“Dari mana kamu tau?” tanyaku. Sementara Rena malah tersenyum saja. “Roni?” Aku menebak.“Bukan. Aku sering melihat kalian antar jemput anak kalian, kamu dan istrimu. Dia masih cantik ya, walaupun anakmu sudah besar. Salut,”ucapnya.Dia sedang memuji, tapi bagiku terdengar seperti sebuah ejekan. Renatak tau permasalahan kami, itu masalahnya.“Mau, ya? Lagian istrimu pasti setuju.”“Oke,” jawabku cepat, karena tidak ingin Rena terus membahas Shanti.“Kapan aku bisa langsung kerja?”“Sesuka kamu saja kapan mulainya. Setelah kalian pindahan malah lebih baik.”“Oke. Lusa aku mulai kerja.”“Sip. Eh, tapi bukannya kamu harus bicarakan ini dengan istrimu?'“Buat apa? Kan kamu sudah memutuskannya tadi. Penting gitu?”“Kamu tersinggung?”“Enggak sama sekali. Tapi aku memang setuju kok.”“Oke, terima kasih. Sementara bawa saja mobilku. Biar nanti enak datangnya."“Eh, gak usah.”“Gak pa-pa. Aku masih ada mobil yang lain.”Kami mulai memasuki kawasan rumah yang maha luas ini. Memandangnya dengan
“Jadi ... kalian sudah pisah?”Aku menunduk, kali ini sambil menyedot jus jeruk hingga tandas.“Fikri tau?” Rena bertanya lagi.Aku menghela nafas panjang, lalu menggeleng.“Dia pasti bakal syok,” ucap Rena lagi. Dia menyudahi makannyadengan meletakkan sendok, meneguk jusnya lalu mengelap kedua ujung bibir menggunakantisu. Aku memperhatikannya hampir tanpa berkedip. Kebiasaannya saat ini masih samaseperti Rena yang dulu.“Fikri sudah remaja. Dia akan mengerti keadaan bapak danibunya. Walaupun dia akan memberontak. Dan mungkin menyalahkan aku,” ucapku.“Aku turut prihatin,” ucapnya lirih.Aku tidak berani menatapnya saat ini. Aku malu seandainya menyadaridia iba dengan keadaanku.“Biasa saja. Hidup kan memang berproses. Lagi digilir beradadi bawah, ya sabar aja,” balasku pura-pura kuat.“Rohan, Rohan, kamu gak berubah dari dulu. Sok tegar, padahalrapuh.”Sialan. Kenapa tebakan tidak pernah meleset, sih.“Kamu boleh pura-pura tegas, tapi tidak bisa jika di hadapanku.”“Ck, sudahlah, ga
Aku berjongkok di depan kolam renang sambil menikmatisegelas kopi dan menghabiskan sisa-sisa rokok. Sehabis makan siang tadi,aku berpindah tempat ke bagian samping rumah ini. Sekedar mengambil udara.Sejenak menyendiri, tiba-tiba teringat akan diri Shanti. Tak terasa sudah dua Minggu berpisah dengannya. Rasanyarindu juga.Beruntung sekarang punya kesibukan, sehingga hanya saat-saatsendiri begini baru teringat padanya.Di sini, di kediaman pak Baskoro ini aku diterima denganbaik. Dengan para pekerja lainnya juga mulai akrab. Rata-rata mereka malahsungkan padaku, padahal seprofesi, sama-sama sopir. Tukang kebun dan parapembantu juga pada segan.Kata mereka, aku sedikit berbeda dari mereka. “Mas Rohan kansopir merangkap asisten pribadinya non Rena. Ya jelas berbeda dengan kita,”kata pak Mun, si tukang kebun.“Rohan!”Sebuah teriakan mengagetkan aku. Suaranya berasal darilantai atas. Aku memutar kepala dan mendongak, Rena tampak melambai.“Naiklah! Aku butuh bantuanmu!”“Baik, Non.”Aku m
Lewat tengah malam pak Baskoro dan aku ke luar dari sebuah kafe miliknya. Beliau mengajakku bertemu dengan seorang bawahannya, pak Adam, lalu aku pun diberi kesempatan untuk mendengarkan. Mereka membicarakan masalah suatu bisnisyang sedang mereka rancang. Sedikit banyak, aku mulai paham.Hanya itu saja. Aku hanya mendengarkan, setelah itu tidakada yang di bebankan ke padaku. Termasuk laptop yang kubawa pun menganggur. Tak tau rencana pak Baskoro melibatkan aku dalam pertemuan itu. Padahal, bisa saja beliau menyuruhku menunggu di luar.“Kamu perhatikan sikap Adam tadi?” tiba-tiba beliau menanyakan hal yang membuatku bingung, saat dalam perjalanan pulang.Aku tak menjawab, hanya meliriknya melalui kaca.“Bingung?” tanyanya lagi.“Iya, Pak,” akuku.“Kamu bakal tau,” ucapnya.Apa maksudnya? Sama sekali tak tertebak..Suara alarm berdering nyaring membangunkan aku. Semalam,untuk pertama kali mendiami kamar yang sudah dipersiapkan oleh Rena.Jam enam pagi aku bersiap-siap untuk pulang, kar
POV Shanti Kenapa cobaanku sedemikian dahsyatnya. Belum juga membaik hubunganku dengan bang Rohan, dia malah sengaja menjauhiku. Bagaimana caranya untuk menebus dosa-dosaku, kalau dia saja seakan sengaja menjauhi. Bang Roni. Aku langsung teringat padanya. Dia pasti tau tempat tinggal bang Rohan yang baru, karena hanya dialah satu-satunya orang yang dekat dengan keluarga kami di kota ini. Aku bergegas berdiri, lalu menuju ke tempat yang lebih teduh untuk memesan ojek online. Saat aku melintas untuk menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah tangan meraihku. Tak tau dari mana sangkanya, seseorang ini datang kemudian menarikku ke pinggir jalan. “Lepaskan!” ucapku bernada teriakan. Dia tidak menghiraukan. Malah mendekatkan aku pada mobilnya. “Masuk!” perintahnya. “Enggak!” tolakku. “Kamu mau kita menjadi pusat perhatian!” Aku mengitari sekeliling dengan pandangan. Dan benar saja, tingkah kami dilihat oleh beberapa orang. Akhirnya aku masuk ke dalam mobilnya. Dia duduk di belakang stir.
