Kutingglkan wanita yang dulu sangat dikagumi kecantikannya, sampai harus berdebat bahkan berkelahi untuk merebutkannya.
Wanita yang kunikahi karena sebuah kesalahan karena masa lalu.
Dulu, dialah wanita tercantik di kampung ini. Putri semata wayang seorang kepala desa, pak Anwar.
Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, Shanti, si gadis remaja sering mencuri-curi pandang padaku.
Aku dan enam orang lainnya sedang menjalankan tugas sebagai mahasiswa KKN yang ditempatkan di kampung ini. Selama dua bulan lamanya, kami berinteraksi dengan sangat dekat dengan keluarga Shanti. Apalagi kami tinggal di rumah itu.
Aku dan Shanti sama-sama di mabuk cinta, sama-sama mengagumi dan sama-sama merasa saling memiliki. Berat rintangan yang harus kulalui untuk bisa menaklukkan hatinya, termasuk harus berebut dan berkelahi dengan dua orang teman lainnya.
Akhirnya, aku menenangkan hati Shanti. Cinta yang memabukkan itu membuat kami lupa daratan, hingga kami melakukan hubungan yang dilarang.
Namun, karena lagi-lagi mata dan hati sudah tertutup oleh nafsu, kami pun tak menghiraukan bahwa dosa itu telah berulang kali kami lakukan.
Sampai pada waktu perpisahan itu terjadi. Aku dan enam mahasiswi lainnya harus pulang untuk melanjutkan studi, aku dan Shanti pun terpisah oleh jarak.
Tak menyangka jika hubungan terlarang yang kami lakukan telah berbenih sebuah janin di rahim Shanti. Pak Anwar pun mencariku ke kota, guna meminta pertanggungjawaban atas diri putrinya.
Tak lagi dapat mengelak, karena janin itu adalah buah cinta aku dan Shanti berdua. Pak Anwar tidak menuntut apapun selain tanggung jawabku.
Pernikahan itu pun berlangsung tanpa kehadiran ayah dan ibuku. Mereka terlalu kecewa untuk menerima pernikahan ini. Alasannya adalah aku tidak mampu memegang amanah yang diberikan mereka.
Aku salah, dan tidak ada niat untuk marah.
Aku memboyong Shanti ke kota untuk tinggal bersamaku. Usia muda dengan ego yang labil membuatku sering uring-uringan. Apalagi jika Shanti membatasi pergerakanku. Aku terbiasa kumpul dengan teman-teman, biasa berdiskusi di acara-acara BEM kampus, bahkan memegang jabatan penting di sana harus diributkan dengan permintaan Shanti yang tak ada habisnya.
Pertengkaran pun sering terjadi, sehingga Shanti pun mengadu ke bapaknya.
Akhirnya, bapak mertua memberikan solusi agar aku fokus menyelesaikan kuliah. Sedangkan Shanti di bawa serta pulang ke kampung.
Setelah menyelesaikan kuliah, aku pun pulang ke anak dan istri. Berdiam di rumah mertua, sebab ayah dan ibuku masih belum menerima Shanti dan Fikri, putra kami.
Hingga beberapa tahun aku hanya bekerja sebagai tukang jaga toko. Untungnya toko milik mertua, tanpa harus bersusah payah mendirikannya.
Ijazahku tak berguna lagi, dan hanya menjadi penghuni lemari. Shanti tak mau jika aku bekerja jauh darinya. Hal itu yang membuatku tidak bisa berkembang.
Akhirnya, dua tahun yang lalu Roni mengajakku mengembangkan usaha taksi online. Berdua dengan Shanti, aku pergi ke kota. Mewujudkan cita-cita kami yang ingin sekali hidup mandiri.
Sampai pada peristiwa di siang itu membuat rasaku menguap. Perselingkuhan Shanti mengubah segala rencana yang kupunya.
*
Aku pulang. Sendirian.
Tak ada siapapun, hanya bayangan Shanti dan aroma tubuhnya yang masih tertinggal di sini.
Aku seperti makhluk bernyawa yang tak lagi mendiami jiwanya.
