Sabda menoleh ke belakang, menatap Cinta dengan gugup.
"Cinta, kok kamu ada di sini?"
Cinta menatap Sabda datar sambil melipatkan kedua tangannya.
"Hei, pertanyaan bodoh macam apa itu, harusnya aku yang bertanya seperti itu. Tadi kamu menolak ajakanku dan ingin menungguku dimobil saja, kenapa sekarang datang menghampiriku?" tanya Cinta. Wanita itu tampak tersulut emosi.
Sabda menggaruk kepalanya yang tidak gatal, melihat Cinta sambil meringis pelan. Pikirannya tak menentu, seketika Sabda teringat sesuatu.
"Cinta, kamu belum makan, kan?" tanya Sabda dengan raut wajah pias.
Cinta menggeleng. "Belum, memangnya kenapa?"
"Oke, berhubung kamu belum makan, kita cari tempat lain aja yuk, aku punya rekomendasi tempat makan yang enak buat kamu, aku yakin kamu pasti suka."
Dahi Cinta mengernyit, wanita itu sempat menaruh kecurigaan pada pria yang sedang berada di hadapannya. Pasalnya, ekspresi wajah Sabda tampak tak mengenakan.
"Kenapa nggak di sini aja?" tanya Cinta dengan pandangan menelisik.
Sabda terdiam cukup lama, pria itu berpikir keras agar bisa menemukan jawaban yang tepat.
Baru saja Sabda ingin berkata, tiba-tiba saja matanya melihat Farel dan Kezia sedang berjalan menuju ke arahnya.
'Sial! Kenapa mereka ke sini, apa mereka memang sengaja?'
Tanpa berlama-lama Sabda menarik tangan Cinta menuju ke arah mobil. Cinta terkejut dengan perlakuan Sabda, wanita itu berusaha melepaskan cekalan tangan tersebut, tetap saja tak bisa, yang ada pegangan tangan Sabda semakin kuat.
Tubuh Cinta terhempas, wanita itu mengumpat lirih karena mendapat perlakuan kurang ajar dari Sabda.
'Awas saja kamu, akan aku beri perhitungan!' geram Cinta dalam hati.
Sabda melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, Cinta melihat pria itu menghela napas lega.
'Ada apa dengannya?' batin Cinta.
Sabda menoleh ke arah Cinta, Cinta langsung memalingkan wajahnya ke samping. Bibir wanita itu cemberut.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Keadaannya darurat. Sumpah!" ucap Sabda sambil menunjukkan dua jarinya agar Cinta percaya.
"Alah, alasan. Bilang aja kamu pengen pegang tangan aku, kan?"
Sabda melongo mendengarnya, ternyata sifat Cinta tidak berubah. Narsisnya masih tinggi. Tanpa sadar Sabda tertawa terbahak-bahak, membuat Cinta meliriknya dengan tajam.
"Oh, maaf. Aku nggak ada ketawain kamu kok, aku cuma ingat sesuatu aja," kata Sabda buru-buru.
Tak lama setelah Sabda berucap, keheningan di antara mereka pun kembali muncul. Tak ada lagi yang memulai obrolan di antara mereka.
Cinta tampak melamun, sedangkan Sabda, dia tampak bingung dengan Cinta yang selalu terdiam. Biasanya wanita itu terus saja mengoceh tak jelas. Diliriknya wanita itu, Sabda melihat Cinta seperti sedang memikirkan sesuatu. Satu yang Sabda tak pernah lupa dari Cinta. Jika Cinta diam berarti Cinta sedang mempunyai masalah.
Sabda ingin bertanya pada Cinta, tetapi niat itu dia urungkan, keadaan lagi-lagi menamparnya bahwa saat ini mereka sudah tak seperti dulu lagi.
Sabda rindu dengan Cinta yang dulu. Wanita feminim dengan sejuta pesonanya.
"Sepertinya tadi aku melihat Farel di sana," kata Cinta lirih.
Tubuh Sabda menegang, tanpa sadar pria itu ngerem mendadak. Pria itu tak berani menatap Cinta.
"Loh, kenapa berhenti? Apa kita sudah sampai?" tanya Cinta. Kepala wanita itu celingukan ke sana-kemari untuk melihat tempat yang yang Sabda janjikan.
Namun, di sana tidak ada apapun, melainkan jalanan yang begitu sepi. Cinta mendengkus keras.
"Jadi, ini yang kamu maksud. Kamu bohongin aku, ya?!" bentak Cinta.
