Cinta masih betah dalam tidurnya. Matanya terasa berat, kepalanya tampak pusing dan rasa kantuknya lebih dominan dibandingkan dengan silaunya matahari yang menembus kelopak matanya.
"Bangun!"
Cinta mendengar suara berat seseorang yang sangat dia kenali, akan tetapi Cinta tak menghiraukan ucapan pria itu.
Wanita itu malah semakin mengeratkan pelukannya pada bantal guling serta menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
"Bangun!" sentak Ricko.
Cinta membuka matanya, dengan gerakan lambat, dia bangkit, lalu menguap lebar tanpa memperdulikan dengan siapa dia sedang berhadapan. Perlahan wanita itupun sadar, Cinta menatap ayahnya serta lelaki yang menurut Cinta sangat menyebalkan. Sabda!
Cinta mendesis lirih, sejak kapan ayahnya mau menginjakkan kakinya di kamar Cinta lagi?
Cinta melihat Ricko sedang berkacak pinggang serta menatap dia dengan tajam.
"Jadi begini ya kelakuan kamu setiap hari. Keluyuran nggak jelas, balapan liar, terus tadi malam apa, hah?! Kamu mabuk-mabukan dengan pria sialan itu, beruntung ada Sabda, jika tidak, apa yang akan terjadi padamu. Ck! Cinta ... Cinta ... Harus berapa kali Ayah bilang sama kamu, jangan dekat dengan laki-laki berandalan itu, dia membawa pengaruh buruk untukmu. Tidak bisakah kamu seperti Kezia. Contohlah dia, wanita kalem, lemah lembut, dan yang paling penting dia nggak neko-neko seperti kamu yang sangat urakan!" sarkas Ricko.
"Cukup!" bentak Cinta. Wanita itu menatap ayahnya dengan perasaan terluka. "Sebenarnya anak Ayah itu siapa? Kenapa Ayah selalu membeda-bedakan aku dengan Kezia. Apa Ayah tidak mengerti perasaanku?"
Ricko menghela napas panjang, memijit pelipisnya pelan. "Ayah tidak membandingkan kamu dengan Kezia. Ayah hanya berharap jika kamu seperti Kakakmu, nggak lebih."
Cinta tersenyum kecut.
'Itu sama saja, Ayah,' batin Cinta.
Cinta bangun dari ranjangnya, berjalan menuju kamar mandi, menghiraukan ucapan ayahnya yang selalu membanggakan Kezia. Wanita itu menutup pintu kamar mandi dengan kasar, membuat Ricko maupun Sabda terhenyak.
Sabda memahami bagaimana perasaan Cinta, Sabda yakin jika saat ini Cinta sangat membutuhkan teman yang benar-benar peduli padanya. Pria itu berjanji dalam hati akan membawa Cinta ke jalan yang lebih baik, meskipun susah, Sabda akan tetap berusaha.
"Ck! Dasar anak durhaka, lihatlah tingkahnya. Biar seperti itu dia tak ingin disalahkan, jelas Kezia lebih baik dari pada anak itu," decak Ricko.
Sabda heran dengan ucapan Ricko, kenapa pria paruh baya itu lebih mengutamakan anak tirinya? Bukankah seharusnya Ricko membela Cinta?
"Cinta seperti itu pasti ada alasannya, Om. Aku yakin itu," bela Sabda.
"Apapun masalahnya, anak itu sekarang susah untuk diatur. Pokoknya aku nggak mau tau, kamu atur saja Cinta, kepalaku selalu pusing jika harus berhadapan dengan Cinta, sifatnya sangat jauh berbeda dengan bundanya yang lemah lembut."
Samar-samar Cinta mendengar suara ayahnya, wanita itu menjatuhkan tubuhnya dilantai, hatinya teriris ketika ayahnya mengucapkan bahwa Kezia lebih baik dari Cinta.
Cinta menangis dalam diam, selalu saja begini, sebenarnya apa salah Cinta, sampai-sampai wanita itu dibenci oleh ayahnya sendiri. Dia begini juga karena ayahnya yang tak pernah adil padanya, Ricko selalu mengedepankan istri barunya.
"Bunda, aku ingin ikut denganmu, aku sungguh tidak sanggup dengan perlakuan ayah," lirih Cinta.
***
"Kamu yang namanya Sabda?"
