Sabda terdiam cukup lama, pria itu tak bisa berkata-kata dengan ucapan Cinta.
'Pasangan yang tepat?' batin Sabda.
"Bukankah kamu sudah mempunyai kekasih?" tanya pria itu dengan dahi mengernyit.
"Ya," jawab Cinta singkat.
"Lalu, pasangan yang tepat maksudnya gimana, apakah kekasihmu tidak tepat jika bersanding dengan kamu?"
Cinta tertawa pelan seraya menggeleng, tak lama kemudian air mata wanita itu menetes. Sabda terkesiap, bingung karena reaksi Cinta, apakah pertanyaannya salah?
"Nama?" tanya Cinta.
Sabda terdiam cukup lama, tidak paham dengan pertanyaan Cinta. Karena tak mendapat jawaban, Cinta pun mendengkus keras.
"Aku tanya nama kamu siapa?!" pekik wanita itu.
Sabda tertegun mendengarnya, dia menatap Cinta tak percaya. Sabda kira, Cinta sudah mengenalinya, ternyata dia salah duga. Pria itu tersenyum kecut.
"Sabda," jawab pria itu tanpa menoleh ke arah Cinta.
"Oke, jadi begini ya, Sabda. Memang benar yang orang-orang katakan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna, sama halnya denganku, aku akui diriku ini tidak sempurna. Masih ingatkan kata-kata ayahku tadi? Aku ini wanita pembangkang, keras kepala, urakan, pokoknya seperti itulah. Tapi ... satu hal yang harus kamu tahu, bahwa mau seburuk apapun aku, aku juga membutuhkan pendamping hidup yang tepat. Yang mau menerimaku apa adanya, yang benar-benar tulus mencintaiku, yang mau menuntunku ke jalan yang lebih baik. Farel, dia memang kekasihku, tapi lihatlah dia, kepribadiannya, kesehariannya, apakah dia bisa membimbingku ke jalan yang benar? Aku rasa tidak. Jika kami dipersatukan, aku tidak tahu akan seperti apa rumah tangga kami. Menjalin hubungan dengannya bukan berarti menandakan keseriusan, hanya saja, aku ingin bersenang-senang menikmati masa mudaku, karena kalau kita sudah menikah, kita tidak bisa lagi menikmati dunia itu," jelas Cinta dengan senyum tipis.
Cinta tersentak, dia sadar karena baru kali ini dia banyak berbicara setelah sekian lamanya dia menjadi wanita pendiam. Cinta menoleh ke arah Sabda, pria itu sedang fokus menyetir, tak ada reaksi apapun yang ditunjukkan oleh pria itu.
"Maaf karena aku banyak bicara, aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Cinta lirih.
"Tidak apa-apa, aku suka mendengarnya, dan juga aku yakin bahwa saat ini hatimu agak membaik karena sudah mengeluarkan unek-unekmu. Cinta, jika kamu butuh teman mengobrol, aku siap menjadi pendengar yang baik," jawab Sabda. Pria itu menatap Cinta sambil tersenyum.
Cinta memutar bola matanya malas.
"Tidak! Aku tidak akan bercerita lagi denganmu, aku yakin setelah ini pasti kamu akan mengadukannya pada ayahku," tukas Cinta.
Sabda menggeleng tegas. "Ayahmu tidak mau mengatur-atur hidupmu, aku hanya ditugaskan untuk menjagamu saja, tidak lebih. Itu murni kemauanku sendiri, percayalah," ucap Sabda untuk meyakinkan Cinta.
Entah kenapa hati Cinta sakit ketika Sabda mengatakan bahwa ayahnya tidak ingin mengatur hidupnya. Cinta merasa sudah dibuang oleh ayahnya, bahkan untuk menjaga dia saja harus melalui orang lain. Apakah Cinta sudah tersingkirkan dari hati Ricko bersama almarhum bundanya? Jika iya, seumur hidup, Cinta tidak akan memaafkan Ricko.
"Terima kasih karena sudah mau mendengarkan celotehanku, aku harap itu adalah terakhir kalinya," ujar wanita itu ketus.
Kini mobil itu sudah sampai di depan rumah makan yang Cinta tuju. Wanita itupun turun dari mobilnya. Tapi, baru saja pintu itu tertutup, Cinta kembali mengetuknya, Sabda pun menurunkan kaca mobil itu.
"Kamu tidak ikut turun?" tanya Cinta.
"Tidak, aku tunggu di sini saja," tolak Sabda.
"Kamu tidak lapar?"
Sabda menggeleng. "Aku sudah makan tadi."
"Bohong," cibir Cinta.
Wanita itu pun berbalik menjauh dari mobil. Namun, tak lama kemudian Cinta kembali mendekati mobil itu, wanita itu tersenyum menyeringai ketika melihat Sabda, membuat pria itu mengerutkan keningnya heran.
