“Yudith .. kenalkan ini istri pertama aku. Seperti yang aku bilang sama kamu sebelum menyetujui perjodohan kita dan menikahi kamu. Aku sudah punya kekasih dan memang berniat menikahinya. Tapi orang tua kita sungguh tidak mendengarkan aku, jadi mari kita buat kesepakatan sekarang.” Rajendra memperkenalkan wanita cantik jelita berambut panjang pada istrinya yang baru ia nikahi satu minggu lalu.
Yudith menganggukkan kepalanya kaku, tidak tahu harus memberikan respons seperti apa. Dunianya hancur bahkan sebelum saksi pernikahan ia dan Rajendra menyerukan kata sah. Pernikahan gerbang bencana dan siksaan bagi Yudith Mahira Sutomo sudah di mulai. “Seperti yang aku bilang, aku hanya akan tinggal di rumah baru kita satu minggu sekali. Saat kemungkinan orang tua kita bisa datang karena mereka libur bekerja. Sisanya aku akan tinggal dengan istri aku yang ini.” Rajendra menambahkan dengan tenang. “Sudah? Aku menuruti kata kamu, jadi tolong tepati janji kamu.” Yudith berkata dengan kedua telapak tangan menggenggam erat di bawah meja. “Kita selesaikan malam ini.” Rajendra mengangguk yakin. Yudith menunduk dalam dengan hati terasa begitu sakit, ia sungguh tidak pernah membayangkan jika pernikahan indah penuh kebahagiaan impiannya berwujud bencana karena keputusan orang tuanya. Satu minggu lalu di sebuah restoran privat. “Aku sudah punya kekasih, kenapa kamu enggak menolak saja permintaan perjodohan kita ini, Yudith?” tanya Rajendra penuh penekanan. “Kenapa enggak kamu saja yang menolak permintaan ibu kamu, Mas?” Yudith bertanya balik. “Aku tidak bisa karena ibu aku sakit keras, dan punya jantung lemah. Jika dari pihak kamu yang menolak maka ibu tidak akan memaksa pernikahan ini terjadi. Memangnya kamu mau hidup dengan orang yang mencintai wanita lain? aku bahkan sudah berniat menikahi kekasih aku yang sekarang,” dengus Rajendra. Yudith terdiam, ia bukan tidak mau dijodohkan dengan pilihan papanya sebelum meninggal empat puluh hari lalu. Tapi itu adalah pesan terakhir almarhum papanya yang tidak mungkin tidak ia penuhi walau mungkin setelah ia tahu Rajendra mencintai wanita lain, kehidupannya akan penuh penderitaan. “Itu pesan dari papa aku, Mas. Hanya kamu yang bisa menolak dan mengatakan keberatan sama mama dan ibu kamu.” Yudith menjawab dengan tenang, walau gemuruh dalam dada luar biasa menyesakkan. “Sudah aku bilang aku tidak ingin buat jantung ibu aku drop,” sentak Rajendra kesal. Sudah tiga puluh menit pembicaraan mereka tidak menunjukkan titik temu dan kesepakatan. Yudith putus asa dan Rajendra teramat kesal. “Kenapa sih papa kamu mengotot sekali ingin kita menikah, padahal aku baru saja pulang dari Amerika dan papa kamu tidak mengenal aku secara pribadi.” Rajendra kembali mendengus kencang tidak memedulikan jika Yudith akan tersinggung saat di singgung papanya yang telah tiada. “Karena papa mengenal baik almarhum papa kamu. Papa bilang karena kamu anak om Subkhan maka sudah pasti kamu sebaik papa kamu juga,” terang Yudith. “Papa kamu terlalu naif sumpah, baik dari pada kita terus adu mulut tanpa kepastian, bagaimana jika aku berikan penawaran. Tunggu jangan di potong.” Rajendra menegakkan badan untuk menjelaskan maksud dari ucapannya tersebut. “Apa inti dari mereka menjodohkan kita yang sama-sama anak tunggal? Keturunan, pasti hanya itu bukan tujuannya? Mari buat mudah untuk kita berdua. Aku akan menikahi kamu dan memberikan keturunan untuk mama kamu dan ibu aku. Tapi sebelum kita menikah secara resmi, aku lebih dulu menikahi kekasih aku secara siri. Kita memenuhi keinginan dua belah pihak dan