Sabda mendongak, menatap wanita cantik itu dengan mengernyit heran. Pasalnya dia tak kenal dengan wanita yang ada di hadapannya. Selama Sabda berada di rumah ini, dia belum pernah melihat wanita itu.
"Ya," jawab Sabda singkat.
Wanita itu tersenyum lebar, mengulurkan tangan, akan tetapi Sabda tak membalasnya. Akhirnya wanita itupun kembali menurunkan tangannya. Malu, karena Sabda tak merespon.
"Kenalin, aku Kezia."
Sabda hanya manggut-manggut, tak berniat untuk menjawab, pria itu lebih mementingkan ponselnya. Toh wanita itu juga sudah mengetahui namanya. Kezia yang melihatnya pun mendengkus sebal.
Sejak kapan ada pria yang menolak pesonanya? Bahkan selama ini banyak laki-laki yang bertekuk lutut padanya, termasuk kekasih Cinta. Tapi mengapa Sabda berbeda.
"Aku sudah siap!"
Sabda mendongakkan kepalanya, pria itu tersenyum lebar sembari berdiri dari duduknya, semua itu tak luput dari penglihatan Kezia, wanita itu mengepalkan tangannya.
"Yuk," kata pria itu.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kezia sambil menatap Cinta sinis.
"Bukan urusanmu!" tandas Cinta, wanita itu juga menatap Kezia dengan sengit.
"Ck! Jadi sekarang kamu mempunyai security? Manja banget sih kamu," ejek Kezia.
Cinta tak menjawab ucapan Kezia, jika dia terus meladeni Kezia, yang ada urusannya malah semakin panjang. Karena wanita itu sangat pandai bersilat lidah, dan berakhir Ricko yang menyalahkan Cinta.
Cinta berlalu dari Kezia, pun sama halnya dengan Sabda. Pria itu juga tak betah berlama-lama berhadapan dengan wanita itu, Sabda tak suka melihat cara berpakaian Kezia, menurutnya, Kezia seperti memakai pakaian kurang bahan.
Kezia memperhatikan mereka berdua dengan mata memanas. Dia sungguh tidak terima karena penolakan dari Sabda, dan juga dia tak suka karena ada yang menjaga Cinta. Kezia memang tidak suka dengan Cinta, apapun yang Cinta miliki selalu dia rebut, termasuk kekasihnya, Farel. Saat ini mereka memang tengah menjalin hubungan gelap.
Kezia tersenyum licik, apa yang dia inginkan harus terpenuhi, meski dengan cara kotor sekalipun.
***
"Kenapa kamu tidak melawan?"
Cinta melirik Sabda sekilas, kemudian wanita itu kembali menatap lurus ke depan.
"Kenapa? Berurusan dengannya sama halnya untuk membawaku ke dalam masalah yang sangat besar, dan pastinya ayah akan membela dia," jawab Cinta lirih.
"Sekali-kali memang harus melawan, jika sudah seperti itu dia akan ngelunjak, dan dia sesuka hati mengolok-olok kamu karena melihat ketidakberdayaanmu. Jangan membuat hatimu terus terluka, sekali saja kita egois," ujar Sabda. Nada bicara pria itu terdengar emosi.
Cinta menggeleng. "Bahkan kamu sudah melihat bagaimana reaksi ayahku saat membelanya. Saat ini aku sungguh tidak penting dihati ayah. Mau melawan pun rasanya juga percuma. Entahlah, aku ini dianggap anak atau tidak dengan dia."
Sabda menghela napas panjang, menurutnya, masalah keluarga Cinta sungguh rumit. Kalau seperti ini terus, Cinta pasti merasa tertekan. Pantas saja kehidupan Cinta berubah, semua akar masalahnya terletak pada Ricko yang tidak adil dengan anak-anaknya.
"Apa karena ayahmu, kamu jadi seperti ini?" tanya Sabda pelan.
"Menurutmu?" Cinta balik bertanya.
Tak perlu dijawab pun Sabda sudah tahu, pria itu hanya ingin memastikan saja bahwa dugaannya memang tepat.
"Sampai kapan kamu akan seperti ini? Apakah kamu tidak ingin berubah?" pancing Sabda.
Cinta tak menoleh sedikitpun ke arah Sabda, wanita itu tengah asyik melihat pemandangan di sepanjang jalan melalui kaca. Sabda menggigit bibir bawahnya karena tak mendapat jawaban. Wajar saja, pertanyaan Sabda memang terlalu sensitif.