"Hah ... a--apa, nggak kok. Aku nggak bohong," jawab pria itu dengan gagap.
"Terus kenapa berhenti di sini?"
"Anu ... aku pingin buang air kecil dulu. Iya, itu dah pokoknya."
Cinta memutar bola matanya malas. "Seriusan kamu mau buang air kecil di sini? Ya kali di jalanan. Nggak bisa di toilet umum? Apa nggak bisa ditahan?"
"Bisa kok, tenang aja," jawab Sabda datar. Pria itu kembali menyalakan mobilnya, menembus jalanan itu dengan kecepatan sedang.
***
"Sabda, aku punya kejutan buat kamu. Tutup mata kamu dulu ya," pinta Cinta.
Sabda mengangguk semangat, pria itu langsung memejamkan matanya, bibir pria itu tak berhenti tersenyum.
Lama sekali Sabda menunggu aba-aba dari Cinta, akan tetapi suara Cinta tak lagi terdengar. Sabda curiga jika Cinta sedang mengerjainya.
Perlahan pria itu membuka matanya, mata Sabda mengerjap berkali-kali untuk memastikan bahwa apa yang dia lihat tidak salah.
"I-ini serius?" tanya Sabda tak percaya.
Cinta menganggu sambil tersenyum. "Iya, ini buat kamu. Diterima ya."
Sabda mengambil hadiah pemberian Cinta dengan semangat, dipeluknya hadiah itu dengan erat. Ini adalah barang impian Sabda. Pria itu sangat senang karena Cinta yang memberikannya.
"Terima kasih, Cinta," kata Sabda lirih.
"Apanya yang terima kasih?"
Sabda tersentak kaget. Pria itu menatap Cinta cukup lama, tak lama kemudian Sabda mengusap wajahnya dengan kasar.
Ya ampun! Bisa-bisanya Sabda memikirkan kejadian di masa lalu ketika bersama Cinta. Di saat Cinta memberikan hadiah padanya karena Sabda berhasil membujuk Cinta untuk mengerjakan tugas sekolahnya.
"Kenapa diam?" tanya Cinta lagi.
Sabda menyugar rambutnya dengan pelan. Sial! Kenapa ketika berdekatan dengan Cinta otaknya selalu berpikir di luar kendali. Masa lalu itu selalu terngiang dikepalanya.
"Terima kasih untuk makanannya, aku suka," jawab pria itu sambil melahap makanannya.
Cinta menyipitkan matanya, heran karena melihat tingkah Sabda.
"Bukannya kamu yang mengajakku ke sini? Kenapa bilang terima kasih?"
Sabda terbatuk, buru-buru Cinta menyodorkan air putih untuk Sabda.
"Hati-hati dong kalau makan, mana sayurnya pedas, pasti bakalan sakit tuh dihidung sama ditenggorokan," omel Cinta.
Sabda tak menjawab, hanya menanggapi Cinta hanya dengan senyuman tipis. Memang benar yang dikatakan oleh wanita itu. Saat ini hidungnya terasa sakit.
"Sabda, kamu ini kenapa sih tiap kali kuajak bicara selalu aja gagal fokus, kenapa? Apa kamu merasa terbebani dengan sikapku? Kalau iya, kenapa tidak mundur saja. Aku kasihan melihatmu yang selalu tertekan," decak Cinta.
Sabda mengepalkan tangannya, pria itu tak terima jika Cinta berkata seperti itu. Namun sayangnya, Sabda tak mampu membalas ucapan Cinta.
Sabda melakukannya bukan karena terpaksa, hanya saja dia merasa canggung dengan situasi sekarang. Mereka berdua sama-sama dewasa, rasanya tidak mungkin jika akrab seperti dulu. Dan yang lebih sialnya lagi, ingatan Sabda selalu mengarah pada masa lalu. Masa di mana ketika mereka berdua saling melengkapi satu sama lain.
"Menjagamu bukanlah hal yang terpaksa, Cinta. Menjagamu adalah suatu keharusan, aku ingin melihat sifat Cinta yang dulu, bukan yang sekarang," kata pria itu lirih.
Cinta tersenyum sinis.
'Itu tidak akan mungkin terjadi, Sabda. Perasaanku sudah mati. Tidak ada Cinta yang dulu. Inilah Cinta yang sekarang,' batin wanita itu. Mata Cinta tampak berkaca-kaca.