tanpa membuat kita sama-sama durhaka pada orang tua kita. Setelah kamu memberikan keturunan, maka aku akan menceraikan kamu dan untuk melegalkan pernikahan aku dengan kekasih aku. Kita sama-sama melakukan tugas kita sebagai bukti bakti. Kita akan tinggal di rumah baru aku agar apa yang sedang kita mainkan tidak terendus orang tua kita. Bagaimana, Yudith?” Rajendra mengaitkan kedua tangannya di atas meja dengan memandang lurus ke mata Yudith. Yudith terperangah mendengar rencana jahat yang diucapkan calon suami pilihan papanya. sanggupkan Yudith menggadaikan kebahagiaannya demi sebuah wasiat dari almarhum papanya? Lama Yudith terdiam, mempertimbangkan semua yang akan ia hadapi. Namun ia sepertinya tidak akan sanggup, baginya pernikahan bukan ajang uji coba dan permainan menghasilkan anak lalu berpisah dengan mudahnya. “Kalau kamu keberatan, maka silakan kamu bilang sama mama kamu untuk menolak perjodohan ini. Aku justru akan sangat senang tanpa harus berpusing-pusing lagi menyembunyikan kekasih aku itu.” Rajendra kembali bersuara saat Yudith hanya diam membisu. “Apa kamu masih perjaka?” Yudith melayangkan pertanyaan yang tidak diduga oleh lawan bicaranya. “Apa?” seru Rajendra. “Aku tanya apa kamu masih perjaka?” ulang Yudith. Rajendra berdehem sekali sebelum lengannya meninggalkan meja dan melempar pandangan selain pada manik mata wanita tidak bergeming di hadapannya. “Bagaimana kalau aku bilang enggak? kamu tahu aku tinggal di luar dengan pergaulan bebas. Maka sudah batalkan saja pernikahan ini,” dengus Rajendra. “Masih perjaka berarti kalau Mas menjawab seperti itu. Saya akan jawab tawaran gila Mas barusan.” Yudith meneguk air untuk membasahi tenggorokannya yang kering dan perih. “Kamu tidak bisa menyimpulkan aku masih perjaka atau tidak hanya dari ucapan aku tadi. Bisa saja kesimpulan kamu salah,” seringai Rajendra. “Jujurlah untuk kali ini, Mas,” pinta Yudith. “Tidak, aku sudah sering berhubungan dengan lawan jenis selama bekerja di Amerika,” dengus Rajendra. Yudith kembali mengepalkan kedua tangannya di bawah meja tanpa sepenglihatan laki-laki yang mengenakan jaket kulit berwarna coklat tersebut. “Apa memangnya keputusan kamu itu? kita bicara sudah selama ini dan kamu masih bertele-tele seperti ini,” desak Rajendra. “Aku akan menyetujui perjanjian kamu akan menceraikan aku usai aku melahirkan tapi dengan satu syarat. Aku hanya minta satu saja syarat dari kamu, Mas. Sekalipun kamu akan menikah siri terlebih dulu dengan kekasih kamu itu, tolong jangan melakukan hubungan suami istri dulu dengannya sebelum kamu menikahi aku dan melakukannya dengan aku. Setelah kamu melakukannya dengan kekasih kamu, maka jangan lagi sentuh aku sampai waktu perceraian kita.” Yudith dengan gagah berani memberikan syarat yang jauh lebih gila dari apa yang dilontarkan calo suaminya. Rajendra melepas tawa meremehkannya, tidak memedulikan raut tersinggung dari wanita di depannya. “Kamu ingin jadi yang istimewa rupanya,” sindir Rajendra telak. “Bukan, tapi aku tidak mau berbagi tubuh suami aku dengan wanita lain sekalipun wanita itu adalah istri lain kamu nanti. Aku hanya minta kamu berjanji akan hal itu, setelah aku hamil, terserah kamu mau bagaimana.” Yudith balik menantang garang tatap menusuk Rajendra padanya. “Ok satu bulan, jika dalam satu bulan kamu tidak hamil juga. Maka itu masalah kamu,” pungkas Rajendra.