Mati.
“Rohan!”
Panggilan seseorang membuatku ke luar.
Roni terlihat memarkirkan mobilnya di halaman.
“Kita pergi sekarang. Ada kerjaan baru untukmu.”
Aku masih terbengong-bengong di tempat semula, di depan pintu.
“Buruan! Bawa sekalian KTP dan ijazahmu.”
“Ijazah? Mau ngapain?”
“Mau kerjaan enak, enggak? Mau merubah nasib, nggak? Apa kamu mau cuma jadi gembel seperti ini terus? Nggak malu sudah dilecehkan Shanti segitu rendahnya?"
Bangsat. Kata-kata Roni tajam juga.
****
Dua di antara empat pembegal itu tanpa aba-aba langsung menyerangnya. Terlihat pria itu sedikit kewalahan. Tetapi akhirnya dia bisa membuat dua orang tadi terkapar. Maka, dua orang yang semula membekapku juga turun tangan. Salah satu di antara mereka mengeluarkan sebilah pisau.Mereka menyerang secara membabi buta. Dua orang ini terlihat nekat dan semakin brutal. Hingga naas, pria itu terkenal sayatan pisau. Tidak hanya mengaduh, dia juga setengah terkapar di jalanan.Saat itu, Udin punya kesempatan untuk mengambil balok di pinggir jalan, kemudian memukulkannya pada salah seorang pembegal yang memegang pisau. Melihat itu, mereka langsung lari. Apalagi apa yang mereka inginkan sudah mereka dapatkan.Aku dan Udin buru-buru membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Dia mendapatkan luka yang cukup serius, dua puluh jahitan sepanjang bahu kiri hingga lengan.Aku hanya menunggu di mobil, karena masih syok dengan kejadian yang baru saja kualami.Udin lah yang mengurus pria itu.Saat Udin mem
“Kamu pasti heran kenapa saya menjadikan kamu orang kepercayaan saya?”Pertanyaan yang tidak perlu kujawab. Dia paham ekspresi wajahku seperti apa saja ini. Dan aku hanya bisa mengangguk saja.“Ya, karena kamu punya kemampuan. Ketika beberapa kali melihatmu membantu Renata, saya yakin kamu bisa. Hanya saja, saya butuh faktor pendukung lainnya untuk memutuskan apakah saya memilihmu atau tidak.”Setiap tuturnya, seperti membawa hawa sejuk di hatiku. Aku merasa disanjung. Tapi, aku yakin pak Baskoro memutuskannya bukan karena hanya melihatku pernah membantu putrinya. Dia pasti punya maksud terselubung. Otak politikus, mudah ditebak.“Maaf, saya masih belum mengerti maksud pak Baskoro,” ujarku.“Oke. Terang-terangan saja saya bicaranya. Jadi begini, Rohan.” Pak Baskoro memindahkan tangannya ke atas meja, menatapku dengan tajam, lalu mulai bertutur kembali.“Saya hentikan kamu dari sopir pribadi. Kamu saya angkat menjadi orang kepercayaan saya. Tugas kamu, memegang data penting perusahaan
POV RohanHidup memang dihadapkan pada banyak pilihan. Kehidupan yang dijalani pada dasarnya merupakan hasil dari pilihan-pilihan.Aku sendiri tidak selalu bisa membuat keputusan yang tepat, kendati sudah melakukan banyak pertimbangan. Apapun keputusan akhirnya, pasti membawa ke dalam jurang penyesalan.Betapapun kusadari, bahwa melalui kesalahan dan kegagalan dalam hidup, maka bertambah kedewasaan itu. Jadi, tidak guna terus menyesali pilihan. Mestinya, belajar dari kegagalan dan menjadi lebih bijaksana ke depannya.Itu harapku.Tetapi lagi-lagi, tinggal bijaksana seperti apa dulu yang sudah menjadi keputusan saat ini. Walaupun mungkin, Shanti masih menganggapku tidak adil karena tidak memberinya pilihan. Tapi, yang jelas, luka batinnya tidak begitu dahsyat jika dibandingkan dengan lukaku..Kuantarkan Shanti ke terminal, sekadar menjalankan tugasku yang terakhir. Mungkin setelah ini, kutemui dirinya sebagai sosok yang lain, yaitu sang mantan.Aku mengamati dari kejauhan. Shanti meno
