mendekat dalam pelukannya. "Aku ini pengusaha, Babe. Harus jeli membaca peluang sekecil apa pun.""Stop, Hon, nanti sia-sia aku dandan dari tadi," tolakku.Bram mencekal lenganku, ada kilatan cemburu di wajahnya. "Jangan dandan untuk laki-laki lain. Aku gak suka!"Dia bertingkah aneh lagi. Aku melepaskan diri, mundur beberapa langkah. Susah payah aku berusaha menghirup udara untuk menetralisir rasa yang menyesaki dada. Ah, trauma itu mas
"Al, adakah hal tambahan yang ingin kamu ajukan?" Arkana memandangiku dengan sorot mata memuja.Aku jengah. Hal ini yang selalu aku hindari. Sorot matanya membuatku merasa bersalah pada Zanna."Aku rindu, Al. Sebagai tunangan, boleh aku bertanya ke mana saja kamu belakangan ini, Sayang?"Matilah aku. Nasibku malam nanti ditentukan oleh makan siang ini."Maaf, aku hanya sedang jenuh. Ada brand ambassador yang wanprestasi dan Mami marah. Kamu tau 'kan, aku harus menyelesaikan pekerjaan sebelum pernikahan. Agar bisa bulan madu dengan tenang."Bersama Bram, sambungku dalam hati.Arkana meraih dan menggenggam tanganku. "Kamu mau bulan madu ke mana, Sayang? Kita belum membahasnya, kan?"Sembari tersenyum manis, aku melepaskan tangannya dan menepuk pelan. "Lombok. Satu minggu. Boleh?"Arkana mengangguk cepat. "Anything for my
"Hon, udahan dong, merokoknya. Nanti kita keburu telat ke kantor.""Lebih baik baca apa isi pesan dari tunangan kamu tersayang itu!"Aku terkesiap. Pesan? Arkana?Sepagi ini, moodnya sudah buruk hanya karena pesan dari Arkana?Gegas aku masuk dan mencari keberadaan ponsel. Benar, ada tiga pesan masuk yang sudah terbaca. Saat aku membaca ulang, bulu kuduk meremang. Kenapa mendadak Arkana jadi begini? Kesambet apa dia?Pantas saja Bram berang. Dalam pesan yang telah terbaca itu, Arkana mengirim gambar tiket bulan madu, gambar kamar yang sudah dibooking, juga tiga pasang lingerie seksi. Juga kalimat yang menjurus ke dirty talk. God.Aku mondar-mandir dalam kamar. Bagaimana cara membujuk Bram dan meyakinkannya kalau ini semua bukan gaya Arkana?Keringat dingin mengucur. Sesuatu dari masa lalu mulai membayangi pikiran. Aku menggeleng. Mencoba mera
“Ibu Zeline, ada paket dari Pak Arkana di ruangan,” ucap Vira, resepsionis kantor.Aku menangguk dan bergegas menuju ruangan. Buket bunga yang cantik tergeletak pasrah di atas meja bersama dengan sebuah kotak kado berukuran besar.Aku menghampiri dan membuka isinya. Sesuai dengan tebakanku. Tiket dan lingerie. Kalau sampai Bram mengetahui hal ini, habislah sudah aku. Lebih baik paket ini tidak kubawa pulang ke rumah Mami saja, untuk Zanna.Bram tidak mungkin datang ke kantor, lagipula dia pasti sibuk untuk keberangkatannya besok. Jadi sementara paket ini aman. Aku memindahkan kotak kado itu ke lemari berkas yang ada di sudut ruangan.Sebuah pesan masuk ke ponsel. Ternyata dari brand ambassador. Uang penalty sudah ditransfer ke rekening perusahaan. Aku berdecak kagum. Hebat juga, lelaki yang kemarin menidurinya berani mengeluarkan uang sebanyak ini.Setelah berbasa-basi mengucapkan
