Share

Canggung

Sabda menoleh ke belakang, menatap Cinta dengan gugup.

"Cinta, kok kamu ada di sini?"

Cinta menatap Sabda datar sambil melipatkan kedua tangannya.

"Hei, pertanyaan bodoh macam apa itu, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Tadi kamu menolak ajakanku dan ingin menungguku dimobil saja, kenapa sekarang datang menghampiriku?" tanya Cinta. Wanita itu tampak tersulut emosi.

Sabda menggaruk kepalanya yang tidak gatal, melihat Cinta sambil meringis pelan. Pikirannya tak menentu, seketika Sabda teringat sesuatu.

"Cinta, kamu belum makan, kan?" tanya Sabda dengan raut wajah pias.

Cinta menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?"

"Oke, berhubung kamu belum makan, kita cari tempat lain aja yuk, aku punya rekomendasi tempat makan yang enak buat kamu, aku yakin kamu pasti suka."

Dahi Cinta mengernyit, wanita itu sempat menaruh kecurigaan pada pria yang sedang berada di hadapannya. Pasalnya, ekspresi wajah Sabda tampak tak mengenakan.

"Kenapa nggak di sini aja?" tanya Cinta dengan pandangan menelisik.

Sabda terdiam cukup lama, pria itu berpikir keras agar bisa menemukan jawaban yang tepat.

Baru saja Sabda ingin berkata, tiba-tiba saja matanya melihat Farel dan Kezia sedang berjalan menuju ke arahnya.

'Sial! Kenapa mereka ke sini, apa mereka memang sengaja?'

Tanpa berlama-lama Sabda menarik tangan Cinta menuju ke arah mobil. Cinta terkejut dengan perlakuan Sabda, wanita itu berusaha melepaskan cekalan tangan tersebut, tetap saja tak bisa, yang ada pegangan tangan Sabda semakin kuat.

Tubuh Cinta terhempas, wanita itu mengumpat lirih karena mendapat perlakuan kurang ajar dari Sabda.

'Awas saja kamu, akan aku beri perhitungan!' geram Cinta dalam hati.

Sabda melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, Cinta melihat pria itu menghela napas lega.

'Ada apa dengannya?' batin Cinta.

Sabda menoleh ke arah Cinta, Cinta langsung memalingkan wajahnya ke samping. Bibir wanita itu cemberut.

"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Keadaannya darurat. Sumpah!" ucap Sabda sambil menunjukkan dua jarinya agar Cinta percaya.

"Alah, alasan. Bilang aja kamu pengen pegang tangan aku, kan?"

Sabda melongo mendengarnya, ternyata sifat Cinta tidak berubah. Narsisnya masih tinggi. Tanpa sadar Sabda tertawa terbahak-bahak, membuat Cinta meliriknya dengan tajam.

"Oh, maaf. Aku nggak ada ketawain kamu kok, aku cuma ingat sesuatu aja," kata Sabda buru-buru.

Tak lama setelah Sabda berucap, keheningan di antara mereka pun kembali muncul. Tak ada lagi yang memulai obrolan di antara mereka.

Cinta tampak melamun, sedangkan Sabda, dia tampak bingung dengan Cinta yang selalu terdiam. Biasanya wanita itu terus saja mengoceh tak jelas. Diliriknya wanita itu, Sabda melihat Cinta seperti sedang memikirkan sesuatu. Satu yang Sabda tak pernah lupa dari Cinta. Jika Cinta diam berarti Cinta sedang mempunyai masalah.

Sabda ingin bertanya pada Cinta, tetapi niat itu dia urungkan, keadaan lagi-lagi menamparnya bahwa saat ini mereka sudah tak seperti dulu lagi.

Sabda rindu dengan Cinta yang dulu. Wanita feminim dengan sejuta pesonanya.

"Sepertinya tadi aku melihat Farel di sana," kata Cinta lirih.

Tubuh Sabda menegang, tanpa sadar pria itu ngerem mendadak. Pria itu tak berani menatap Cinta.

"Loh, kenapa berhenti? Apa kita sudah sampai?" tanya Cinta. Kepala wanita itu celingukan ke sana-kemari untuk melihat tempat yang yang Sabda janjikan.

Namun, di sana tidak ada apapun, melainkan jalanan yang begitu sepi. Cinta mendengkus keras.

"Jadi, ini yang kamu maksud. Kamu bohongin aku, ya?!" bentak Cinta.

