"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.
"Mana adikku?" tanya Aris langsung masuk ke dalam ruang tamu rumah Rudi.
"Ran! Rani!"
Aris memanggil-manggil adiknya dan beranjak menuju ruang tengah. Rudi segera berlari mengejar kakak iparnya.
"Tunggu, Da. Rani tidak ada di sini!"
Aris menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap ke arah Rudi.
"Kalau Rani tidak ada di sini, kenapa kamu nggak nyari adikku? Kenapa kamu justru membiarkan Rani menghilang? Apa kamu sudah lapor polisi, hah?" tanya Aris sambil mencengkram kerah baju Rudi.
Rudi merinding melihat tangan kanan Aris terkepal ke arahnya. Tapi dikuat-kuatkan hatinya lalu dia menatap ke arah kakak iparnya.
"Uda, seharusnya bukan Uda yang marah. Tapi aku!" tukas Rudi. Matanya menatap tajam ke arah Aris.
"Apa maksud kamu? Katakan?!"
"Uda duduk dulu. Akan kuambilkan kertas berisi pesan terakhir Rani," tukas Rudi berlalu dari ruang tamu menuju kamarnya.
"Ini."
Rudi memberikan secarik kertas yang hampir lusuh yang karena terlalu sering dibacanya.
Aris membuka lipatan kertas itu dan membacanya. Sementara itu Rudi menunggu dengan dada berdebar kencang. Sambil melihat reaksi kakak iparnya, disusunnya kalimat yang pas untuk membela diri.
Setelah membaca surat itu, Aris mendelik pada Rudi.
"Tulisannya memang tulisan Rani. Tapi kenapa ada masalah utang? Utang apa ini? Bisa-bisanya kamu berhutang tapi Rani yang kena getahnya?"
"Itu hutang Rani, Mas. Saat aku kesulitan uang, Rani yang memutuskan berhutang dan justru menyalahkan aku dengan menganggap bahwa hutang yang dimilikinya disebabkan oleh kondisi ku yang tidak mampu menafkahinya sehingga dia menganggap kalau hutangnya adalah hutangku," tukas Rudi berbohong.
Aris menggeleng cepat. "Aku tidak percaya. Aku mengenal adikku. Rani adalah tipe orang yang tidak mungkin berhutang jika tidak terpaksa banget. Lagipula kalau dia butuh uang, dia bisa saja bilang padaku daripada berhutang pada bank Emok atau siapalah itu."
Rudi mendelik.
"Jadi Uda nuduh aku yang berhutang dan mengkambinghitamkan pada Rani, gitu? Asal Mas tahu ya, Rani itu boros. Seluruh gaji yang kuberikan pada Rani selalu habis. Itupun masih hutang pada bank Emok. Dan sekarang dia malah memilih minggat dengan petugas bank Emok agar tidak bayar hutang!"
"Aku tidak percaya kalau Rani minggat dengan pegawai bank Emok. Sekarang dimana kantor atau rumah karyawan banknya? Biar aku yang kesana dan memastikan sendiri kemana Rani pergi jika kamu tidak bernyali!"
Rudi tercengang mendengarkan perkataan Aris.
"Mana kutahu, Da. Aku kan tidak pernah ada urusan dengan bank Emok atau debt kolektor jenis lain. Jangan tanya aku dong! Lagipula nomor Rani juga jelas-jelas tidak bisa dihubungi. Jadi mana aku tahu dia dimana?!"
Aris berpikir sejenak. "Apa kamu sudah melaporkannya ke polisi? Apa kamu sudah mencoba memaksimalkan cara agar kamu bisa menemukan Rani?! Bilang sama aku, Rud!"
Rudi tampak kesulitan untuk menjawab pertanyaan Aris.
"Kalau kamu diam saja, sekarang aku yakin, kalau hubungan kamu dengan Rani sedang tidak baik-baik saja. Aku akan mencari Rani dengan tanganku sendiri. Karena aku takut terjadi hal-hal yang tidak baik padanya. Dan kamu juga tidak mau bertindak tegas dalam pencarian.
