Dua puluh tahun yang lalu.
Bunda menyimak penjelasan para petugas dari dinas sosial mengenai anak yang mereka bawa untuk menetap di panti asuhan tersebut. Ia mengangguk, lalu menengok ke luar jendela. Memandang kerumunan penghuni panti asuhan yang sedang bermain di halaman depan.
“Anak yang malang. Saya juga membaca beritanya. Kejadiannya memang mengerikan,” ujar wanita paruh baya yang sedang berada di ruangannya bersama para petugas dari dinas sosial tersebut.
Pandangan Bunda lalu mengarah pada seorang anak perempuan berusia enam tahun yang hanya berdiri memandang anak-anak lain yang sedang bermain. Anak itu menatap kosong, seperti tidak ada kemauan untuk melakukan apa-apa. Barangkali, keinginan untuk hidup pun nyaris tidak ada.
Sebulan yang lalu, Widya sekeluarga ditimpa musibah. Kebakaran di rumah mereka telah merenggut nyawa kedua orang tua dan kakak Widya. Hanya Widya yang selamat, namun harus dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap.
Setelah pulih, Widya pun dibawa ke panti asuhan yang dipimpin oleh wanita dengan sorot mata tajam tersebut. Sebab, keluarga dan kerabat Widya yang lain, tidak diketahui rimbanya. Panti asuhan itulah yang akan menjadi rumah baru Widya setelah ia kehilangan keluarga dan rumahnya dalam tragedi itu.
Saat para petugas dari dinas sosial dan Bunda sedang berbincang, Widya sendiri dipersilakan bermain bersama anak-anak penghuni panti asuhan yang kelak akan menjadi saudara dan saudarinya.
Widya menurut. Ia pergi ke halaman depan, namun tidak bermain bersama anak-anak itu. Hanya menonton dari kejauhan. Hingga akhirnya ia mulai menarik perhatian anak-anak penghuni panti yang sedang bermain.
Melihat Widya yang diam bak patung, anak-anak tersebut mendekatinya dengan tatapan penasaran. Seorang anak bahkan mencoba memegang pipi Widya. Namun teguran seorang anak laki-laki mencegahnya.
“Diajak main dong. Jangan main colek gitu aja.”
“Habis penasaran, Bang Sakti. Ini patung, ya. Dieeem aja gitu,” kilah anak yang ditegur tersebut.
“Lah, sudah jelas dia manusia, bukan patung. Main aja lagi sana. Ntar kalau mau, dia juga akan gabung sama kalian.”
Anak-anak itu pun pergi meninggalkan Widya. Sedangkan Widya mendongak, memandang anak laki-laki yang membantunya itu.
Dipandang seperti itu, anak yang bernama Sakti itu pun membungkuk agar tinggi badannya menyamai tinggi badan Widya. Anak laki-laki itu tersenyum lebar.
“Hai, Widya! Aku Sakti, penghuni paling lama di panti asuhan ini,” sapa Sakti, masih dengan senyum lebarnya.
Widya tercengang. Ekspresinya itu membuat Sakti seperti menyadari bahwa ada sesuatu yang keliru atau tidak pada tempatnya.
“Eh, aku tahu namamu dari Bunda. Bunda yang nyuruh aku ke sini buat main sama kamu,” jelas Sakti.
“Bunda?” tanya Widya, bingung. Akhirnya dia bersuara juga.
“Iya, Bunda. Beliau yang memimpin panti asuhan ini.”
Widya hanya menatap Sakti. Kelihatannya masih tidak memahami penjelasan Sakti.
“Eh … Bunda itu yang mengurus kita di sini. Bunda yang merawat kita, memberi makan kita juga.”
Raut wajah Widya berubah menjadi sedikit lebih cerah. Jelas bahwa ia kini memahami maksud Sakti.
“Nah, sekarang, kamu main apa?” tanya Sakti.
Widya menggeleng. “Aku mau di sini saja.”
Giliran Sakti yang tercengang.
“Ga mau main?”
Widya menggeleng.
Iya, anak perempuan mana yang mau? Widya tidak mengenal Sakti sebelumnya. Lagipula, Sakti lebih tua daripada Widya. Usianya dua kali lipat usia Widya saat ini. Permainan apa yang menarik untuk dilakukan dalam kesenjangan yang cukup lebar itu?
“Kalau begitu, aku temenin di sini aja, ya?” tanya Sakti lagi.
Kali ini Widya mengangguk. Setuju.
Mereka pun duduk di tepi halaman, memandang anak-anak lain yang masih bermain dan bersenda gurau, tanpa terlibat pembicaraan apa pun lagi.
