Share

Widya

Penulis: WN. Nirwan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 10:19:52

Dua puluh tahun yang lalu.

Bunda menyimak penjelasan para petugas dari dinas sosial mengenai anak yang mereka bawa untuk menetap di panti asuhan tersebut. Ia mengangguk, lalu menengok ke luar jendela. Memandang kerumunan penghuni panti asuhan yang sedang bermain di halaman depan.

“Anak yang malang. Saya juga membaca beritanya. Kejadiannya memang mengerikan,” ujar wanita paruh baya yang sedang berada di ruangannya bersama para petugas dari dinas sosial tersebut.

Pandangan Bunda lalu mengarah pada seorang anak perempuan berusia enam tahun yang hanya berdiri memandang anak-anak lain yang sedang bermain. Anak itu menatap kosong, seperti tidak ada kemauan untuk melakukan apa-apa. Barangkali, keinginan untuk hidup pun nyaris tidak ada.

Sebulan yang lalu, Widya sekeluarga ditimpa musibah. Kebakaran di rumah mereka telah merenggut nyawa kedua orang tua dan kakak Widya. Hanya Widya yang selamat, namun harus dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap.

Setelah pulih, Widya pun dibawa ke panti asuhan yang dipimpin oleh wanita dengan sorot mata tajam tersebut. Sebab, keluarga dan kerabat Widya yang lain, tidak diketahui rimbanya. Panti asuhan itulah yang akan menjadi rumah baru Widya setelah ia kehilangan keluarga dan rumahnya dalam tragedi itu.

Saat para petugas dari dinas sosial dan Bunda sedang berbincang, Widya sendiri dipersilakan bermain bersama anak-anak penghuni panti asuhan yang kelak akan menjadi saudara dan saudarinya.

Widya menurut. Ia pergi ke halaman depan, namun tidak bermain bersama anak-anak itu. Hanya menonton dari kejauhan. Hingga akhirnya ia mulai menarik perhatian anak-anak penghuni panti yang sedang bermain.

Melihat Widya yang diam bak patung, anak-anak tersebut mendekatinya dengan tatapan penasaran. Seorang anak bahkan mencoba memegang pipi Widya. Namun teguran seorang anak laki-laki mencegahnya.

“Diajak main dong. Jangan main colek gitu aja.”

“Habis penasaran, Bang Sakti. Ini patung, ya. Dieeem aja gitu,” kilah anak yang ditegur tersebut.

“Lah, sudah jelas dia manusia, bukan patung. Main aja lagi sana. Ntar kalau mau, dia juga akan gabung sama kalian.”

Anak-anak itu pun pergi meninggalkan Widya. Sedangkan Widya mendongak, memandang anak laki-laki yang membantunya itu.

Dipandang seperti itu, anak yang bernama Sakti itu pun membungkuk agar tinggi badannya menyamai tinggi badan Widya. Anak laki-laki itu tersenyum lebar.

“Hai, Widya! Aku Sakti, penghuni paling lama di panti asuhan ini,” sapa Sakti, masih dengan senyum lebarnya.

Widya tercengang. Ekspresinya itu membuat Sakti seperti menyadari bahwa ada sesuatu yang keliru atau tidak pada tempatnya.

“Eh, aku tahu namamu dari Bunda. Bunda yang nyuruh aku ke sini buat main sama kamu,” jelas Sakti.

“Bunda?” tanya Widya, bingung. Akhirnya dia bersuara juga.

“Iya, Bunda. Beliau yang memimpin panti asuhan ini.”

Widya hanya menatap Sakti. Kelihatannya masih tidak memahami penjelasan Sakti.

“Eh … Bunda itu yang mengurus kita di sini. Bunda yang merawat kita, memberi makan kita juga.”

Raut wajah Widya berubah menjadi sedikit lebih cerah. Jelas bahwa ia kini memahami maksud Sakti.

“Nah, sekarang, kamu main apa?” tanya Sakti.

Widya menggeleng. “Aku mau di sini saja.”

Giliran Sakti yang tercengang.

“Ga mau main?”

Widya menggeleng.

Iya, anak perempuan mana yang mau? Widya tidak mengenal Sakti sebelumnya. Lagipula, Sakti lebih tua daripada Widya. Usianya dua kali lipat usia Widya saat ini. Permainan apa yang menarik untuk dilakukan dalam kesenjangan yang cukup lebar itu?

“Kalau begitu, aku temenin di sini aja, ya?” tanya Sakti lagi.

Kali ini Widya mengangguk. Setuju.

Mereka pun duduk di tepi halaman, memandang anak-anak lain yang masih bermain dan bersenda gurau, tanpa terlibat pembicaraan apa pun lagi.