Tapi ingat satu hal, kalau Rani sudah ketemu dan ternyata kamu yang membuatnya minggat, aku sungguh tidak akan memaafkan kamu. Kalau perlu ceraikan Rani. Setelah ayah kami meninggal, aku mati-matian bekerja membantu Ibu agar bisa menyekolahkan Rani. Tapi setelah adikku gede, kamu justru membuatnya nelangsa dan terlunta-lunta? Awas saja kamu!"
Rudi hanya bisa menelan ludah saat melihat kakak lelaki Rani satu-satunya keluar dari rumahnya.
"Duh, si Rani bikin masalah aja. Benar-benar istri yang nggak berbakti!" gumam Rudi kesal.
**
"Mas Rudi, sendirian saja?" tanya Dewi mendekati Rudi yang sedang menikmati makan siangnya.
Rudi mendongak dan tampaklah janda bohay itu tersenyum dan duduk di samping Rudi.
Disentuhkannya ujung sepatunya pada ujung sepatu Rudi.
Rudi menatap wajah Dewi, lalu tersenyum sekaligus mengernyit.
"Ada apa, Wi? Ini di kantor lho."
"Emang kenapa kalau di kantor? Aku cuma ingin ngobrol sama kamu, Mas." Dewi semakin berani dan mulai menyentuh lutut Rudi di bawah meja.
"Kamu jangan seperti ini di sini," tukas Rudi menahan rasa geli.
"Aku butuh duit, Mas. Anakku sakit," tukas Dewi akhirnya.
Rudi menelan ludah. Ingin menolong tapi dompetnya sedang kosong.
"Aku enggak bisa membantu," tukas Rudi langsung.
"Kenapa?" tanya Dewi terlihat kecewa. "Mas kan tidak pernah menolak permintaanku sebelumnya."
"Aku nggak ada duit. Ada masalah keluarga," tukas Rudi akhirnya.
"Kenapa? Istri kamu tahu tentang kita?" tebak Dewi.
Rudi menggeleng. "Istriku ilang."
Dewi mendelik. "Lah kok bisa ilang?"
Rudi mengedikkan bahu. "Sudahlah. Aku ingin sendiri, Wi."
Dewipun hanya bisa menghela nafas panjang sebelum meninggalkan meja Rudi.
"Kamu lemes banget. Kenapa sih?" tanya Toni mendekati Rudi.
Rudi menatap Toni. "Aku butuh advis. Dan kupikir kamulah orang yang cocok untuk memberikanku saran."
"Oke. Tapi aku beli makan dulu," tukas Toni sambil berjalan ke arah meja berisi menu kantin dan memesan makanan.
"Tumben makan di kantin? Kemana istri kamu?" tanya Rudi kepo begitu Toni duduk di hadapannya dengan membawa semangkok soto ayam.
"Istriku lagi dapet. Mens. Biasa cewek. Mendadak capek masak, kata istriku tadi pagi."
Rudi melongo. "Emang bisa ya seperti itu? Sepengetahuanku mamaku dulu selalu memasak. Nggak pernah libur kecuali sakit parah. Istriku juga seperti itu. Selalu masak. Yah walaupun cuma bayem dan kelor," tukas Rudi heran.
Toni tertawa. "Rudi, Rudi! Kamu ini aneh!"
"Anehnya gimana?"
"Kamu itu nikah, niatnya untuk apa? Cari istri? Cari tukang cuci baju, cari tukang masak, atau nyari tukang bersih-bersih rumah?"
"Ya cari istrilah."
"Tapi kenapa istri kamu melakukan semua pekerjaan rumah tangga seperti tak ada ubahnya dengan asisten rumah tangga?"
"Tapi kan istri memang tugasnya ngurusin pekerjaan rumah?" tanya Rudi.
"Sekarang jawab pertanyaanku, apa tugas seorang suami?"
"Mencari nafkah," sahut Rudi yakin.
"Kurang lengkap. Tugas suami itu memberikan nafkah lahir dan batin. Nafkah lahir itu termasuk menyediakan sandang, pangan.
Dan istri hanya tinggal memakai saja. Sehingga mencuci dan menyetrika, sekaligus memasak itu tugas suami."
