"Maaf, Pak. Tapi semua perhiasan ini palsu. Imitasi. Tidak ada harganya," tukas pemilik toko emas itu seakan membuat dunia Rudi yang cerah menjadi kelam.
"Apa?"
"Iya Pak, semua perhiasan emas ini imitasi." Pemilik toko emas itu mengulangi jawabannya.
"Tidak mungkin. Pasti Mas nya salah periksa. Ayo periksa lagilah!" Rudi bersikeras untuk memaksa.
Pemilik toko emas itu hanya bisa menghela nafas.
"Saya sudah memeriksanya berulang kali. Dan hasilnya tetap sama. Perhiasan emas ini palsu. Kalau Bapak tidak percaya, silakan bawa perhiasan ini ke toko lain."
Rudi tercengang dan dengan terpaksa dia mengambil perhiasan itu dari penjual emasnya.
Rudi terpekur dalam hati. 'Jadi perhiasan ini palsu? Apa perhiasan ini yang dulu menjadi warisan ibunya Rani?! Kalau benar perhiasan ini adalah bagian dari warisan ibunya Rani, berarti perhiasan Rani selama ini palsu juga.
Tapi kalau perhiasan ini berbeda dengan warisan ibunya Rani, buat apa Rani memiliki perhiasan palsu ini? Apa perhiasan ini untuk mengecohku? Tapi untuk apa Rani melakukan hal itu?" tanya Rudi seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ah, embuhlah. Lebih baik aku pulang dulu saja. Hari Minggu bukannya libur malah pusing sama uang pernikahan Maya," gumam Rudi kesal.
Lelaki itu memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dan begitu sampai di rumah, dia dikejutkan dengan kedatangan Mamanya.
"Rud, sudah pulang dari toko emas, Nak? Mama telepon dari tadi kok tidak nyambung?" tanya Mama Rudi saat Rudi memakirkan motornya.
"Hm, hp Rudi tadi tertinggal di rumah karena diisi daya," sahut Rudi sambil membuka pintu rumahnya.
"Duduk, Ma."
Mamanya mengangguk dan langsung duduk di kursi sofa ruang tamunya.
"Jadi mana duitnya?"
"Aduh Ma, perhiasannya Rani ternyata palsu." Rudi tertunduk lesu.
Mamanya melotot. "Apa? Tidak mungkin!"
"Mungkin saja. Karena Rudi sudah membawanya ke toko emas."
"Jadi gimana dong dengan pernikahan Maya?"
Rudi mengedikkan bahunya. "Rudi nggak tahu, Ma."
"Kamu itu gimana sih Rud? Kamu anak lelaki satu-satunya Mama loh!"
"Lah, gimana dong. Rudi emang nggak ada duit. Minta aja sama mbak Leni, kan suaminya kaya. Atau minta pada calon suami Maya."
"Kan Mama udah bilang, kalau gaji calon suami Maya itu didepositokan selama dia kontrak 3 tahun di migas. Nggak bisa diambil. Bulan depan, seminggu sebelum pernikahan mereka, barulah suami Maya pulang ke darat."
Rudi mengerutkan keningnya. "Kok bisa sih ada orang yang gajinya didepositokan? Seumur-umur Rudi nggak pernah tahu deh kalau ada karyawan yang gajinya bisa didepositokan," tukas Rudi curiga.
Mamanya mendelik. "Itu buktinya ada. Kamu itu kok curiga terus sih. Kamu kan sudah kenalan sama calon adik ipar kamu. Terus sudah pernah video call dan pernah dikirimin video kapal tempat dia kerja kan? Masa kamu masih nuduh dia nipu?" tanya Mamanya.
Rudi hanya menghela nafas. "Ma, Rudi sungguh-sungguh. Selama ini Rudi terlalu sibuk dengan kerjaan dan rumah tangga Rudi sendiri. Jadi Rudi kurang perhatian pada rencana pernikahan Maya. Demi kebaikan, lebih baik rencana pernikahannya ditinjau ulang, Ma."
Mamanya mencubit lengan Rudi keras-keras.
"Aduh, mama ini apaan sih? Aku kan cuma memberikan masukan untuk mama dan Maya agar tidak menyesal. Lagipula kitakan belum pernah bertemu dengan lelaki itu dan keluarga nya secara langsung? Kok bisa setuju dengan acara pernikahan sih?" tanya Rudi lagi.