Setelah pembicaraan mereka kemarin, sifat Cinta kembali dingin. Sabda sangat menyesali perbuatannya karena telah bertindak gegabah. Dirinya terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan, dan berakibat fatal seperti ini.Cinta kembali menjaga jarak padanya, walaupun mereka tengah jalan berdua, Cinta selalu diam seribu bahasa. Jujur saja, Sabda tidak nyaman dengan situasi seperti ini.Lebih baik mendengar kecerewetan Cinta, daripada mendapatkan tatapan Cinta yang begitu dingin."Apa kamu sudah berhasil?" tanya Ricko.Sabda menggeleng lemah, membuat Ricko menghela napas panjang."Selama Cinta tidak lepas dengan laki-laki berandalan itu, sifat Cinta tidak akan berubah," keluh Ricko.Sabda menatap Ricko cukup lama, pria itu tampak ingin berbicara hal penting, namun diurungkannya.Entah mengapa hatinya malah senang jika kekasih Cinta dekat dengan Kezia."Satu-satunya cara untuk merubah sifat Cinta lebih baik adalah denga
Semua orang yang ada di sana menatap Cinta dengan perasaan iba, mereka mengira jika Cinta sedang menangisi pria yang tergeletak itu."Mbak, yang sabar ya."Cinta melirik ibu-ibu itu dengan sengit. Sabar? Rasanya sudah lelah Cinta melakukan hal itu, dirinya kurang sabar apa lagi, kebahagiaannya telah direnggut oleh keluarga baru Ricko.Cinta tak menjawab, dia kembali menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Cinta juga bingung kenapa bisa sesedih ini. Apakah dia merasa bersalah pada Sabda? Hanya hati Cinta yang bisa merasakannya."Cinta!"Wanita itu langsung mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Pasalnya, wanita itu sangat mengenali siapa pemilik suara itu. Cinta melihat Sabda tengah berdiri tak jauh dari motornya.Cinta langsung berdiri, berlari ke arah Sabda. Memukul dada pria itu dengan sedikit keras."Bodoh!" umpat Cinta.Sabda mengerutkan keningnya, tidak paham apa yang Cinta maksud."A
Wanita itu menatap dirinya sendiri dari pantulan kaca dengan tatapan kosong. Entah apa yang ada dipikirannya.Rasanya ingin marah, tapi entah pada siapa yang ingin dia lampiaskan. Gara-gara melihat Farel dan Kezia tadi, emosi Cinta tak terbendung. Sampai-sampai Sabda yang diam saja pun terkena imbasnya. Cinta memarahi Sabda tanpa sebab."Sabda," gumam wanita itu.Dirinya sungguh menyesal karena telah berlaku seenaknya pada Sabda.Cinta menghela napas berat, berniat untuk mencari Sabda, meminta maaf pada pria itu, akan tetapi dering ponselnya mengurungkan niatnya. Cinta bergegas mengambil ponsel di atas meja."Halo," jawab Cinta, ketika sambungan telepon itu terhubung."Hei, Cinta! Ke mana saja kamu, kenapa tidak pernah datang ke basecamp. Kamu lupa dengan kita-kita."Cinta langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, karena mendengar kebisingan dari ujung sana. Apalagi dengan suara Vera yang begitu memekikkan telinga."Aku s
Sedari tadi Sabda duduk selalu gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang karena memikirkan kejadian tadi malam. Gara-gara Cinta, membuat tidur Sabda tak nyenyak.Hari ini Sabda selalu menjauh dari Cinta, ketika Cinta memanggilnya, pria itu selalu beralasan jika dirinya tengah sibuk dengan urusannya. Sejujurnya Sabda malu, dia takut Cinta akan marah padanya karena perbuatannya tadi malam. Padahal sangat jelas bahwa Cinta yang salah, wanita itu selalu saja menggodanya."Sabda!"Sabda tersentak, pria itu menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan lambat dia menoleh ke arah belakang. Sabda melihat Cinta sedang berkacak pinggang, mata wanita itu tampak melotot."Kenapa lama sekali, katanya mau menghubungi nomor mama kamu? Kenapa harus ngumpet di sini segala," omel wanita itu.Sabda meringis pelan, buru-buru Sabda memegang ponselnya. Pria itu pura-pura tengah mencari sinyal, agar Cinta tidak curiga."Iya nih, dari tadi aku coba nelepon M