Rudi mendelik. "Eh, enak saja. Yo aku kecapekanlah. Udah cari uang kok disuruh jadi babu di rumah sendiri. Terus tugas istri apaan kalau suami yang mengerjakan semua tugas rumah tangga?" tanya Rudi tak terima.
"Belum dicoba kok bilang nggak terima. Aku sebelum kerja masih sempat kok nyapu, istriku masak. Tugas istri itu patuh pada suami dan sebagai madrasah pertama bagi anaknya.
Sehingga masak, nyapu, dan seluruh pekerjaan rumah tangga itu bukan tanggung jawab istri. Kalaupun istri melakukannya, maka berterima kasihlah dan bantu. Kalau istrimu capek dan jenuh, ya tinggal laundry atau beli masakan di luar, atau sewa pembantu. Yang penting istri kamu patuh, memenuhi kebutuhan biologis kamu, dan bisa sabar mengurus anak-anak."
Rudi hanya menatap Toni dengan wajah kesal. "Ah, aku udah makannya. Nggak jadi minta saran."
Rudi beranjak dari hadapan Toni. "Katanya mau curhat?"
"Nggak jadi. Nanti aku cari aja istriku ke kantor polisi."
Toni tersenyum. "Semoga istri kamu cepat ketemu dan semoga cepat mendapatkan solusi untuk semua masalah kamu. Kadang suami itu perlu instrospeksi saat istri tidak menurut, Rud. Ingat, istri itu tulang rusuk yang bengkok. Kamu harus hati-hati untuk membimbingnya," tukas Toni namun percuma saja karena Rudi sudah pergi menjauh.
***
"Ck, enak semua kok menjadi tugas suami sih. Aku kan capek! Toni bikin kesal. Rani juga pergi kemana sampai sekarang nggak pulang. Mana bawa BPKB!" gerutu Rudi panjang pendek.
"Terpaksa deh, hari ini aku harus ke kantor polisi buat bikin laporan orang ilang. Dasar istri merepotkan!"
Rudi hampir membelokkan motornya ke halaman kantor Polsek, saat matanya menangkap sosok sang istri sedang naik motor keluar dari warung.
"Astaga! Itu jelas Rani! Akhirnya ketemu juga!"
"Rani!"
"Rani!"
Sosok yang dipanggil menoleh, dan sosok itu terkejut.
"Rani, tunggu!"
Rudi pun mengejar motor Rani yang mulai berlalu.
Next?
POV Rani Flash back on."Rani, semua sudah makan. Piringnya jangan lupa dicuci ya?" tukas ibu mertuaku. Aku yang sedang membaca novel online favoritku mau tidak mau harus berhenti dan menoleh pada Mas Rudi.Meskipun pintu kamar tertutup tapi suara mertuaku yang di dekat ruang makan seolah bisa menembus dinding kamar kami. "Mas.""Apa?" Aku memanggil mas Rudi tapi suami ku masih asyik dengan ponselnya."Mas!""Apa sih?" tanya Mas Rudi sambil tetap bermain dengan ponselnya. "Kenapa sih kok aku terus yang disuruh nyuci piring dan nyapu-nyapu? Apa mentang-mentang karena aku paling miskin di sini jadi aku bisa disuruh apa saja?"Mas Rudi meletakkan ponselnya dan menatapku."Sudahlah, jangan lebay. Mamaku berarti kan ibumu juga. Kamu sudah enggak punya ibu dari lama kan? Wajar kan kalau mamaku menyuruh anaknya, yaitu kamu untuk membantunya dalam urusan pekerjaan rumah?" tanya mas Ardi membuatku tercengang. Dia selalu mempunyai alasan untuk memojokkanku atau membenarkan tindakannya dan
