Share

Seratus Tangkai Bunga Kertas

Sabda terdiam cukup lama, pria itu tak bisa berkata-kata dengan ucapan Cinta.

'Pasangan yang tepat?' batin Sabda.

"Bukankah kamu sudah mempunyai kekasih?" tanya pria itu dengan dahi mengernyit.

"Ya," jawab Cinta singkat.

"Lalu, pasangan yang tepat maksudnya gimana, apakah kekasihmu tidak tepat jika bersanding dengan kamu?"

Cinta tertawa pelan seraya menggeleng, tak lama kemudian air mata wanita itu menetes. Sabda terkesiap, bingung karena reaksi Cinta, apakah pertanyaannya salah?

"Nama?" tanya Cinta.

Sabda terdiam cukup lama, tidak paham dengan pertanyaan Cinta. Karena tak mendapat jawaban, Cinta pun mendengkus keras.

"Aku tanya nama kamu siapa?!" pekik wanita itu.

Sabda tertegun mendengarnya, dia menatap Cinta tak percaya. Sabda kira, Cinta sudah mengenalinya, ternyata dia salah duga. Pria itu tersenyum kecut.

"Sabda," jawab pria itu tanpa menoleh ke arah Cinta.

"Oke, jadi begini ya, Sabda. Memang benar yang orang-orang katakan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, sama halnya denganku, aku akui diriku ini tidak sempurna. Masih ingatkan kata-kata ayahku tadi? Aku ini wanita pembangkang, keras kepala, urakan, pokoknya seperti itulah. Tapi ... satu hal yang harus kamu tahu, bahwa mau seburuk apapun aku, aku juga membutuhkan pendamping hidup yang tepat. Yang mau menerimaku apa adanya, yang benar-benar tulus mencintaiku, yang mau menuntunku ke jalan yang lebih baik. Farel, dia memang kekasihku, tapi lihatlah dia, kepribadiannya, kesehariannya, apakah dia bisa membimbingku ke jalan yang benar? Aku rasa tidak. Jika kami dipersatukan, aku tidak tahu akan seperti apa rumah tangga kami. Menjalin hubungan dengannya bukan berarti menandakan keseriusan, hanya saja, aku ingin bersenang-senang menikmati masa mudaku, karena kalau kita sudah menikah, kita tidak bisa lagi menikmati dunia itu," jelas Cinta dengan senyum tipis.

Cinta tersentak, dia sadar karena baru kali ini dia banyak berbicara setelah sekian lamanya dia menjadi wanita pendiam. Cinta menoleh ke arah Sabda, pria itu sedang fokus menyetir, tak ada reaksi apapun yang ditunjukkan oleh pria itu.

"Maaf karena aku banyak bicara, aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Cinta lirih.

"Tidak apa-apa, aku suka mendengarnya, dan juga aku yakin bahwa saat ini hatimu agak membaik karena sudah mengeluarkan unek-unekmu. Cinta, jika kamu butuh teman mengobrol, aku siap menjadi pendengar yang baik," jawab Sabda. Pria itu menatap Cinta sambil tersenyum.

Cinta memutar bola matanya malas.

"Tidak! Aku tidak akan bercerita lagi denganmu, aku yakin setelah ini pasti kamu akan mengadukannya pada ayahku," tukas Cinta.

Sabda menggeleng tegas. "Ayahmu tidak mau mengatur-atur hidupmu, aku hanya ditugaskan untuk menjagamu saja, tidak lebih. Itu murni kemauanku sendiri, percayalah," ucap Sabda untuk meyakinkan Cinta.

Entah kenapa hati Cinta sakit ketika Sabda mengatakan bahwa ayahnya tidak ingin mengatur hidupnya. Cinta merasa sudah dibuang oleh ayahnya, bahkan untuk menjaga dia saja harus melalui orang lain. Apakah Cinta sudah tersingkirkan dari hati Ricko bersama almarhum bundanya? Jika iya, seumur hidup, Cinta tidak akan memaafkan Ricko.

"Terima kasih karena sudah mau mendengarkan celotehanku, aku harap itu adalah terakhir kalinya," ujar wanita itu ketus.

Kini mobil itu sudah sampai di depan rumah makan yang Cinta tuju. Wanita itupun turun dari mobilnya. Tapi, baru saja pintu itu tertutup, Cinta kembali mengetuknya, Sabda pun menurunkan kaca mobil itu.

"Kamu tidak ikut turun?" tanya Cinta.