“Tadi tamu terakhir kan?” tanya Rajendra. “Iya, Mas,” jawab Yudith. “Akhirnya, astaga tiga hari setelah resepsi dan tamu masih banyak. Keluarga kamu besar sekali ya? atau kamu mengundang satu kampung. Sudahlah capek resepsi dua hari, belum bisa istirahat juga sampai lima hari,” gerundel Rajendra. “Keluarga mama papa memang banyak, dan aku anak satu-satunya sudah pasti semua diundang. Kamu istirahatlah, biar sisanya aku yang temui.” Yudith menghela nafas akan keluhan suaminya selama hampir lima hari terakhir ia dengar. “Aku mau tidur sampai malam, jangan bangunkan ya. Kamu buatlah alasan kalau mama kamu dan keluarga yang masih di sini tanya,” pesan Rajendra. “Iya Mas,” jawab Yudith. Yudith menutup pintu kamarnya yang untuk sementara mereka gunakan sebelum menempati rumah baru pemberian dari suami karena tidak ingin pernikahan rumit mereka terendus oleh mama Yudith. Tamu keluar
“Ada tamu? Siapa? saya enggak ada janji.” Yudith mengerutkan kening saat asistennya mengatakan ada tamu di lobi bawah kantornya dan mencari dirinya. “Ibu Clara Amelia katanya, Bu,” jawab sang asisten. Yudith melebarkan mata mendengar sebuah nama yang haram hukumnya ia sebut, mendatangi kantornya. Apakah wanita itu sudah gila sampai berani sekali menemuinya. Apakah Rajendra tahu jika Clara berada di kantornya. Terlalu banyak pertanyaan dalam benak Yudith namun apa pun alasan kedatangan istri pertama suaminya tersebut, ia harus segera menyeret keluar agar tidak ada satu pun mencurigai. “Ikut saya ke luar.” Yudith berbisik saat berhadapan dengan wanita cantik jelita dengan heels tinggi menjulang. Clara hari itu mengenakan celana pensil membungkus kaki jenjangnya, beserta blus berkerah pendek tanpa lengan. Rambut hitam legam panjangnya tergerai indah sampai punggung. Melangkah anggun di belakang Yudith dengan pa
“Sehat Sayang? aduh ini kantung mata.” Mama Yudith memberikan pelukan dan ciuman pada sang putri saat kedatangannya di rumah. “Melembur terus, Ma. Padahal aku sudah berkali-kali bilang jangan lembur tiap malam, bandel dia.” Rajendra melayangkan canda dengan mengacak kepala Yudit penuh senyuman. “Oh ya ... kan Mama sudah bilang, limpahkan sebagian pekerjaan kamu sama Galuh, Sayang. Dengarkan nasehat suami kamu dong, Nak.” Mama mencubit lembut hidung Yudith sebelum memberikan pelukan hangat pada menantunya dan di balas sama eratnya oleh Rajendra. “Iya Ma, nanti aku pikirkan untuk bagi tugas sama Bang Galuh. Mama sehat?” Yudith berjalan beriringan dengan mamanya masuk ke dalam rumah dengan Rajendra di belakang mereka. “Sehat, Mama sehat Sayang. Kalian datang ,Mama sudah siapkan masakan kesukaan kalian, Rajendra kata ibu suka semur daging kan?” Mama Yudith menoleh ke belakang di mana menantu kesayangannya berada
“Di bunuh? Apa maksud kamu?” Yudith syok sekali mendengar Clara yang menerobos masuk begitu ia membuka pintu dan menutupnya dengan sekujur tubuh gemetaran. “Rajendra tidak ingin aku hamil sebelum kamu hamil, itu perjanjian kita agar kita dapat melegalkan pernikahan setelah perceraian kalian. Aku sudah suntik tapi enggak tahu kenapa malah hamil.” Clara menjelaskan dengan kecepatan kilat. Yudith menunduk, memijat keningnya yang langsung berdenyut kencang dan urat lehernya kaku semua dalam hitungan detik. Bom yang ia terima terlalu besar dan ia tidak memiliki cadangan rencana untuk menghadapinya agar tidak hancur berkeping-keping. Kini bukan lagi hancur berkeping-keping, ia lebur bersama luka. “Kenapa kamu ke sini? kamu tahu aku membenci kamu kan?” Yudith mengangkat wajah menelisik Clara yang sembab. “Iya aku tahu, aku pun sangat membenci kamu, Yudith. Karena menikahi kamu, Rajendra jadi memberikan perjanjian
