Share

Bab 7. Pembelaan Rudi

"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat. 

"Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi. 

"Ran! Rani!" 

Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya.

"Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"

Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi.

"Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi. 

Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya. 

"Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris. 

"Apa maksud kamu? Katakan?!"

"Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tukas Rudi berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya. 

"Ini." 

Rudi memberikan secarik kertas yang hampir lusuh yang karena terlalu sering dibacanya. 

Aris membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Sementara itu Rudi menunggu dengan dada berdebar kencang. Sambil melihat reaksi kakak iparnya, disusunnya kalimat yang pas untuk membela diri. 

Setelah membaca surat itu, Aris mendelik pada Rudi. 

"Tulisannya memang tulisan Rani. Tapi kenapa ada masalah utang? Utang apa ini? Bisa-bisanya kamu berhutang tapi Rani yang kena getahnya?"

"Itu hutang Rani, Mas. Saat aku kesulitan uang, Rani yang memutuskan berhutang dan justru menyalahkan aku dengan menganggap bahwa hutang yang dimilikinya disebabkan oleh kondisi ku yang tidak mampu menafkahinya sehingga dia menganggap kalau hutangnya adalah hutangku," tukas Rudi berbohong.

Aris menggeleng cepat. "Aku tidak percaya. Aku mengenal adikku. Rani adalah tipe orang yang tidak mungkin berhutang jika tidak terpaksa banget. Lagipula kalau dia butuh uang, dia bisa saja bilang padaku daripada berhutang pada bank Emok atau siapalah itu."

Rudi mendelik. 

"Jadi Uda nuduh aku yang berhutang dan mengkambinghitamkan pada Rani, gitu? Asal Mas tahu ya, Rani itu boros. Seluruh gaji yang kuberikan pada Rani selalu habis. Itupun masih hutang pada bank Emok. Dan sekarang dia malah memilih minggat dengan petugas bank Emok agar tidak bayar hutang!"

"Aku tidak percaya kalau Rani minggat dengan pegawai bank Emok. Sekarang dimana kantor atau rumah karyawan banknya? Biar aku yang kesana dan memastikan sendiri kemana Rani pergi jika kamu tidak bernyali!"

Rudi tercengang mendengarkan perkataan Aris. 

"Mana kutahu, Da. Aku kan tidak pernah ada urusan dengan bank Emok atau debt kolektor jenis lain. Jangan tanya aku dong! Lagipula nomor Rani juga jelas-jelas tidak bisa dihubungi. Jadi mana aku tahu dia dimana?!"

Aris berpikir sejenak. "Apa kamu sudah melaporkannya ke polisi? Apa kamu sudah mencoba memaksimalkan cara agar kamu bisa menemukan Rani?! Bilang sama aku, Rud!"

Rudi tampak kesulitan untuk menjawab pertanyaan Aris. 

"Kalau kamu diam saja, sekarang aku yakin, kalau hubungan kamu dengan Rani sedang tidak baik-baik saja. Aku akan mencari Rani dengan tanganku sendiri. Karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak baik padanya. Dan kamu juga tidak mau bertindak tegas dalam pencarian. 

Tapi ingat satu hal, kalau Rani sudah ketemu dan ternyata kamu yang membuatnya minggat, aku sungguh tidak akan memaafkan kamu. Kalau perlu ceraikan Rani. Setelah ayah kami meninggal, aku mati-matian bekerja membantu Ibu agar bisa menyekolahkan Rani. Tapi setelah adikku gede, kamu justru membuatnya nelangsa dan terlunta-lunta? Awas saja kamu!"

Rudi hanya bisa menelan ludah saat melihat kakak lelaki Rani satu-satunya keluar dari rumahnya. 

"Duh, si Rani bikin masalah aja. Benar-benar istri yang nggak berbakti!" gumam Rudi kesal.

**

"Mas Rudi, sendirian saja?" tanya Dewi mendekati Rudi yang sedang menikmati makan siangnya. 

Rudi mendongak dan tampaklah janda bohay itu tersenyum dan duduk di samping Rudi. 

Disentuhkannya ujung sepatunya pada ujung sepatu Rudi. 

Rudi menatap wajah Dewi, lalu tersenyum sekaligus mengernyit. 

"Ada apa, Wi? Ini di kantor lho."

"Emang kenapa kalau di kantor? Aku cuma ingin ngobrol sama kamu, Mas." Dewi semakin berani dan mulai menyentuh lutut Rudi di bawah meja. 

"Kamu jangan seperti ini di sini," tukas Rudi menahan rasa geli. 

"Aku butuh duit, Mas. Anakku sakit," tukas Dewi akhirnya.

Rudi menelan ludah. Ingin menolong tapi dompetnya sedang kosong. 

"Aku enggak bisa membantu," tukas Rudi langsung. 

"Kenapa?" tanya Dewi terlihat kecewa. "Mas kan tidak pernah menolak permintaanku sebelumnya."