"Aku pulang ya, Nya. Aku mau nungguin Bram di rumah. Mau nyiapin semua perlengkapan dia untuk ke Bali.""Iya. Hati-hati di jalan, Sissy. Besok nginap di sini?" tanya Zanna."Liat besok. Kalo Bram ngasi izin. Aku masih harus gelar konferensi pers tentang brand ambassador. Harusnya sebelum hari Jumat, masalah ini udah kelar.""Udah beli tiket untuk Jumat sore?""Harusnya sekretaris Bram udah nyiapin, sih.""Apa kamu yakin melepas Bram pergi bersama sekretaris itu?""Mereka perginya gak berdua doang, kok. Ada beberapa tim lagi dari kantor. Cuma senin nanti memang kami pulangnya barengan.""Take care, Sissy. Kabari aku kalau butuh bantuan."Sebenarnya ingin tertawa mendengarnya. Biasanya juga aku yang selalu ada untuk Zanna. Hanya tidak ingin melukai hati kembaran tersayang itu.Aku mengelus permukaan mobil hadia
"Maaf, Bu, ditunggu Pak Arkana di dalam."Langkahku spontan terhenti. Baru saja melepas Bram pergi, hati masih disiksa rindu, kenapa harus memasang topeng dengan hadirnya lelaki yang tak diinginkan?"Ok, Vira. Apa acara konferensi pers sudah kamu cek ulang semua persiapannya?""Sudah, Bu. Jam dua siang di ruangan meeting kita.""Good. Makasih."Aku lupa memberi pesan kepada Vira, resepsionis sekaligus sekretaris pribadi, untuk melarang Arkana langsung masuk ke ruangan.Rasanya high heels yang kupakai mendadak seperti terbenam dalam lantai. Berat sekali melangkah masuk ke ruangan milikku sendiri. Aku mematung di depan pintu.Mendadak justru pintu itu terbuka dan menampilkan wajah Arkana yang sama terkejutnya denganku."Sayang, aku baru mau nungguin kamu di parkiran," sapa Arkana lemb
Konferensi pers berjalan lancar. Brand ambassador pengganti juga sudah memperkenalkan diri. Namanya Olivia Lareisya, gadis keturunan Batak Sunda. Perpaduan kecantikan dua suku itu berbaur sempurna di wajah dan tubuhnya."Senang berbisnis dengan Anda, Miss," ucap Olivia sopan."Kami merasa beruntung menemukan kamu, Oliv. But, promise me, jangan kebablasan dengan laki-laki, oke?" pintaku sungguh-sungguh."Siap, Miss. Saya masih ingin mengejar karir. Mimpi saya baru saja dimulai. Cinta itu nomor sekianlah," pungkas Olivia."Good girl. Ah, sepertinya aku menaruh harapan besar pada kamu. Kamu cantik sekali, Oliv. Karir kamu pasti panjang bersama kami." Aku berkata jujur."Terima kasih, Miss. Saya sudah lama kagum pada Miss. Siapa sangka, bisa mengenal Anda lebih dekat."Aku tersenyum hangat. Olivia pamit dan berlalu. Rasa lega memenuhi relu
“Pagi, Sayang. Syukurlah aku datang tepat waktu,” sapa Arkana saat aku hendak masuk mobil.“Hai, sepagi ini mampir. Ada yang penting?” tanyaku ramah.“Laporan yang kamu butuh, sudah aku email balik, ya. Jadi, hari ini kamu punya banyak waktu luang, kan?” Arkana bertanya balik.“Oh ya? Serius sudah selesai? Keren banget sih kamu. Makasih banyak ya, Kan.”“Hari ini ikut aku, yuk? Aku pengen beliin apa aja yang kamu suka. Seharian ini kita belanja untuk keperluan isi rumah. Mau?” Arkana memamerkan senyum semringah.“Gimana ya, Kan, aku masih ada urusan di kantor, sih,” elakku.“Please, Sayang. Rumah itu hadiah aku untuk kamu. Aku mau isinya ya kamu yang milih,” pinta Arkana dengan mimik wajah lucu.Ah, boleh juga. Anggap saja aku membantu Zanna memilih semua hal yang ia suka.Satu hal yang baru aku tahu, ternyata Arkana ini bisa berubah menjadi sangat banyak bicara. Padahal menurut Zanna, lelaki ini tergolong p