"Rudi! Cukup ya. Kalau kamu enggak mau membantu pernikahan adikmu, jangan sekali-kali membuat Maya sedih. Kamu kan tahu sendiri Maya cinta banget sama lelaki itu. Kamu juga sudah melihat walaupun hanya dari panggilan video wajah mempelai dan keluarganya.
Kamu jangan membuat Mama ragulah. Banyak kok kisah cinta nyata berawal dari dunia maya. Dan bisa bahagia selamanya. Kamu nggak usah iri nanti kalau Maya mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik daripada modelan di Rani yang modal madul!" seru Mama Rudi marah.
Sekali lagi Rudi menghela nafas panjang dan mengelus dadanya. "Lalu rencana bulan depan itu gimana?"
"Seminggu sebelum acara, Tristan, calonnya akan pulang ke darat. Lalu H-1 mereka akan ke kota inu dan menginap di hotel, karena jarak Jawa barat dan Jawa timur yang jauh. Kemudian Tristan akan langsung melamar Maya dan besoknya mereka langsung melakukan akad nikah serta resepsi."
"Apa keluarga Tristan tidak memberikan atau mentransfer uang sedikitpun untuk keperluan pernikahan Maya?"
Mamanya menggeleng. "Kan uangnya sudah didepositokan. Jadi mereka akan langsung kemari dan memberikan mas kawin 250 juta. Nggak sangka sih kalau Maya bisa ketemu sama karyawan migas yang sebulan gajinya 20 juta. Tapi ...,"
"Tapi apa, Ma?"
"Tapi katanya dalam perjalanan dari kapal ke rumahnya di Jawa barat sana, uangnya nggak bisa cair langsung. Jadi mereka minjem 15 juta untuk persiapan hantaran. Baru deh mereka ganti uangnya sekalian mas kawin 250 juta kalau uangnya sudah cair."
Rudi tertawa sumbang.
"Mau dipikirkan seperti apapun aneh sekali masalah ini. Kalau aku jadi Maya, aku enggak akan mau nikah sama orang yang mencurigakan. Belum-belum kok sudah minjam uang. Lagipula kayaknya nggak ada deh pekerjaan yang gajinya didepositokan. Fix, itu nipu Ma!"
"Hah, sudahlah. Mama bosan dengan alasan kamu. Kalau kamu tidak mau meminjamkan uang ya sudah. Mama akan usaha sendiri," tukas Mama Rudi kesal.
Perempuan berusia 55 tahun itu berlalu dari rumah Rudi dengan rasa tak puas.
"Mas Rudi, mbak Rani nya mana sih? Dari kemarin tidak kelihatan?" tanya salah seorang tetangga mereka.
"Kemarin sih saya didatangi mas Rudi. Eh, coba kalian tebak dia tanya apa pada saya?" tanya Bu Marni.
Rudi memandangi tetangga-tetangganya yang sedang bergosip di warung depan rumahnya dengan kesal.
"Memangnya mas Rudi nanya apa Bu Marni?"
"Masa mas Rudi nanyain kemana mbak Rani. Kan aneh ya?! Masa suami nggak tahu kemana isterinya pergi sih?" tanya Marni semakin memanaskan suasana.
"Wah kalau istri pergi tanpa seijin suaminya, berarti namanya minggat dong?!"
"Makanya mas, kalau punya istri tuh dijaga. Jangan disia-siakan."
"Iya. Seharusnya kamu pulang kerja tepat waktu. Terus hari Minggu jangan ngelayap sendiri. Istrinya juga harus diajak."
"Kalau istrinya nggak ketemu, harusnya lapor polisi dong. Kayaknya malah tenang banget. Atau jangan-jangan mau cari istri lagi nih?"
Rudi yang sebenarnya ingin menyapu halaman rumahnya, meletakkan sapunya kembali.
"Heh, ibu-ibu! Jangan julid deh. Lebih baik ibu-ibu urusin dapurnya sendiri. Jangan nyari aib dan kesalahan orang lain. Nanti kalau rahasia keluarganya terbongkar, bisa malu sendiri!" tukas Rudi ketus seraya membanting pintu pagar rumahnya diiringi sorak sorai tetangganya.
**
"Apa seharusnya aku memang harus lapor ke polisi untuk mencari Rani ya?" gumam Rudi saat dia sedang memasak mie instan.