Setengah jam kemudian, Widya dihampiri oleh para petugas dari dinas sosial yang hendak pamit padanya. Sebab, tugas mereka telah usai. Widya telah diserahkan pada panti asuhan tersebut hingga mereka tidak lagi memiliki kepentingan di tempat itu.
Menariknya, kali ini, Widya menunjukkan lebih banyak emosi daripada sebelumnya.
Widya menangis sekencang-kencangnya. Memeluk kaki seorang petugas, memohon agar para petugas itu tidak meninggalkannya. Ia ingin ikut dengan mereka. Widya tidak ingin tinggal di panti asuhan ini.
Seorang pembimbing yang bekerja di panti asuhan, berusaha membujuk Widya agar mau melepaskan para petugas dari dinas sosial itu. Segala bujuk rayu ditumpahkan, namun Widya bersikeras untuk tetap mengikuti para petugas yang membawanya tersebut.
Hingga akhirnya Widya mendongak saat puncak kepalanya diusap dengan lembut. Sakti memandangnya sambil tersenyum, sebelum anak laki-laki itu ‘mengambil alih’ tugas pembimbing yang kewalahan membujuk Widya.
“Tinggal di sini aja. Biarkan aku yang menjagamu sampai kita besar nanti,” kata Sakti lembut.
Widya terperangah mendengar kalimat dari anak yang sebelumnya telah bersikap baik padanya itu.
Ajaib, setelah itu, perlahan Widya melepaskan pelukannya di kaki seorang petugas dari dinas sosial. Kemudian, tangan mungilnya menyambut uluran tangan Sakti. Membiarkan dirinya dibimbing masuk ke dalam bangunan panti.
Hampir semua orang dewasa yang sebelumnya kesulitan membujuk Widya, tercengang. Bahkan ada yang terheran-heran melihat betapa mudahnya seorang anak membujuk Widya.
Kecuali Bunda, sang kepala panti asuhan. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari Sakti dan Widya, pada para tamunya dari dinas sosial. Sambil tersenyum ia berkata, “syukurlah Widya bisa dibujuk untuk tinggal di sini. Mari kita berdoa, semoga dia betah di sini bersama Sakti dan anak-anak lainnya.”
“Oh, kalau begitu, mau sarapan di sini? Kebetulan tadi saya bikin nasi goreng. Ada roti, juga. Anggap saja ucapan terima kasih saya karena sudah dibantu pagi-pagi begini,” ujar Widya sambil menyilakan Sarah dan Rimba menuju meja makan.Sarah hendak menolak, tapi lagi-lagi Rimba, mengikuti Widya. Sebelum Sarah sempat bersuara, pemuda itu sudah menyendokkan nasi goreng ke piringnya.“Dasar tidak punya malu,” desis Sarah kesal.***Daud menatap lekat-lekat foto dalam sebuah pigura bergaya klasik. Foto dirinya sekeluarga, diambil pada saat upacara kelulusan Rizwan dari akademi militer, bertahun-tahun yang lalu. Rizwan tersenyum samar di foto itu, seperti berusaha menyembunyikan kebanggaan dan kebahagiaannya.Namun berbeda dengan Rizwan, kedua orang tua dan dua orang adiknya tampak lebih ekspresif. Daud tampak bangga dengan senyuman yang mengembang, sementara almarhumah istrinya tampak seperti menahan air mata kebahagiaan. Adik-a
Wajah Sarah seketika memucat mendengar pertanyaan sindiran itu. Sedangkan Rimba tetap tenang dan memberikan seulas senyum.Rimba pasti memahami pertanyaan Sakti, namun tidak terpancing untuk membalas. Sarah sampai kagum karena pemuda jahil itu ternyata bisa setenang itu.Di sisi lain, Sakti tampak tersentak sendiri, seperti menyadari bahwa ia sudah keterlaluan di depan orang asing yang tidak berbuat apa-apa padanya. Raut wajahnya kini menjadi lebih ramah.“Apa Bu Widya yang memanggil kalian ke sini?” tanya Sakti pada Sarah.“Iya, Pak. Katanya beberapa saluran hilang begitu saja. Kami ke sini untuk memeriksanya.”Sakti mengetuk pintu dan berseru, “Wid! Widya! Ada orang dari TV Kabel nih, mau periksa TV-mu.”Tak lama kemudian, Widya membuka pintu. Matanya sembab. Sarah seketika saling melirik dengan Rimba. Mereka sepertinya mendapatkan petunjuk baru dari gelagat Widya.“Oh, iya. Ayo masuk. TV sa