Setengah jam kemudian, Widya dihampiri oleh para petugas dari dinas sosial yang hendak pamit padanya. Sebab, tugas mereka telah usai. Widya telah diserahkan pada panti asuhan tersebut hingga mereka tidak lagi memiliki kepentingan di tempat itu.

Menariknya, kali ini, Widya menunjukkan lebih banyak emosi daripada sebelumnya.

Widya menangis sekencang-kencangnya. Memeluk kaki seorang petugas, memohon agar para petugas itu tidak meninggalkannya. Ia ingin ikut dengan mereka. Widya tidak ingin tinggal di panti asuhan ini.

Seorang pembimbing yang bekerja di panti asuhan, berusaha membujuk Widya agar mau melepaskan para petugas dari dinas sosial itu. Segala bujuk rayu ditumpahkan, namun Widya bersikeras untuk tetap mengikuti para petugas yang membawanya tersebut.

Hingga akhirnya Widya mendongak saat puncak kepalanya diusap dengan lembut. Sakti memandangnya sambil tersenyum, sebelum anak laki-laki itu ‘mengambil alih’ tugas pembimbing yang kewalahan membujuk Widya.

“Tinggal di sini aja. Biarkan aku yang menjagamu sampai kita besar nanti,” kata Sakti lembut.

Widya terperangah mendengar kalimat dari anak yang sebelumnya telah bersikap baik padanya itu.

Ajaib, setelah itu, perlahan Widya melepaskan pelukannya di kaki seorang petugas dari dinas sosial. Kemudian, tangan mungilnya menyambut uluran tangan Sakti. Membiarkan dirinya dibimbing masuk ke dalam bangunan panti.

Hampir semua orang dewasa yang sebelumnya kesulitan membujuk Widya, tercengang. Bahkan ada yang terheran-heran melihat betapa mudahnya seorang anak membujuk Widya.

Kecuali Bunda, sang kepala panti asuhan. Wanita itu mengalihkan pandangannya dari Sakti dan Widya, pada para tamunya dari dinas sosial. Sambil tersenyum ia berkata, “syukurlah Widya bisa dibujuk untuk tinggal di sini. Mari kita berdoa, semoga dia betah di sini bersama Sakti dan anak-anak lainnya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Reuni Keluarga

    Rimba menjadi hadirin yang bertepuk tangan paling keras saat Widya menyelesaikan lagu. Ia sangat bahagia mendengar lirik lagu yang keluar dari mulut Widya, seolah-olah kata-kata puitis dan romantis itu dilantunkan khusus untuknya.“Suaramu bagus,” puji Rimba tanpa menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya tampak lega setelah Widya menyelesaikan nyanyiannya.Widya tersentak mendengar pujian itu. Namun kemudian, dengan tersipu ia mengucapkan terima kasih. Barangkali, baru kali ini ada orang yang memuji suaranya.Di sisi lain, usai menyaksikan pertunjukan Widya, Rimba menjadi bersemangat untuk melakukan hal yang sebelumnya membuat ia malu. Maka, ia pun pamit sejenak pada hadirin di sekitarnya, termasuk Daud dan istrinya. Ada sesuatu yang harus ia ambil di mobilnya.Sarah yang memahami maksud adiknya, mengacungkan dua jempol. Memberi semangat agar Rimba tidak mundur dalam melaksanakan niatnya.Rimba hanya tertawa tanpa suara, lalu bergegas

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Lamaran

    Setelah penyelidikan insiden pos jaga yang memakan waktu sangat lama tersebut, Sarah dan Rimba belum mengambil kasus baru lagi. Mereka cuti panjang untuk memulihkan diri usai kasus yang nyaris merenggut nyawa mereka tersebut.Di lain pihak, Widya dan Rinto telah resmi bercerai. Juga mengundurkan diri dari kepolisian meski demi alasan yang berbeda. Rinto melepaskan lencananya karena alasan kesehatan setelah hampir terbunuh oleh anak buah Sakti. Ia akan menjalankan bisnis keluarga sebagai kontraktor pengadaan fasilitas kepolisian. Sedangkan Widya memberikan alasan yang tidak terlalu mengejutkan.“Aku menjadi polwan karena keinginan Bang Sakti. Setelah apa yang terjadi, aku tidak mau dikaitkan lagi dengan orang gila itu, termasuk dengan berhenti menjadi polisi,” jelas Widya, setiap kali ada yang menanyakan alasannya berhenti menjadi aparat penegak hukum.Dari sisi romantisnya, Rinto akhirnya menjadi lebih dekat dengan Sarah. Bulan lalu, ia melamar Sarah