POV ShantiKupandangi foto di atas meja. Seorang anak yang tersenyum sedang bergandengan dengan empat teman lainnya. Pakaian yang dikenakannya membuat sejuk, mengenakan baju koko putih, memakai sarung dan lengkap dengan pecinya. Tampan, sepert bapaknya.Tidak ada foto lain yang tersisa. Bang Rohan hanya membawa foto Fikri seorang ke kontrakan barunya. Sedangkan foto kami bertiga, foto-foto pernikahan dan foto-foto kebersamaan keluarga kecilnya, tidak tampak lagi saat ini.Mungkin bang Rohan sudah menyembunyikannya, atau bahkan mungkin sudah membakarnya.Maafkan aku, bang . Aku merusak bangunan rumah tangga yang sudah susah payah kita bangun berdua. Batinku merintih.Tak dapat lagi kubendung air mata ini.Menyesal, dan sangat sakit menerima kenyataan pahit ini.Berkali-kali kusentuh handphone. Berharap ada sebuah panggilan atau pesan yang tertinggal di sana, tapi tak ada. Harapanku musnah. Bang Rohan enggan menghubungiku, bahkan ketika aku tinggal di rumah kontrakannya.Bang, tak adaka
“Mencintai tidak harus memiliki. Justru dengan tidak memiliki bisa saling mendoakan. Andai kamu bisa ikhlas menerima keputusan Rohan, andai saja kamu menyadari bahwa pucuk permasalahannya ada sama kamu, kamu nggak akan seegois ini.Biarkan dia pergi, menentukan keputusannya. Dia akan bahagia tanpa kamu, dan kamu pun bisa melanjutkan hidupmu tanpa dia. Simple kan?” Aku berusaha menanggapi dengan tenang.Shanti tertunduk. Menarik tangannya yang sedari tadi kuusap dengan lembut. Mungkin ucapanku tidak akan dia dengar. Aku yakin itu. Kesimpulannya, dia menginginkan Rohan, entah bagaimana caranya. Sedangkan aku hanya bisa menjadi pendengar, tanpa bisa memberikan solusi. Dan itu sangat Menyakitkan bagiku.Apa yang dia pikirkan tentang diriku, tentang perasaanku pada suaminya adalah sebuah kekeliruan.Aku mencintai suaminya, dan dia sadar itu. Dengan begitu,dia berharap aku bisa mengalah, lalu membantunya. Mana bisa begitu. Sedangkan Rohan, tidak bisa tertebak di mana sisi hatinya berdiri.
“Shan,” panggilku yang kemudian membuatnya menatapku. Anehnya hanya sesaat saja, lalu dia tertunduk. Bahkan terdengar isakannya.“Kenapa menangis?” tanyaku.Dia menggigit bawah bibirnya, seperti sedang menahan rasa sakit.“Aku sudah kehilangan dia,” jawabnya.Aku menghela nafas. Merasa prihatin. Sebab, aku pun pernah merasakan perasaan yang sama. Sangat mencintai, berharap memiliki, tetapi dihadapkan pada pilihan harus melepas perasaan itu karena tidak mungkin memilikinya.“Aku ikut prihatin. Sabar, ya.”Aku berusaha menguatkan. Terdengarnya lucu, di balik berita yang seharusnya membuatku gembira. Tapi aku tak setega itu.“Aku pikir, kamu akan bisa membantuku, “ ucapnya.“Membantu? Membuatnya kembali padamu?” Aku menebak dengan mudah.“Iya. Kamu kan temannya.”“Kami nggak seakrab yang ada dalam pikiranmu, Shan. Rohan itu tertutup, termasuk permasalahan kalian.”“Tapi setidaknya kamu bisa membujuknya.”Sebuah keinginan yang sulit.Aku menegakkan punggung sebagai respons ketegangan pad