"Hah ... a--apa, nggak kok. Aku nggak bohong," jawab pria itu dengan gagap.

"Terus kenapa berhenti di sini?"

"Anu ... aku pingin buang air kecil dulu. Iya, itu dah pokoknya."

Cinta memutar bola matanya malas. "Seriusan kamu mau buang air kecil di sini? Ya kali di jalanan. Nggak bisa di toilet umum? Apa nggak bisa ditahan?" 

"Bisa kok, tenang aja," jawab Sabda datar. Pria itu kembali menyalakan mobilnya, menembus jalanan itu dengan kecepatan sedang.

***

"Sabda, aku punya kejutan buat kamu. Tutup mata kamu dulu ya," pinta Cinta.

Sabda mengangguk semangat, pria itu langsung memejamkan matanya, bibir pria itu tak berhenti tersenyum.

Lama sekali Sabda menunggu aba-aba dari Cinta, akan tetapi suara Cinta tak lagi terdengar. Sabda curiga jika Cinta sedang mengerjainya.

Perlahan pria itu membuka matanya, mata Sabda mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa apa yang dia lihat tidak salah.

"I-ini serius?" tanya Sabda tak percaya.

Cinta menganggu sambil tersenyum. "Iya, ini buat kamu. Diterima ya."

Sabda mengambil hadiah pemberian Cinta dengan semangat, dipeluknya hadiah itu dengan erat. Ini adalah barang impian Sabda. Pria itu sangat senang karena Cinta yang memberikannya.

"Terima kasih, Cinta," kata Sabda lirih.

"Apanya yang terima kasih?"

Sabda tersentak kaget. Pria itu menatap Cinta cukup lama, tak lama kemudian Sabda mengusap wajahnya dengan kasar.

Ya ampun! Bisa-bisanya Sabda memikirkan kejadian di masa lalu ketika bersama Cinta. Di saat Cinta memberikan hadiah padanya karena Sabda berhasil membujuk Cinta untuk mengerjakan tugas sekolahnya.

"Kenapa diam?" tanya Cinta lagi.

Sabda menyugar rambutnya dengan pelan. Sial! Kenapa ketika berdekatan dengan Cinta otaknya selalu berpikir di luar kendali. Masa lalu itu selalu terngiang dikepalanya.

"Terima kasih untuk makanannya, aku suka," jawab pria itu sambil melahap makanannya.

Cinta menyipitkan matanya, heran karena melihat tingkah Sabda.

"Bukannya kamu yang mengajakku ke sini? Kenapa bilang terima kasih?"

Sabda terbatuk, buru-buru Cinta menyodorkan air putih untuk Sabda.

"Hati-hati dong kalau makan, mana sayurnya pedas, pasti bakalan sakit tuh dihidung sama ditenggorokan," omel Cinta.

Sabda tak menjawab, hanya menanggapi Cinta hanya dengan senyuman tipis. Memang benar yang dikatakan oleh wanita itu. Saat ini hidungnya terasa sakit.

"Sabda, kamu ini kenapa sih tiap kali kuajak bicara selalu aja gagal fokus, kenapa? Apa kamu merasa terbebani dengan sikapku? Kalau iya, kenapa tidak mundur saja. Aku kasihan melihatmu yang selalu tertekan," decak Cinta.

Sabda mengepalkan tangannya, pria itu tak terima jika Cinta berkata seperti itu. Namun sayangnya, Sabda tak mampu membalas ucapan Cinta.

Sabda melakukannya bukan karena terpaksa, hanya saja dia merasa canggung dengan situasi sekarang. Mereka berdua sama-sama dewasa, rasanya tidak mungkin jika akrab seperti dulu. Dan yang lebih sialnya lagi, ingatan Sabda selalu mengarah pada masa lalu. Masa di mana ketika mereka berdua saling melengkapi satu sama lain.

"Menjagamu bukanlah hal yang terpaksa, Cinta. Menjagamu adalah suatu keharusan, aku ingin melihat sifat Cinta yang dulu, bukan yang sekarang," kata pria itu lirih.

Cinta tersenyum sinis.

'Itu tidak akan mungkin terjadi, Sabda. Perasaanku sudah mati. Tidak ada Cinta yang dulu. Inilah Cinta yang sekarang,' batin wanita itu. Mata Cinta tampak berkaca-kaca.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status