Saat yang bersamaan dengan kejadian di rumah Widya.“Hm, suaminya pergi dari rumah, eh, datang pria lain berkunjung. Hehehe, cinta segitiga yang gampang ditebak.”Sarah tersenyum miring dengan mata yang masih mengintai melalui teropong jarak jauh. Mengamati dari jarak puluhan meter, gerak-gerik seorang wanita—Widya—tengah berhadapan dengan seorang pria—Sakti—di depan rumahnya. Agar tindak-tanduknya tak terlihat orang banyak, Sarah bersembunyi di dalam sebuah mobil.Sarah sebenarnya tidak sedang bergumam atau berbicara sendiri mengomentari kelakuan Widya. Kata-kata Sarah itu ditujukan pada seorang pria yang duduk di sebelahnya.Sayangnya, pria yang ‘diajak bicara’ oleh Sarah tersebut tidak memahami maksud Sarah. Bahkan ia tampak mengabaikan gadis itu. Sebab, ia tetap asyik membersihkan pisau Jagdkommando miliknya.Sarah kini cemberut. Pria di sebelahnya ini benar-benar menyebalkan dan tidak pedul
Masa kini, dua tahun setelah insiden di pos jaga.“Aku berangkat.”Widya tersentak mendengar suara berat itu. Ia meletakkan cangkirnya, lalu bergegas menyusul Rinto yang sudah sampai di ambang pintu depan. Cepat sekali langkah pria itu dengan beban berupa tas berisi pakaian dan sedikit barang. Maklum, polisi.“Abang, bagaimana dengan …”“Aku yang akan mengurusnya. Mulai sekarang, kita jalan masing-masing,” tukas Rinto. Ia bisa membaca pikiran Widya.Namun Widya tak menyerah. Ia menahan lengan kekar Rinto.“Abang benar-benar … tidak ingin melanjutkan lagi? Setelah dua tahun, kita sampai di sini saja?”Rinto menatap tajam pada Widya. Alisnya yang nyaris bertaut menunjukkan bahwa dia tidak memahami, mengapa Widya menanyakan hal yang sudah sangat jelas. Terang benderang.“Bang, aku sudah jelaskan berkali-kali. Aku dan Bang Sakti tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya anak-anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan yang sama. Kami ….”Rinto menyentakkan tangan Widya. Wajahnya terliha
Atasan Rizwan itu lalu berlari menyusuri jejak darah yang dapat ia temukan. Ia tidak memedulikan api yang masih berkobar di pos karena ia harus menemukan musuh yang dilumpuhkan oleh Rizwan sebelumnya. Kemungkinan orang itu masih hidup. Barangkali ada yang membantunya hingga bisa bangkit dari kematiannya.Setelah beberapa lama, ia akhirnya bisa menyusul sosok yang seolah kembali dari kematiannya tersebut. Ternyata makhluk yang ‘membangkitkan’ orang itu adalah seorang anak yang mungkin berusia sepuluh tahunan. Anak berambut pendek yang tidak jelas apakah berjenis kelamin laki-laki atau perempuan itu, memapah pria yang ia tolong dengan susah payah.“Berhenti!” perintah atasan Rizwan tersebut.‘Mayat hidup’ bersama anak penolongnya itu tentu saja tidak menuruti perintah tersebut. Sebaliknya, mereka malah mempercepat langkahnya. Meskipun tentu saja tidak berguna karena mereka sudah terkejar.Tak jauh dari mereka, terdapat sungai yang memiliki arus yang cukup deras. Tidak banyak pilihan bag
Dua tahun yang lalu.Sebagian yang ditampilkan di film-film ternyata tidak sesuai dengan kehidupan nyata. Mana ada orang yang pahanya tertembak, masih bisa kabur dengan cepat meskipun langkahnya agak tertatih?Rizwan kini menyadari bahwa pahanya yang tertembak peluru musuh, kini mematikan langkahnya. Ia tidak memahami anatomi manusia, namun ia tahu, peluru yang menembus anggota tubuhnya itu membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa telentang di atas rerumputan yang mengering, dalam jarak hanya lima meter dari mayat musuh yang nekad mendekati wilayah Rizwan dan pasukannya.Merayap perlahan untuk mencari tempat yang lebih aman? Bagi Rizwan, itu ide gila. Darah yang mengalir dari lukanya akan semakin deras karena pergerakan yang tidak perlu itu. Belum lagi kerusakan lainnya. Tak terbayangkan kerusakan otot dan saraf yang akan Rizwan alami akibat pergerakan peluru di pahanya, jika ia sampai nekad bergerak.Rizwan memilih menunggu dengan pistol di tangan sebagai alat perlindungan diri. Ia berh