"Ah, tapi aku pasti malu kalau menunjukkan tentang surat yang diberikan oleh Rani," gumam Rudi galau sambil mengaduk mie yang ada di panci.
"Tapi kalau aku nggak lapor polisi, gimana caranya aku menemukan Rani? Lagipula kan aku harus mencari BPKB yang hilang dan pasti dibawa Rani," tukas Rudi dalam hati.
Mendadak terdengar suara ketok pintu yang agak keras. Rudi segera mematikan kompor nya dan menuju ke ruang tamu.
"Duh, siapa sih yang datang malam-malam? Ganggu orang mau makan aja," gerutu Rudi.
"Iya sebentar. Nggak sabaran amat," tukas lelaki itu lalu dengan cekatan membuka kunci pintu depan rumahnya. Dan seketika itu Rudi tercengang melihat siapa tamu yang datang malam-malam ke rumahnya.
"Uda? Kok nggak memberi kabar dulu kalau mau datang?" tanya Rudi kaget melihat kakak lelaki Rani sedang berdiri di depan rumahnya. Wajahnya tampak tak bersahabat.
Next?
Rani baru saja pulang dari kuliah dan melihat tivi sejenak, tapi tak lama kemudian dia tercengang. Sebuah kebakaran rumah yang dulu sangat dikenalnya terpampang dalam berita itu. Perempuan itu menelan ludah. 'Kebakaran itu berlangsung semalam. Berarti kejadiannya setelah pulang dari pernikahan Mas Agus,' batin Rani. Dan kamera tivi mengekspos wajah tiga bersaudara yang dulu pernah membuat hatinya sangat terluka."Kini aku sudah puas dengan apa yang terjadi pada kalian. Bukankah kehilangan itu sakit rasanya?" tanya Rani dengan tersenyum puas. *Rudi, Leni dan Maya menerima amplop dari beberapa tetangga dan bantuan dari pemerintah daerah dengan perasaan campur aduk. Selama tiga hari ini mereka tinggal di kos sederhana di dekat rumah yang terbakar itu. Mereka berjanji pada pemilik kos untuk membayar tepat waktu dengan uang yang didapat dari bantuan tetangga. Dan beberapa wartawan tivi mencarinya lalu menanyakan penyebab kebakaran di rumahnya. Walaupun sangat sedih, tapi Rudi menc
Rudi, Maya dan Leni terkejut mendengar penuturan Agus. "Mas, mbak Leni itu jauh seribu kali lipat daripada Nilam. Kok mau-maunya sih kamu menikah dengan Nilam. Dia itu mantan sugar baby lho. Anak dalam perutnya itu bukan anakku. Pasti anak haram, Mas. Sadar Mas Agus!" seru Rudi berapi-api. Agus hanya tersenyum. "Betul, kalau Nilam dulu memang sugar baby. Dia mengakui nya dan ingin bertobat. Selama ini dia menjadi lebih baik. Dan aku saksinya. Dia menjadi lebih terhormat. Lalu apa kamu yakin kalau Mbakmu lebih baik dari Nilam? Aku tidak ingin menjelekkan mantan istri. Tapi hatiku merasakan lebih nyaman saat bersama Nilam daripada bersama Leni. Dan yang terakhir, tidak ada yang namanya anak haram. Yang ada hanyalah perbuatan kedua orang tuanya yang haram. Semua anak sejak lahir dalam kondisi suci."Agus tersenyum lalu meletakkan undangan pernikahannya di atas meja tempat jualan milik ketiga bersaudara itu. Leni menatap tajam ke arah Agus. "Jadi kamu hanya bisa pamer seperti ini, Ma
🌹Kamu tahu enggak apa bedanya kamu dan hantu?Kalau hantu datang dan perginya nakutin, kalau kamu datang dan perginya nyakitin. *Pov Rudi Hari Sabtu pagi, dengan berbekal SIM C yang kebetulan kutinggal karena aku hanya membawa SIM B, aku bergegas ke polsek terdekat dan melaporkan tentang kehilanganku. Aku sedikit lega karena sudah mengantongi surat kehilangan dan polisi juga berjanji akan melacaknya. Hanya aku tidak bisa mengurus ke bank langsung, karena menunggu hari Senin dua hari lagi. Lagipula aku lupa nomor rekeningku kalau mau telepon CS. Selama dua hari itu, rasanya hidup segan mati tak mau. Aku benar-benar merasa tercekik dan seolah-olah akan ma ti esok hari. Ponselku yang ikutan hilang tidak bisa digunakan untuk mentransfer saldo ke rekening Maya ataupun mbak Leni.Ibarat kanker, sungguh aku sudah mengidap kanker stadium empat. Serba salah dan serba repot. "Mas, besok sudah hari Senin. Kamu seharusnya mulai mengurus kartu ATM dan buku tabungan kamu." Terdengar suara