“Sudah dua hari kamu di sini, Dek,” desah Galuh. “Kalau kamu enggak berniat pulang, maka setidaknya cerita ada apa? biar bisa aku goreng itu si Rajendra. Kan mau aku samperin dan gebuki juga kalau enggak tahu apa yang dibela jadinya kampret banget. Tell me, hem?” Galuh membelai kepala adik sepupunya yang berbaring miring di kamar tamu dalam apartemennya sejak sudah dua hari lamanya. “Ok aku akan pulang saja kalau Abang keberatan aku di sini.” Yudith melempar bantal gulinh ke sisi lain tempatnya berbaring. “Astaga ya Tuhan ... aku enggak mengusir kamu, Dek.” Galuh menahan lengan Yudith yang hendak berlari ke luar kamar tamu. “Aku akan pulang kalau sudah ingin pulang, Bang. Dan Abang enggak perlu melakukan apa-apa. Sudah diam saja pokoknya,” dumel Yudith. “Bagaimana bisa aku hanya diam melihat adik manis aku menangis terus dan hanya tidur saja di kasur. Panggilan suami kamu enggak kamu angkat
“Kenapa kamu ada di rumah?” Yudith mengerutkan kening saat pulang bekerja dan mendapati ada mobil Rajendra serta pemiliknya berada di rumah. “Ini rumah aku juga kalau kamu lupa,” acuh Rajendra. “Aku tahu ini memang rumah kamu, tapi ini bukan Sabtu sore.” Yudith membuka sepatu dan meletakannya di rak sepatu dan berjalan menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dari Rajendra. “Ya memang, harusnya tidak jadi masalah aku mau berada di rumah ini kapan saja. Aku sedang cuti bekerja untuk mengurusi——“ Rajendra terperangah mendengar sebuah pintu di tutup, Yudith masuk kamar tanpa mendengar ucapannya yang belum selesai. Yudith meletakkan tas dan melepas blazer dan melemparnya ke ranjang sebelum menjatuhkan diri telentang di tengah ranjang rapi berwarna putih. Memandangi langit-langit kamarnya yang polos berwarna coklat muda dengan hela nafas panjang. “Sial, ngapain sih pakai tinggal di sini kalau cuti?
“Kenapa belum pulang? keburu macet parah, Dek?” tanya Galuh saat menyambangi ruangan Yudith sebelum pulang. “Sudah macet kali Bang dari tadi. Nanti dululah mau lempengin punggung,” kekeh Yidith. Punggung kamu kenapa memangnya, bengkok? Atau habis lembur semalam suntuk?” kelakar Galuh. “Tahu saja kamu, Bang.” Yudith sengaja menimpali candaan sepupunya, ia sejujurnya satu minggu ini pulang lebih larut lantaran malas harus bertemu Rajendra di rumah. Sudah satu minggu Rajendra selalu pulang ke rumah selepas bekerja. Setelah masa cuti tiga harinya yang membuat Yudith senewen karena Rajendra berkeliaran di dalam rumah lebih banyak tanpa menggunakan atasan. Lebih sering memakai celana kolor, Yudith sudah pernah menegur untuk memakai setidaknya kaos namun hanya di jawab iya tanpa dilaksanakan. “Aku akan ke rumah sana,” ucap Rajendra pada Yudith yang baru pulang. “Hem,” jawab Yudith.
“Kamu bisa membantah aku lagi nanti saat sudah enggak sakit, bisa? kepala kamu sakit bukan?” Rajendra mengerang pelan saat tangannya berulang kali disentak kala ia memegang bahu istrinya yang sempoyongan turun dari mobil. Yudith tidak menjawab dan terus menangkis tangan Rajendra yang ingin memapahnya. Ia memilih berjalan sendiri menuju kamarnya di balik hela nafas kesal suaminya. Mengunci pintu kamar, Yudith menjatuhkan diri di ranjang. Ia yakin hanya butuh tidur dan akan kembali baik, akan tetapi prediksinya salah besar. Ia bangun setelah tidur panjangnya dengan kepala yang semakin berdenyut-denyut, sakit sekali. Dengan memaksa kaki melangkah keluar, Yudith menuju kotak obat di ruang keluarga. “Kamu yakin tidak ingin periksa? sepertinya tidak membaik.” Rajendra membuntuti Yudith yang berjalan pelan menuju dapur setelah mendapatkan sebutir obat sakit kepala di tangan. “Enggak.” Yudith menjawab, mengisi gelas dengan air puti