POV ShantiTernyata, kontrakan yang dipilih bang Rohan berdekatan dengan pondok di mana Fikri belajar. Aku menjadi lebih bersemangat, karena dengan begini bisa sering-sering mengunjungi Fikri.Lebih bagus lagi lingkungan di sini juga lebih baik. Mungkin aku bisa belajar ilmu agama di sini. Dan sejauhnya bisa menghindari mas Dirga. Semoga saja dimudahkan.Kontrakan bang Rohan sudah di depan mata. Dan kunci rumah pun sudah kukantongi. Aku mendapatkannya langsung dari pemilik kontrakan. Dengan menunjukkan bukti buku nikah, maka mereka percaya kalau aku istri bang Rohan. Tapi, memang begitu kan?Setelah memasuki rumah itu, aku ingin segera menyiapkan makanan. Tapi sayang, kulkas hanya berisi makanan cepat saji. Berbagai macam makanan kaleng tersimpan di sana. Ada cake dan sisa makanan yang tidak habis.Sebenarnya, bang Rohan bekerja sebagai apa? Kenapa banyak sekali makanan enak dan mahal tersimpan di kulkasnya?Biasanya, dia akan cerewet sekali ketika aku membeli makan mahal seperti ini.
“Serius?” tanyaku tak percaya.“Masa mas Rohan gak tau, sih.”“Ya, aku kan baru tiga Minggu di sini. Mana aku tau.”“Iya juga, sih. Pak Tito itu baru selesai S2 di luar negeri, terus pulang untuk menduduki jabatan penting di kantor ini. Begitu sih,dengar-dengar, tapi baru gosip. Lihat saja sebentar lagi, pasti mereka, anaksama papanya itu sok berkuasa di sini.”“Pak Adam maksudnya?”“Iyalah. Pak Adam sama pak Tito. Dulu sebelum pergi ke luarnegeri, pak Tito kan bekerja di sini lebih dulu. Dia banyak memerintah daripada kerja dengan tangannya sendiri.” Mei berucap setengah berbisik.Lama-lama, obrolan kami sudah di luar batas. Jangan-jangan ada yang mendengar terus melaporkan pada pak Adam. Bisa gawat.“Sudah, ah. Gak ada hubungannya sama saya. Saya ke luar sajakalau begitu.” Aku meninggalkan Mei yang sebenarnya dia sibuk. Tapi,sempat-sempatnya mengobrol hal tak penting seperti tadi.Tak penting? Gak juga sebenarnya. Dengan begitu, aku tidakperlu menebak-nebak diri Tito. Rupanya dia an
Saat keinginan itu seperti air yang mengalir, maka aku hanyabutuh muaranya.Tanganku ikut bergerak, mengikuti pergerakan Shanti yang semakinliar. Nafas mulai memburu di antara jemari ini yang bergerak membuka helai demihelai pakaiannya di bagian atas.Di saat yang sama, aku pun berusaha membalas usapan lembut tanganShanti, hingga terdengar jelas suaranya.“Ahhh ....”Aku menghentikan gerakan tangan. Otakku berhasil merekam kembalidesa—han itu, seperti desa—hannya kala itu.Tiba-tiba telapak tanganku mendorong tubuh Shanti. Menyentak lebih tepatnya.Dia terkejut, bahkan sedikit memekik karena punggungnya terbentur dinding.“Au, Abang ....”Nafasku terengah-engah. Mataku nanar menatapnya.Dia ... terlihat begitu menjijikkan.“Maaf, aku nggak bisa.”Amarahku memuncak seketika. Tapi tak mungkin kulampiaskan padanya. Aku tau, dia bersalah.“Abang, maafkan aku.”“Kenakan pakaianmu!” Perintahku.Aku mundur beberapa langkah, lalu bersandar di dinding lemari. Beberapa saat, sambil melihatnya y