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Tentang Keluarga

    Namun Prakasa tetap bersikap tenang. Dengan santai ia melepaskan cengkeraman Sakti yang lemah.“Aku lega karena Daud dan orang-orangnya tidak mencurigaiku. Selain karena kasus penguasaan kota ini, kau mungkin akan diburu karena kasus pembantaian dua tahun lalu itu. Terima kasih, anakku. Kau sudah menutupi apa yang sudah aku lakukan terhadap putra Daud itu,” lanjut Prakasa. Ia mencium kening Sakti dengan lembut.“Kau pasti paham, mengapa aku membantai prajurit-prajurit muda itu dan memfitnah Rizwan. Setelah nama Daud tercoreng karena kasus itu, aku bisa melesat sendirian dan mendapatkan posisi puncak ini. Yah, walaupun kelihatannya, aku akan kesulitan mempertahankannya setelah kegagalanmu yang memalukan ini.”Sakti terperangah. Merintih, mencoba untuk berbicara pada Prakasa yang hendak meninggalkan kamar tempatnya dirawat.Sebelum membuka pintu, Prakasa berbalik untuk mengucapkan satu lagi pengakuan yang membuat Sakti terbelalak tak

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Kebenaran

    Prakasa mengembuskan napas kasar saat melihat keadaan Sakti. Luka-lukanya membuat perwira super itu harus tergolek lemah di ranjang. Luka di lidah, dagu dan bahunya telah diobati, namun mentalnya tidak akan terobati secepat itu.Prakasa kembali mengembuskan napas kasar saat melihat tatapan dan ekspresi Sakti. Bola mata yang membesar dengan otot-otot wajah yang menegang menunjukkan betapa terguncangnya pemuda itu.Yah, kekalahan memang sulit diterima jika kau terbiasa menjadi yang terbaik. Prakasa lupa mengajarkan hal itu, hingga Sakti harus mendapatkannya dengan cara yang tak hanya sangat keras, tetapi juga kejam.“Kau ingat,” ujar Prakasa sambil mendudukkan diri di tepi ranjang, “saat kita pertama kali bertemu. Setelah kau membantai keluarga perempuan yang hatinya tidak bisa kau taklukkan itu? Aku membungkam mulutmu, ‘kan?”Sakti yang belum dapat mengeluarkan sepatah kata pun, hanya melirik sekilas. Ia hanya bisa menunggu ke

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Akhir Duel

    Sebelumnya, saat Sakti membuka mulut sebelum menancapkan pecahan kaca ke mata Rimba, Rimba dengan cepat menarik lidah Sakti. Akibatnya, Sakti tersentak ke bawah. Pecahan kaca yang dipegangnya malah menusuk pundak Rimba.Kemudian, dengan tangannya yang memegang pisau, Rimba menusuk bagian tengah lidah Sakti hingga putus! Tusukan itu sangat dalam, hingga menembus dagu Sakti.Sakti kini tak berdaya dengan bahu dan mulut yang berlumuran darah. Setelah terbatuk dua kali, ia memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Kemudian, tubuhnya terhuyung dan terkapar di lantai. Pingsan.Rimba hanya menatap tubuh tentara yang pernah digadang-gadang menjadi pengganti panglima militer saat ini tersebut. Ia hendak berjalan ke luar ruangan, namun langkahnya terasa berat. Rasanya lelah sekali. Bagaimana pun, luka-luka di tubuhnya dan pertarungan dengan Sakti telah menguras tenaganya. Juga darahnya.Bagaimana selanjutnya? Apakah rencana mereka berhasil? Apakah setelah k

  • SABDA: Putra Sang Jenderal   Organ

    Andre membawa Widya menemui dua orang tahanan yang telah meledakkan berbagai fasilitas di markas. Dalam perjalanan, mereka sempat bertemu dengan dua orang anak buah Sakti yang tampaknya hendak menuju ke ruangan tempat Sakti berada.Dengan sigap, Andre melumpuhkan salah seorang dari mereka dengan meninju ulu hati, dilanjutkan dengan menyikut dagunya. Sementara Widya? Ia menembak kaki lawannya dan membuatnya pingsan dengan memukul kepalanya.Andre melongo sejenak karena merasa penembakan itu tidak perlu. Namun Widya hanya mendengus, lalu meninggalkan Andre begitu saja. Barangkali ia masih kesal karena tidak tuntas membalas dendam pada Sakti.“Cewek yang mengerikan,” gumam Andre sebelum mengikuti Widya yang sudah menjauh.Di luar gedung, Andre dan Widya langsung mencari dua orang tahanan yang menunggu di gudang senjata. Mereka menyelinap melalui hiruk-pikuk akibat kekacauan usai ledakan demi ledakan di markas.“Kalau Sukri berhasil,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status