Flash back On :Aku mendelik. "Kamu boleh melupakan aku. Tapi kamu pasti tidak akan melupakan sapu tangan ini kan?""Bagaimana ini bisa ada padamu? Bukankah sapu tangan ini kuberikan pada ..,""Widuri. Teman sepermainan kamu saat masih SMP.""Mas Agus, kok bisa kenal Widuri?" tanyaku bingung. Mas Agus tertawa lalu menggembungkan pipinya dan melingkarkan jempol dan telunjuknya ke mata, seakan menjadi sebuah kacamata.Aku mendelik. "Mas Donat? Mas Agus itu mas Donat?" tanyaku kaget. Mas Agus tertawa. "Ya, nama lengkapku Agus Doni Kurniawan."Aku melongo tak henti-hentinya takjub pada metamorfosis mas Agus, dari gemuk menjadi kurus. "Aku rindu padamu, Ran," tukas mas Agus hampir memelukku.Dengan cepat aku menahan dadanya yang hendak menarikku ke dalam pelukannya. "Maaf Mas, kamu sudah punya istri. Aku nggak ingin ada fitnah di sini."Mas Agus terlihat kecewa dan menurunkan tangannya. "Apa kabar Widuri, Mas? Sejak pindah ke ibu kota, kami tidak pernah berkontak lagi.""Widuri sehat
*Terkadang ada sebuah nama yang tertulis di hati, tapi tidak tertulis di buku nikah.***"Apa?! Kamu minta berpisah? Aku enggak mau!""Kenapa?" "Kok tanya kenapa? Karena aku mencintai kamu lah!"Rani tersenyum kecut. "Mencintai? Tapi kamu jelas memanfaatkanku, Mas. Kamu tidak usah mengelak lagi. Aku sudah muak dengan semua yang dianggap wajar olehmu dan keluargamu!"Rudi segera turun dari motornya dan mendekati Rani. Wajahnya tampak memelas."Oke, kalau kamu tidak mau pulang. Kita bicara di sini. Setidaknya pinggirkan dulu motor kamu agar kita tidak menghalangi orang lewat."Beberapa pengguna jalan memperhatikan mereka. Karena jalan yang mereka lalui masih dalam area pasar, mau tidak mau banyak mata yang melihat percekcokan suami istri itu.Rani pun hanya menghela nafas dan akhirnya meminggirkan motornya."Tolong berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku akan membahagiakan kamu dengan cara apapun," tukas Rudi sambil mendekat pada Rani. Perempuan itu menatap
Rudi dan Rani serentak menoleh ke sumber suara. "Mama?!"Mama Rudi menyeringai dan masuk ke dalam rumah. "Kamu benar-benar istri durhaka, Ran!" tunjuk mertuanya.Rani melirik tajam pada mertuanya. "Maaf, Ma. Kalau dulu mungkin Rani akan manut-manut saja. Tapi saat ini Rani tidak akan pasrah begitu saja. Rani akan membenahi apapun yang Rani pikir tidak adil," tukas Rani membuat mertuanya mendelik. "Kamu berani sekali ya sekarang?! Pantas dari dulu Mama sudah tidak sreg dengan kamu. Ternyata kamu memang bukan istri yang baik untuk Agus. Mama benar-benar kecewa dengan kamu, Ran!" sembur Mama. Tangan Rani terkepal. Ingin marah tapi ditahannya sekuat tenaga karena dia sadar bahwa dia berhadapan dengan orang yang lebih tua.Rani menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kesabaran. "Ma, apa Mama pikir Mama saja yang menyesal. Saya juga menyesal.""Apa kamu bilang? Kamu benar-benar istri yang tidak berbakti. Nggak tahu malu! Istri yang tahunya cuma makan dan tidur saja dan nggak perlu
"Len, duduk! Itu bukan salah Rani. Aku hanya ingin kamu hamil. Apa itu salah? Atau begini saja, bagaimana kalau Rani saja yang jadi istriku?" tanya Agus dengan wajah serius. "Mas, kamu jangan suka bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Lagipula, apa katamu, Mas? Kamu mau meninggalkanku demi bersama Rani? Mas Agus sudah nggak waras atau kamu kesurupan?" tanya Leni dengan pandangan mengejek terhadap adik iparnya. "Mas Agus, jangan ngeprank kami dong. Kami tahu kalau mas Agus akhir-akhir ini sering membuat video di YouTube tentang kiat-kiat sukses menjadi pengusaha. Tapi nggak bikin acara tentang prank kan?" ujar Maya seraya tertawa. "Iya nih Gus, kalau kamu memang ingin mengejutkan kami, jangan seperti ini caranya. Kamu kan bisa mengejutkan kami dengan mendadak membelikan rumah, mobil, atau sekalian penthouse tanpa kami tahu. Jangan bikin panik dengan prank kamu deh?!" sahut Mama Rudi sambil menatap wajah menantunya itu. "Mas, kamu pasti ngomong kayak gini karena kamu cuma ingin aku