"Aku nggak ada duit. Ada masalah keluarga," tukas Rudi akhirnya. 

"Kenapa? Istri kamu tahu tentang kita?" tebak Dewi. 

Rudi menggeleng. "Istriku ilang."

Dewi mendelik. "Lah kok bisa ilang?"

Rudi mengedikkan bahu. "Sudahlah. Aku ingin sendiri, Wi."

Dewipun hanya bisa menghela nafas panjang sebelum meninggalkan meja Rudi. 

"Kamu lemes banget. Kenapa sih?" tanya Toni mendekati Rudi. 

Rudi menatap Toni. "Aku butuh advis. Dan kupikir kamulah orang yang cocok untuk memberikanku saran."

"Oke. Tapi aku beli makan dulu," tukas Toni sambil berjalan ke arah meja berisi menu kantin dan memesan makanan. 

"Tumben makan di kantin? Kemana istri kamu?" tanya Rudi kepo begitu Toni duduk di hadapannya dengan membawa semangkok soto ayam.

"Istriku lagi dapet. Mens. Biasa cewek. Mendadak capek masak, kata istriku tadi pagi."

Rudi melongo. "Emang bisa ya seperti itu? Sepengetahuanku mamaku dulu selalu memasak. Nggak pernah libur kecuali sakit parah. Istriku juga seperti itu. Selalu masak. Yah walaupun cuma bayem dan kelor," tukas Rudi heran. 

Toni tertawa. "Rudi, Rudi! Kamu ini aneh!"

"Anehnya gimana?"

"Kamu itu nikah, niatnya untuk apa? Cari istri? Cari tukang cuci baju, cari tukang masak, atau nyari tukang bersih-bersih rumah?"

"Ya cari istrilah."

"Tapi kenapa istri kamu melakukan semua pekerjaan rumah tangga seperti tak ada ubahnya dengan asisten rumah tangga?"

"Tapi kan istri memang tugasnya ngurusin pekerjaan rumah?" tanya Rudi. 

"Sekarang jawab pertanyaanku, apa tugas seorang suami?"

"Mencari nafkah," sahut Rudi yakin.

"Kurang lengkap. Tugas suami itu memberikan nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir itu termasuk menyediakan sandang, pangan. 

Dan istri hanya tinggal memakai saja. Sehingga mencuci dan menyetrika, sekaligus memasak itu tugas suami."

Rudi mendelik. "Eh, enak saja. Yo aku kecapekanlah. Udah cari uang kok disuruh jadi babu di rumah sendiri. Terus tugas istri apaan kalau suami yang mengerjakan semua tugas rumah tangga?" tanya Rudi tak terima. 

"Belum dicoba kok bilang nggak terima. Aku sebelum kerja masih sempat kok nyapu, istriku masak. Tugas istri itu patuh pada suami dan sebagai madrasah pertama bagi anaknya. 

Sehingga masak, nyapu, dan seluruh pekerjaan rumah tangga itu bukan tanggung jawab istri. Kalaupun istri melakukannya, maka berterima kasihlah dan bantu. Kalau istrimu capek dan jenuh, ya tinggal laundry atau beli masakan di luar, atau sewa pembantu. Yang penting istri kamu patuh, memenuhi kebutuhan biologis kamu, dan bisa sabar mengurus anak-anak."

Rudi hanya menatap Toni dengan wajah kesal. "Ah, aku udah makannya. Nggak jadi minta saran."

Rudi beranjak dari hadapan Toni. "Katanya mau curhat?"

"Nggak jadi. Nanti aku cari aja istriku ke kantor polisi."

Toni tersenyum. "Semoga istri kamu cepat ketemu dan semoga cepat mendapatkan solusi untuk semua masalah kamu. Kadang suami itu perlu instrospeksi saat istri tidak menurut, Rud. Ingat, istri itu tulang rusuk yang bengkok. Kamu harus hati-hati untuk membimbingnya," tukas Toni namun percuma saja karena Rudi sudah pergi menjauh. 

***

"Ck, enak semua kok menjadi tugas suami sih. Aku kan capek! Toni bikin kesal. Rani juga pergi kemana sampai sekarang nggak pulang. Mana bawa BPKB!" gerutu Rudi panjang pendek. 

"Terpaksa deh, hari ini aku harus ke kantor polisi buat bikin laporan orang ilang. Dasar istri merepotkan!" 

Rudi hampir membelokkan motornya ke halaman kantor Polsek, saat matanya menangkap sosok sang istri sedang naik motor keluar dari warung. 

"Astaga! Itu jelas Rani! Akhirnya ketemu juga!"

"Rani!"

"Rani!"

Sosok yang dipanggil menoleh, dan sosok itu terkejut. 

"Rani, tunggu!"

Rudi pun mengejar motor Rani yang mulai berlalu.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status