Share

Tentara dan Polisi

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 10:23:47

Lima belas tahun yang lalu.

“Widya!”

Widya sebenarnya mendengar panggilan itu. Namun dengan bandel, ia semakin menempelkan tubuhnya di lantai. Bersembunyi di bawah dipan tua yang sudah tidak terpakai. Ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan agar tawanya tak terdengar oleh Bunda yang tengah mencarinya.

“Widya! Keluar, dong!”

Tawa Widya terhenti saat ia mendengar suara lainnya. Bukan suara Bunda, melainkan suara seorang remaja laki-laki yang juga sangat dikenalnya.

Widya lalu merayap perlahan keluar dari kolong dipan dan melihat Sakti yang ternyata sudah berdiri di sana. Remaja tujuh belas tahun itu tersenyum, lalu menggandeng tangan Widya. Membimbing gadis kecil itu agar keluar dari gudang tempatnya bersembunyi.

“Aku mau berangkat hari ini, tapi kamu malah main petak umpet. Kita bakalan lama nggak ketemu, Wid. Jadi aku mau lihat kamu sebelum aku berangkat,” ujar Sakti lembut.

Awalnya, Widya hendak mengolok Sakti. Namun, Widya akhirnya mengingat bahwa hari ini adalah hari terakhir Sakti berada di panti asuhan ini. Sebab, Sakti akan ….

“Horeee!!! Bang Sakti akan jadi tentara!” seru Widya kegirangan. Iya, Sakti telah dinyatakan lulus dan akan masuk akademi militer. Bunda dan seluruh penghuni panti asuhan, terutama Widya, bangga sekali padanya.

“Dan kamu akan jadi polisi,” sahut Sakti sambil mengusap puncak kepala Widya dengan lembut.

Widya menatap Sakti tanpa berkedip. “Kenapa aku harus jadi polisi, Bang Sakti? Aku mau jadi penyanyi. Aku sukanya nyanyi.”

Sakti tak menjawab. Ia tersenyum, lalu mengajak Widya menghampiri Bunda dan segenap penghuni panti asuhan yang tengah menunggu di halaman depan. Mereka hendak melepas kepergian Sakti, penghuni panti asuhan yang paling lama dan barangkali, paling sukses.

***

Delapan tahun yang lalu.

Baru pertama kali Widya masuk ke mal dengan mengenakan pakaian dinas harian. Bersama dengan kawan-kawannya sesama taruni, mereka hendak melepas penat di pusat perbelanjaan itu. Rencananya, kelima orang gadis itu hendak menonton dan makan.

Bagi Widya, memasuki mal yang mewah tersebut seperti memasuki dunia yang berbeda. Selama mengikuti pendidikan di akademi kepolisian, rutinitasnya berkutat di lingkungan akademi saja. Terkadang membuatnya jenuh dan lelah. Sehingga, kesempatan bersenang-senang seperti ini tidak boleh dilewatkan begitu saja. Widya harus menikmatinya!

Saat Widya dan kawan-kawan sedang menunggu pesanan mereka di sebuah restoran, sekelompok taruna kepolisian tampak memasuki restoran tersebut. Para gadis itu seketika berdiri dan memberi hormat pada empat orang taruna yang memiliki pangkat lebih tinggi dua tingkat di atas mereka tersebut.

Saat itulah. Mata Widya tak sengaja beradu tatap dengan mata salah seorang taruna yang bertubuh paling jangkung di antara kelompoknya. Nama seniornya itu Rinto. Widya baru kali ini melihatnya dari jarak sedekat ini.

Widya terkesiap saat menyadari bahwa ia mungkin sudah lancang menatap mata seniornya begitu saja. Namun, Rinto ternyata tidak mempermasalahkannya. Ia bahkan menyunggingkan seulas senyuman, yang disambut oleh Widya dengan gugup.

Muda-mudi itu akhirnya makan bersama di meja yang sengaja disatukan untuk menampung mereka. Makan bersama itu berlangsung dengan sedikit kaku karena masing-masing pihak tidak begitu mengenal satu sama lainnya. Hingga terjadi insiden kecil yang perlahan mencairkan suasana.

“Tin, ambilin saus itu, dong,” pinta Widya pada salah seorang kawannya. Widya merasa makanannya kurang pedas, sehingga ia menginginkan tambahan saus sambal.

Saat kawan Widya yang disebut ‘Tin’ itu hendak mengambil botol saus di depannya, tangan seseorang sudah mendahuluinya.

“Ini,” kata sosok itu sambil menyerahkan botol saus pada Widya.

Widya tercengang sesaat. Kemudian dengan kikuk menerima botol saus tersebut.

“Terima kasih, Bang Rinto,” balas Widya pelan.

“Sama-sama,” balas sosok penolong yang ternyata adalah Rinto tersebut.

Kemudian hening. Widya menyadari bahwa dirinya dan Rinto kini menjadi bahan tatapan ketujuh orang lainnya.

Rinto berdeham pelan, lalu meneruskan makannya. Kawan-kawannya sesama taruna senior hanya menatap Rinto, lalu beralih pada Widya, kemudian kembali pada Rinto lagi. Mereka senyum-senyum, tapi Rinto tampak cuek.

Sementara kawan-kawan Widya cekikikan. Salah seorang di antara mereka bahkan menyikut pelan Widya, namun Widya hanya menunduk. Tak lama kemudian, ia meneruskan makannya dengan wajah yang agak kemerahan.

Usai makan bersama, kesembilan taruna-taruni itu bergegas menuju ke bioskop. Kawan-kawan mereka berdua dengan sengaja menempatkan agar  Widya dan Rinto duduk bersebelahan, meskipun keduanya sempat menolak. Namun paksaan kawan-kawan mereka membuat Rinto dan Widya harus mengalah.

Sepanjang pemutaran film, Widya dan Rinto nyaris tak berbincang satu sama lain. Namun, sesekali mereka saling melirik, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah lainnya.

Bahkan, Widya jadi kurang memahami isi cerita film yang mereka tonton karena terlalu ‘sibuk’ memerhatikan Rinto. Sebaliknya, Rinto pun demikian. Ia berkali-kali berdeham seperti hendak berbicara namun diurungkan dengan cepat. Pemuda yang unik.

Yang jelas, segalanya bermula di situ. Selanjutnya, Widya tak pernah lagi merasakan kejenuhan selama mengikuti pendidikan di akademi ….

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terhubung

    “Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Terselamatkan

    Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   TV Kabel

    Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Perpisahan

    Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Putra Sang Jenderal

    Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Tak Seperti di Film

    Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status