"Ada apa lagi, apa ada yang tertinggal?" tanya Sabda.
"Tidak ada," jawab Cinta. Bibir wanita itu masih menampilkan senyum tipis.
"Lalu?"
"Kamu Sabda, kan?"
Meskipun bingung, Sabda tetap menganggukkan kepalanya.
"Aku baru ingat, kamu Sabda temanku yang dulu pernah nangis karena sepatunya pernah aku umpetin, kan?"
Wajah Sabda memerah, pria itu jelas sangat malu karena Cinta ingat dengan kejadian itu. Kejadian yang menurutnya sangat konyol.
'Ya ampun, kenapa dia ingat yang itu sih, kenapa dia nggak ingat ketika aku kasih bunga kertas sebanyak seratus tangkai untuk hadiah ulang tahunnya,' gerutu Sabda dalam hati.
Sabda tak menjawab, pria itu malah mengusap tengkuknya, jelas sekali kalau saat ini Sabda salah tingkah.
"Hahahaha, kamu tidak ingat ya? Ya sudahlah, lagian itu juga masa lalu. Aku pergi dulu ya," pamit Cinta.
Akan tetapi wanita itu tak kunjung pergi, malah semakin menatap Sabda begitu intens.
"Sabda," panggil Cinta.
"Kenapa? Kamu kenapa menatapku seperti itu?" tanya Sabda heran.
"Kamu sekarang berubah, bocah ingusan yang dulu aku kenal sekarang berubah seratus persen. Kamu sekarang tampan, sangat," ucap Cinta sambil tersenyum.
Sabda mengerjapkan matanya berkali-kali, pria itu masih mencerna ucapan Cinta.
"Ma--maksudnya gimana?"
Terlambat, Cinta telah hilang dari pandangannya. Sabda merutuki kebodohannya karena berpikir terlalu lama. Walaupun begitu, senyum Sabda tak pernah lepas dari bibirnya. Tadi Cinta mengatakan jika Sabda tampan. Pria itu pun langsung melirik kaca spion yang berada di atas kepalanya. Sabda senyum-senyum sendiri.
"Kalau dilihat-lihat, aku memang tampan juga, pantas saja Cinta berkata seperti itu," kata Sabda percaya diri.
Sedang asyik menatap wajahnya sendiri, tanpa sengaja mata Sabda melihat Farel berjalan bergandengan tangan dengan Kezia. Mata Sabda melotot ketika melihat mereka berdua berjalan ke arah tempat Cinta berada.
Sabda buru-buru turun dari mobilnya, dia harus segera menemui Cinta sebelum Cinta melihat semuanya. Sabda takut jika perasaan Cinta akan hancur. Sudah cukup dengan perlakuan Ricko, untuk kali ini jangan.
Sabda mengepalkan tangannya ketika melihat Farel dan Kezia saling melempar senyum, tidakkah mereka kasihan pada Cinta karena telah melukai perasaan wanita itu?
"Mereka benar-benar tidak mempunyai hati, bukankah dia kekasih Cinta? Lalu Kezia? Ya ampun, Cinta, kenapa kamu di kelilingi manusia berhati iblis," geram Sabda.
Haruskah Sabda mengatakan hal ini pada Cinta? Jika iya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Cinta. Tapi, kalau dia tak mengatakannya, Cinta akan dibohongi terus-menerus oleh mereka.
Sabda mengusap wajahnya dengan kasar, untuk saat ini dia tidak ingin memberitahukan pada Cinta. Sekali lagi Sabda menatap mereka berdua, tanpa sadar Sabda mengumpat keras. Ingin rasanya menonjok wajah pria itu. Namun sayangnya dia tidak bisa. Saat ini yang ada dipikirannya agar segera menemui Cinta, dan membawa wanita itu pergi dari tempat itu agar tak melihat adegan yang menurutnya menyakiti mata.
"Sabda, kamu ngapain di sini? Kamu juga mau makan?"
Tubuh Sabda menegang ketika mendengar suara Cinta. Apakah Cinta sudah melihat semuanya?