Sabda pun memutuskan untuk diam, tak ingin mengusik ketenangan Cinta. Namun baru beberapa detik mereka terdiam, Cinta akhirnya kembali bersuara.
"Sampai aku menemukan pasangan yang tepat."
Sabda terdiam cukup lama, pria itu tak bisa berkata-kata dengan ucapan Cinta.'Pasangan yang tepat?' batin Sabda."Bukankah kamu sudah mempunyai kekasih?" tanya pria itu dengan dahi mengernyit."Ya," jawab Cinta singkat."Lalu, pasangan yang tepat maksudnya gimana, apakah kekasihmu tidak tepat jika bersanding dengan kamu?"Cinta tertawa pelan seraya menggeleng, tak lama kemudian air mata wanita itu menetes. Sabda terkesiap, bingung karena reaksi Cinta, apakah pertanyaannya salah?"Nama?" tanya Cinta.Sabda terdiam cukup lama, tidak paham dengan pertanyaan Cinta. Karena tak mendapat jawaban, Cinta pun mendengkus keras."Aku tanya nama kamu siapa?!" pekik wanita itu.Sabda tertegun mendengarnya, dia menatap Cinta tak percaya. Sabda kira, Cinta sudah mengenalinya, ternyata dia salah duga. Pria itu tersenyum kecut."Sabda," jawab pria itu tanpa menoleh ke arah Cinta."Oke, jadi begini ya, Sabda. Memang benar ya
Sabda menoleh ke belakang, menatap Cinta dengan gugup."Cinta, kok kamu ada di sini?"Cinta menatap Sabda datar sambil melipatkan kedua tangannya."Hei, pertanyaan bodoh macam apa itu, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Tadi kamu menolak ajakanku dan ingin menungguku dimobil saja, kenapa sekarang datang menghampiriku?" tanya Cinta. Wanita itu tampak tersulut emosi.Sabda menggaruk kepalanya yang tidak gatal, melihat Cinta sambil meringis pelan. Pikirannya tak menentu, seketika Sabda teringat sesuatu."Cinta, kamu belum makan, kan?" tanya Sabda dengan raut wajah pias.Cinta menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?""Oke, berhubung kamu belum makan, kita cari tempat lain aja yuk, aku punya rekomendasi tempat makan yang enak buat kamu, aku yakin kamu pasti suka."Dahi Cinta mengernyit, wanita itu sempat menaruh kecurigaan pada pria yang sedang berada di hadapannya. Pasalnya, ekspresi wajah Sabda tampak tak mengenakan."Ke
Setelah pembicaraan mereka kemarin, sifat Cinta kembali dingin. Sabda sangat menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Dirinya terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan, dan berakibat fatal seperti ini.Cinta kembali menjaga jarak padanya, walaupun mereka tengah jalan berdua, Cinta selalu diam seribu bahasa. Jujur saja, Sabda tidak nyaman dengan situasi seperti ini.Lebih baik mendengar kecerewetan Cinta, daripada mendapatkan tatapan Cinta yang begitu dingin."Apa kamu sudah berhasil?" tanya Ricko.Sabda menggeleng lemah, membuat Ricko menghela napas panjang."Selama Cinta tidak lepas dengan laki-laki berandalan itu, sifat Cinta tidak akan berubah," keluh Ricko.Sabda menatap Ricko cukup lama, pria itu tampak ingin berbicara hal penting, namun diurungkannya.Entah mengapa hatinya malah senang jika kekasih Cinta dekat dengan Kezia."Satu-satunya cara untuk merubah sifat Cinta lebih baik adalah denga
Semua orang yang ada di sana menatap Cinta dengan perasaan iba, mereka mengira jika Cinta sedang menangisi pria yang tergeletak itu."Mbak, yang sabar ya."Cinta melirik ibu-ibu itu dengan sengit. Sabar? Rasanya sudah lelah Cinta melakukan hal itu, dirinya kurang sabar apa lagi, kebahagiaannya telah direnggut oleh keluarga baru Ricko.Cinta tak menjawab, dia kembali menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Cinta juga bingung kenapa bisa sesedih ini. Apakah dia merasa bersalah pada Sabda? Hanya hati Cinta yang bisa merasakannya."Cinta!"Wanita itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Pasalnya, wanita itu sangat mengenali siapa pemilik suara itu. Cinta melihat Sabda tengah berdiri tak jauh dari motornya.Cinta langsung berdiri, berlari ke arah Sabda. Memukul dada pria itu dengan sedikit keras."Bodoh!" umpat Cinta.Sabda mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang Cinta maksud."A
