Siang itu, langit mendung. Udara terasa lembab dan berat, seolah ikut menyesakkan dada Haris yang duduk diam di dalam mobil, di kursi kemudi. Dinda duduk di sebelahnya, tangan di pangkuan, menatap ke depan. Tak ada yang bicara selama perjalanan.Akhirnya, Haris menarik napas panjang. “Dinda…”Dinda menoleh pelan. Ia sudah menunggu kalimat itu sejak tadi.“Aku harus jujur,” kata Haris, masih menatap ke depan. Suaranya pelan, berat. “Tentang aku. Tentang Esti.”Dinda diam. Tak mencoba memotong. Ia tahu, ini waktunya Haris bicara.“Aku pikir aku sudah bisa jalan terus. Bersamamu. Mencoba menyusun hidup dari nol, dan kamu orang yang sangat baik, Din. Kamu selalu ada. Kamu ngertiin aku. Dan aku bersyukur pernah kenal kamu.”Dinda tetap menunduk. Matanya mulai basah.“Tapi waktu aku lihat Esti pingsan, saat aku gendong dia…” Haris menahan napas, suaranya bergetar. “…aku tahu, aku belum selesai. Aku belum selesai dengan dia. Perasaanku masih ada. Bahkan lebih dari yang aku kira.”Kini Dinda
Matahari sore menyusup lembut melalui jendela kamar rumah sakit. Suasana tenang, hanya suara detak jam dinding dan sesekali deru kendaraan di kejauhan yang terdengar. Haris duduk di sisi ranjang, membetulkan letak selimut Esti. Tangannya terhenti saat Esti tiba-tiba berkata lirih.“Mas…”Haris menoleh. “Ya?”Esti menatap lurus ke arahnya. Tatapan itu tak seperti sebelumnya, tak lagi tajam atau menyimpan luka. Ada ketenangan di dalamnya, juga rasa ingin tahu yang tulus.“Boleh aku tanya sesuatu?”“Tentu.”Esti menarik napas. “Seperti apa hubungan Mas dengan Dinda? Kayaknya Mei dan Ais sudah akrab dengannya?”Haris menghela nafas panjang.Esti tidak langsung bereaksi, ia menatap langit-langit kamar sejenak, lalu kembali bicara. “Aku bukan mau menghakimi. Aku cuma pengin tahu, Mas. Sebenarnya siapa dia? Maksudku seberapa dekat hubungan kalian?”Haris menghela napas lagi. Ia tidak langsung menjawab. Ditatapnya mata Esti dengan penuh rasa bersalah, tapi juga kejujuran.“Dinda teman kerja.
Suasana kamar rumah sakit malam itu terasa tenang. Lampu redup menyisakan cahaya hangat kekuningan. Di luar jendela, langit tampak mendung, tapi tak turun hujan. Angin lembut sesekali menyusup lewat celah ventilasi, membawa aroma khas rumah sakit yang menenangkan.Mei dan Ais sudah pulang lebih awal bersama Dewi dan Bu Siti. Tadi Dewi dan Bu Siti menjenguk di rumah sakit. Esti sempat merasa sedikit berat melepas anak-anak malam ini, tapi ia lega karena mereka tidur di rumah dengan nyaman dan ditemani keluarga.Kini, hanya Haris yang duduk di sisi ranjangnya. Lengannya terlipat, matanya fokus pada layar ponsel, tapi begitu Esti bergerak sedikit, ia langsung sigap menoleh.“Kamu mau apa? Haus?” tanya Haris.Esti menggeleng pelan. “Cuma pegal,” katanya jujur. “Tidur terus bikin badan kaku.”Haris tersenyum. “Kalau kamu mau, aku bantu ubah posisi. Atau kamu mau ke kamar mandi?”Esti tampak ragu. “Aku… iya. Tapi aku belum bisa jalan sendiri.”Haris bangkit tanpa banyak tanya. “Biar aku ban
Cahaya putih dari langit-langit kamar rumah sakit perlahan-lahan masuk ke dalam kesadaran Esti. Kelopak matanya berat, tapi ia berhasil membuka sedikit demi sedikit. Bau antiseptik dan suara mesin monitor denyut jantung membingkai kesadarannya yang baru kembali.Pandangan pertamanya menangkap sosok Haris yang duduk di sisi ranjang. Kepalanya tertunduk, tangan menggenggam jemari Esti. Hangat, teguh, ada guratan lelah di wajahnya, tapi juga kelegaan.“Mas…,” suara Esti lemah, nyaris hanya napas.Haris mendongak cepat. Sorot matanya berubah, seperti seorang pria yang baru saja menemukan kembali sesuatu yang sempat hilang.“Esti… kamu sadar.” Suaranya parau. Ia berdiri, lalu membunyikan bel perawat. Tapi kemudian kembali duduk, tak mau lepas dari sisi ranjang itu.“Jangan bicara dulu. Istirahat, ya.” Ia mengusap pelan kening Esti yang masih sedikit basah oleh sisa keringat.Esti menatap Haris dalam diam. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi tubuhnya masih lemah, dan pikirannya masi
Esti mencoba berdiri dari sofa, ingin mengambil air putih ke dapur. Tapi baru setengah berdiri, pandangannya mulai kabur. Dunia terasa miring. Ruangan seolah berputar.Ia berpegangan pada sandaran sofa, tapi tangan kirinya gemetar. Nafasnya berat. Tubuhnya dingin dan lemas, sementara kepala terasa seperti dihantam dari dalam, berdenyut hebat, menusuk pelipis, menjalar ke tengkuk.“Ya Allah…” bisiknya, pelan.Langkah kakinya goyah. Ia mencoba berjalan ke arah dapur, tapi baru dua langkah, tubuhnya oleng. Ia jatuh terduduk di lantai. Matanya mengerjap cepat, tapi semuanya buram. Dengungan di telinga semakin kencang, membuatnya ingin menangis.Tak ada siapa-siapa di rumah. Anak-anak sekolah. Tidak ada suara lain selain detak jam dinding dan desahan napasnya sendiri yang tersengal.Tangannya meraba-raba lantai, mencari ponsel. Ia tahu ia harus meminta tolong. Tapi jari-jarinya lemas. Ia mencoba menyeret tubuhnya ke arah meja kecil tempat ia tadi meletakkan ponsel.Detik itu, ia merasa beg
Malam itu, rumah terasa lebih hidup setelah Ais dan Mei pulang dari rumah ayahnya. Esti sudah menyiapkan makan malam sederhana, dan seperti biasa, Ais yang paling cerewet di meja makan.“Terus tadi Ayah masak!” kata Ais dengan suara semangat, sambil menyendok nasi.Esti tersedak sedikit, hampir tertawa. “Ayah masak? Serius?”Mei ikut mengangguk sambil nyengir. “Bukan masak sih, nyoba goreng telur aja udah panik. Telurnya patah sebelum nyampe wajan.”Ais menambahkan, “Terus Tante Dinda cuma duduk aja sambil rekam video! Ayah bilang, ‘Jangan ketawa, Din, ini perjuangan laki-laki!’”Esti tidak bisa menahan tawa kecil. Ia membayangkan Haris di dapur, panik dengan spatula, dan seorang perempuan di belakangnya tertawa sambil memegang kamera ponsel. Bayangan itu terasa aneh tapi tidak menyakitkan seperti kemarin.“Ternyata anak-anakku sudah akrab dengan Dinda,” kata Esti dalam hati.Ais kembali bersuara, mulutnya masih penuh, “Tante Dinda baik, Bu. Tapi dia bilang dia nggak akan jadi Ibu bar