"Apa kamu masih mengingat tentang pembicaraan kita, Sabda?" tanya Ricko dengan tatapan lurus ke depan.Sabda menggeleng pelan."Kalau kamu berhasil meluluhkan hati Cinta, maka Om akan menikahkanmu dengan salah satu putriku. Apa kamu masih ingat?"Sabda menelan salivanya dengan kasar. "I-ingat, Om," jawab pria itu terbata.Ricko menghela napas berat, sepertinya pria paruh baya itu mempunyai pikiran yang cukup berat."Kali ini Om akan langsung membicarakannya. Om ingin menjodohkanmu dengan Cinta. Setelah Om lihat dari caramu memperlakukannya, dan juga sikap Cinta yang perlahan membaik. Om memutuskan untuk menjodohkan kalian. Om rasa, kalian saling mempunyai ketertarikan."Rahang Sabda mengeras, kenapa tidak dari dulu Ricko berkata seperti itu.Mata Ricko beralih pada Sabda, kini tata
"Yang patah itu tanganku, bukan kakiku, kenapa aku harus naik dikursi roda," dengkus Cinta.Sabda tak menjawab, pria itu mendorong kursi roda itu dengan tenang."Kamu dengar aku lagi ngomong, kan?""Dengar.""Terus kenapa diam saja. Tidak menyahut ucapanku. Kamu males ngomong sama aku?""Tidak, Cinta. Aku hanya takut jika akan mengganggumu," ucap Sabda.Cinta menghela napas berat. "Masih aja diingat.""Dengar, Cinta. Kamu bahagia, aku juga bahagia. Kamu terluka, aku juga ikut terluka. Aku hanya ingin memahamimu.""Stop!" titah Cinta.Sabda pun menurut, pria itu tak beralih dari sana. Dia malah menatap punggung Cinta dengan sendu. Dia ingin merengkuh tubuh wanita itu, tapi dia takut kalau Cinta malah semakin membencinya.
Cinta menatap motornya dengan sendu. Hari ini adalah hari pernikahan Sabda dan Kezia. Beberapa kali dia menolak agar tidak datang. Tapi Vera dan Cika selalu memaksanya untuk datang."Kalau kamu nggak datang, itu tandanya kamu pengecut," kata Vera."Tunjukkan kalau saat ini kamu baik-baik saja," timpal Cika.Cinta mengusap wajahnya dengan kasar. "Baiklah, aku akan datang. Kalian tidak perlu ikut," final Cinta."No!" teriak mereka bersamaan."Aku harus ikut, siapa yang akan membopongmu nanti kalau pingsan, takutnya kamu nggak kuat jika melihat Sabda sudah menikah," ejek Vera.Cinta mendelik kesal. "Itu mulut dijaga ya, siapa juga yang pingsan. Strong gini," bela Cinta.Vera dan Cika tertawa mendengarnya."Apapun yang terjadi, kamu harus ikhlasin dia," kat
"Apa lagi yang kamu tunggu, Sabda. Semuanya sudah pada datang. Apa kamu sengaja mengulur waktu?" tanya Lina dengan geram."Sebentar lagi, Tante. Ada yang sedang aku tunggu."Lina memutar bola matanya malas. "Kalau sampai orang yang kamu tunggu tidak datang dalam waktu setengah jam, maka kamu harus menyudahinya. Lihatlah, banyak orang yang tengah menanti ijab kabulnya," ujar Lina sinis.Sabda menghela napas berat. "Iya," sahutnya lirih.Sabda keluar dari rumah itu. Duduk di teras dengan gelisah. Dia sangat yakin jika Cinta akan datang, hanya saja wanita itu datang terlambat. Ya, pikiran Sabda sepositif itu.Lima belas menit dia sudah menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda Cinta akan datang, Sabda mengusap wajahnya dengan kasar. Terlihat sekali bahwa saat ini Sabda tengah gusar."Cinta, kalau kamu memang cinta sam
"Tumben ngajakin aku jalan. Lagi galau, ya?" tanya Dika serius."Nggak," jawab Cinta cuek.Saat ini mereka sedang berada di taman kota. Keadaan di sana tidak terlalu ramai, membuat hati Cinta terasa tenang. Dia bisa menikmati suasana taman itu ketika di malam hari.Dika menatap Cinta dalam diam, dia tahu kalau saat ini Cinta sedang tidak baik-baik saja. Dia tahu kalau Sabda dan Kezia akan menikah besok, mungkin itu yang sangat mengganggu pikiran wanita itu."Hubungan kamu sama Farel gimana?" tanya Dika basa-basi."Udah putus," jawab Cinta."Putus?" ulang Dika. Pria itu pura-pura terkejut."Hemm.""Kok bisa?""Ya bisalah, namanya juga nggak jodoh. Apaan sih, kenapa jadi bahas dia," gerutu Cinta.D
"Ap--apa?" tanya Cinta lirih. Tiba-tiba saja dia mendadak linglung."Aku--""Jadi kalian benar-benar melakukannya?" potong Cinta."Cinta," panggil pria itu lirih."JAWAB, SABDA!" pekik Cinta.Sabda menyugar rambutnya dengan kasar, dia juga bingung harus mengatakan apa terhadap Cinta. Menurutnya, berbicara dengan Cinta harus hati-hati."Aku nggak tau, Cinta. Semua orang memojokkanku, nggak ada yang percaya sama aku. Ditambah lagi Kezia benar-benar sangat licik, aku nggak tahu harus gimana lagi ngehadapin dia," kata Sabda frustrasi.Tidak! Jawaban itu yang Cinta inginkan, bukan yang lain."Jadi kamu memutuskan untuk menikah dengannya?" tanya Cinta lirih."Ayahmu yang memaksaku, Cinta."Cinta mengan