🌹 Salah beli baju, bisa menyesal sehari. Salah potong rambut bisa menyesal seminggu. Salah memilih suami, bisa menyesal seumur hidup. **Flash back on. PV Rani"Ini bayaran kamu. Kerja bagus telah membuat Maya dipecat." Aku tersenyum puas pada sepasang suami istri yang terlihat glamor itu. Tak lupa kuulurkan amplop berisi sisa uang pembayaran. Suami istri di depanku melihat isi amplop coklat yang diberikan padaku dengan mata berbinar. "Terimakasih banyak, mbak Rani." Sang istri menerima amplop itu. "Jaga rahasia kita, Bu. Saya tidak mau ada keributan setelah ini.""Jangan khawatir, mbak. Kami profesional kok. Kami memang benar-benar membutuhkan uang ini untuk pengobatan anak kami."Suaminya lalu mengulurkan paper bag yang sedari tadi ada di pangkuannya. "Ini mbak, baju yang mbak belikan untuk kami. Kostum saat makan di restoran kemarin. Saya kembalikan pada Mbak. Saya kira, harganya pasti mahal."Lelaki itu lalu memberikan paper bag yang dipegangnya padaku. Aku mendesah. Kala
🌹 Aku memang manusia biasa. Tapi percayalah, cintaku untukmu itu luar biasa. **Pov Rani. Dering telepon membangunkanku dari tidur. Tanpa melihat nama penelepon, aku menekan layar hijau. "Halo.""Hei, pembunuh! Kamu sudah puas dengan apa yang terjadi?" Bukannya menjawab dengan baik, suara diseberang telepon terdengar nyolot. "Ini siapa sih?" tanyaku masih dengan rasa mengantuk. "Semudah itu kamu melupakan aku? Bagus ya? Lagipula aku juga tidak butuh untuk kamu inget lagi. Karena kamu lah yang membuat kondisi keluarga ku bangkrut dan mama harus kehilangan nyawa."Seketika rasa kantukku menghilang. Ini jelas suara Maya. "Mama mu meningga?" tanyaku. Tak munafik aku merasakan dua macam rasa. Senang dan prihatin dalam waktu yang bersamaan. "Sudah puas kamu membuat apes aku dan keluargaku?"Aku mengerutkan dahi. "Kamu," sahutku dingin. "Sudah puas kamu kalau anakku meninggal karena perbuatan ayah kandungnya sendiri?" "Apa maksud kamu?" tanya Maya. "Kamu jangan play victim."Aku t
🌹Aku mencintaimu seperti salat tarawih. Bukan siapa yang datang di awal, tapi siapa yang bertahan di akhir.**Rani melihat layar ponsel dengan puas. "Apa kamu sudah puas?" tanya Rudi saat melihat ekspresi wajah mantan istrinya. Rani hanya terdiam dan melihat wajah Rudi serta Maya dalam diam. "Jangan lupa, Mbak. Kamu harus menepati janji untuk mencabut laporan ke polisi."Rani tersenyum. "Tentu saja. Jangan khawatir. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sindir Rani. Rudi hanya mendengus kesal. "May, ayo kita pulang saja. Urusan kita sama dia sudah selesai.""Iya, Mas."Rudi dan Maya berdiri lalu tanpa berpamitan, mereka berlalu dari hadapan Rani. Rani menekan nomor telepon Nilam, dan tak lama kemudian langsung tersambung dengan sang empunya. "Halo, Nilam.""Ada apa, Ran?""Aku minta nomor rekening kamu dong.""Untuk apa?" Nada suara Nilam terdengar bingung. "Mas Rudi baru saja kesini dengan Maya. Tapi sekarang mereka sudah pulang.""Hah? Ke kos kamu? Ngapain? Apa