"Tidak, aku tunggu di sini saja," tolak Sabda.

"Kamu tidak lapar?"

Sabda menggeleng. "Aku sudah makan tadi."

"Bohong," cibir Cinta.

Wanita itu pun berbalik menjauh dari mobil. Namun, tak lama kemudian Cinta kembali mendekati mobil itu, wanita itu tersenyum menyeringai ketika melihat Sabda, membuat pria itu mengerutkan keningnya heran.

"Ada apa lagi, apa ada yang tertinggal?" tanya Sabda.

"Tidak ada," jawab Cinta. Bibir wanita itu masih menampilkan senyum tipis.

"Lalu?"

"Kamu Sabda, kan?"

Meskipun bingung, Sabda tetap menganggukkan kepalanya.

"Aku baru ingat, kamu Sabda temanku yang dulu pernah nangis karena sepatunya pernah aku umpetin, kan?"

Wajah Sabda memerah, pria itu jelas sangat malu karena Cinta ingat dengan kejadian itu. Kejadian yang menurutnya sangat konyol.

'Ya ampun, kenapa dia ingat yang itu sih, kenapa dia nggak ingat ketika aku kasih bunga kertas sebanyak seratus tangkai untuk hadiah ulang tahunnya,' gerutu Sabda dalam hati.

Sabda tak menjawab, pria itu malah mengusap tengkuknya, jelas sekali kalau saat ini Sabda salah tingkah.

"Hahahaha, kamu tidak ingat ya? Ya sudahlah, lagian itu juga masa lalu. Aku pergi dulu ya," pamit Cinta.

Akan tetapi wanita itu tak kunjung pergi, malah semakin menatap Sabda begitu intens.

"Sabda," panggil Cinta.

"Kenapa? Kamu kenapa menatapku seperti itu?" tanya Sabda heran.

"Kamu sekarang berubah, bocah ingusan yang dulu aku kenal sekarang berubah seratus persen. Kamu sekarang tampan, sangat," ucap Cinta sambil tersenyum.

Sabda mengerjapkan matanya berkali-kali, pria itu masih mencerna ucapan Cinta.

"Ma--maksudnya gimana?"

Terlambat, Cinta telah hilang dari pandangannya. Sabda merutuki kebodohannya karena berpikir terlalu lama. Walaupun begitu, senyum Sabda tak pernah lepas dari bibirnya. Tadi Cinta mengatakan jika Sabda tampan. Pria itu pun langsung melirik kaca spion yang berada di atas kepalanya. Sabda senyum-senyum sendiri.

"Kalau dilihat-lihat, aku memang tampan juga, pantas saja Cinta berkata seperti itu," kata Sabda percaya diri.

Sedang asyik menatap wajahnya sendiri, tanpa sengaja mata Sabda melihat Farel berjalan bergandengan tangan dengan Kezia. Mata Sabda melotot ketika melihat mereka berdua berjalan ke arah tempat Cinta berada.

Sabda buru-buru turun dari mobilnya, dia harus segera menemui Cinta sebelum Cinta melihat semuanya. Sabda takut jika perasaan Cinta akan hancur. Sudah cukup dengan perlakuan Ricko, untuk kali ini jangan.

Sabda mengepalkan tangannya ketika melihat Farel dan Kezia saling melempar senyum, tidakkah mereka kasihan pada Cinta karena telah melukai perasaan wanita itu?

"Mereka benar-benar tidak mempunyai hati, bukankah dia kekasih Cinta? Lalu Kezia? Ya ampun, Cinta, kenapa kamu di kelilingi manusia berhati iblis," geram Sabda.

Haruskah Sabda mengatakan hal ini pada Cinta? Jika iya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Cinta. Tapi, kalau dia tak mengatakannya, Cinta akan dibohongi terus-menerus oleh mereka.

Sabda mengusap wajahnya dengan kasar, untuk saat ini dia tidak ingin memberitahukan pada Cinta. Sekali lagi Sabda menatap mereka berdua, tanpa sadar Sabda mengumpat keras. Ingin rasanya menonjok wajah pria itu. Namun sayangnya dia tidak bisa. Saat ini yang ada dipikirannya agar segera menemui Cinta, dan membawa wanita itu pergi dari tempat itu agar tak melihat adegan yang menurutnya menyakiti mata.

"Sabda, kamu ngapain di sini? Kamu juga mau makan?"

Tubuh Sabda menegang ketika mendengar suara Cinta. Apakah Cinta sudah melihat semuanya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status