Wanita itu menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada dipikirannya.Rasanya ingin marah, tapi entah pada siapa yang ingin dia lampiaskan. Gara-gara melihat Farel dan Kezia tadi, emosi Cinta tak terbendung. Sampai-sampai Sabda yang diam saja pun terkena imbasnya. Cinta memarahi Sabda tanpa sebab."Sabda," gumam wanita itu.Dirinya sungguh menyesal karena telah berlaku seenaknya pada Sabda.Cinta menghela napas berat, berniat untuk mencari Sabda, meminta maaf pada pria itu, akan tetapi dering ponselnya mengurungkan niatnya. Cinta bergegas mengambil ponsel di atas meja."Halo," jawab Cinta, ketika sambungan telepon itu terhubung."Hei, Cinta! Ke mana saja kamu, kenapa tidak pernah datang ke basecamp. Kamu lupa dengan kita-kita."Cinta langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, karena mendengar kebisingan dari ujung sana. Apalagi dengan suara Vera yang begitu memekikkan telinga."Aku s
Sedari tadi Sabda duduk selalu gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang karena memikirkan kejadian tadi malam. Gara-gara Cinta, membuat tidur Sabda tak nyenyak.Hari ini Sabda selalu menjauh dari Cinta, ketika Cinta memanggilnya, pria itu selalu beralasan jika dirinya tengah sibuk dengan urusannya. Sejujurnya Sabda malu, dia takut Cinta akan marah padanya karena perbuatannya tadi malam. Padahal sangat jelas bahwa Cinta yang salah, wanita itu selalu saja menggodanya."Sabda!"Sabda tersentak, pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan lambat dia menoleh ke arah belakang. Sabda melihat Cinta sedang berkacak pinggang, mata wanita itu tampak melotot."Kenapa lama sekali, katanya mau menghubungi nomor mama kamu? Kenapa harus ngumpet di sini segala," omel wanita itu.Sabda meringis pelan, buru-buru Sabda memegang ponselnya. Pria itu pura-pura tengah mencari sinyal, agar Cinta tidak curiga."Iya nih, dari tadi aku coba nelepon M
"Cinta mana?" tanya Ricko.Kezia dan Sabda terdiam. Kezia mengedikkan bahunya acuh, sementara Sabda, pria itu menundukkan kepalanya.Karena tak mendapat jawaban, Ricko melirik ke arah istrinya."Cinta mana, Ma?" tanya Ricko."Kayak nggak tau aja kelakuan Cinta gimana," jawab Lina sinis.Sabda mengepalkan tangannya ketika mendengar jawaban dari Lina. Pantas saja Cinta tidak suka dengan keluarga barunya, mereka tampak tidak menyukai Cinta."Tolong panggilkan Cinta, kita akan makan malam bersama," perintah Ricko.Kezia dan Lina diam saja, untuk sekadar berdiri saja mereka enggan."Biar aku saja," jawab Sabda.Pria itu langsung berdiri melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tatapan heran dari mereka bertiga.Seandainya saja Sabda bisa membawa Cinta keluar dari rumah ini, pasti akan dia lakukan dengan senang hati. Hanya saja, apakah Cinta mau bersamanya? Dia yakin Cinta akan menolaknya."Cinta," panggil
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Cinta bingung.Sabda tak menjawab, pria itu terus saja menggandeng tangan Cinta. Berjalan menyusuri jalanan itu, hingga tiba-tiba saja langkah pria itu terhenti.Cinta kembali memperhatikan raut wajah Sabda yang tiba-tiba saja tersenyum. Wanita itu melirik tangannya sekilas, Sabda masih saja betah menggenggam tangannya. Cinta menghela napas panjang, detik berikutnya dia tersentak ketika mengingat apa yang terjadi di jalan Cempaka itu."Kembalikan!" teriak Sabda."Nggak, sepatunya sudah jelek, aku bisa membelikanmu yang lebih bagus," bantah Cinta.Sabda menggelengkan kepalanya, wajah pria itu tampak menghiba, berharap Cinta tidak membuang sepatu itu. Karena sepatu itu kenang-kenangan dari almarhum ayahnya."Ini bukan soal harga, tapi sepatu itu kenang-kenangan dari ayahku, to