"Cinta mana?" tanya Ricko.Kezia dan Sabda terdiam. Kezia mengedikkan bahunya acuh, sementara Sabda, pria itu menundukkan kepalanya.Karena tak mendapat jawaban, Ricko melirik ke arah istrinya."Cinta mana, Ma?" tanya Ricko."Kayak nggak tau aja kelakuan Cinta gimana," jawab Lina sinis.Sabda mengepalkan tangannya ketika mendengar jawaban dari Lina. Pantas saja Cinta tidak suka dengan keluarga barunya, mereka tampak tidak menyukai Cinta."Tolong panggilkan Cinta, kita akan makan malam bersama," perintah Ricko.Kezia dan Lina diam saja, untuk sekadar berdiri saja mereka enggan."Biar aku saja," jawab Sabda.Pria itu langsung berdiri melenggang pergi begitu saja tanpa memedulikan tatapan heran dari mereka bertiga.Seandainya saja Sabda bisa membawa Cinta keluar dari rumah ini, pasti akan dia lakukan dengan senang hati. Hanya saja, apakah Cinta mau bersamanya? Dia yakin Cinta akan menolaknya."Cinta," panggil
"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Cinta bingung.Sabda tak menjawab, pria itu terus saja menggandeng tangan Cinta. Berjalan menyusuri jalanan itu, hingga tiba-tiba saja langkah pria itu terhenti.Cinta kembali memperhatikan raut wajah Sabda yang tiba-tiba saja tersenyum. Wanita itu melirik tangannya sekilas, Sabda masih saja betah menggenggam tangannya. Cinta menghela napas panjang, detik berikutnya dia tersentak ketika mengingat apa yang terjadi di jalan Cempaka itu."Kembalikan!" teriak Sabda."Nggak, sepatunya sudah jelek, aku bisa membelikanmu yang lebih bagus," bantah Cinta.Sabda menggelengkan kepalanya, wajah pria itu tampak menghiba, berharap Cinta tidak membuang sepatu itu. Karena sepatu itu kenang-kenangan dari almarhum ayahnya."Ini bukan soal harga, tapi sepatu itu kenang-kenangan dari ayahku, to
Cinta tertegun ketika melihat Farel di depan rumahnya. Biasanya wanita itu akan menyambutnya dengan penuh semangat, tapi sekarang berbeda. Jangankan menyapa, untuk melihat wajah pria itu saja rasanya malas.'Mungkin dia sedang menunggu wanita murahan itu. Ck! Jadi mereka sudah mulai terang-terangan di depanku. Kalian pikir aku ini wanita lemah?' batin Cinta sambil tersenyum mengejek.Cinta berjalan dengan santai, dia sama sekali tidak menatap Farel yang tengah duduk di kursi depan rumahnya. Seolah-olah wanita itu tak melihat siapapun di sana. Cinta melangkah sambil bersiul pelan.Farel yang melihatnya langsung berdiri, pria itu tersenyum lebar."Hai, kamu dari mana saja. Aku dari tadi menunggumu. Ayah bilang kalau kamu sedang pergi dengan bodyguardmu, jadinya aku menunggumu," sapa Farel.Cinta menoleh ke belakang, menatap Farel pura-pura terkejut."Kamu ada di sini? Sejak kapan? Kok aku nggak lihat ya."Farel tersenyum kecut, dia tahu
Sabda kelimpungan karena melihat Cinta tengah merajuk. Dirinya selalu serba salah dibuatnya, pria itu ingin marah, tapi anehnya tidak bisa."Sabda! Yang benar dong. Ih, kan. Fotonya jadi jelek, bisa senyum nggak?" tanya Cinta dengan bibir mengerucut.Lagi-lagi pria itu menghela napas panjang, sudah kesekian kalinya mereka foto bersama, tetapi tidak ada yang bagus menurut Cinta."Oke, sekali lagi," jawab Sabda pasrah."Ingat! Senyum. Jangan pelit senyum, masa gitu-gitu aja diajarin sih," omel wanita itu."Iya, aku akan mencobanya."Gara-gara Cinta membakar foto masa kecil mereka, wanita itu meminta penggantinya dengan cara mereka kembali berfoto bersama. Cinta selalu mengatakan jika akan dibuat kenang-kenangan.Sabda menolaknya, bukan karena tidak mau. Dia hanya kurang percaya diri jika difoto seperti itu, apalagi foto bersama dengan seorang wanita."Satu ... dua ... tiga ... senyum, Sabda," kata Cinta memberi aba-aba.