Share

Meninggalkan Kenangan

Mobil melaju dengan kencang. Sepertinya perjalanan kali ini akan cepat sampai tujuan, karena tak ada basa-basi dan perbincangan. Aku dan Shanti sama-sama diam.

Satu jam yang lalu, Shanti tersedu seperti menangisi sebuah kematian. Sejak awal memindahkan pakaiannya ke koper, kemudian meninggalkan rumah yang sudah dua tahun kami tempati, dia berhenti menangis.

Aku bisa apa? Jika pada kenyataannya dialah penyebab kegagalan ini.

Selain hanya diam, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hatiku tidak hanya beku, tapi rasanya sudah mati.

Perjalanan yang biasanya penuh tawa pun, berubah bagai mengendarai sebuah ambulans, sepi, sendu dan hanya berisi tangisan di sepanjang perjalanan.

Maafkan bapak, Fikri, karena bapak tidak bisa menepati janji.

*

Shanti terus tertunduk di depan Bapak. Tak terdengar ucapannya, hanya suara tangis yang berusaha dia tahan terdengar perih. Ibu memeluk putrinya, sambil mengelus punggung yang terguncang itu.

Kulihat Bapak berkali-kali menghela nafas panjang, lalu mengembuskannya tanpa berkata apa-apa.

“Saya ingin sendiri, Pak, untuk menenangkan diri. Shanti juga begitu. Kalau tiba-tiba pisah, rasanya tidak akan sanggup. Biarlah waktu yang memberi jarak dulu. Kalau saya berubah pikiran dan bisa memaafkan Shanti, saya akan menjemputnya.”

Aku pun tak kalah sedih. Mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin melukai bapak dan ibu. Mereka sangat baik, sangat pengertian melebihi orang tuaku sendiri.

Sayangnya, hubungan kami terbatas kelakuan Shanti. Namun begitu, bapak dan ibu tetaplah orang tua terbaik. Hanya aku yang salah. Salah karena tidak mampu membimbing putrinya.

“Bapak nggak bisa ngomong apa-apa. Masalah kalian, ya kalian sendiri yang bisa menyelesaikan. Apalagi dalam hal ini Shantilah yang bersalah. Pesan bapak, segera pulang kalau kangen Shanti. Bapak masih mengharapkan kalian kembali lagi seperti dulu.”

“Baik, Pak. Saya minta maaf, karena harus mengembalikan Shanti sama Bapak. Kalau dalam waktu tiga bulan ini saya nggak pulang, berarti saya sedang menyiapkan proses cerai.”

Terdengar suara tangisan ibu dan Shanti secara bersamaan. Aku gak tega. Baru kali ini melihat keluarga ini begitu bersedih.

“Maaf, Pak, Bu, saya harus pergi sekarang juga.”

Aku bangkit, sejenak menatap Shanti yang terguncang di pelukan ibu. Lalu, beranjak pergi.

“Abang ....”

Tiba-tiba Shanti berlari, kemudian memelukku dari belakang. Punggungku pun menjadi tempatnya bersandar, sampai basah oleh air matanya.

Kubiarkan dia tersedu, memelukku dengan erat, dan mencurahkan kesedihannya saat ini. Mungkin ini akan menjadi yang terakhir, entahlah. Hatiku masih belum bisa memaafkannya.

“Bang Rohan, bawa aku kembali bersamamu. Aku janji, gak akan mengulanginya lagi. Ampuni aku, Bang ....”

“Minta ampunlah dengan bertaubat, Shanti. Maaf, abang bukan manusia berhati malaikat, yang bisa memaafkan kesalahan dan melupakannya. Abang butuh waktu. Kalau abang berubah pikiran, pasti akan menjemputmu.”

“Bang ....”

Suaranya tercekat di tenggorokan. Aku tau, dia ingin mengatakan sesuatu lebih banyak lagi. Sayangnya, hanya bisa sesenggukan sambil menangis.

“Abang pergi untuk Fikri. Dia masih butuh biaya, masa depannya masih panjang.”

Selesai mengucapkan kata-kata itu, aku melepas kaitan tangan yang melingkari perutku.

“Abang ...!”

Shanti berteriak, ia menolak melepaskan aku, tetapi ibu dan bapak memeganginya, sehingga aku pun bisa berjalan keluar dari rumah ini.

“Bang Rohan ... jangan tinggalkan aku ....”

Aku tak menoleh, karena tidak ingin hatiku merasa iba dengan pemandangan di belakang sana.

“Abang ...!”

Suara panggilan itu masih saja terdengar, hingga aku memasuki mobil dan mulai menjauh.

Aku tak ingin berpaling. Sebab, jalanku sudah lurus di depan sana.

Maafkan aku, Shanti. Luka hati ini terlalu parah untuk bisa diobati. Patah ini sudah menjadi berkeping-keping, dan tak mungkin bisa tersambung lagi.

 ****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status