Sontak wajah mertua Rani memucat. "Aduh mama lupa kalau sekarang waktunya membayar hutang setelah Mama pinjam bank keliling sebanyak 20 juta untuk dikirim ke calon suami kamu, May!" seru Mama Maya. "Apa? Ada-ada saja Mama ini. Bukankah sudah Maya bilang untuk menggadaikan sertifikat rumah ini saja?" tanya Maya kesal. Mamanya mendelik. "Kok kamu nyalahin Mama sih? Kan kamu yang nyuruh Mama nyari uang untuk suami kamu. Lagipula kalau sertifikat rumah apalagi segede gini, bisanya untuk jaminan pinjaman di atas lima puluh juta di bank, May. Jadi ya Mama kemarin terpaksa pinjam ke renternir.""Berapa cicilan perbulannya, Ma?" tanya Maya. "Perbulan Mama lima juta. Mama minta waktu untuk melunasi semuanya dalam waktu 3 bulan.""Astaga! Bunganya banyak amat sih, Ma? Dari dua puluh juta menjadi dua puluh lima juta? Bunganya lima juta sendiri dalam waktu tiga bulan!"Mamanya mendelik mendengar perkataan Maya. "Lalu Mama harus gimana? Mama kan nggak punya tabungan sebanyak 20 juta. Nggak bis
Flash back on.Maya menatap ponselnya dengan berbunga-bunga. Akhirnya pangerannya telah datang. Pangeran yang datang melalui DM dari akun sosial instagramnya yang kemudian berlanjut pada pesan whatsapp. [Terima kasih sudah memberikanku nomor Hp. Salam kenal ya Mbak.]Maya segera mengetikkan pesan balasan. [Sama-sama. Mas Kelvin kerja dimana?][Di pengeboran minyak lepas pantai daerah Kalimantan.]Mata Maya terbelalak. 'Wah, sudah tampan, eh mapan pula.][Wah, keren. Boleh lihat fotonya?]Tak lama kemudian lelaki bernama Kelvin itu mengirimkan video bangunan dengan mesin-mesin yang beroperasi di tengah laut lepas. Maya melongo. Bayangan untuk mendekati Kelvin seketika muncul di pikirannya. [Wah, luar biasa. Kok dalam video itu nggak ada mas Kelvinnya sih? Aku kan penasaran.][Hahaha, iya kapan-kapan aku kirimin video yang ada akunya.] [Ehm, Mas Kelvin, boleh video call nggak?][Jangan sekarang ya May, aku sedang agak sibuk. Sebagai gantinya aku kirimin fotoku saja ya.][Mas bekerj
"Oke. Ini masih provinsi sebelah. Dekat. Aku akan segera kesana malam ini, dan akan kuseret dia sampai di hadapan kamu, May!" tandas Rudi seraya mengepalkan tangannya. Maya hanya menatapnya sendu. "Mas, semua memang salahku. Aku terlalu percaya pada Kelvin.""Sst, bukan kamu yang salah. Tapi penipu itu yang kurang ajar. Kamu jangan sedih. Mas akan mencarinya untukmu."Maya mulai terisak-isak saat dia menceritakan tentang perasaannya yang terasa sakit. "Mas, hatiku sakit banget. Rasanya seperti mau kiamat saja," tukas Maya sesenggukan. "Sst, kamu jangan terlalu sedih. Ini ujian untuk kita. Kita harus bisa melewatinya. Kamu harus fokus pada penyembuhanmu dulu."Maya terdiam. "Kenapa dia begitu tega, Mas? Aku salah apa padanya? Aku kurang apa padanya? Padahal aku sudah tulus sekali padanya.""Kamu nggak salah apa-apa May, yang jahat itu Kelvin. Dia memanfaatkan kepolosan kamu untuk berbohong. Sudahlah, jangan terlalu sedih. Mati satu tumbuh seribu," tukas Leni. Maya terdiam. "Baikla